S e m b i l a n
Kejutan Takdir – 09
Meski sejuta luka kau torehkan di hatiku, namun, akan selalu ada ruang di sana yang tersisa guna memaafkanmu.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Bagi Vien, suasana malam kali ini tidaklah semenyenangkan malam-malam sebelumnya. Biasanya, Vien akan selalu merasa seperti bintang yang bersinar terang di tengah gelapnya malam. Akan tetapi, malam ini berbeda, gadis itu merasa bahwa dirinya bagaikan bintang mati yang tidak bersinar lagi, dan jelas tidak ada bedanya dengan kegelapan malam. Hari ini, atau mungkin sejak 3 hari yang lalu, malamnya Vien begitu kelam. Tidak ada malam-malam yang penuh kesan bahagia, semenjak Bhara tidak ada di sisinya.
Seolah tidak cukup telah menghabiskan waktu di kampus tadi untuk menangis, gadis itu kembali meledakkan gas air matanya di bawah terang rembulan. Aditya—papa Vien yang sedari tadi menyaksikan kesedihan putrinya itu berjalan mendekat, kemudian merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
“Anak papa, kenapa nangis terus? Tadi kata mama, di kampus kamu juga nangis. Sini, cerita sama papa, ada apa?”
Aditya Dewangga, lelaki pertama yang berhasil membuat Vien jatuh cinta. Lelaki pertama yang Vien cintai, jauh sebelum kehadiran Bhara menghampiri posisi kedua. Kedua lelaki itu memang berbeda jauh, baik dari segi usia ataupun dari segi lainnya. Akan tetapi, ada dua persamaan di antara kedua lelaki yang usianya terpaut kurang lebih 25 tahun itu, yakni dari sisi kehangatan. Dan, Vien akui, bila kedua lelaki itu selalu mampu memberikan kehangatan di setiap peluk mereka.
“Bha--ra, Pa. Bhara udah lu--lupain aku, hiks. Dia, hiks, gak kabarin aku.”
Sebagai seseorang yang sudah belasan tahun menemani kehidupan Vien, tentunya bukan hal yang susah bagi Aditya untuk memahami ucapan Vien. Lelaki itu benar-benar menangkap maksud Vien, meskipun gadis itu berucap sembari terisak. Ya, lelaki itu paham, dan sangat paham, bila tangis putrinya ini tak lain dan tak bukan dikarenakan oleh seorang Bhasvara Aristide.
Bhara adalah putra dari pasangan suami istri Arifin dan Sintya, yang dimana baik Arifin dan Sintya merupakan teman dekat dari Aditya dan Sonia. Tak heran, bila kedua orang tua Vien itu selalu berani menitipkan gadisnya pada Bhara. Mereka percaya, bila seorang Bhara akan selalu mampu menjaga Vien.
Namun, terkhususnya untuk kejadian beberapa hari ini, Aditya menjadi sedikit cemas pada Vien yang sudah berulang kali ketahuan menangis karena Bhara. Sempat terbesit emosi, ketika mengingat perlakuan Bhara yang menyebabkan putrinya menangis. Akan tetapi, Aditya tidak terlalu mempermasalahkannya, ia percaya bila Bhara bisa ia percaya. Dan, kejadian hilangnya kabar lelaki itu, tentunya disertai dengan alasan.
“Siapa bilang Bhara lupain kamu? Bhara gak berkabar, bukan berarti dia ngelupain kamu. Ya, bisa aja, Bhara lagi sibuk, sehingga gak sempat kabarin kamu.” Penjelasan Aditya hendak mendapat sanggahan dari Vien, yang selalu mempersepsikan bahwa ‘sesibuk-sibuknya Bhara, ia selalu sempat mengabari Vien’.
Akan tetapi, sebelum gadisnya berucap, Aditya terlebih dahulu menyela. “Percaya sama Papa, Bhara tidak akan melupakan kamu gitu aja. Jika memang iya, dia melupakan kamu. Maka, Papa akan menjadi orang pertama yang menghajar Bhara atas perbuatannya menyebabkan putri kesayangan Papa menangis. Trust me, I’ll never let him hurts you, My Princess.”
🌺🌺🌺
Malam yang sendu sama-sama dirasakan oleh seseorang selain Vien. Malam-malam tidak tenang, yang menyebabkan tidur tak teratur harus dirasakan olehnya, setelah jalan yang ia lalui.
Entahlah, apakah ini adalah pilihan terbaik, atau justru pilihan terburuk. Namun, bagi ‘hatinya’ inilah jalan terbaik yang semestinya ia pilih. Tidak sepantasnya ia terkurung lebih lama oleh penjara yang terkutuk itu. Orang bilang itu ialah penjara hati. Dan, ia membenarkannya. Terlalu larut dalam penjara hati tidaklah mengenakkan, kini sudah saatnya ia diberikan kebebasan untuk menempuh jalur hidupnya sendiri.
Bertahun-tahun menjadi tameng bagi kehidupan seseorang, mengerahkan segala kekuatan untuk menjadi pelindung bagi seseorang tidaklah mampu membuat dirinya bahagia. Justru sebaliknya, ia terlalu lugu untuk menjadi tameng kehidupan orang lain, dan malah membuatnya sengsara tertikam rasa ketidakbebasan.
Sudah cukup, selama bertahun-tahun ia hidup dalam pengekangan massa, kini saatnya ia bebas.
Kini, saatnya ia menghirup udara baru yang jauh lebih segar.
Dan, kini saatnya, ia memperjuangkan apa yang sedari dulu pantas ia perjuangkan.
Cinta.
🌺🌺🌺
Berhari-hari dihantui oleh tangis ternyata tidak berefek apa-apa pada Vien, ketika wajahnya yang seminggu terakhir murung menjadi berseri kembali. Di hadapannya, seseorang yang telah lama ia tunggu kabarnya akhirnya menampakkan diri.
Bhara telah pulang ke kotanya, dan itu artinya, Bhara kembali ke sisi Vien. Vien langsung berhambur ke pelukan lelaki itu, sesaat setelah lelaki itu menampakkan batang hidungnya di depan Vien.
“Bhar, kamu kemana aja? Kenapa gak ngabarin aku, sih? Aku cemas tau,” rengek Vien, sembari menguatkan pelukannya kepada Bhara. Anggap saja, pelukan itu ialah bagian dari pelampiasan rindu yang sudah bersarang sekian lamanya.
“Ya, aku kan lomba, Vien. Maaf, ya, aku terlalu sibuk sampai lupa ngabarin kamu.”
Vien melepaskan pelukannya pada Bhara, kemudian bersidekap dada. “Tapi, sebelum kamu sibuk pun, kamu perginya gak ngabarin aku. Kesel tau.”
Bukannya meminta maaf, lelaki itu malah tertawa kecil. “Ya ampun, pagi itu, aku bangun kesiangan, jadinya udah panikan, deh, gak sempat pamit sama kamu. Maaf, ya, Vien.”
Vien masih dengan wajah kesalnya, tidak menjawab permintaan maaf Bhara.
“Jangan ngambek gitu, dong. Sebagai permintaan maafnya, aku traktir kamu makan es krim. Gimana?”
Tawaran yang sangat bagus dari Bhara. Tanpa basa-basi, gadis itu segera melenggang pergi ke dalam rumahnya, dan keluar dengan hoodie yang terpasang di tubuhnya, serta tangan yang membawa sebuah kunci.
Kunci motor.
“Mau traktir es krim, kan? Let’s go!” seru Vien dengan riangnya, membuat Bhara terkekeh kecil.
Lelaki itu masih terpaku di tempatnya, kemudian menahan Vien yang hendak pergi dengan cara menarik tudung hoodie gadis itu. “Jangan lupa pakai helm, nanti ditilang polisi.”
🌺🌺🌺
Di sebuah ruangan yang didominasi warna abu-abu itu, seorang lelaki yang tengah berbaring, tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
Bagaikan ditransfer oleh atmosfer kebahagiaan, rasa bahagia menyelimuti perasaan lelaki itu, tatkala mengetahui orang di seberang sana yang tengah bertukar pesannya sedang bahagia.
From : Vienna
Duh, ak senang bgt, Vai. Skrg, aku gk bakalan galau2 lgi, hehe.
Vai yang sedang bertukar pesan dengan Vien, menghela napasnya lega ketika masalah Vien selesai. Gadis itu sedari tadi tidak henti-hentinya bercerita kepada Vai lewat chat Whatsapp. Dimulai dari Bhara yang pulang, dan meminta maaf karena tidak mengabari Vien karena kesibukannya. Hingga Bhara yang mentraktirnya es krim sebagai permintaan maaf.
Sekarang, gadis itu tidak akan merasakan kesedihan merundung hatinya lagi. Justru, giliran Vai lah yang akan merasakan kesedihan berujung kepatahan, dikarenakan harus siap melihat Vien tersenyum lagi karena Bhara.
“Woi, bro. Gue pinjam powerbank, ya. Gue mau pergi jalan, baterai sekarat.” Suara Arga membuyarkan pikiran Vai yang sedari tadi berpusat pada Vien. Lelaki itu segera menganggukkan kepalanya, membiarkan Arga—temannya yang tinggal menumpang di rumahnya mengambil powerbanknya.
“Eh, Ga. Bentar.” Vai yang teringat akan sesuatu hal, segera beranjak dari ranjangnya, menghampiri Arga yang kini berdiri di dekat pintu.
“Gue mau tanya, deh.”
Arga menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”
“Emang beneran, ya, pas kalian seminggu di luar kota buat lomba kemarin, sibuk banget? Sampai-sampai Bhara lupa kabarin Vien.”
•
•
•
Ah, ada apa tuh sama Vai? Kenapa kesannya gak percayaan ya sama Bhara? 🤔
Tapi, apa alasan yang diberikan Bhara itu nyata adanya?
Tunggu jawabannya di part berikutnya, yaa!! 😗
See you🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro