Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Pukul Enam Sore

Aku adalah atma tanpa suara,
yang diselamatkan oleh adiwira tanpa aswa.

Aku adalah raga tanpa harsa,
yang melahirkan adiwira baru dengan harsa.

Kelakar Dunia
Lembaran kedua, halaman pertama

― Bunda [Name]

_______

Seumur hidupnya sebagai ibu dan seorang istri, [Name] tidak tahu bagaimana cara membalas budi adiwiranya. Bahkan dalam kondisi seperti ini, [Name] tidak tahu dia harus bertindak seperti apa.

Dia tahu, dia sudah dewasa. Dia berhak dan harus menyuarakan hak anak-anaknya pada sang suami, Halilintar. Namun, [Name] memilih bungkam.  Matanya tidak lagi tertutup seperti dahulu, tapi khusus kali ini dia memilih untuk tutup mata.

Dia tahu, bagaimana tersiksanya tiga anaknya membutuhkan eksistensi Halilintar sebagai seorang ayah. Namun, [Name] memilih tutup mata. Kala anak-anaknya merengek meminta ayah mereka kembali, [Name] hanya akan memeluk anak-anaknya dan menepuk punggungnya pelan sembari berkata, "Sabar, ya. Ayah bakal pulang. Ayah lagi sibuk... tapi Ayah tetap ingat kalian, oke?"

Mungkin [Name] selalu menenangkan anak-anaknya, tapi [Name] tidak pernah mau menyuarakan isi hatinya beserta isi hati anak-anaknya kepada Halilintar.

Menurut [Name], dia tidak pantas mengganggu Halilintar di saat seperti ini setelah apa yang Halilintar berikan padanya. Dia tidak bisa apa-apa selain menunggu dan terus menenangkan anak-anaknya.

Halilintar memberikannya sebuah biaya untuk penglihatannya, memberikannya rumah yang benar-benar rumah, memberikannya harsa seluas dan sedalam samudra padanya yang kala itu hanyalah sebatang kara. Bagaimana bisa [Name] protes dan menentang Halilintar setelah apa yang Halilintar berikan?

[Name] menyadari, dia menjadi sangat keras kepala dan mulai berargumen dengan Halilintar beberapa hari terakhir ini. Puncaknya ketika sulung mereka berada di rumah sakit karena jatuh dari tangga. Sedikit demi sedikit, atma tanpa suara yang selalu terikat dengannya mulai mengeluarkan suara; suara amukan; amarah. Apalah itu, [Name] tidak bisa memahaminya.

Namun, sore ini dia sedikit lega karena setelah lamanya Halilintar pulang terlambat atau bahkan tidak pulang, akhirnya hari ini ketika waktu mendekati pukul enam sore dia pulang.

[Name] membuka pintu rumah lebar mempersilakan Halilintar untuk masuk, di luar sedang hujan, tidak terlihat senja yang biasa menjadi hiburan anak pada zaman sekarang.

"Sudah nggak begitu sibuk?" Ujarnya begitu Halilintar memasuki rumah dan membuka kemejanya.

Halilintar hanya melirik [Name] sekilas, sebelum akhirnya dia mengangguk tapi tak lama menggeleng. [Name] tahu, Halilintar pun bingung bagaimana dia harus menjawab.

"Dua hari yang lalu aku jenguk Sena," Halilintar membuka percakapan.

"... Apa?"

"Jam tiga pagi, aku jenguk Sena."

[Name] mengernyitkan keningnya, "Memangnya boleh jenguk jam segitu?"

"Statusku kan Ayahnya, bukan penjenguk."

Benar juga, lantas, [Name] hanya mengangguk dan membantu mengarahkan suaminya menuju kamar mandi.

"Mandi dulu, baru kita obrolin semuanya."

Untuk pertama kalinya, Halilintar mengiyakan ucapan [Name] yang mengajaknya berdiskusi. Padahal biasanya, laki-laki itu hanya akan diam seolah menolak.

Tidak butuh waktu lama untuk Halilintar menjadi harum dan bersih. Kini pria itu sudah berada di kamar bersama dengan sang istri yang sedang duduk di pinggiran ranjang. Dia menghela nafas pelan dan ikut duduk di sampingnya.

"Mau bahas apa?"

Lantas, [Name] menatap Halilintar dengan takut-takut.

"Itu... Arva, Ara, dan Vera."

Halilintar mengernyitkan keningnya tak mengerti, "Mereka kenapa?" ia dengan gampangnya melemparkan pertanyaan tidak masuk akal―menurut [Name]―pada istrinya.

"Kamu masih nanya kenapa...? Astaga... anak-anak rindu kamu, Halilintar. Mereka dari kemarin cari kamu terus. Sudah hampir sebulan kamu bener-bener hampir gak ada interaksi sama anak-anak. Tau gak? Kemarin Ara sama Vera cerita ada lomba lari tapi bareng ayah. Kebanyakan teman-teman mereka ikut, tapi mereka gak ikut karena kamu, Hali. Padahal Ara kepengen banget dari dulu ikut itu."

"... Bisa ikut tahun depan, kan?"

[Name] menatapnya sebal, dia tidak suka bagaimana Halilintar mengambil keputusan dengan cepat tanpa bertanya yang lain dulu. Ini memang sifat buruk Halilintar dari dulu.

Halilintar yang melihat istrinya sebal pun menghela nafas pelan. Dia melingkarkan kedua tangannya di pinggang istrinya dan menaruh wajahnya di bahu istrinya. Mencoba untuk memenangkan sang istri yang sebal karenanya.

"Aku tau, kamu sebal, kamu marah. Kamu marah karena aku 'kelihatan' hampir lupa sama kewajibanku sebagai seorang ayah."

"Kalo sudah tau, kenapa masih dilanjutin?"

Halilintar menghela nafasnya pelan, dia sedikit mendorong tubuh istrinya hingga kini istrinya berbaring di atas ranjang. "Aku sudah berapa kali bilang? Aku juga terpaksa karena keadaan, [Name]."

[Name] yang menyadari aksi Halilintar langsung memutar kedua bola matanya malas. Dia tahu ke arah mana Halilintar akan beraksi. Namun, dia juga tidak menolak. Dia memudahkan akses Halilintar dengan menggeser tubuhnya ke tengah ranjang.

"Terus? Kita harus pahamin kamu terus? Sesekali tolong gantian pahamin kita, Hali."

[Name] sedikit menggeliat kala Halilintar yang berada di atasnya kini menurunkan wajahnya dan rambutnya mengenai daerah sensitif pada bagian leher [Name]. Perempuan itu sedikit menahan nafasnya ketika ia bisa merasakan bagaimana nafas panas suaminya di lehernya.

Halilintar menautkan jari-jarinya pada jari-jari [Name], dia menatap wajah [Name] lembut tapi juga diiringi dengan tatapan kurang setuju. "Aku selalu berusaha untuk pahamin kalian, [Name]." Ujarnya sebelum melayangkan kecup pada leher sang istri.

"Ha―" Nafasnya tercekat begitu merasakan tekstur yang sudah lama ia rindukan kini berada di lehernya. [Name] melihat jam yang berada di kamarnya, sebelum akhirnya terkekeh dan menghela nafas.

Sudah pukul enam sore. Waktu favorit 'tidak sengaja' mereka pada zaman awal menikah, pada awal dia baru bisa melihat dunia, pada saat anak-anaknya masih digenggam dengan lembut oleh Halilintar.

"Aku tau mungkin kamu sebal, tapi kali ini bisa tolong untuk diam? Dalam kondisi begini, aku nggak bisa diganggu, [Name]. Aku butuh waktu sendiri juga."

Walau Halilintar gencar memberinya serangan terus menerus pada tubuhnya, tapi [Name] tetap menahannya seakan tidak mau membawa ini terlalu jauh, padahal ini pukul enam sore; waktu favorit mereka.

"Mau sampe hah--jaghan gigit- kapan taphi-- Hali," Ujarnya sembari menahan kepala Halilintar untuk tidak membawanya lebih jauh.

"Sedikit lagi, tolong."

[Name] menggeleng tidak terima, dia menahan kepala Halilintar dan mendorongnya sehingga kini dia bisa kembali bertatapan dengan Halilintar.

"Kamu bilang gitu terus, tapi hasilnya selalu ditunda."

"Aku cuma―"

"―Sekali aja pernah gak sih kamu coba buat mengerti perasaan anak-anak? Kalau kayak gini yang hancur gak cuma anak-anak, tapi aku juga hancur, Hali."

Sesaat, Halilintar tidak menjawab. Namun, ucapan [Name] selanjutnya membuat Halilintar sedikit sebal dan mendorongnya kembali di atas ranjang.

"Kamu ngehancurin semuanya, Halilintar."

Omongan itu ... omongan yang sama yang diucapkan oleh salah satu adiknya pada saat mereka masih berada di jenjang SMA.

"Lo ngehancurin segalanya, Bang Hali."

___________

Kalau ditanya apa penyesalan terbesar [Name], maka jawaban [Name] adalah gagal menjadi seorang ibu dan seorang istri. Kalau ditanya apa penyesalan selama menjalani rumah tangga, maka jawaban [Name] adalah bagaimana dia menurunkan penyakit-penyakit pada anak kembarnya ketika melahirkan mereka, bagaimana dia gagal menemani sulungnya ketika sedang hancur-hancurnya, dan bagaimana dia gagal meyakinkan dan menenangkan suaminya pada pukul enam sore.

___________

Apakah ada yang expect aku bakal menaruh sedikit bumbu yang berbeda di sini?

sebenarnya itu scene tempat tidur juga tiba-tiba banget sih, cuma ya kalo dipikir... dulu kan mereka memang rutin... alias name ini pejuang garis dua. terus ya, kalo kalian perhatiin, mereka tuh selalu gitu secara gak sengaja tiap hampir deketin sore atau mulai malam.

makanya, nem agak ketawa kecil karena tiba-tiba inget aja dulu mereka sering banget berakhir begitu tiap jam segitu.

ada yang mau ditanyain?

selamat malming!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro