Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T u j u h B e l a s

Kejutan Takdir — 17

Tidakkah ia tahu, bila ada hati yang tengah menjerit rindu atas namanya? Lantas, mengapa ia terlihat baik-baik saja berkelana jauh?

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

“Selamat ulang tahun, Vienna Devansha.” Vai mengucapkan itu, sembari tangannya bergerak mengeluh puncak kepala gadis itu. Lelaki itu sedikit terkejut, ketika gadis itu memeluknya tanpa aba-aba. Rasanya, ini bagaikan mimpi.

Namun, ini bukan saatnya Vai untuk membiarkan hatinya bersorak penuh kegembiraan, melainkan saatnya lelaki itu menyiapkan pundaknya untuk menjadi sandaran gadis yang tengah terisak itu.

“Jangan nangis. Ini hari ulang tahun kamu, Vien. Harusnya kamu bahagia,” ujar Vai yang perlahan melepas pelukan itu, kemudian mengusap air mata yang menetes keluar dari sudut kanan pelipis gadis itu.

“Vai, kamu ingat ulang tahun aku?”

Rasanya, pertanyaan itu seolah sebatas kiasan, karena, mana mungkin Vai melupakan hari spesial bagi Vien? Tidak. Bahkan, jauh-jauh hari sebelum gadis itu berulang tahun pun, Vai sudah menyiapkan wacana untuk memberi kejutan pada gadis itu.

“Jelas aku ingat, Vien. Mana mungkin aku lupain hari ulang tahun kamu,” tutur Vai, menatap lekat wajah Vien. Kulit di bawah mata gadis itu sedikit menebal dan menghitam. Sepertinya, gadis itu baru saja menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis. Ingin sekali Vai bertanya, tapi sepertinya, sekarang bukan saatnya untuk mempertanyakan hal tersebut. Vai harusnya memberikan kado yang sudah ia siapkan kepada gadis itu, dan membawakan sejuta kebahagiaan untuknya.

“Vien, selamat ulang tahun. Maaf kalau suara aku tadi bikin gendang telinga kamu bermasalah.”

Vien menghapus jejak tangisnya yang masih ada, kemudian tertawa kecil, sembari memukul lengan Vai. “Apaan, sih, Vai. Suara kamu itu bagus banget,” puji Vien.

“Masa, sih?” Vai masih tidak percaya diri. Lagian, bisa-bisanya ia dengan beraninya bernyanyi di depan Vien. Sungguh, sepertinya urat malu Vai sudah putus.

“Vien, selamat ulang tahun.” Kedua kalinya, lelaki itu mengucapkan kalimat serupa. Namun, kali ini suara Vai terdengar begitu lembut mengetuk rungu Vien. “Semoga apa yang disemogakan tersemogakan. Kayaknya udah pasaran, sih, doanya. Tapi, gak apa, deh, yang penting maknanya, ya, Vien.”

Vai menyelipkan beberapa helai anak rambut Vien yang jatuh ke belakang telinga Vien. “Tetap jadi Vien yang aku kenal, ya. Yang ceria, yang selalu menebarkan senyum. Aku gak suka kalau kamu nangis, Vien.”

Belum genap 2 detik ucapan itu terlontar, tapi air mata kembali mengalir dari mata Vien.

“Loh, kan aku bilangnya jangan nangis. Kok malah nangis?”

“Vai, kenapa kamu ingat ulang tahun aku? Kenapa kamu ucapin aku selamat ulang tahun? Kenapa kamu bisa lakuin ini, sedangkan Bhara enggak, Vai?” Tangisan Vien terdengar semakin kencang, membuat Vai menarik gadis itu dalam dekapnya.

Sedari awal, Vai sudah dapat menebak, bila Bhara akan berlaku seperti ini.

Lelaki itu melupakan malam pergantian usia Vien.

“Vien, ... jangan nangis,” bisik Vai tepat di telinga gadis itu. “Bhara mungkin lagi sibuk aja, makanya dia belum sempat ucapin kamu selamat ulang tahun jam segini. Lagian, masih ada 23 jam lebih lagi, Bhara pasti ucapin kamu, kok.”

Rasanya, Vai ingin menghajar dirinya sendiri, ketika dengan gampangnya ia berucap seperti itu kepada Vien. Tapi, tidak mungkin Vai mengatakan yang sejujurnya, bahwa ... sebelum ia datang ke sini, ia melihat Bhara tengah bersama Dara berada di depan sebuah sanggar.

“Tapi, Vai, selama ini Bhara selalu ucapin aku tengah malam gini. Kenapa sekarang nggak?”

“Mungkin, Bhara punya kesibukan, Vien.”

“Bhara yang lagi sibuk, atau aku yang udah gak penting buat Bhara, Vai?” lirih Vien tak bertenaga, yang terasa nyata di telinga Vai.

“Opsi kedua itu gak mungkin, Vien. Kamu itu penting di mata Bhara.”

Semoga saja, ucapan Vai dapat dipertanggungjawabkan oleh lelaki itu. Dan, Vai berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan membiarkan seseorangpun melukai perasaan Vien. Termasuk Bhara yang saat ini mempunyai potensi paling besar untuk melukai gadis itu.

“Udah, Vien, gak usah dipikirin dulu. Nanti kamu nangis lagi. Kalau kamu nangis, nanti jelek tuh, mata kamu bengkak,” ujar Vai meledek gadis itu. Lelaki itu menarik hidung Vien, membuat sang empunya merenggut kesal.

“Apaan, sih, Vai. Kesel, ah.” Vien melipat kedua tangannya, sembari diam-diam mengulum senyum. Seolah mampu mentransfer senyum, Vai ikut melayangkan senyumannya. Keduanya saling menatap, hingga akhirnya tawa mereka pecah tanpa sebab. Ternyata, sesederhana itu, ya, untuk mengembalikan mood baik.

Diam-diam, Vai memuja gadis itu, benar-benar ajaib. Padahal, baru sesaat, ia menangis, tapi sekarang ia sudah mampu bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

Bolehkah Vai egois sekarang? Ia ingin memiliki senyuman Vien untuk dirinya seorang. Ah, tidak hanya senyuman. Tapi, segalanya tentang gadis itu.

Vai ingin menjadikan gadis itu satu-satunya untuknya, yang dimana tidak boleh seorangpun merebut gadis itu darinya.

🌺🌺🌺

“Vien, aku pamit pulang dulu, ya. Udah malem,” ujar Vai berpamitan.

Vien mendengus kesal. “Bukan malam lagi, Vai. Udah subuh ini namanya. Lagian, kamu sih datangnya tengah malam.”

Vai terkekeh. “Ya, gak apa-apa sekali ini datangnya tengah malam. Besok-besok gak lagi, deh.”

“Kamu gak dicariin sama orang tua kamu emangnya?”

Vai menggeleng. Lelaki itu sudah meminta izin kepada orang tuanya untuk keluar dini hari. Meski sempat terjadi perdebatan akibat tidak mendapatkan izin, tapi Vai dengan cepat meluluhkan hati kedua orang tuanya. Lelaki itu menawarkan sebuah janji, yang sepertinya mustahil ia tepati.

“Gini, deh, Ma, Pa. Kalau Mama dan Papa izinin Vai pergi sekarang, Vai bakalan bawain calon menantu buat Papa dan Mama. Ya, ya? Boleh, ya?” tawar Vai, yang langsung disetujui oleh kedua orang tuanya. Senyuman penuh kebahagiaan terpancar dari wajah kedua orang tuanya. Akhirnya, untuk sekian lama, putranya itu berani menjanjikan hal itu kepada mereka. Padahal, mereka berdua sudah mengira Vai mengalami gangguan dalam urusan hati.

Di detik yang bersamaan, Vai justru menyesal karena sudah menawarkan janji semacam itu.

Itu ... sungguh mustahil.

Bagaimana mungkin ia berjanji untuk membawa calon menantu untuk kedua orang tuanya, bila yang ia cintai hanya Vien? Bagaimana mungkin, bila nama yang dipikirkan Vai kala menjanjikan hal tersebut ialah nama Vien? Bagaimana mungkin ia dengan percaya dirinya berharap kelak Vien akan menjadi bagian dari keluarganya?

“Ya, udah, kamu pulang, gih. Nanti dicariin lagi. Dikatain anak hilang, padahal anaknya sendiri yang suka keluyuran,” ledek Vien. “Oh, iya, ini kotak isinya apa? Gede banget?” tanya Vien, yang kesulitan membawa kotak besar yang diberikan Vai sebagai hadiah.

“Ya, kalau aku kasi tahu isinya apaan, nanti gak surprise lagi, dong.” Vai terkekeh. “Sini, aku bantu bawain ke dalam rumah.”

Vien mengangguk, kemudian membiarkan Vai membawakan kotak besar itu ke dalam rumahnya. Vien mendorong pintu rumahnya yang sedari tadi tidak ia kunci, dan seketika matanya terbelalak melihat ke dalam isi rumahnya.

Happy birthday, Vienna.”




Halo, part kali ini masih berhubungan ya dengan hari ulang tahun Vien😊Sebenarnya mau kugabungin jadi 1 part, cuma kayaknya kepanjangan, hihi. Jadi, aku pecah dua part, deh.

Semoga sampai 17 part ini, kalian masih tahan ya membaca cerita dari Vien, beserta kawan-kawannya.

Sekian dari aku, terima kasih😚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro