Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Pukul Empat Sore


Laut pasang; kita dan gelora kalbu

Kelakar Dunia
Lembaran ketiga, halaman terakhir

________

"Vera,"

Langkah perempuan itu berhenti ketika mendengar suara khas ayahnya memanggil namanya. Dia menoleh; melirik ke arah sang ayah dengan pandangan bertanya.

"Kakakmu pulang jam berapa?" Halilintar melanjutkan kalimatnya begitu sang anak menaruh perhatian padanya.

".... Kurang tahu, kayaknya hari ini Kakak ada pendalaman materi. Kan sudah kelas akhir."

"Oh,"

"Memangnya kenapa, Yah?"

Pertanyaan dari Vera tidak dijawab. Halilintar hanya melangkah pergi dari hadapan putrinya menuju ke ruang tamu. Sebelum benar-benar Halilintar sampai di ruang tamu, Vera kembali bersuara kepada ayahnya.

"Kalau konteksnya Ayah mau bicarain baik-baik sama Kak Sena, coba jemput Kak Sena aja. Setauku biasanya kalau ada pendalaman materi pulang jam empat sore."

Lantas, Halilintar berhenti melangkah. Matanya melirik ke arah jam yang ada di dekatnya, masih pukul tiga lewat lima belas menit. Setidaknya, Halilintar memiliki 45 menit untuk siap-siap dan pergi menuju sekolah putranya.

"Kenapa kamu malah langsung berpikir ke arah sana?"

"... Soalnya 'effort' Ayah buat baikan sama Kak Sena keliatan banget akhir-akhir ini."

"Masa?"

Vera mengangguk, "Nggak usah pura-pura nggak sadar gitu. Satu rumah juga tau Ayah lagi usaha buat baikan sama Kak Sena, bahkan Kak Sena juga tau. Mending sekarang Ayah siap-siap buat jemput Kak Sena aja, biasanya bisa pulang lebih cepat."

"...."

_______

(ini scene dari buku satu-kesatuan btw, aku pindah bentar, kalo di sana gantung, di sini enggak)

Va, lo udah dijemput."

Arva mengerutkan keningnya bingung, selama ini dia selalu pulang sendiri, tidak pernah dijemput. Kenapa tiba-tiba temannya berkata jika ia dijemput?

"Siapa? Yakin gue? Gak salah orang lo?"

"... Ya, iya? Lo ga sih? Soalnya tadi ada Bapak-Bapak cakep nanyain lo udah kelar atau belum."

"... Hah? Ngawur. Nggak mungkin."

"EH ASLI BENERAN ANJIRR, LO CEK SENDIRI KALO GAK PERCAYA! TUH DI DEPAN SEKOLAH."

Lantas, Arva bangun dari duduknya. Ia berjalan keluar kelas dengan tasnya menuju ke arah depan sekolah. Sampai di sana pun, ia tak melihat orang itu tuh.

"... Tuh kan, ngawu―"

"―Udah kelar, Sena?"

Omongan Arva terputus begitu suara yang lebih berat darinya terdengar. Dia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya ― Halilintar ― sedang bersandar di tembok sekolah.

"... Dunia mau bercanda??"

"Ayo pulang."

"Hah?"

"Kenapa 'Hah'?"

"Ayah ngapain jemput?"

"... Gak boleh?"

"... Gapapa sih. Aneh aja. Kan biasanya sibuk."

"... Hari ini Ayah gak sibuk. Makanya, Ayah bisa jemput kamu."

"Tapi aku bawa motor, Yah."

"Ayah bawa mobil. Dimasukin ke dalam mobil aja, Sena. Ayo ke parkiran motor dulu kalo gitu." Halilintar mengulurkan tangan kanannya kepada Arva, bermaksud untuk meminta izin menggandengnya―walau ditepis oleh Arva.

"Aku bukan anak kecil lagi, Yah."

"Oh ya? Sejak kapan?"

"Sejak umur sembilan tahun."

"...."

Halilintar tau ke arah mana pembicaraan ini. Lantas, pria itu membuang napasnya pelan sebelum kembali menatap anaknya.

"Sebenarnya, masukin motor ke dalam mobil agak mustahil. Motormu ditinggal dulu di sekolah, nggak apa?"

Arva mengerutkan keningnya bingung, "Emang mau ngapain, sih, Yah?"

"Ikut dulu," Halilintar kembali mengulurkan tangannya pada Arva. Tangan itu hanya diperhatikan oleh sang putra, sebelum akhirnya dia mengembuskan napas kasar dan menerima uluran tangan ayahnya; seperti anak kecil.

"Jangan ajak aku jalan-jalan, aku sibuk."

"Ayah tau."

Tidak ada percakapan kali di antara mereka. Keduanya fokus jalan menuju mobil Halilintar yang diparkirkan di dekat sekolah. Sampai di mobil pun, keduanya tetap diam. Hanya ada suara mesin mobil menyala yang menyelimuti keheningan mereka.

"... Ayah nggak ajak jalan-jalan, tapi mutar-mutar kota dulu sebentar, boleh?"

Kali ini, nada Halilintar terdengar sangat lembut.

"... Terserah."

'Terserah' saja sudah menjadi jawaban cukup untuk Halilintar. Sekilas, pria itu melukis senyum leganya sebelum mulai menyetir mobilnya.

"Ayah mau omongin semuanya biar jelas,"

"Omongin apa?"

".... Sembilan tahun."

Mendengar dua kata itu saja, Arva langsung tau ke mana ayahnya akan berbicara.

"Intinya Ayah sibuk. Itu, 'kan?"

Halilintar tidak bisa mengelak. Memang benar, dia sangat sibuk waktu itu. Sampai-sampai membuat kesalahan pada keluarganya dan berakhir salah paham berkelanjutan.

"Ayah tau, Ayah salah."

"Memang."

"Iya, bener, Ayah waktu itu kelihatan nggak peduli dan selalu di kant―"

"―memang."

Halilintar mengehela napasnya pelan ketika omongannya diputus oleh sang putra.

"Ayah ngelewatin ulang tahunmu yang―"

"―Delapan dan sembilan, memang."

"... Terus Ayah jug―"

"―memang."

"Nawasena."

Lantas, Arvanda Nawasena langsung membungkam mulutnya begitu nama akhirnya disebut oleh sang ayah. Dia bisa merasakan aura intimidasi yang dikeluarkan oleh ayahnya ketika ayahnya menyebutkan nama akhirnya.

"Maaf." Ujarnya.

Halilintar menghela napasnya sekali lagi. Dia menyadari bahwasanya tadi dia sedikit mengintimidasi putranya yang sedang kesal dengannya.

"Nggak, Ayah yang kelepasan."

"...."

"Ayah mau ngomong, tolong jangan diputus. Sebentar aja."

Akhirnya, ucapan itu diangguki oleh Arva.

"... Ayah tahu, Ayah nggak bisa ubah apa yang udah terjadi. Pun, sikap Ayah memang nggak bisa dibenarkan waktu itu. Ayah nyebelin waktu itu nggak cuma di mata kamu, tapi di mata Bunda dan Om Upan juga. Mungkin Om yang lain pun juga ngerasa Ayah nyebelin banget waktu itu," Halilintar menjedanya.

"... Secara, ya, Ayah jarang pulang, Ayah fokus di kantor setelah kena tipu lebih dari ratusan juta. Terus Ayah ngelewatin ulang tahun kamu, Ara, dan Vera. Waktu kamu di rumah sakit pun... Ayah nggak ada buat kamu, tapi seenggaknya Ayah bisa jenguk kamu sekali."

".... Hah?" Arva menoleh ke arah Halilintar ketika mendengar kata 'jenguk' di ucapan Halilintar.

"Apa?"

"Jenguk??"

Bibir atas Halilintar sedikit terangkat. Paham bahwasanya putranya merasa bingung dengan persoalan yang satu ini.

"... Ayah sempat jenguk kamu sekali, pas kamu udah tidur. Itu sekitar jam tiga pagi."

"Nggak usah bohong,"

"Ayah serius. Pernah Ayah bohong pas lagi ngobrol kayak begini?"

Lantas, sekali lagi Arvanda Nawasena membungkam mulutnya.

"Lanjut,"

Halilintar kembali fokus menyetir, ia memelankan kecepatan mobilnya sebelum kembali berbicara.

"Ayah nggak pernah punya pemikiran mau buang Sena. Ayah nggak pernah punya niat buat nggak perhatiin Sena. Ayah selalu perhatiin semuanya, Sena. Cuma Ayah memperhatikan segalanya dari jauh. Kayak Bundamu atau Adikmu, mereka Ayah jaga dari jauh. Ayah bukan Om Taufan yang pintar mengungkapkan sesuatu, Ayah juga bukan Om Gempa yang pintar dan tepat dalam mengambil keputusan, Ayah, ya... Ayah.

Ayah lebih sering mengambil keputusan secara cepat tanpa dipikir dua kali terlebih dahulu. Alias, Ayah gegabah. Keputusan Ayah waktu itu juga termasuk gegabah. Kalau ditanya menyesal apa nggak, Ayah menyesal. Mungkin Sena pikir, Ayah nggak pernah peduli sama Sena; atau Om Upan jauh lebih peduli dan jadi sosok Ayah pengganti buat Sena. Cuma... Ayah cuma pengin Sena tau, Om Upan pun begitu karena ada pesan dari Ayah."

Lagi, laki-laki berusia delapan belas tahun itu mengerutkan keningnya bingung, "Maksudnya?"

"Ayah nggak jago dalam mengungkapkan perasaan, jadi Ayah minta Om Upan untuk menjadi perantara. Cuma lama-lama, Om mu itu jadi kesal juga."

"...."

Arva tidak menjawab lagi, dia memalingkan wajahnya dan menatap ke arah jendela mobil yang menampilkan pemandangan kota.

Melihat anaknya yang tak ada tanda akan bersuara, Halilintar kembali mengangkat suaranya. Cukup melelahkan sebenarnya (bagi Halilintar), tapi segalanya harus diluruskan.

"Sena, Ayah minta maaf."

Akhirnya, kata itu kembali diucapkan oleh Halilintar.

"...."

"Misal kata Sena nggak mau maafin sekarang, beosk-besoknya Ayah bakal tetap minta maaf ke Sena."

"Kenapa cuma ke aku? Bunda? Ara? Vera?"

"... Ayah sudah minta maaf."

"Dimaafin?"

"Iya."

Dari situ saja Arva paham, di antara mereka semua, dia lah yang masih tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Masalahnya bukan lagi pada Halilintar, tapi pada Arva; apakah mau berdamai atau tidak.

".... Tolong kasih aku waktu, ya."

Pada akhirnya pun, kalimat itu diucapkan oleh Arvanda Nawasena; tanda dirinya mulai mencoba untuk berdamai.

Halilintar melukis senyum kecil, sedikit bahagia dengan jawaban putranya. Dia mengangguk mengerti dan memutar balik mobilnya.

"Ayo pulang, Sena."

"... Motorku gimana?"

"... Oh, iya."

_______

END

aku cuma mau memperingatkan;

Setiap keluarga punya masalahnya masing-masing, pun punya jalan keluarnya masing-masing. Tanggung jawab seorang ayah itu besar, pengorbanan seorang ibu besar, dan jalan mimpi seorang anak pun panjang.

Setiap anak yang lahir nggak bisa meminta ingin dilahirkan dari keluarga seperti apa, tapi suatu saat nanti, mereka bisa memilih ingin menjadi orang tua seperti apa.

Jangan lupa, komunikasi itu penting, kita makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendirian. Mungkin saat ini kita berpikir kita bisa jaga diri sendiri dan nggak apa sendiri, tapi di hari tua nanti, siapa yang bakal jaga kita ketika ada apa-apa? Makanya ada baiknya, kita menjalin hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita. Jangan jadikan extrovert dan introvert sebagai timbangan ataupun alasan ketidakberdayaan kalian dalam berkomunikasi. Kalian itu bisa; kita semua bisa. Tinggal dari kitanya saja apakah mau untuk berkomunikasi atau tidak.

Tetap semangat, ya!

selamat berpuasa guys dan jangan lupa nanti aku publish bbb ori 👀 beda universe ya tapi ges. terima kasih banyak udah baca buku ini dari chapter awal sampe akhir, aku apresiasi kalian semua. maaf aku mulai jarang interaksi, aku mulai sibuk. tapi akan selalu kuusahakan untuk kalian, ya! love you all ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro