E n a m
Kejutan Takdir – 06
Sebelumnya, aku tidak percaya takdir. Namun, sekarang aku percaya. Ya, aku percaya, bahwa ketika aku dipertemukan oleh Tuhan denganmu, maka itu ialah bagian dari takdir hidupku.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Vai menyampirkan ranselnya ke bahunya, lelaki itu berjalan dari parkiran menuju kelas pertama yang akan digunakannya belajar. Lelaki itu bejalan dengan penuh wibawa, membuat Vai tergolong dalam tipikal lelaki yang cukup digandrungi. Kulitnya yang putih bersih, dan wajahnya yang tampan, serta jangan lupakan otaknya yang lumayan jenius itu menambah kesan plus di mata para kaum hawa. Sayangnya, seberapa banyakpun kaum hawa yang terang-terangan menunjukkan rasa kagum mereka lewat tatapan mata, Vai hanya mampu oleng ke tatapan seorang gadis, yang bahkan Vai sudah tahu siapa pemilik hatinya.
Gadis itu tak lain adalah Vienna Devansha—teman sekelasnya, yang dipenuhi sejuta keunikan. Ialah Vien, gadis yang tidak suka menggambar, namun memilih masuk ke program studi arsitektur, hanya karena seseorang yang ia kagumi. Akan tetapi, terkadang Vai bersyukur akan pilihan Vien yang salah sasaran itu. Tanpa rasa cintanya kepada Bhara, Vien tentunya tidak akan ada di program arsitektur, dan jelas bahwa Vai tidak akan pernah mengenal gadis itu.
Vai berjalan melewati lorong kelas, kemudian berbelok ke kiri ketika mencapai pertigaan. Kelas yang akan ditujunya hanya tinggal beberapa langkah lagi, sebelum akhirnya lelaki itu menemukan sosok gadis yang dikaguminya berdiri di ambang pintu.
“Vien,” panggil Vai, yang membuat sang pemilik nama sontak menoleh. Vai dapat melihat gadis itu sepertinya tengah melamun tadi.
“Eh, halo, Vai.”
“Kenapa melamun tadi? Ada masalah?”
Vien menggeleng. “Gak ada masalah, kok.”
“Jangan bohong, kalau gak ada masalah, lalu kenapa melamun?”
“Aku deg-degan dengan hasil lomba puisi yang kemarin aku ikut itu, loh. Sumpah, rasanya, aish, deg-degan banget, deh, sumpah.”
Lomba puisi? Vai mencoba mengingat lomba puisi mana yang dimaksud oleh Vien. Masalahnya, gadis itu bisa mengikuti lebih dari 10 lomba puisi ataupun cerpen setiap bulannya. Jadi, wajar saja bila Vai tidak mampu menebak lomba puisi mana yang dimaksud oleh gadis itu.
“Kamu kayak baru pertama kali lomba aja. Bawa santai aja. Daripada kamu mikirin hasil lomba puisi, mending kamu mikirin tugas sketsa. Udah selesai, ‘kan?”
Vien menganggukkan kepalanya, namun di saat yang bersamaan, gadis itu melototkan matanya. “APA?! Tugas yang mana?”
Vai merasakan gema yang cukup hebat terjadi di gendang telinganya. “Tugas yang dikasi pak Suprapto minggu lalu. Kamu belum kerja?”
“Astaga, Vai! Aku lupa kerjain, huaa. Gimana, dong?” Rengekan Vien membuat Vai menepuk keningnya. Ingin sekali Vai merutuki keteledoran gadis di hadapannya itu. Bisa-bisanya Vien melupakan tugas sketsanya.
“Keluarin buku sketsa kamu, aku gambarin.” Vai berjalan masuk ke dalam kelas, lalu mengambil posisi duduk di sebelah Vien. Jangan tanyakan kenapa Vai bisa tahu letak posisi Vien, meski gadis itu tidak sedang duduk di sana. Vai sudah hafal betul dengan warna totebag yang biasa digunakan oleh Vien.
Vien yang tadinya masih terpatung, segera menyusul Vai, dan mengambil buku sketsanya di dalam tas. Dengan gerakan kilat, buku tersebut sudah diletakkan di meja Vai, bersama dengan sebuah pensil tajam, penghapus, dan penggaris.
Tanpa berujar satu kata pun, lelaki yang baru saja melepas hoodie hitamnya, segera duduk di kursi, membuka halaman buku sketsa Vien yang masih kosong. Lelaki itu melirik sejenak ke arloji yang melingkar di tangannya, sebelum kemudian mulai fokus menggambar sketsa di buku Vien.
Masih ada waktu 20 menit sebelum kelas dimulai, dan itu artinya masih ada harapan untuk tugas sketsa vien selesai sebelum pak Suprapto yang selalu on time itu datang mengajar.
Seperti Vai yang fokus menggambar sketsa, seperti itu pula Vien yang fokus memandangi setiap lekuk wajah fokus milik Vai. Lelaki di hadapannya ini ialah lelaki kedua setelah Bhara yang benar-benar baik.
“Jangan lihatin aku kayak gitu, grogi akunya,” ujar Vai tiba-tiba yang membuat Vien segera memalingkan pandangannya.
“Apaan, sih. Geer banget jadi orang.”
🌺🌺🌺
Vien benar-benar berterima kasih kepada Vai, karena berkat kemurahan hati lelaki itu menggambarkan tugas sketsanya, akhirnya Vien tidak mendapat amukan dari pak Suprapto. Gadis itu keluar kelas dengan perasaan yang berbunga-bunga, dan senyuman yang berseri. Dara yang berada di sebelahnya bergidik ngeri.
“Vien, kamu lagi kesurupan?” tanya Dara yang langsung mendapat sebuah pukulan kecil di lengan gadis itu.
“Apaan, sih. Siapa juga yang kesurupan?” Vien bersidekap dada, tidak terima bila Dara mengatainya kesurupan.
“Ya, abisnya kamu daritadi senyum-senyum sendiri. Aku takut jadinya.”
Vien tidak membalas ucapan Dara barusan. Gadis itu masih tidak terima dengan ucapan Dara yang tadi.
Namun, sedetik kemudian, gadis itu mengeluarkan suaranya juga teruntuk Dara. “Eh, Dar, aku baru ingat. Di lapangan sebelah, Bhara mau latihan untuk persiapan pekan olahraga minggu depan. Ke sana, yuk, temani aku.”
“Gak bisa, Vien, aku ada acara keluarga habis ini. Sori banget, ya.”
“Yah, Dar, gak bisa ditunda sedikit apa?” tanya Vien, sembari mengeluarkan jurusnya untuk meluluhkan hati Dara. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya di hadapan Dara.
Dara menggeleng, jawabannya tetap sama. “Gak bisa, Vien, sori banget, huhu.”
Vien pasrah, “Ya, udah, gak pa-pa. Aku langsung pulang aja, deh, gak punya temen nonton, males banget.”
“Iya, Vien, mending belajar buat tes fisika besok.” Usul Dara diterima dengan baik oleh Vien. Ucapan Dara benar juga. Besok mereka ada tes fisika, dan jelas tidak ada yang bisa membantunya jika ia kesulitan nanti, termasuk Vai.
“Oke, deh, sampai besok, ya, Dar. Bye.”
“Bye, Vien.”
Dara berjalan terlebih dahulu meninggalkan Vien yang masih setia di posisinya. Gadis itu sebenarnya tidak berniat untuk pulang. Ia masih berharap untuk dapat melihat latihan Bhara, dan menyemangati lelaki itu. Akan tetapi, jika tidak ada Dara yang menemani, Vien akan merasa kesepian.
Di tengah-tengah perasaan galaunya, Vien seketika baru teringat akan satu nama, yang besar kemungkinan dapat menjadi partner menonton latihan Bhara.
Valderanzo Inggaskara.
Kata Vai tadi, lelaki itu dipanggil pak Suprapto untuk ke ruang dosen. Maka, atas alasan itulah, langkah Vien dipercepat menuju ruang dosen. Vien mengintip sekilas dari pintu kaca yang tertutup rapat itu. Vai masih ada di sana. Vien memutuskan untuk menunggu di depan ruangan itu.
“Loh, Vien, kok di sini?” tanya Vai yang baru saja keluar dari ruang dosen. Vien yang tadinya bersandar di tiang depan ruangan, seketika menegakkan tubuhnya. Gadis itu menatap Vai sejenak, kemudian menjalankan aksi rengekannya.
“Vai, temenin aku ke sebelah, yuk. Aku mau nonton Bhara latihan. Tadi aku ajak Dara, dia gak bisa, huaaa. Ayo, Vai, temenin aku, ya. Please.” Sama seperti tadi, Vien mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap kali ini, Vai mau menemaninya.
Vai terdiam sejenak, berusaha menetralkan rasa cemburu yang kini melingkupi perasaannya. Mengapa harus dirinya? Mengapa harus dirinya yang harus dilanda rasa sesak setiap Vien menyebut nama Bhara?
Vai ingin menolak. Lelaki itu tidak ingin menyebabkan rasa sesak yang semakin dalam.
Namun, nyatanya, penolakan itu tidak akan bisa terjadi, karena, ….
“Iya, Vien, aku temenin.”
Karena, Vai begitu mencintai Vien.
•
•
•
No comment buat part ini, terutama buat Vai yang selalu rela melakukan apa aja untuk Vien.😢
Jangan lupa tinggalkan jejakmu untuk part ini, yaa!! 😚😚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro