Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T i g a P u l u h D u a

Kejutan Takdir – 32

Ketika seseorang dilanda hal bernama kebosanan, maka akan ada dua opsi yang akan terjadi. Yang pertama, ia akan memilih untuk pergi atas alasan bosan. Yang kedua, ia memilih untuk tetap bertahan—sesulit apa pun kondisinya—.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Dengan kecepatan penuh, Bhara melajukan mobilnya membelah jalan raya beraspal hitam yang tampak lengang itu. Perasaannya kini bercampur aduk. Ucapan Vai bisa dipercaya, bisa juga tidak. Bhara tidak bisa percaya jika Dara berani mengkhianatinya. Tapi, ucapan Vai itu salah, dan jika Vai dengan sengaja memfitnah Dara, lantas apa keuntungannya bagi lelaki itu?

Bhara mengacak rambutnya frustrasi dengan sebelah tangannya. Pikirannya berkecamuk. Ia tak tahu harus percaya dengan siapa saat ini. Yang jelas, satu-satunya yang bisa ia lakukan ialah dengan membuktikannya sendiri.

Tak butuh waktu lama, mobil milik Bhara berhenti di depan sebuah rumah berdinding putih susu itu. Lelaki itu keluar dari mobil, dan langsung disambut oleh pak Muhardi, yang merupakan satpam di rumah Dara.

“Selamat siang, Pak Muhardi.”

“Eh, ada Den Bhara. Siang, Den. Lagi nyari non Dara, ya?” tanya pak Muhardi.

Bhara tersenyum sopan, lantas menganggukkan kepalanya. Pak Muhardi jelas sudah mengenal Bhara, dan mengetahui alasan Bhara datang ke rumah itu, mengingat hubungannya dengan Dara telah diketahui oleh seisi penghuni rumah. “Daranya ada, Pak?”

“Waduh, mohon maaf, Den. Non Daranya nggak ada. Dari tadi pagi, sekitar jam 9 udah keluar.”

“Dari pagi udah keluar? Dara pergi kemana, Pak?”

“Kalau itu, Bapak kurang tahu. Yang jelas, dia pergi sama cowok, Den. Cuma, Bapak gak kenal siapa, soalnya selain keluarganya non Dara, cowok yang biasa ke sini cuma den Bhara aja,” jelas pak Muhardi.

“Oh, gitu. Terima kasih banyak, ya, Pak, untuk informasinya. Kalau begitu, saya pergi dulu.” Bhara lantas menyalami punggung tangan pak Muhardi, kemudian kembali masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu mencari ponselnya di dalam tas, dan menekan logo telepon di sebelah nama Dara. Namun, nihil. Gadis itu tidak mengangkat panggilan itu.

Bhara mencoba menelepon Dara kembali, tapi anehnya, ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi sekarang. Apa Dara sengaja mematikan ponselnya agar Bhara tidak menghubunginya lagi?

🌺🌺🌺

Dering ponsel yang sedari tadi tidak berhenti itu membuat seorang gadis begitu panik. Bimbang rasanya, antara mengangkat telepon itu, atau justru menolaknya.

“Duh, Van, Bhara telepon gue, nih. Gimana, dong? Gue takut ketahuan jalan sama lo. Nanti pasti Bhara marahin gue,” panik gadis itu.

“Buset, dah, Dar. Santai aja kali. Gak usah diangkat, apa susahnya?” ucap Revan dengan santainya. Rokok di sela jari milik lelaki itu masih aktif. Sesekali, ia mengisapnya, dan mengeluarkan asap rokoknya hingga menyatu dengan udara.

Beberapa saat karena tak kunjung diangkat, panggilan itupun terputus. Revan dengan cepat meraih ponsel Dara, dan menekan lama tombol power ponselnya. Setelah itu, ia menggeser menuju logo lingkaran dengan garis lurus di tengah yang bertuliskan ‘matikan daya’.

“Loh, kok dimatiin, Van?”

“Biar pacar berisik lo itu gak gangguin lo lagi. Lagian, ya, Dar, lo yang bilang sendiri ke gue kalau lo itu gak betah sama pacar lo. Kenapa gak diputusin aja, sih?”

Dara menggeleng cepat. “Nggak, Van, gue gak mau putusin Bhara. Gue cinta sama dia.”

“Heh, cinta? Kalau lo cinta, lo gak bakalan datengin gue, trus minta gue nemenin lo jalan, Dar,” ujar Revan, sembari tersenyum sinis.

“Van, gue minta lo buat nemenin gue, karena gue lagi kesel aja. Beberapa hari ini, Bhara kayaknya lagi mikirin sesuatu, makanya dia nyuekin gue. Jadi, gue ngajak lo jalan buat nge-refresh pikiran gue yang mumet ini. Bukannya karena gue mau putus atau apa.”

Revan membetulkan posisi duduknya. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya di atas meja. Sebelah tangannya masih setia dengan rokok yang menemani. “Kalau gitu, jawabannya simple, Dar. Pacar lo lagi dalam masa transisi antara bosan melanjutkan, dan enggan memutuskan,” ujar Revan dengan santainya.

“Masa, sih, dia bosan?”

“Ya, Dar, namanya juga hubungan. Pasti adalah rasa bosannya.”

Dara terdiam. Omongan Revan ada benarnya juga. Mungkin, Bhara tengah berada di masa transisi itu. Dan, tidak seharusnya Dara malah melampiaskan kekesalannya dengan cara berjalan di belakang Bhara. Apalagi, Bhara adalah pacar yang baik. Tidak ada alasan bagi Dara untuk mengkhianati lelaki itu.

“Ya, udah, Van. Gue mau balik aja.” Dara segera memasukkan ponselnya ke dalam slingbag miliknya. Namun, tangan Revan dengan cepat mencegah.

“Eh, kok cepet banget?”

“Gue rasa, gue udah salah, karena gue milih lampiasan kekecewaan gue selama dicuekin Bhara ke lo, Van. Kalau gini caranya, artinya gue udah khianatin Bhara.”

“Elah, santai aja kali, Dar. Pacar lo juga gak bakalan tahu kalau lo jalan sama gue. Kan, lo udah bilang kalau lo lagi sakit.”

“Iya, Van. Tapi, sorry banget, gue harus pulang sekarang.” Dara melepas genggaman tangan Revan dari tangannya, lantas bangkit dari kursinya. Saat gadis itu membalikkan tubuhnya untuk pergi, pergerakannya terhenti tatkala mendapati seseorang tengah berdiri dengan jarak dua langkah di depannya. Seketika, waktu terasa melambat, ketika seseorang itu berjalan mendekat ke arah Dara.

“Bhara?”

“Ternyata, benar, ya, bahwa sesungguhnya perusak dalam sebuah hubungan itu bukan orang lain, melainkan orang yang ada di dalam hubungan itu sendiri,” ujar Bhara penuh penekanan. Mendengar ucapan Bhara, Dara meneguk ludahnya perlahan.

“Bhar, aku bisa jelasin ini semua. Ini gak se—”

“Apa? Kamu mau bilang kalau ini semua gak seperti yang aku lihat? Iya?” Nada bicara Bhara sedikit meninggi, membuat Dara tersentak.

“Eh, Bro, kalau ngomong santai aja, dong.” Revan angkat bicara. Lelaki itu bangkit dari kursinya, dan langsung menatap Bhara tajam. “Dara ini cewek, jadi santai dikit ngomongnya. Punya tata krama, gak?”

“Gue gak kenal siapa lo, dan gak ada urusannya sama lo. Jadi, gak usah sok ikut campur.”

“Oh, jelas, gue ada urusannya sama hal ini. Gini, ya, Dara itu jalan sama gue, jadi gue bertanggung jawab atas Dara.”

Bhara tertawa kecil. “Oh, iya, gue lupa. Lagi ngedate, ya, sama pacar gue?”

Tatapan Bhara beralih dari Revan, ke Dara. Lelaki itu tersenyum. Namun, Dara dapat merasakan bila senyuman itu bukan senyum yang biasa ditampilkan oleh Bhara. melainkan senyuman yang menyiratkan kekecewaan.

“Aku beneran gak nyangka, ya, Dar, kamu tega giniin aku. Padahal, selama ini aku tulus sayang sama kamu,” ujar Bhara dengan intonasi merendah.

Dara memegang lengan lelaki itu. Namun, dengan cepat Bhara menghempasnya. “Bhar, kamu harus dengerin aku dulu, ini semua gak seperti yang kamu pikirkan, Bhar.”

“Apalagi, Dar? Apalagi yang harus aku dengerin? Semuanya udah jelas, Dar. Kamu jalan di belakang aku. Mau jelasin bagian mananya lagi?”

“Oke, oke. Aku ngaku. Iya, aku jalan sama Revan,” ucap Dara sebagai finalnya.

Bhara tersenyum. “Nah, gini, coba jelasin dari awal.”

“Tapi, Bhar, kamu harus tahu, aku jalan sama Revan bukan karena aku berniat selingkuh atau apalah itu. Aku cuma kesal, Bhar, beberapa hari ini kamu nyuekin aku. Kamu lagi mikirin Vien, kan?”

“Kenapa harus dikaitkan dengan Vien? Ini gak ada kaitannya sama Vien, Dar! Ini tentang aku, kamu, dan hubungan kita yang udah merenggang. Jadi, berhenti nyalahin orang lain.”

“Iya, kamu bilang gitu, karena pada dasarnya kamu mau belain Vien, kan? Trus aja belain Vien. Silakan. Kalau emang kamu gak cinta sama aku, ya udah, sedari awal aja kamu gak usah nembak aku.” Emosi Dara meledak-ledak, hingga ia tidak lagi bisa mengontrol nada bicaranya.

“Mudah, ya, kamu ngomong gitu. Selama ini aku tulus cinta sama kamu, tapi kamu dengan mudahnya bilang kalau aku gak cinta sama kamu.” Bhara menggelengkan kepalanya. “Udahlah, Dar, emang pada dasarnya hubungan kita itu udah gak bener, jadi, gak perlu bawa-bawa orang lain untuk di kambing hitamkan. Posisinya, kamu udah gak bisa ngehargain aku sebagai cowok. Kamu bahkan lupain ulang tahun aku, dan bohongin aku dengan alasan kamu sakit. Padahal, apa? Kamu jalan sama cowok lain!”

“Bhar, aku bukannya lupain ulang ta—”

“Udah, Dar. Aku gak mau denger apa-apa lagi dari mulut kamu. Aku benci sama kamu, Dar! Aku kecewa.”

Bhara beranjak dari sana, meninggalkan Dara dan Revan yang masih terpaku. Bahkan, suara teriakan dari Dara diabaikan oleh lelaki itu. Bhara masuk ke dalam mobilnya, dan segera memundurkan mobilnya ke jalan raya, lantas meninggalkan tempat itu, digantikan dengan sebuah mobil yang masuk ke parkiran itu.



Selamat malam, Guys! Aku update lagi, nih. Ada yang nungguin? 😗

Jangan lupa berikan kritik, dan sarannya untuk part ini, ya.❤️

See you next part!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro