Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Pukul Tiga Pagi


Kepada semesta aku berteriak,
kepada-Nya hatiku bertaut.

Di sini, aku menangis pilu bersama takdir,
di sana, kamu tertawa atas kelakar dunia.

Kelakar Dunia
Lembaran pertama, halaman kedua.

________

"Arva, makan dulu."

Arva menghela napasnya pelan, dia menatap tidak nafsu pada makanan rumah sakit yang sudah disiapkan oleh ibunya untuk disuapkan padanya. Perihal rumah sakit, bocah yang belum genap sepuluh tahun ini jatuh dari tangga kemarin hari. Oleh karena itu, kini dia dirawat di ruang inap rumah sakit.

"Nggak, aku mau makan kalo Ayah dateng."

[Name], sang ibu, menggelengkan kepalanya pelan. Anaknya ini sangat keras kepala dan sangat berpendirian. Kalau dia bilang A, ya harus A. Kalau dia bilang B, ya harus B.

"Nungguin Ayah dateng itu kelamaan ... makan sama Bunda aja, ya? Nanti Om Upan dateng, loh. Sebentar lagi jam satu siang, Bunda harus jemput dua adikmu dulu."

"Ya sudah, Bunda jemput aja mereka. Nanti aku makan pas Ayah dateng. Titik."

"Arva...."

"Shuh, shuh. Bunda nggak usah khawatirin aku. Aku bakal makan nanti."

Bukannya bagaimana, [Name] khawatir karena tahu suaminya pasti tidak akan datang menjenguk si sulung dengan alasan sibuk. Kemarin hari, mereka sedikit berargumen tentang ini setelah anak-anak tidur dengan lelap, tapi kesimpulan dan titik terangnya belum berhasil ditemukan.

"Duh, Arva... makan dulu, deh. Satu suap aja, ya? Seenggaknya Bunda suapin kamu sesuap, deh."

Akhirnya, bocah lelaki itu mengangguk dan membuka mulutnya. Membuat [Name] jadi merasa lega dan mulai menyuapi anak sulungnya.

"Tuh, udah. Sekarang shuh, aku bisa sendiri."

[Name] terkekeh pelan, benar-benar ya anaknya ini... [Name] sudah bingung harus bagaimana lagi selain mengiyakan.

"Tapi nanti pas Om Upan dateng jangan lupa makannya dilanjutin, ya?"

"Kok Om Upan, sih? Kan aku maunya Ayah."

Tidak ada jawaban, sang ibu hanya menampilkan tawa sebelum dia berdiri dan mengambil tasnya. Dia sedang dikejar waktu saat ini; ada dua perempuan yang harus dia jemput.

"Bunda tinggal dulu, ya."

"Iya. Hati-hati, Bun."

"Arva juga, hati-hati sampai Om Upan dateng, oke? Om Upan katanya lima menit lagi sampe. Mungkin ngaret dikit jadi lima belas menit."

"Oke."

Setelahnya, [Name] keluar dari ruang inap yang ditempati oleh anaknya. Dia melangkah ke arah lift bersiap untuk menjemput dua anaknya yang lain.

---

Perkiraan [Name] benar, Taufan baru datang setelah lima belas menit lamanya Arva menunggu. Kala Taufan datang, Arva hanya menampilkan wajah sebal, sedangkan Taufan hanya terkekeh.

"Om Upan lama, ya?" tanya Taufan.

"Iyalah!"

Lantas, Taufan terkekeh geli dan menaruh barang bawaannya di atas meja. Ada baju ganti Arva yang ia bawa dari rumah Arva dan ada buah dari istrinya.

"Sudah makan belum?"

"Sesuap doang,"

Taufan mengerutkan keningnya, "Kok cuma sesuap? Kamu gak nafsu atau gimana?"

"Awalnya karena aku maunya disuapin sama Ayah, tapi karena Om Upan dateng aku jadi gak nafsu makan."

"Kurang ajar!" Taufan tidak terima, tapi tak lama dia menyadari ucapan Arva yang menyebutkan Halilintar. Taufan tahu, Halilintar tidak akan datang karena saat ini dia sedang rapat serta sibuk sesibuk-sibuknya.

Mau bagaimana pun, mereka habis rugi banyak. Tanyalah pada Halilintar yang terkena penipuan dengan nominal besar. Ya, di situ ada kesalahan dari Taufan dan Solar juga, sih.

"Kenapa harus nunggu Ayah?"

"Ayah bakal dateng, kan?"

"...." Taufan menampilkan senyum khasnya sebelum duduk di hadapan Arva dan mengambil piring berisi makanan rumah sakit milik Arva.

"Sini, sama Om Upan aja mamnya."

"Ogah!"

"YAELAH KENAPA SIH,"

"AKU GAK NAFSU MAKAN KARENA OM UPAN."

"MAKSUD??"

Arva tidak menjawab lagi, dia menyilangkan kedua tangannya sebelum merasakan perutnya berbunyi karena lapar. Oke, Arva akui jika ia tidak makan karena menunggu Halilintar, dia akan sangat kelaparan. Oleh karena itu, sebuah penawaran datang di kepalanya.

"Om Upan, gini, deh."

"Apa?"

"Aku mau makan sama Om Upan, tapi Om Upan telpon Ayah. Bisa?"

"... Hah, buat apa?"

"Buat mastiin Ayah bakal dateng atau enggak."

"Eh, harus banget nih?"

"Om Upan mau aku mati?"

"HEH MULUT,"

Taufan menjitak kepala ponakannya pelan, sedikit terkejut kala mendengar ucapan itu keluar dari mulut bocah yang belum genap sepuluh tahun.

"Oke, Om Upan coba telpon."

Akhirnya, Taufan berdiri dan keluar dari ruang inap Arva, karena ia tahu pasti akan ada pembahasan yang Arva tidak perlu dengar. Entah apalah itu.

Saat dicoba untuk ditelpon, Halilintar mengangkatnya. Membuat Taufan sedikit merasa lega dan memulai percakapan.

"Bang, kapan ke sini?"

"... Nggak tau."

"Bang, ini anak lo udah kelaperan demi nungguin lo. Dia minta lo buat yang nyuapin dia."

"Gue sibuk, Fan. Lo atur aja dah."

"Lah, lo bapaknya."

"Tapi gue beneran nggak bisa. Gue nggak tau kapan kerjaan gue ini kelar."

"... Gimana, sih, Bang? Kerjaan lebih penting daripada keluarga sendiri?"

"... Gue sibuk."

Mendengar jawaban Halilintar, Taufan mendecak sebal.

"Lo jadi mirip Ayah. Lo selalu bilang gak mau jadi kayak Ayah dan gak suka dimiripin sama Ayah, tapi nyatanya? Lo malah jadi kayak dia, Bang. Arva malah jadi kayak lo. Oke deh, lo gak terima lo di masa lalu harus jadi sulung dari tujuh bersaudara dengan Ayah yang keberadaannya gak kayak Ayah. Cuma, harus banget anak lo juga ngerasa kayak gitu, Bang? Lo mau balas dendam juga karena lo dulu dapat perlakuan kayak gitu?"

Habis sudah kesabaran Taufan selama ini.

"... Sena itu mandiri."

Setelahnya, telpon ditutup oleh Halilintar. Membuat emosi Taufan semakin menjadi dan hampir melempar ponselnya. Dia masuk kembali ke dalam ruang inap Arva dan melihat anak itu asik menulis sendiri menunggunya.

"Apa kata Ayah?"

Awalnya, Taufan diam. Namun, tak lama kemudian dia mendekati Arva dan mengukir senyum ciri khasnya sembari menyentil dahi Arva yang terlihat.

"Katanya bakal dateng. Cuma nggak tau aja kapan. Udah, sini makan dulu kamu."

"Oh, gitu? Syukur, deh." Taufan bisa melihat perubahan ekspresi milik Arva. Arva yang tadinya ogah-ogahan kini tampak sangat berharap dan bercahaya. Tampak begitu bahagia. Rasanya, Taufan agak menyesal karena berbohong.

"Iya, makan dulu, yuk?"

"Aku makan sendiri aja, nggak usah disuapin."

"DIH,"

__________

Ini sudah jam delapan malam, Taufan sudah pulang, pun bundanya juga sudah pulang. Bundanya tidak diizinkan untuk menginap di rumah sakit dengan membawa dua anak kecil. Oleh karena itu, bundanya memilih untuk tidur di rumah sedangkan Arva sendirian di rumah sakit. Tidak apa, dia sudah terbiasa.

Di jam segini, langit tidak begitu gelap. Matanya terus-menerus menatap ke arah jendela; ke arah bawah. Dia mencari keberadaan mobil ayahnya di lokasi parkir itu.

Bocah ini masih berharap ayahnya akan datang seperti yang Taufan katakan.

Namun, dua jam menunggu pun tak ada kelihatan batang hidungnya. Justru yang Arva dengar malah suara mengerikan (yang kalian tau itu apa) tapi Arva tidak ingin memikirkan suara apa itu. Dia hanya ingin ayahnya.

Sudah jam sebelas pun, ayahnya tak terlihat. Oleh karena itu, bocah lelaki itu mulai kehilangan harapan. Dia dengan ragu menutup gorden jendela dan kembali naik ke atas ranjang rumah sakit. Dia ingin tidur saja.

"... Katanya bakalan dateng,"

Masih ada sedikit harapan, hanya saja, Arva tidak mau begitu berharap lagi seperti dahulu. Arva tidak mau membuat harapannya besar seperti tadi siang lagi. Lebih baik dia tidur dan mimpi indah saja menurutnya.

Mau tidur, tapi tidak bisa. Angannya itu masih mengarah pada ayahnya yang mungkin datang seperti kata Taufan tadi. Namun, hatinya berkata bahwa tmungkin ayahnya tidak datang.

"Ayah pembohong,"

Kata-kata itu keluar dari mulutnya. Dia menghela napas lelah sembari membenarkan posisi tidurnya. Setidaknya, dia harus paksa memejamkan matanya daripada menunggu hal yang tidak pasti.

"Aku nggak boleh berharap sama Ayah lagi."

_____

Pukul tiga pagi, pintu ruangan Arva terbuka. Menampilkan sosok pria tinggi bersurai hitam keputihan dengan kemeja kerja yang ia kenakan. Ia mendekati Arva yang tengah tertidur, melihat wajah dan bekas lukanya karena jatuh dari tangga itu.

Perlahan, keningnya ia kecup. Kepalanya ia usap sebentar sebelum ia duduk di pinggir ranjang rumah sakit. Ia mendekati wajah sang anak sembari membisikkan tiga kata.

"Ayah minta maaf,"

______

Kalau ditanya apa penyesalan Arva, mungkin mempercayai Halilintar adalah penyesalan terbesarnya. Namun, semisal ia bangun pada pukul tiga pagi itu, mungkin penyesalan terbesarnya adalah tidak mempercayai Halilintar.

_______

udah begitu saja ges, aku sedang tidak ada kata-kata. Maaf ya lama 😔😔 also aku mencoba sebelum 14 februari ini udah kelar.

ada yang mau ditanyain?

dadaaah!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro