Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

E p i l o g

Seminggu berlalu semenjak gadis cantik bernama Vienna Devansha meninggalkan dunia untuk selamanya. Namun, duka akibat kepergian gadis itu masih tak bisa dihilangkan di hati mereka yang benar-benar mencintai gadis itu. Termasuk seorang Bhasvara Aristide yang kini dipenuhi rasa penyesalan.

Ternyata benar, jika kesabaran seseorang tak mampu menyadarkan, maka kehilangan lah yang akan bertindak. Sama seperti halnya Bhara, yang baru menyadari suatu hal, setelah ditinggalkan oleh sahabatnya itu.

Ia baru menyadari, percakapannya dengan Vien terkait takdir waktu itu ternyata sudah memberikannya sebuah tanda.

“Sekalipun ada yang harus pergi duluan, itu aku, Bhar. Bukan kamu.”

“Vien, kenapa aku baru paham maksud ucapan kamu waktu itu? Aku yakin, itu semua bukan sekadar sembarang ucap, tapi itu adalah cara Tuhan buat nyadarin aku, supaya aku bisa lebih ngehargain kamu. Bodohnya aku, aku gak pernah bisa paham maksud ucapan kamu, sebelum akhirnya kamu beneran pergi duluan ninggalin aku, Vien.” Air mata meluruh dari pelupuk mata lelaki itu. Selama kepergian Vien, selama itu pula ia gagal menjadi sosok laki-laki yang tangguh. Ia gagal karena membiarkan air matanya luruh begitu saja, tanpa bisa ia hentikan. Kepergian Vien benar-benar menyebabkan dunianya hancur.

“Vien, aku beneran kehilangan kamu, Vien. Please, kasih tahu aku, kalau ini semua cuma mimpi, kan? Kamu masih hidup, kan?”

Sebuah tepukan di pundak Bhara, membuat lelaki itu sontak menoleh. Didapatinya Vai, yang kini turut bersimpuh di hadapan makam Vien, seperti apa yang ia lakukan.

“Bukan cuma lo yang kehilangan Vien. Tapi semua orang yang kenal sama dia, termasuk gue, Bhar,” ujar Vai, sembari menatap makam itu. “Dari kepergian Vien, gue belajar satu hal, bahwa segala sesuatu punya masa kedaluwarsanya, termasuk usia manusia. Yang berhubungan dengan kata 'ditinggalkan' emang selalu menyakitkan. Tapi, satu hal yang perlu kita pahami. Kita gak bisa nolak buat ditinggalkan, yang kita bisa cuma mengikhlaskan karena udah ditinggalkan.”

Bhara masih bergeming, tak membalas ucapan Vai. Vai tahu, itu bukan hal yang mudah untuk Bhara menerima kepergian Vien. Terlebih saat lelaki itu tahu, Vien mengalami kecelakaan karena dirinya.

“Semalem Vien datengin gue, dia bilang dia udah bahagia di sana. Dia juga nitip pesan ke lo, Bhar, katanya sorry kalau dia gak bisa lagi nemenin lo di dunia. Tapi, lo tenang aja. Dia udah nemuin tempat paling sempurna di sana, yaitu tempat dimana dia bisa jagain lo seutuhnya dari atas sana.”

Bhara yang sedari tadi mengusap nisan bertuliskan nama Vien itu menoleh ke arah Vai. Lelaki itu menatap Vai dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Setelahnya, ia kembali menatap makam Vien. “Dia marah, ya, sama gue? Sampai-sampai, dia harus nitipin pesan buat gue lewat lo,” ujar Bhara dengan nada yang begitu rendah. Rasa kecewa seketika menyeruak di dalam hatinya.

Vai yang mendengar hal tersebut tertawa kecil, membuat Bhara mengernyitkan dahinya. “Kenapa ketawa? Ngeledek?”

“Bhar ... Bhar, mana mungkin Vien marah sama lo. Dia itu cinta banget sama lo,” ujar Vai. “Lo itu cowok paling beruntung, Bhar. Karena pernah dicintai oleh gadis setangguh Vien. Sementara gue?”

Vai menunjuk dirinya sendiri, lantas tersenyum hambar. “Gue cuma cowok naif, yang berharap bisa gantiin posisi lo di hati Vien. Tapi, sampai detik ini, gue sadar. Gue gak bakalan bisa gantiin posisi lo di hati Vien. Karena, lo itu abadi di hati Vien, Bhar.”

Mendengar perkataan Vai, hati Bhara terenyuh. Apa sebegitu besarnya rasa Vien kepadanya, hingga Vai berani berucap seperti itu?

“Sama seperti halnya Vien menjadikan lo abadi di hatinya, gue harap lo juga gitu. Jadikan Vien abadi di hati lo, sebagai seseorang yang pantes lo kenang atas rasa cinta. Vien pasti bahagia, Bhar.”

Vai menepuk bahu Bhara, sebelum ia berdiri. “Gue pergi dulu. Pesan gue cuma satu, lanjutin kehidupan lo sebagaimana mestinya. Vien gak bakalan senang kalau lo kayak gini trus.”

“Oh, iya, satu lagi. Gue cuma mau bilang, takdir selalu punya kejutan tersendiri buat kita sebagai manusia. Dulu, gue berusaha ngalahin lo, supaya bisa milikin hati Vien. Tapi, sekarang apa? Bahkan, takdir gak ngizinin gue, ataupun, lo sekalipun buat jadi pelabuhan cinta terakhir Vien. Karena, sekarang, dia udah nemuin surga sebagai pelabuhan yang abadi, bukan beratasnamakan cinta lagi.”

Pernyataan itu benar. Karena, pada akhirnya, takdir tak mengizinkan satu orangpun menjadi pelabuhan terindah baginya.

Dia, Vienna Devansha dan kapal cintanya, telah menemukan pelabuhan terakhirnya ... di keabadian.



Kejutan Takdir resmi selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro