T i g a P u l u h
Kejutan Takdir — 30
Bintang itu kecil. Namun, bersinar terang. Kamu itu sederhana. Namun, menyempurnakan bahagia.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Suara decitan pintu mobil yang terbuka terdengar, tatkala seorang lelaki menyelinap masuk ke dalamnya. Lelaki itu langsung menempelkan punggung belakangnya ke kursi, dan menarik handle pintu mobil. Lelaki itu menaruh dua buah paperbag yang diterimanya tadi dari seorang gadis ke atas dashboard, kemudian menghela napasnya perlahan.
“Harusnya yang pertama kali ucapin happy birthday ke aku itu kamu, Dar, bukannya Vien.” Nada kecewa tertangkap kala lelaki itu berucap.
Sepertinya, usahanya menghindar dari kedua orang tuanya dan adik sepupunya di rumah tadi sia-sia. Padahal, lelaki itu sudah berusaha untuk tidak keluar kamar, agar tidak ada satu ucapan selamat ulang tahun yang masuk dari mereka. Dengan alasan, ia ingin mendengar ucapan pertama itu dari gadis yang kini mengisi hari-harinya dengan penuh cinta.
Akan tetapi, hari ini gadis itu malah belum menampakkan dirinya sama sekali, entah itu secara langsung maupun secara virtual dengan video call. Chattingan terakhir mereka pun berakhir di kemarin malam pukul 8, ketika Dara mengatakan bahwa dirinya tengah sakit, dan memberitahu Bhara untuk tidak menjemputnya esok hari untuk berangkat kuliah bersama. Setelah itu, tidak ada lagi pesan terbaru dari gadis itu. Bahkan, ketika pagi ini Bhara mencoba untuk menanyakan kabar gadis itu, pesannya malah tidak tersampaikan. Ponsel gadis itu sepertinya dibiarkan mati, entah disengaja atau tidak.
Bhara mengambil sebuah paperbag berwarna cokelat muda itu asal, dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah cupcake mini berwarna biru muda, dengan huruf B di atasnya yang ditulis dengan krim berwarna emas. Jangan lupakan beberapa bintang kecil yang menghiasi permukaan atas cupcake itu.
Bhara segera mengeluarkan cupcake itu, dan mulai menggigitnya. Ah, bahkan ia lupa, bagaimana lihainya jemari Vien dalam membuat kenikmatan di setiap gigitan kue itu. Gadis itu diam-diam memang suka membuat kue, dan sebagai kelinci percobaannya, Bhara lah yang harus menjadi si perasa pertama dari kue itu. Tentunya Bhara dengan senang hati memakannya, karena kue buatan gadis itu tidak pernah mengecewakan lidahnya. Namun, itu dulu. Sebelum pada akhirnya, Bhara sendiri dapat merasakan kerenggangan antara keduanya.
Bhara menghabiskan cupcake itu hanya dalam dua gigitan penuh. Kemudian, lelaki itu mengeluarkan tumbler dari dalam tasnya, dan meneguk airnya hingga sekiranya cukup menetralkan kerongkongannya dari rasa manis. Lelaki itu hendak menaruh paperbag itu ke dashboard kembali, untuk nantinya ia buang bersama paperbag yang satunya, setelah ia membuka isinya. Tapi, langkahnya terhenti tatkala matanya melihat ke dalam isi paperbag, dan mendapati ada sebuah kertas berlipat di sana.
Dear Bhara, My little best friend yang sekarang udah sibuk ngebucin.
Tulisan tangan khas dari Vien segera menyambut pandangan Bhara. Lelaki itu diam-diam mengulum senyumnya. Enak saja dikatakan bucin. Walau nyatanya, mungkin seperti itu, karena dunia lelaki itu yang kini hanya berpusat kepada Dara, Dara, dan selalu pada Dara.
Happy birthday yang ke-19 kalinya, ya, Bhar! Moga panjang umur, dan sehat selalu. All the best wishes for you, My friend:) Mungkin untuk tahun ini, aku bukan si pengucap pertama. Ya, soalnya aku tahu diri, pasti keduluan sama Dara. Iya, kan? Iya, dong, pastinya, hehe.
Bhara menggelengkan kepalanya, seolah si penulis kini ada di hadapannya. “Nggak, Vien, kamu salah. Kamu si pengucap pertama, dan tetap seperti itu.”
Sebenarnya gak banyak yang pengen aku tulis ke dalam surat ini, soalnya kebanyakan udah pernah diucap pas tahun-tahun sebelumnya. Cuma, kayaknya aku dapat ide mendadak, deh, mau ucapin apa.
Ya, harapannya, kamu langgeng terus pokoknya sama Dara. Bahkan kalau bisa, tahun depan udah harus nyebar undangan, ya. Biar aku bisa jadi pagar ayu di pesta pernikahan kamu. Eh, canda, deh. Kamu harus kuliah dulu, soalnya, kasihan Dara kalau dapat suami yang pendidikannya cuma sampai di derajat SMA. Canda lagi, ya, Bhar, jangan dimasukin ke hati, hehe.
Oh, iya, kamu tahu kenapa cupcake-nya aku hias sederhana kayak gitu? Cuma ada inisial B, dan bintang-bintang kecil. Ya, B untuk Bhara, dan bintang itu pertanda bahwa kamu udah menerangi kehidupan malam aku, dengan sebegitu indahnya. Semoga, bintangnya aku terus bersinar, dan tak akan pernah padam, ya:)
Once again, happy birthday, Bhara! Minta satu permohonan sama aku, dan aku bakal kabulin. Cepat!
Bhara memejamkan matanya. Sebuah senyumannya terbit, setelah membaca isi dari surat itu. “Aku mau kamu tetap ada di sisi aku, Vien, dan menjadi sahabat aku selamanya. Walaupun aku tahu, aku udah berulang kali kecewain kamu,” ujar lelaki itu, lantas kembali membuka matanya.
Udah dulu, ya, isi suratnya, tangan aku pegel nulis, hehe.
Tertanda,
Vienna Devansha, yang selalu kamu traktir es krim vanila dulu.
🌺🌺🌺
Bhara turun dari mobilnya, dan menjejakkan kakinya tepat di parkiran kampus. Lelaki itu berjalan dengan cepat meninggalkan parkiran, dan tak sengaja berpapasan dengan Vien serta Vai. Gadis itu memegang sebuah cup berisi es krim. Begitupula dengan Vai. Sepertinya mereka baru saja dari kedai es krim favorit Vien.
“Eh, Bhar? Kok sendiri? Dara mana?” tanya Vien.
“Dara lagi sakit. Gak masuk kuliah.”
“Oh, sakit. Sakit apa? Kamu udah jenguk?”
Bhara menggeleng. “Belum. Mungkin nanti sepulang kuliah, aku jenguk dia. Kenapa?”
“Ehm, kalau kamu jenguk, aku rencananya mau jengukin dia juga. Boleh, kan?” tanya Vien. Namun, melihat lelaki itu tidak langsung menjawab, Vien langsung menimpali sebuah kalimat baru. “Eh, aku sama Vai juga, kok. Jadi bertiga jenguknya.”
Bhara mengangguk. “Iya, boleh. Kalau gitu, aku duluan masuk, ya.”
Bhara berjalan meninggalkan Vien dan Vai. Kedua insan itu kemudian menyusul langkah Bhara dengan perlahan, sembari menyendokkan es krim ke dalam mulut mereka.
“Eh, astaga, Vien,” pekik Vai, kemudian menepuk keningnya perlahan. Seketika, dingin menjalari kening lelaki itu, mengingat tangannya baru saja memegang cup es krim yang dingin.
“Kenapa, Vai?”
“Aku kelupaan bawa tugas matkul fisika bangunan,” ucap Vai. Lelaki itu terlihat panik, ketika melihat angka yang ditunjukkan oleh jarum pendek di jam tangannya. “Vien, aku pulang dulu, ya, bentar. Mau ambil tugasnya. Kamu duluan aja ke kelas.”
Tanpa membiarkan Vien menjawab ucapannya, Vai sudah berlari dengan sekuat tenaga menuju parkiran kampus yang untung masih terhitung dekat dari titik akhir mereka berjalan tadi.
Sementara itu, Vien memilih untuk melanjutkan langkahnya ke dalam kelas. Es krimnya pun sudah habis dalam sesaat.
🌺🌺🌺
“Ya ampun, Vai, bisa-bisanya, sih, lupa bawa buku tugas. Untung aja kekejar pulangnya. Kalau nggak, abis diomelin sama pak Harto,” omel Vai sendiri di dalam mobil. Saat ini, ia tengah bekejar dengan waktu yang tersisa sepuluh menit lagi sebelum kelas dimulai.
Lelaki itu berusaha memfokuskan dirinya untuk melajukan mobilnya hingga kecepatan 80 kilometer per jam, meski sesekali ia melirik jam tangannya. Seolah-olah, dengan caranya melirik jam tangannya itu, ia dapat memperlambat jalannya waktu.
Mobil Vai terus melaju, hingga nyaris sampai di perempatan jalan Asoka, dimana kampus mereka berdiri dengan megahnya di pertengahan jalan.
Pandangan lelaki itu lurus. Namun, dengan tak sengaja netranya menangkap sosok gadis yang ia kenali, saat melewati perempatan jalan Asoka. Lebih tepatnya, sosok gadis yang baru saja turun dari mobil di parkiran kedai es krim favorit Vien. Fokus Vai teralihkan dari gadis itu, ketika seorang lelaki yang usianya sebaya dengan dirinya ikut keluar dari mobil itu, dan merangkul mesra bahu gadis itu.
Gadis itu ... Dara.
•
•
•
Hola, Guys. Ah, tidak terasa udah part 30 aja🤧Sisa beberapa part lagi, udah mau ending aja.
Mau absen, dong, siapa yang masih stand by hingga part ke 30 ini? Semoga tetap setia membaca kisahnya Vienna dan teman-teman hingga akhir.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya! 👣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro