04. Pukul Sembilan Malam
Aku menari di lingkaran dosa yang berjujai,
tapi juga berharap sebuah kusala dari semesta.
Aku dibungkam oleh adiwira tanpa aswa,
tapi aku tetap setiawan baswara untuk adipati tanpa harsa.
Kelakar Dunia
Lembaran kedua, halaman kedua.
Berkenan membaca dari sudut pandang dara tanpa warna? Sebab, saya ingin bercerita perihal naskah yang ditulis tangan oleh semesta dan Tuhannya. ― Ara Arutala
____
"Urusanku sudah selesai, [Name]."
Waktu itu, saya dan Vera masih berusia tujuh tahun, sedangkan kakak sudah berusia sepuluh tahun. Saya sudah mendengar tentang apa yang telah terjadi di dalam keluarga saya. Namun, saya tidak pernah peduli. Saya hanya melihat dan mendengar dari jauh bersama Vera. Karena menurut saya, urusan ini bukanlah sebuah perkara yang harus saya tanggung.
Ketika kakak kembali dari rumah sakit, sebuah perubahan tentang dirinya itu sedikit saya rasakan. Seperti bagaimana dia kini lebih suka mengurung diri di kamar atau jadi tidak sering makan, saya bisa merasakannya. Saya pikir, perubahan mendadak milik kakak ada hubungannya dengan ayah, tapi, saya tidak peduli.
"Oh, gitu...? Jadi sekarang, waktumu ada untuk kami?"
Ibu saya memperlihatkan wajah senangnya ketika ayah berkata bahwasanya kini dia bisa menghabiskan waktu dengan keluarganya. Vera pun tampak senang, bahkan kakak yang berada di ruang tamu sedikit tersentak dan menoleh dengan malu-malu. Namun, saya sendiri tidak peduli. Saya yang waktu itu berusia tujuh tahun hanya melanjutkan aktivitas saya sementara Vera berlari ke arah orang tua kami.
Mau bagaimanapun, saya saat itu benar-benar tidak peduli. Rasa peduli saya jika digambarkan dengan skala dari satu sampai sepuluh, mungkin hanya dua. Ya... Astaga, bagaimana bisa saya peduli sedangkan semesta sendiri asyik berkelakar tanpa memedulikan saya? Itu aneh.
Memang benar, setelah itu ayah semakin sering menghabiskan waktu di rumah bersama kami. Namun, kakak saya tampak tidak menikmati waktunya tiap kali eksistensi ayah ada di rumah. Secara tiba-tiba, kakak saya akan tantrum dan membanting pintu kamarnya kala melihat ayah berada di rumah.
Saya pikir, masalah mereka berdua lebih rumit dari yang saya dengar. Namun, lagi-lagi saya tidak peduli. Saya saja kini sangat kesulitan untuk melihat warna-warni dunia, lantas bagaimana bisa saya melihat dan mengawasi permasalahan orang? Aneh.
Dunia saya sejak kecil sangat kecil, hitam, putih, abu, tapi menenangkan. Mungkin memang benar, saya kesulitan dalam melihat dunia karena semuanya hanyalah hitam, putih, atau mungkin abu. Namun, diam-diam saya menikmatinya. Saya menikmati hidup saya yang terlahir sebagai perempuan buta warna.
Ah, jangan salah; saya masih mendambakan kusala dari semesta.
Kembali lagi pada pembahasan utama, melihat sikap kakak saya yang seperti itu, ayah saya sangat kecewa, tapi ibu saya bergegas menenangkan dengan berkata,
"Sudah, enggak apa-apa. Anak sulung kita mungkin mulai memasuki tahap pubertasnya; tahap memberontaknya."
Syukurnya, ucapan ibu saya menenangkan sedikit ayah saya yang kelihatannya kecewa (Saya tidak pandai menggambarkan bentuk rasa orang lain. Saya minta maaf karena sangat buruk dalam mengungkapkannya). Namun tidak lama, ayah kembali bersuara.
"Gimana caranya biar Sena bisa paham sedikit, ya, [Name]?" lantas, ibu saya membuat ekspresi kebingungan. "Menurutku... Sena bukannya nggak paham, tapi Sena marah karena perlakuanmu ke dia waktu masa sibuk."
Lantas, ayah saya menghela napasnya. Ini pertama kalinya saya melihat ayah terlihat begitu tidak ada harapan. Padahal, ayah bukan tipe yang seperti itu.
"Sudah, dipikirin besok aja. Sudah jam sembilan malam, nih. Istirahat dulu, Hali."
Entah bagaimana, saya pikir waktu itu orang tua saya tidak sadar kalau saya masih ada di dekat mereka. Ternyata mereka menyadarinya dan saya langsung diangkat oleh ayah saya.
"Sudah jam sembilan kenapa nggak pergi ke kamarmu, Ara?"
Nada bertanya ayah sangat galak, seperti ingin memangsa hewan kecil. Namun, saya tidak takut. Saya menatap ayah saya tanpa rasa apapun.
"Masih ada urusan."
"Memangnya bocah punya urusan?"
"Punya, tuh."
"Heleh,"
Ibu saya tertawa dari kejauhan, sedangkan ayah saya mendekap saya sembari menepuk punggung saya. Astaga... Saya merasa bodoh kalau diingat lagi apa yang saya katakan setelah itu.
"Ayah dibenci Kak Sena, ya?"
Dengan bodohnya, waktu itu saya mengeluarkan pertanyaan itu.
".... Kok berpikir seperti itu?"
"Kelihatan, Yah."
"... Begitu, ya?"
Ibu saya membereskan urusan di dapur, sementara saya masih didekap oleh ayah dan dibawa pergi menuju kamar yang biasa saya tempati.
"Iya. Kalau aku jadi Kak Sena, aku juga bakal begitu."
"Benci Ayah maksudnya?"
"Iya. Aku juga pasti nggak betah lihat Ayah ada di rumah. Sama seperti Kak Sena, aku pasti milih masuk ke dalam kamar. Cuma kan... Aku juga gatau sih Ayah ngapain ke Kak Sena sampe Kak Sena sebegitunya."
Ayah saya menghela napas ketika mendengar penjelasan saya yang waktu itu berusia tujuh tahun. "Bocah jangan asal ngomong,"
"Aku nggak asal ngomong. Aku cuma mau kasih tau aja.... Siapa tau bisa kasih saran."
"Terus? Kalo memang benar Ara bisa kasih saran, menurut Ara Ayah harus apa biar Kak Sena mau beraktivitas kayak dulu lagi?"
Nah, di sinilah rasa menyesal saya. Andai kata waktu itu saya tidak memberi saran... Mungkin hubungan kakak dengan ayah tidak akan menjadi seperti ini.
"Hmm... Kenapa Ayah nggak pergi, aja?"
"... Maksudnya?"
"Itu... Ayah jangan sering pulang ke rumah. Kak Sena gak mau keluar karena ada Ayah di rumah. Ayah nggak usah pulang aja biar Kak Sena mau keluar."
".... Mungkin bakal Ayah coba."
Bodohnya, saran itu dipakai oleh ayah saya. Esok dan esoknya, ayah jadi jarang pulang, tapi memang benar; kakak saya jadi lebih sering keluar kamar. Namun, mulutnya terus mendecak tiap kali mendapati kursi yang biasa ayah duduki di ruang makan kosong.
Saya pikir, saran saya malah mengundang kesalahpahaman. Dengan perginya ayah dan jarangnya ayah di rumah, kakak saya berpikir ayah kembali sibuk dan tidak memiliki waktu di rumah untuk kami. Sedangkan dari ayah sendiri, dengan pergi dan jarangnya dia di rumah, ayah berpikir kakak saya lebih menyukai dan lebih tenang dengan hal itu.
Oleh karena itu, ayah selalu pulang larut malam. Karena menurut ayah, kakak saya akan marah jika dia pulang ketika belum waktunya jam tidur kami. Bahkan, terkadang ayah rela tidak pulang ketika tahu kakak masih bangun pada larut malam.
Saya menyesal, saran itu dari saya. Andai kata waktu itu saya tetap tidak peduli dan tidak ikut campur, kesalahpahaman ini tidak akan terjadi. Saya minta maaf.
Konflik ayah dan kakak seharusnya selesai ketika kakak berusia sepuluh tahun. Hanya saja... karena saran dari saya... semuanya jadi berlanjut hingga kini. Saya minta maaf.
_____
haloo aku kembalik maaf yah hdhshhs aku lupa banget kemariin 😭😭
Akhirnya tinggal satu bab lagi terus ke bbb ori 🧎♀️ cuma bbb ori beda universe ya guys! nanti universenya ada sendiri. karena itu juga, mungkin buku fang dan kaizo bakal ada?? hmmm 🤭🤭🤭
ada yang mau ditanyain??
dadaah!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro