Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T i g a P u l u h E m p a t

Kejutan Takdir - 34

Tenanglah dalam keabadian. Meski, aku tak yakin, aku mampu mengikhlaskanmu jauh di sana. Tapi yang terpenting, aku bahagia pernah mengenalmu, jauh lebih dalam dari yang pernah aku kira.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Sebuah mobil memasuki pekarangan rumah yang cukup luas itu. Setelahnya, seseorang keluar dari dalam sana, dan berjalan menuju teras rumah. Ia mengetuk pintu utama rumah itu.

"Tumben, ya, garasi kosong," gumam lelaki itu, karena tak menemukan ada mobil lain, yakni milik papanya di dalam sana. Padahal seharusnya, jam-jam seperti ini, mobil tua nan antik milik papanya itu sudah nangkring cantik di sana.

Suara anak kunci yang beradu di dalam silinder kunci membuat Bhara segera mengabaikan pemikirannya tentang mobil papanya. Barangkali, papanya sedang ada kesibukan malam ini, atau mungkin juga mobilnya tengah di tempat service.

"Loh, Wenny?" Bhara cukup terkejut ketika mendapati Wenny-adik sepupunya-yang membukakannya pintu. Bukan Sintya-mamanya-seperti biasa, ataupun Arifin-papanya-."Sejak kapan di sini, Wen?"

"Kak Bhara? Akhirnya Kakak pulang juga," ujar Wenny dengan histeris. Wajah gadis itu menyiratkan suatu kekhawatiran yang teramat dalam.

"Kak, Kakak buruan ke rumah sakit nyusulin tante Sintya, ya. Please, Kak, buruan." Gadis itu mendorong-dorong Bhara yang hendak melangkah masuk ke dalam rumah.

"Apa? Mama di rumah sakit? Ada apa? Mama sakit? Atau, papa yang sakit?"

Wenny menggeleng. "Bukan, Kak. Tapi, kak Vien. Tadi tante Sintya ditelepon sama mamanya kak Vien, katanya kak Vien kecelakaan."

"Apa?!"

🌺🌺🌺

Bhara melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh untuk mencapai rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya itu. Lelaki itu tidak bisa tenang sedari tadi. Bibirnya terus merapalkan doa agar gadis yang merupakan sahabatnya itu baik-baik saja.

"Vien, moga kamu baik-baik aja." Gumaman itu terus diulang, hingga tanpa lelaki itu sadari, mobilnya telah memasuki area parkiran rumah sakit. Bhara segera memarkirkan mobilnya, dan melesat menuju gedung utama rumah sakit. Bhara segera bertanya kepada resepsionis rumah sakit.

"Pasien atas nama Vienna Devansha berada di ruangan IGD."

Setelah mengucapkan terima kasih, Bhara langsung berjalan setengah berlari menuju ruangan IGD. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan lelaki itu menunjukkan pukul sepuluh malam, ketika Bhara melangkah menuju lorong IGD.

Di sana, ia sudah dapat melihat kedua orang tua Vien, bersama dengan mamanya yang tengah berada di depan ruangan IGD. Adit tampak tengah berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu, sementara Sonia dan Sintya tengah duduk di kursi panjang itu. Bhara berjalan mendekat, dan mendapati Vai yang juga terduduk di kursi itu, dengan raut wajah yang tampak begitu khawatir.

"Malam semuanya," ujar Bhara. Mengetahui kedatangan Bhara, Adit yang sedari tadi berjalan mondar-mandir lantas berhenti. Pria paruh baya itu berjalan menghampiri Bhara, memegang bahu lelaki itu.

"Kamu ..., gara-gara kamu putri saya kecelakaan," ujarnya dengan penuh kegeraman, sebelum akhirnya sebuah hantaman diberikan kepada rahang lelaki itu. Sonia dan Sintya yang melihat itu, lantas berteriak.

"Papa. Stop, Pa." Sonia langsung bangkit, dan menahan tangan suaminya yang hendak melayangkan sebuah hantaman kembali. Sonia menuntun Adit untuk duduk di kursi, sembari mencoba menenangkan pria itu. Ia tahu, Adit terbawa emosi karena kini putri kesayangan mereka tengah berada di ruangan IGD, dan tengah bertaruh nyawa karena lelaki yang merupakan sahabat putri mereka. Namun, ini rumah sakit, dan tidak seharusnya Adit melakukan keributan di rumah sakit. Beruntungnya di lorong itu sepi.

Seperti Sonia yang menuntun Adit untuk duduk di kursi, begitu pula dengan Sintya. Wanita itu mengusap lebam yang tercipta akibat hantaman dari Adit. Bhara meringis, ketika tanpa sengaja Sintya menekan lebam itu.

"Papa mana, Ma?" tanya Bhara.

"Ada tugas keluar kota mendadak. Makanya, malam ini dia gak ada di rumah," jawab Sintya, sembari mengelus rambut hitam milik putranya itu.

Suasana kembali hening untuk sesaat. Namun, hanya sesaat, sebelum akhirnya suara milik Adit terasa begitu mengintimidasi.

"Selama ini, saya percayakan Vien kepada kamu. Saya kira, kamu bisa menjaga Vien dengan baik. Tapi, sayangnya, saya salah. Justru kamulah yang menyebabkan Vien menjadi seperti ini," ujar Adit dengan penuh penekanan. Bhara yang mendengar ucapan Adit merasa bahwa ucapan itu memang ditujukan olehnya. Memang, selama ini, Bhara tidak dapat menjaga Vien dengan baik. Namun, apakah ia harus selalu disalahkan, termasuk pada urusan kecelakaan Vien kali ini?

"Saya memang gagal menjaga Vien, Om. Tapi, saya rasa, untuk kecelakaan Vien, saya gak tahu. Beberapa minggu terakhir ini, Vien selalu sama Vai. Jadi, yang harusnya disalahin itu Vai, Om, karena gagal jagain Vien," jawab Bhara, sebagai bentuk perlawanan. Ia benar, bukan? Selama belasan tahun Vien bersamanya, Vien selalu baik-baik saja. Tidak pernah ada kejadian seperti ini yang membuat gadis itu harus masuk ke dalam ruangan mencengangkan bernama IGD. Tapi, baru beberapa minggu Bhara melepaskan tanggung jawabnya menjaga Vien, digantikan oleh Vai, lelaki itu sudah menyebabkan Vien seperti ini. Artinya, Vai tidaklah becus dalam menjaga Vien-seperti dirinya-.

Sayangnya, jawaban Bhara yang lelaki itu pikir benar kembali membangkitkan emosi Adit.

"Pa, kita ke kantin, ya." Sonia dengan cepat berucap, dan menarik Adit untuk pergi dari sana. Sonia tau, bila ia tidak dengan segera membawa Adit pergi, pria itu akan kembali terbawa emosi, dan berujung menyebabkan keributan.

"Tanyakan sama Vai. Setelah itu, baru kamu bisa menyimpulkan, itu salah Vai atau salah kamu, Bhara." Ucapan terakhir dari Adit sebelum ia mengikuti istrinya ke kantin itu membuat Bhara mengernyit. Namun, tanpa berbasa-basi, Bhara segera berpindah duduk ke sebelah Vai yang berada di ujung kursi.

"Vai, jelasin sama gue, Vien kenapa? Kenapa seolah-olah om Adit nyalahin gue?"

Vai tersenyum tipis. "Memang pantas om Adit nyalahin lo, Bhar. Karena nyatanya, penyebab kecelakaan Vien itu lo."

Bhara semakin tidak mengerti. Mengapa om Adit juga Vai menyalahkannya?

"Sumpah, deh, Vai, gue gak paham. Letak kesalahan gue dimana? Please, jelasin secara detail, jangan buat gue pusing karena harus nyatuin alasan-alasan itu sendiri."

"Oke, gue bakalan jelasin semuanya. Seharian ini, Vien nyariin lo, Bhar. Dia panik, karena lo gak ada dimana-mana. Trus, tadi jam 8 malam, Vien nge-chat gue. Dia bilang, dia udah tahu keberadaan lo, Bhar. Dia ngajakin gue buat nyari lo, tapi karena gue pas itu lagi keluar, gue gak megang hp. Dan, pulang-pulang, gue udah dapet pesan dari Vien, kalau dia pergi nyari lo sendirian.

Gue langsung nyari Vien. Pas gue telepon, hp dia udah gak aktif. Gue telepon om Adit yang kebetulan pernah gue save nomornya. Om Adit beserta temannya langsung bantu gue nyari Vien. Tapi, gue rasa, gue gagal, ketika gue nemuin mobil Vien di pinggir jalan yang depannya udah hampir hancur karena nabrak pohon besar. Vien ngalamin kecelakaan. Dan, udah hampir satu jam di dalam sana, dokter belum juga keluar buat ngabarin kondisi Vien," jelas Vai panjang lebar.

Bhara yang mendengar penjelasan itu, lantas mempertanyakan alasan mengapa Vien begitu mempedulikannya. Bukankah selama ini ia sudah begitu jahat kepada Vien? Bahkan, tadi siang di kampus, Bhara masih ingat, perihal ucapan pedasnya terhadap Vien. Lelaki itu sudah menyakiti perasaan Vien dengan ucapannya. Lalu, mengapa Vien masih berupaya untuk mencarinya? Bukankah seharusnya gadis itu marah, dan justru membencinya?

"Gue gak tahu apa yang menyebabkan Vien begitu peduli sama lo. Padahal, lo udah berkali-kali nyakitin perasaan Vien," ujar Vai tiba-tiba, di sela keheningan yang tercipta, akibat Bhara memikirkan mengenai kepedulian gadis itu. "Cuma, pada akhirnya, gue paham, rasa cinta selalu mampu mengalahkan segalanya."

"Maksud lo, gimana?"

"Lo masih gak paham? Vien cinta sama lo, Bhar."

"Cinta?"

"Iya. Selama ini dia naruh perasaan lebih sama lo. Lebih dari sekadar sahabat, lebih dari sekadar saudara. Dia cinta sama lo, sebagai orang yang selalu dia prioritasin. Dan, itu yang menyebabkan Vien begitu peduli sama lo. Dia rela disakiti, asalkan orang yang dia cintai baik-baik aja."

Dunia Bhara seketika runtuh. Lelaki itu membisu, tidak tahu hendak mengatakan apa. Selama belasan tahun dirinya hidup berdampingan bersama Vien, mengapa ia tidak dapat menafsirkan arti kepedulian Vien kepadanya? Selama ini, yang Bhara tahu ialah Vien menyayanginya sebagai sahabat. Sekalipun lebih, itupun karena Vien sudah menganggapnya selayaknya seorang abang. Bhara masih ingat jelas, Vien kecil yang selalu merengek kepada mamanya untuk memberikannya seorang abang.

"Bhar, kamu percaya, gak, dengan pernyataan bahwa tidak ada suatu persahabatan yang murni antara cewek dan cowok tanpa hadirnya cinta?"

Bhara berdeham sejenak. Lelaki itu membetulkan posisinya, dan mencari posisi ternyaman untuk berbicara menghadap ke arah Vien. "Urusan percaya atau gak percaya, sih, aku gak bisa bilang. Karena, itu tergantung lagi ke diri mereka masing-masing. Ya, intinya, sejauh ini, persahabatan kita sih terbukti. Murni, tanpa hadirnya cinta. Iya, kan?"

"Ehm, iya, sih, Bhar. Persahabatan kita terbukti, masih murni tanpa ternodai oleh cinta, hehe."

Sejenak, bayangan perbincangan antara Bhara dan Vien melayang-layang di pikiran lelaki itu. Bhara baru menyadari, ada keraguan yang tercipta dalam jeda perbincangan mereka pada saat itu. Namun, Bhara baru dapat menafsirkannya setelah sekian lama. Mengapa rasanya ia begitu menyesal?

Vai bangkit dari kursinya, lantas berjalan meninggalkan Bhara. Ia harus memanggil Adit dan Sonia kembali, agar pada saat dokter selesai memeriksa Vien, kedua orang tua gadis itu sudah ada di tempat.

🌺🌺🌺

Vai berjalan beriringan dengan Adit dan Sonia. Ketiganya berjalan dari kantin, menuju lorong menuju IGD. Saat berbelok, ketiganya dapat melihat pintu ruangan IGD yang terbuka, disusul oleh seorang pria berambut putih berjas yang keluar. Adit melangkahkan kakinya dengan cepat, lantas menghampiri dokter itu.

"Dok, gimana keadaan anak saya?" tanya Adit. Ada nada kekhawatiran yang benar-benar tercetak jelas di suara pria itu.

Dokter dengan name tag dr. Gunawan Mahendra itu memandang Adit dan Sonia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ia masih bergeming, seakan-akan ucapannya nanti akan menjadi suatu hal yang cukup mengejutkan. Namun sayangnya, ia adalah seorang dokter, dan sudah tugasnya untuk menjelaskan perihal kondisi pasien di dalam sana.

"Dok, jangan diam aja. Gimana kondisi anak saya?" Adit mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama, karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari dr. Gunawan.

"Maafkan saya, Pak, Bu, kami tim medis sudah berupaya semaksimal mungkin. Namun, pasien tidak dapat diselamatkan," ujar dr. Gunawan. Semua orang yang ada di sana, dan mendengar ucapan itu seketika menegang, kecuali Sonia yang perlahan luruh ke lantai, akibat tak kuasa menahan keterkejutannya. Tangis di pelupuk matanya mulai pecah.

"Ada benturan yang begitu keras di kepala pasien, sehingga terjadi pendarahan internal. Seandainya saja, pasien dapat ditangani lebih cepat, ada kemungkinan untuk ia selamat. Namun sayangnya, keterlambatan dalam penanganan membuat pendarahan itu sudah parah, sehingga pasien tidak dapat kami selamatkan. Kalau begitu, saya permisi." Selepas kepergian dr. Gunawan, Sonia langsung berlari masuk ke ruangan IGD, disusul Adit.

"Mau ngapain?" tanya Adit, ketika Bhara hendak melangkah masuk ke ruangan serba putih itu. "Anak saya gak butuh kamu di dalam sana. Lebih baik, sekarang kamu pergi dari sini," ujar Adit dengan penuh penekanan.

"Tapi, Om-"

"Udah, Bhara, udah. Kita pulang aja, yuk." Sintya mengelus bahu Bhara, memberi ketenangan pada lelaki itu. Ia tahu, Bhara begitu terpukul dengan kepergian Vien.

"Ma, Bhara mau lihat Vien buat terakhir kalinya, Ma."

"Ssstt, Bhara, kalau kamu ikut masuk ke dalam, om Adit bakalan marah lagi, dan akhirnya timbul keributan. Memangnya, kamu gak kasihan sama Vien kalau dia harus pergi dengan keadaan ribut seperti itu?"

Bhara menggelengkan kepalanya perlahan. Cukup sudah ia membuat Vien menderita selama gadis itu hidup. Ia tidak boleh membuat keributan di saat-saat seperti ini.

"Kita pulang, ya?"

🌺🌺🌺

Suasana duka masih menyelimuti suasana pemakaman. Kepergian seorang gadis yang ada di dalam gundukan tanah yang masih tampak baru itu baru saja meninggalkan kesedihan yang teramat mendalam bagi setiap orang yang mengenalnya. Terlebih, bagi orang-orang yang ada di lingkup terdekatnya.

Setelah proses pemakaman berakhir, perlahan satu per satu orang yang hadir, pamit. Menyisakan Adit, Sonia, dan Vai di sana. Lelaki itu berdiri di sisi kanan makam Vien, berseberangan dengan Adit dan Sonia.

"Vien, putri kesayangan Mama, Vien baik-baik di sana, ya, Sayang. Maaf kalau Mama belum bisa jagain kamu dengan baik. Maafin Mama, Sayang ...." Isak tangis masih menguasai setiap ucapan Sonia. Wanita itu begitu terpukul dengan kepergian putri semata wayangnya. Putrinya yang biasanya mengisi harinya dengan senyuman, kini harus meninggalkannya dengan sejuta air mata. Sonia tidak tahu harus bagaimana lagi. Namun, penyesalan terbesarnya sebagai seorang ibu ialah karena tidak mampu menjaga putrinya dengan baik.

"Ma, udah, ya, ikhlasin Vien. Vien gak bakal seneng kalau Mama nangis trus kayak gini." Di sisi Sonia, Adit sebagai seorang ayah juga merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Ia sebagai kepala keluarga tentunya mendapat beban terbesar, karena sudah gagal menjaga keutuhan keluarga kecilnya. Sebenarnya, ia juga sama lemahnya dengan Sonia ketika menghadapi kepergian putrinya. Namun, kelebihannya ialah ia mampu bersikap seolah ia ikhlas akan kepergian putrinya, dan berusaha menguatkan istrinya.

"Pa, kenapa Vien duluan ninggalin kita? Kenapa gak Mama aja yang mati? Kenapa harus Vien?"

Tanpa banyak berbasa-basi, Adit langsung memeluk tubuh istrinya. Disandarkannya kepala Sonia ke dada bidangnya, membiarkan tangis istrinya luruh membasahi kemeja hitamnya.

"Masa depan Vien masih panjang, Pa. Mama mau lihat dia sukses jadi arsitek terkenal, Pa. Tapi, kenapa Tuhan ambil Vien sekarang?"

"Ma, usia manusia itu gak ada yang tahu. Kita gak bisa nukar kupon kehidupan kita gitu aja dengan orang lain. Yang sekarang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan. Kita cuma bisa ikhlas, Ma."

Adit mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan isak tangis yang masih terdengar. Hingga isak tangis itu berhenti, Adit mengajak Sonia untuk pulang.

"Vai, masih pengen di sini?" tanya Adit.

Vai mengangguk. Masih ada beberapa hal yang ingin ia ucapkan kepada gadisnya.

"Kalau gitu, kami pamit dulu, ya." Setelah kepergian Adit dan Sonia dari sana, Vai bersimpuh lutut di hadapan makam itu. Lelaki yang sama halnya dengan Adit, mengenakan kemeja hitam itu mengusap nisan bertuliskan nama Vien dengan lembut.

"Hai Vien. Kamu ternyata curang, ya? Pergi jauh, tapi gak ngajakin aku. Pas aku pergi sendiri aja, kamu ngerengek gak aku ajakin. Kamu selalu bilang sama aku, buat gak kayak Bhara yang ninggalin kamu. Dan, aku udah janji sama diri aku sendiri, buat gak bakalan ninggalin kamu. Tapi, sekarang apa? Kamu yang ninggalin aku, Vien. Kamu jahat. Kepergian kamu bukan cuma buat aku sedih, dan kehilangan, tapi kamu juga bawa perasaan aku pergi.

Mungkin terlambat, ya, buat ungkapin semuanya? But, I love you, Vien. Pengecut, ya, aku? Aku baru berani ungkapin perasaan aku, setelah kamu gak ada lagi di sini. Maafin aku. Rasa takut akan kehilangan selalu menghantui aku, ketika aku pengen ungkapin perasaan aku. Aku takut kamu ngejauh dari aku. Tapi, lucunya, aku malah benar-benar kehilangan kamu, sebelum aku sempat ungkapin perasaan aku ke kamu.

Vien, bahagia, ya, di sana. Jangan sedih-sedih lagi. Aku bahagia kalau kamu juga bahagia di sana. Terus jadi Vienna Devansha yang aku sayang, ya? Sampai takdir mempertemukan kita kembali." Vai mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir tanpa bisa ia bendung. Ternyata, begini rasanya, rasa kehilangan sebelum sempat memiliki.

"Rest in peace, Vienna, and I love you." Vai memeluk nisan itu, berharap gadis yang ada di dalam makam itu dapat merasakan pelukan penuh cintanya. Setelah itu, Vai beranjak dari sana, dan meninggalkan makam. Setidaknya, kehidupannya harus terus berlanjut, meski cintanya harus hilang akibat dibawa pergi seseorang.

Seusai kepergian Vai, makam Vien kembali dikunjungi oleh seorang lelaki. Ia langsung bersimpuh di hadapan makam itu, dan memeluk nisan seperti apa yang dilakukan Vai tadi.

"Vien, maafin aku." Hanya 3 kata yang berhasil diucapkan lelaki itu. Namun, siapa sangka, di balik kata itu terselip suatu penyesalan yang teramat mendalam.



Kejutan Takdir selesai di sini. Nantikan epilog di part berikutnya❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro