T i g a P u l u h T i g a
Kejutan Takdir – 33
Sejatinya kita ialah yang pernah buruk di cerita orang lain.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
“Vai, yang tadi itu mobil Bhara bukan, sih?” tanya Vien sembari melepas seatbelt miliknya.
Vai mengedikkan bahunya. “Nggak tahu juga, Vien. Tapi, seharusnya Bhara nggak ada di sini, sih. Kan, dia ke rumah Dara.”
“Iya juga, sih. Cuma, kok, rasanya itu kayak mobil Bhara, ya.”
“Udahlah, Vien, biarin aja Bhara selesaikan masalahnya sama Dara. Lagian, dia tadi udah ngebentak kamu, dan nuduh kamu yang nggak-nggak, jadi, gak usah terlalu mikirin dia lagi, Vien.”
“Tapi, Vai, Bhara ngomong kayak gitu tadi ke aku bukan karena dia benci sama aku. Itu pasti karena dia lagi emosi aja.”
Vai menghela napasnya, lagi dan lagi nama Bhara tidak bisa tercela di pikiran Vien. Gadis itu masih saja mendewakan Bhara seolah lelaki itu pemilik semua kebaikan.
“Iya, deh, Vien. Sekarang, jadi makan es krim, nggak? Tadi katanya udah lama nggak makan es krim vanilla kesukaan kamu.”
“Ya, terakhir aku makan es krim di sini sama kamu, kan, dipesanin yang cokelat. Udah tahu aku gak suka rasa cokelat, masih aja dipesanin,” gerutu Vien.
“Ya, aku pesenin itu, kan, supaya mood kamu kembali baik. Eh, udah, turun, yuk. Nanti kedainya keburu tutup.”
“Mana ada tutup secepat itu, Vai.” Vien mendorong lengan Vai pelan, sementara lelaki itu tertawa kecil. Vai membuka pintu mobilnya. Namun, pergerakannya terhenti. Lelaki itu mendadak teringat dengan ucapan Vien tadi tentang keberadaan Bhara. Apa jangan-jangan Bhara memang datang ke sini tadi guna mencari Dara? Karena, seperti yang Vai lihat tadi pagi, Dara memang ada di kedai ini bersama seorang lelaki yang tidak Vai kenali. Kalau begitu, seharusnya lelaki itu kini sudah tahu perihal kebenarannya.
“Vai? Kok bengong, sih? Ayo, buruan, nanti kedainya tutup.” Vien membalikkan ucapan Vai. Gadis itu kini berdiri di hadapan Vai. Kakinya sudah menginjak semen parkiran kedai, berbeda dengan kaki Vai yang masih menggantung antara hendak turun atau tetap di mobil.
“Eh, iya, sorry.” Vai segera turun, dan menutup pintu mobilnya. Lelaki itu lantas merangkul bahu Vien, dan berjalan masuk.
“Dar, tunggu gue.”
“Apaan, sih, Van. Gue mau pulang.”
“Iya, gue anterin, ya.”
Suara dengan volume yang cukup keras itu membuat Vien dan Vai lantas menoleh. Vien menghentikan langkahnya, begitupula dengan Vai. Vien mencoba untuk memperjelas wajah gadis yang kini lengannya dicekal oleh seorang lelaki itu. Dan, semakin ia memperjelasnya, semakin ia yakin siapa gadis itu, meski terhalang oleh lalu-lalang orang yang berjalan masuk dan keluar kedai.
“Loh, Vien, mau kemana?” Vai segera mengikuti jejak langkah Vien.
“Ternyata selama ini, aku salah nilai kamu, Dar,” ujar Vien kepada gadis di hadapannya itu. Lelaki yang mencekal tangan gadis itu, sontak melepaskan cekalannya.
“Aku pikir, selama ini kamu beneran sayang sama Bhara. Tapi, nyatanya apa? Kamu malah jalan sama cowok lain?”
“Vien, ini gak seperti yang kamu pikirin,” ujar Dara yang masih mencoba untuk membela dirinya. Setidaknya, ia juga harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya, agar ia mentah-mentah dituduh sebagai seseorang yang berkhianat.
“Apalagi, Dar? Apa yang gak sesuai sama pikiran aku? Semuanya udah jelas. Aku nyesel, Dar. Aku nyesel udah percayain Bhara sama kamu, aku nyesel udah lepasin Bhara buat kamu. Karena pada ujungnya, kamu nyakitin perasaan dia,” tutur Vien penuh raut kekecewaan.
“Vien, kamu harus dengerin aku dulu, Vien.” Dara mencoba memegang kedua lengan Vien. Vien melepaskan pegangan itu, lantas beralih menatap Vai.
“Vai, kalau gitu, mobil yang tadi aku lihat itu milik Bhara. Ayo, kejar mobil itu, Vai. Aku harus ngejar Bhara,” ujar Vien.
“Ta-tapi, Vien.”
“Aku nggak terima tapi-tapian. Ayo, Vai.” Gadis itu menarik pergelangan tangan Vai, dan mau tak mau, Vai hanya bisa menuruti permintaan itu.
🌺🌺🌺
“Vien, ini kita udah kehilangan jejaknya Bhara. Mau ngejar gimana lagi?” pasrah Vai, yang sedari tadi memutar setir mobilnya sesuai dengan ucapan yang keluar dari mulut Vien.
“Kiri, Vai.”
Vai memutar stir mobilnya ke arah kiri. Sejujurnya, Vai tidak terlalu yakin dengan arah yang diberikan oleh Vien, mengingat gadis itu mengucapkannya hanya dengan mengandalkan feeling. Tapi, apa boleh buat? Ia hanya bisa menuruti permintaan gadis itu. Cukup Dara yang sudah mengecewakan gadis itu hari ini, dan Vai tidak akan melakukannya.
Seharusnya, Vai tidak semerta-merta mengiyakan perubahan agenda yang diajukan oleh Vien. Seharusnya, tadi mereka tetap pada tujuan pertama dan pergi ke mall saja, dibanding ia dan Vien harus mengalihkan tujuan mereka ke kedai es krim, dan malah harus bertemu dengan Dara. Seharusnya Vai ingat, bila masih ada kemungkinan untuk Dara berada di kedai itu, dan belum pulang. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa Vai lakukan sekarang hanyalah menemani gadis itu yang kini terlihat panik akan keadaan Bhara.
“Vien, kita udah jalan selama dua puluh menit-an. Dan, kita emang udah kehilangan jejaknya Bhara. Lebih baik kita pulang aja, ya. Kasihan kamunya, perlu istirahat, habis kuliah. Kita pulang, ya?” pinta Vai.
Vien menggelengkan kepalanya. Gadis itu tetap kokoh pada pendiriannya untuk mencari Bhara saat itu juga hingga ketemu. Vien yakin, perasaan Bhara saat ini tengah kacau. Dan, Vien hafal betul sifat lelaki itu. Bhara akan melajukan mobilnya hingga naik ke kecepatan maksimum ketika sedang kacau.
“Gini aja, deh, Vien. Kita ke rumah Bhara aja dulu. Siapa tahu, Bharanya udah pulang. Ya?” Vai masih dalam tahap tawar-menawar agar gadis yang duduk di jok sebelahnya itu mau menurut untuk pulang.
“Tapi, gimana kalau Bhara belum pulang juga?”
“Kalau Bhara belum pulang, mungkin dia lagi pergi ke suatu tempat buat nenangin dirinya. Kamu jangan terlalu cemas, Vien. Bhara, kan, udah dewasa, dia pasti pulang, kok, nanti. Ya? Sekarang, kita pulang, oke?”
Vien menarik napasnya, lantas mengembuskannya kembali. “Ya, udah, kita pulang.”
Vai akhirnya bisa bernapas lega.
“Tapi, nggak langsung pulang ke rumah aku,” lanjut Vien, yang membuat Vai menoleh penuh tanda tanya. “Kita ke rumah Bhara dulu.”
🌺🌺🌺
Mobil milik Vai berhenti tepat di depan rumah Bhara. Vien yang tidak sabaran, tergesa-gesa melepas seatbelt, dan langsung turun dari mobil. Vai juga tak kalah cepat dalam pergerakannya. Lelaki itu dengan segera menyusul Vien, yang kini sudah memasuki pekarangan rumah Bhara. Gerbang rumah itu tengah rusak, dan hingga sekarang sepertinya belum diperbaiki, sehingga belum bisa beroperasi seperti biasanya.
Vien dengan segera menekan bel yang terpasang di sebelah pintu.
“Iya, tunggu sebentar,” sahut seseorang dari dalam, dan pintu segera terbuka.
“Eh, Kak Vien. Long time no see.” Seorang gadis seusia Vien langsung tersenyum setelah mengetahui siapa tamu yang datang, dan memeluk Vien.
“Wenny, astaga. Kakak kangen banget sama kamu.” Vien mengusap punggung belakang gadis itu dengan penuh kehangatan. Wenny Lestari adalah adik sepupu Bhara yang beberapa tahun belakangan ini tinggal di luar negeri karena pekerjaan papanya. Mereka cukup dekat, sehingga Wenny sudah menganggap Vien sebagai kakak kandungnya sendiri.
“Wenny juga kangen sama Kakak. By the way, ada apa ke sini, Kak? Nyariin bang Bhara, ya?” ledek gadis itu.
“Iya, Bharanya ada, kan?”
“Yah, sayangnya bang Bhara belum pulang. Eh, bukannya biasanya bang Bhara barengan sama Kak Vien, ya?”
Vien menggeleng pelan. Seandainya, Wenny tahu bila hubungannya dengan Bhara kini sedikit merenggang.
“Jadi, Bhara belum pulang?”
Wenny menggeleng. “Belum, Kak. Nomornya juga gak aktif. Tadi tante Irene coba telepon bang Bhara, mau nitip beli seblak katanya. Eh, pas ditelepon, gak aktif nomornya.”
Vien mengerutkan keningnya. Nomor Bhara tidak aktif? Ini tidak seperti biasanya. Bhara pasti … sedang tidak baik-baik saja.
“Ehm, nanti kalau bang Bhara nelepon, trus ngasi kabar, kasih tahu Kakak, ya?”
Wenny dengan cepat mengangguk. Gadis itu merasa ada hal yang menimpa Bhara. Namun, niat untuknya bertanya, ia urungkan, ketika sebuah mobil memasuki pekarangan rumah tantenya itu.
Ketiganya sontak menoleh.
“Ngapain lagi kamu ke sini?” tanya Vien dengan nada ketus, tidak seperti biasanya. Vai saja dibuat menoleh, ketika mendengar nada bicara gadis itu.
“Aku mau nyari Bhara, trus minta maaf, Vien. Bharanya ada?”
Vien menyunggingkan senyumnya kecil. “Masih inget Bhara? Bukannya, kamu udah punya pengganti Bhara?”
“Vien. Kok kamu ngomongnya gitu? Jelas aku ingat sama Bha—”
“Udahlah, Dar. Gak usah pura-pura peduli lagi sama Bhara. Karena nyatanya, kamu udah nyakitin perasaan dia. Aku pikir selama ini, dengan Bhara pacaran sama kamu, dia bakalan nemuin kebahagiaan dia. Tapi, ternyata aku salah ....” ujar Vien. “Orang yang aku percaya bisa menjaga hati Bhara malah khianatin dia.”
Bola mata Dara berkaca-kaca mendengar ucapan Vien. Gadis itu benar. Ia salah. Ia salah karena telah mengkhianati Bhara. “Vien, kamu harus dengerin aku dulu.” Dara memegang lengan Vien. Namun, dengan secepat kilat, Vien menghempas tangan milik Dara yang menyentuh kulitnya.
“Maaf, aku gak ada waktu buat dengerin omongan kamu, Dar.” Vien beralih menatap Vai, dan menarik lengan lelaki itu. “Vai, ayo, pulang.”
🌺🌺🌺
Vien dengan segera keluar dari kamar mandinya, setelah mendengar nada dering ponselnya yang berbunyi. Ia abaikan gosok gigi yang masih di genggamannya, dan juga busa-busa putih yang ada di mulutnya. Gadis itu segera menggeser ikon telepon berwarna hijau ke atas, setelah mengetahui siapa peneleponnya.
“Halo, Wen,” ujarnya dengan susah payah, mengingat busa masih memenuhi rongga mulutnya.
Vien membulatkan kedua matanya, tatkala mendengar berita super bagus yang disampaikan oleh Wenny.
“Oke, makasih infonya, Wen.” Setelah panggilan terputus, Vien segera berlari menuju kamar mandi, untuk membersihkan mulutnya dari busa.
Sekarang sudah pukul 8 malam, dan seharusnya kini gadis itu hanya mengurung diri di kamar. Namun, ketika mendapatkan informasi dari Wenny, tentang keberadaan Bhara, sepertinya rutinitasnya menikmati malam dari dalam kamar harus ia singkirkan dulu. Wenny mengatakan bahwa tadi Bhara menelepon mamanya, dan memberitahu keberadaannya, sehingga baik mamanya, ataupun papanya tidak perlu mengkhawatirkan keberadaan Bhara. Sayangnya, lelaki itu harus meminjam ponsel salah seorang petugas apartemen untuk menelepon, mengingat ranselnya baru saja dirampok beserta isinya.
Dan, setelah mengetahui keberadaan Bhara, Vien segera menghubungi nomor Vai. Gadis itu harus mencari Bhara sekarang juga.
“Duh, angkat dong, Vai,” ujar gadis itu, sembari berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Karena tidak kunjung diangkat, Vien memutuskan untuk mengirimkan Vai sebuah pesan. Semoga saja lelaki itu akan segera membacanya, sembari Vien mengganti piyama tidurnya dengan pakaian yang layak untuk dibawa keluar.
Namun, sampai Vien sudah siap dengan hoodie yang membalut tubuhnya pun, Vai tak kunjung membalas pesannya. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak.
Vien menghela napasnya pasrah. Sepertinya, jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk mencari Bhara ialah dengan nekat menyetir sendirian. Kebetulan sekali, kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Keduanya sepertinya tengah diundang ke rumah rekan kerja Adit. Vien harus pandai mengambil kesempatan emas ini.
Gadis itu segera mengambil slingbag miliknya, dan memasukkan ponselnya ke dalam sana. Ia menekan saklar, untuk mematikan lampu. Lantas, membuka pintu kamarnya.
Beruntungnya, mobil di rumah ini ada dua. Sehingga, ketika orang tuanya menggunakan mobil yang satunya, masih ada satu lagi yang tersisa untuk menyelamatkan Vien di kondisi seperti ini. Vien mengambil kunci mobil dengan gantungan berwarna putih itu, dan dengan cepat meraih pintu utama.
🌺🌺🌺
“Nih, Ga, pesanan lo.” Vai meletakkan kantong plastik berwarna hitam ke atas meja di hadapan Arga. Vai menatap luka yang masih terbuka di bagian lutut Arga, kemudian berdecak. “Cepetan sembuh. Gue gak mau jadi bahu lo terus-terusan.”
Ah, seandainya saja Arga tidak mengalami luka parah di bagian lututnya saat nekat melakukan standing dengan motor pinjamannya, Vai tentunya tidak akan mau disuruh-suruh lelaki itu untuk membelikannya cemilan.
“Makasih, Vai. Lo emang the best. Pasti Vien beruntung banget punya sahabat kayak lo. Sayangnya aja, di mata Vien, yang paling sempurna itu Bhara,” ujar lelaki itu, sembari membuka ikatan kantong plastik berisi beraneka ragam cemilan itu.
“Lo itu sebenarnya ada di pihak gue, atau, Bhara, sih?” kesal Vai.
Namun, lelaki itu hanya menyengir tak berdosa. Tangannya dengan cekatan membuka bungkus cemilan berisi kripik itu. Saat lelaki itu hendak memasukkan kripik ke dalam mulutnya, ia baru teringat akan sesuatu hal.
“Oh, iya, Vai. Tadi pas gue lewat depan kamar lo, gue denger hape lo bunyi. Kayaknya ada yang nelepon.”
“Siapa yang nelepon?”
Arga mengedikkan bahunya. Ia bukan tipikal orang yang suka merusak privasi seseorang. Maka dari itu, ia tidak melihat barang siapa yang menelepon tadi.
“Gak tahu. Gue gak ngecek. Lo cek, gih. Mana tahu penting.”
Vai mengangguk, lantas bangkit dari sofa, dan segera berjalan menuju kamarnya. Lelaki itu segera meraih ponselnya yang ia letakkan di atas meja belajar. Seketika, lelaki itu membulatkan matanya, tatkala melihat notifikasi yang terlihat dari panel notifikasi.
2 panggilan tak terjawab dari Vien si maniak es krim
From Vien si maniak es krim :
Vai. Aku udh tau lokasi Bhara dmna.
Vai, kok ga diangkat?
Aku nyari Bhara sndiri aja, deh.
“Astaga, Vien,” panik lelaki itu. Vai segera meraih kunci mobilnya, dan berlari ke luar kamar. Tak lupa, ia mencabut charger dari ponselnya.
Dalam hatinya, lelaki itu merutuki kebodohannya.
Bagaimana bisa ia tidak membawa ponselnya tadi? Harusnya, ia sedikit lebih paham. Rasa cemas yang datang menghampirinya tadi saat di supermarket dikarenakan oleh Vien.
Vai melangsungkan panggilan suara kepada Vien. Namun, nahasnya tidak kunjung diangkat. Sekarang, kemana Vai harus mencari gadis itu?
🌺🌺🌺
Vien menyetir mobilnya, mengikuti arah yang ditampilkan google maps. Gadis itu memang sempat belajar menyetir mobil. Ia masih ingat, dulu ia begitu ngotot meminta Bhara untuk mengajarinya bagaimana cara mengemudi mobil yang benar. Meskipun, setelah itu, ia harus mendapat teguran dari Adit karena nekat dengan aksi belajarnya. Namun, untuk kondisi seperti ini, ia merasa bahwa kenekatannya waktu itu sungguh berguna, dan ia tidak menyesal.
Dalam 50 meter, belok kiri. Begitu ujar seorang perempuan pemilik suara khas dibalik google maps yang memandu perjalanan Vien. Gadis itu tidak terlalu hafal jalanan di sekitar sini. Oleh karena itu, harapan Vien satu-satunya ialah google maps.
Vien memutar setirnya. Namun, nahasnya, dari arah kiri, sebuah truk dengan kecepatan tinggi melaju. Vien yang terkejut lantas membanting setirnya, dan mulai hilang kendali atas mobilnya. Yang terakhir ia tahu hanyalah mobilnya yang semakin melaju tanpa arah, dan setelah itu, pemandangan terakhirnya ialah sebuah pohon besar di tepi jalan.
Gadis itu sempat berteriak ... sesaat sebelum matanya terpejam.
•
•
•
Bagaimana perasaan kalian setelah membaca part ini?
Jujur aja, nulis part ini butuh berhari-hari, karena sempat ngerasa stuck. Ditambah lagi, part ini aku rasa part terberat yang aku tulis.
Semoga saja, feel di part ini dapat tersampaikan dengan baik ke kalian.
Jangan lupa untuk tetap dukung cerita ini, ya. Karena, Kejutan Takdir tanpa kalian itu hampa.🥀
Oke, sekian cuap-cuapnya. Sampai jumpa di part berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro