Chapter 22 - Kekacauan
Chapter 22
Kekacauan
Bunyi sirine terdengar sebagai melodi yang menambah kesan kengerian di tempat kejadian perkara. Ralp memerintahkan jiwa-jiwa hidup untuk segera kembali ke raga mereka.
Tapi ketakutan tentang fakta bahwa mereka telah melihat kematian. Kata-kata Ralp hanya angin lalu buat mereka. Salah seorang wanita berambut pendek sebahu terbang melesat ke arah Ralp yang sedang melindungi jiwa anak-anak TK.
Wanita itu menatap Ralp sejenak. Lalu melirik sekilas ke arah anak-anak TK.
"Apa kau melihat Urka yang kabur?" tanyanya langsung. "Laporkan pada Shiga jika kau melihatnya. Ia mengacaukan Onshen dan dunia manusia."
Belum sempat Ralp membuka mulut untuk menjawab. Wanita tersebut lantas beranjak menghampiri anak-anak TK.
"Kalian semua masih hidup. Kematian belum bisa menghampiri kalian." Sesaat wanita itu merapalkan sebuah mantra pada telapak tangannya. Kemudian mengusapkannya pada bilah katana hingga menghasilkan cahaya kebiruan terang yang berpendar.
Pupil mata Ralp melebar. Saat katana tersebut menebas habis seluruh jiwa anak-anak TK dalam sekali serangan. Bukan hanya itu, semua jiwa yang belum waktunya untuk pergi bersama kematian pun mengalami hal yang sama.
Sementara orang-orang yang menamai diri mereka Shiga sibuk melakukan pekerjaan mereka, Ralp berinisiatif pergi ke suatu tempat.
.
.
.
Beberapa waktu berlalu, Seana yang akhirnya siuman malah mendapatkan wajah Otniel yang sedang memandangnya dengan datar, saat ia membuka mata.
"Aku tidak tahu. Apakah mujur melihatmu saat aku melihat dunia."
Mendengar itu, Otniel hanya berdecak kesal. Seana terbangun dari atas ranjang dan pandangan matanya terasa familiar pada ruangan di mana ia berada.
"Kenapa aku ada di sini lagi? Bukankah kalian sudah membubarkan kelas malam?"
Yap, benar. Seana berada pada kamar asrama kelas malam.
"Aku tidak mungkin membawamu pulang. Satu-satunya tempat yang bisa kutuju adalah tempat ini. Cepatlah bangun. Rex, memintaku untuk membawamu ke rumah sakit saat kau siuman."
Seana tersadar, ia ingat apa yang terjadi saat dirinya tak sadarkan diri. Lalu di pandangnya lekat-lekat wajah Otniel.
"Antar aku ke sana!"
.
.
.
Syan yang sedang frustasi sekaligus syok dengan apa yang menimpa sang ibunda. Ia hanya bisa tertidur di bahu Yuri di koridor ruang rawat inap. Matanya sembab habis menangis seharian. Dan dengan begitu, kantuk pun mulai menyergap kelopak matanya.
"Jadi ... apa yang kau temukan?" Sorot mata Yuri menatap tajam ke arah Rexilan yang berdiri di samping Syan.
"Kekacuaan," ucap Rexilan
"Syukurlah, kau bersama Syan saat itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi." Ia menatap sendu pucuk kepala Syan.
"Dan kebetulan yang tidak disangka-sangka. Seana ada bersamaku, tapi ... aku khawatir kau menyuruh Otniel untuk membawanya pulang."
"Dia bisa dipercaya," sahut Rexilan. "Lagi pula, aku tidak bisa mengurus perempuan itu. Para Kaishi mengincar keberadaanku. Apa kau lupa? Insiden di onshen membuat diriku menjadi tersangka utama."
Yuri menghela napas berat. Entah apa yang sedang dipikirannya. Saat ia mendongak kembali. Ia mendapati sorot mata Rexilan menatap tajam ke ujung koridor.
"Bagaimana kabar Mama?" tanya Seana dengan wajah pucat pada Yuri. Ia melirik sekilas wajah sang abang yang tengah tertidur.
"Kata Dokter kondisi Mama udah mendingan. Walau memang sempat terjadi pendarahan di beberapa bagian tubuh."
Seana menghela napas lega. Setidaknya, nyawa sang ibunda baik-baik saja. Tidak terlalu mempedulikan kehadiran Rexilan. Seana pun berniat membangunkan Syan.
"Bang Syan? Ayo bangun. Seana mau ngomong sesuatu." Dengan mengguncangkan bahu sang kakak. Kelopak mata Syan pun perlahan terbuka.
"Seana?" lirihnya dan ia langsung membekap Seana dalam pelukan.
Yuri membiarkan dua kakak-beradik itu saling mengutarakan perasaan mereka masing-masing. Air mata Seana tumpah dan ia pun terisak dalam pelukan Syan.
Pria itu sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menangis di depan sang adik.
Setelah rangkulan terlepas. Syan pun menggunakan ibu jarinya untuk mengusap mata Seana yang basah.
"Udah, jangan nangis lagi." Seana hanya bisa tersenyum kecil melihat wajah Syan yang tetap berusaha kuat di hadapannya.
Yuri pun menggeser sedikit tubuhnya untuk membuat Seana dapat duduk di samping sang kakak.
"Aku pengen ketemu Mama," ungkap Seana. Sorot matanya menatap sendu ke arah ruangan di hadapan mereka. Di atasnya terdapat papan nama bertuliskan Mawar.
"Tunggu saja. Kita kasih Mama istirahat dulu."
Seana mengganguk. Lalu kembali meneruskan pertanyaannya.
"Kenapa Mama bisa terlibat kecelakaan? Mama kan gak bisa bawa kendaraan."
Syan mengelus pelan pucuk kepala Seana.
"Mama tadi ada di pinggir jalan. Gak sengaja tertimpa kendaraan yang hilang kendali. Di perempatan tadi terjadi kecelakaan beruntun dan banyak sekali korbannya."
Syan mengusap wajahnya. Ia tidak mampu membayangkan kengerian yang terjadi beberapa saat yang lalu.
"Kau pulanglah bersama Rexilan. Biar Abang dan Yuri yang menjaga Mama di sini."
Seana akhirnya menolehkan kepalanya pada sosok yang sedari tadi tidak di anggapnya. Toh, Rexilan masuk dalam kategori makhluk tak kasat mata. Jadi tidak apa-apa, kalau saat ini ia di perlakukan seperti itu oleh Seana.
"Aku tidak mau pulang sama Rexilan, Bang. Seana baru saja datang dan." Dia melirik kesal Rexilan. "Pokoknya aku tidak mau pulang dengan dia."
"Baiklah," ujar Syan, "kalau begitu tadi kau datang bersama siapa? Temannya Rexilan, 'kan? Kamu bisa pulang bareng dengan dia. Tapi ... aku tidak melihat jejak kedatangannya."
Syan menatap ke sekitar. Batang hidung Otniel tidak nampak di mana pun. Lalu dia beralih memandang Rexilan yang kini balas menatapnya.
"Dia pasti sudah pulang. Seana bisa ikut aku. Ayo Seana."
Tanpa menunggu jawaban Seana. Rexian berlalu meninggalkan koridor ruang rawat inap. Seana— beralih menatap Syan dengan raut cemberut. Tentu saja, ia menolak untuk pulang bareng si Yue.
"Abang tidak ingin kau di sini. Besok kan hari minggu. Kau bisa datang lagi di sini menggantikan Abang berjaga."
Syan kembali menepuk pelan pucuk kepala Seana. Tidak semua harus berjaga bersama. Lagi pula, Syan tidak ingin membuat sang adik menjadi terus-menerus merasa sedih kalau berada di rumah sakit.
Yuri menggenggam erat pergelangan telapak Syan. Saat bayangan Seana mulai menjauh. Sang kekasih pun melakukan hal yang sama pada Yuri dengan mengelus pucuk kepalanya.
"Jika kau mau pulang pun tak apa."
Yuri menggeleng.
"Tentu saja tidak," tolak Yuri, "aku akan di sini sampai Mama keluar dari rumah sakit. Aku tidak ingin meninggalkanmu."
Syan tersenyum lembut. Ia pun kembali menyandarkan kepalanya pada bahu Yuri. Lalu tatapan matanya menerawang jauh.
Semua akan baik-baik saja.
__/_/_/_____
Bersambung...
Sepertinya chapter ini agak gajeಥ⌣ಥ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro