D u a P u l u h T u j u h
Kejutan Takdir – 27
Karena move on bukan sekadar perihal kegiatan melupakan, melainkan juga tentang memaafkan, dan mengikhlaskan.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
“Bhar, menurut kamu, aku pakai yang mana hari ini? Yang ini, atau yang ini?” tanya Dara sembari mengangkat dua botol parfum berbeda wangi itu ke hadapan Bhara.
“Bhar? Hei, Bhar?” Dara mengibaskan tangannya ke hadapan Bhara. Namun, tetap tak ada respons dari lelaki itu. “Ih, Bhar, kok bengong, sih?” kesal Dara langsung memukul lengan lelaki itu.
“Eh, Dar, kok mukul-mukul, sih?”
“Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa bengong trus, sih? Udah beberapa hari ini, aku liat kamu kayak suka bengong. Mikirin apa, sih?” cecar Dara habis-habisan, yang membuat Bhara menghela napasnya.
“Nggak ada apa-apa, kok, Sayang. Aku gak mikirin apa-apa,” jawab lelaki itu. Namun, itu tidak sama sekali memberikan kepuasan bagi Dara. Gadis itu yakin, bila Bhara tengah memikirkan Vien yang notabenenya berlabel sebagai sahabat dari lelaki itu. Ah, Dara benci akan hal itu.
Dari awal, Dara memang tidak menyukai Vien. Bahkan, selama ini ia hanya berpura-pura untuk menjadi teman Vien untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu yang ia inginkan. Dan, sesuatu itu ialah hati Bhara. Karena sejak awal gadis itu melihat Bhara pada saat ospek fakultas, maka sejak itu pula ia menyimpan rasa terhadap lelaki itu, dan berusaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hati lelaki itu. Termasuk, menjadi seseorang berwajah baik berlabel teman di hadapan Vien.
“Jangan bohong, ya, aku gak suka cowok bohong, loh,” ujar Dara, sembari bersidekap dada.
“Nggak bohong, kok, Sayangku,” jawab Bhara. Lelaki itu mengambil gerakan cepat untuk menarik hidung Dara gemas, dan langsung mendekap gadis itu di dalam pelukannya.
🌺🌺🌺
“Vien,” panggil Vai kepada gadis di sebelahnya. Vien yang masih fokus mengerjakan tugas makalahnya, tidak menjawab. Hanya suara penekanan jari di atas keyboard laptop yang terdengar.
“Fokus amat, sih,” gumam Vai nyaris tidak terdengar. Vai melipat kedua tangannya di atas meja, untuk memangku wajahnya dalam posisi tertidur, dan menghadap ke arah Vien. Dalam posisi sedekat ini, Vai dapat melihat kerutan kening milik Vien, dan tatapan gadis itu yang bergerak dari kiri ke kanan, seiring dengan pertambahan huruf yang terpampang di layar laptopnya. Sesekali pandangan Vai dialihkan ke tempat lain, agar gadis itu tidak menyadari tatapan penuh kekagumannya itu. Biar saja ia dikata pecundang yang tak berani mengungkapkan perasaan—seperti yang dikatakan oleh Arga. Namun, Vai akan tetap menjadi Vai, yang memendam rasanya terhadap Vien. Sebenarnya, lelaki itu juga ingin mengungkapkan perasaan cintanya yang sudah begitu lama bersarang di dalam hati kepada gadis di hadapannya ini, akan tetapi rasa takut kehilangan Vien lah yang hingga kini menjadi alasannya memendam cinta.
“Ah, akhirnya kelar juga,” ujar Vien. Gadis itu meng-klik tombol shut down, dan menutup laptopnya. “Capek banget,” keluhnya sembari meregangkan kedua tangannya ke atas.
Vai yang menyadari Vien telah selesai mengerjakan tugas makalahnya, langsung menegakkan tubuhnya. “Udah selesai? Makan dulu, yuk,” ajak lelaki itu. Vien jelas mengangguk sebagai jawaban. Lagipula, cacing-cacing di dalam perutnya sudah melaksanakan aksi demonstrasi, sehingga ia harus cepat-cepat mengisi perutnya dengan makanan.
“Makan di kantin teknik aja, Vai,” ujar Vien, sembari memasukkan laptopnya ke dalam tote bag nya. Beruntungnya, ukuran laptop itu tidaklah besar, hingga bisa muat ke dalam tote bag. Vien memang sengaja membeli laptop dengan ukuran yang lebih kecil, dengan alasan berat jika nanti harus membawa yang besar.
“Oke deh. Yuk, ini biar aku bantu bawain.” Vai meraih binder milik Vien yang ada di atas meja. Binder dengan ukuran B5 itu tidak Vien masukkan ke dalam tote bag, karena akan kesulitan menarik ritsleting tas nantinya. Mereka mulai melangkah keluar dari perpustakaan, tempat Vien mengerjakan tugas tadi.
Ngomong-ngomong, semenjak merenggangnya hubungan antara Vien dan Bhara, gadis itu sudah membulatkan tekadnya untuk lebih serius kuliah. Mungkin, tujuan awalnya bergabung ke dalam program studi arsitektur ialah karena Bhara. Tapi, ia sesegera mungkin mengubah tujuan akhirnya, yakni ingin menjadi seorang arsitek hebat. Bisa saja, arsitek merangkap sebagai penulis? Anggap saja menulis adalah pekerjaan sampingannya.
Saat berjalan, suara yang datangnya dari perut Vien mengacaukan keheningan yang tercipta antara dua insan berbeda jenis kelamin itu.
“Laper banget, ya, sampai cacingnya udah demo?” ledek Vai. Sementara Vien hanya menyengir kecil. “Makanya, lain kali, kalau ada tugas, diselesaikan secepatnya, biar gak numpuk di satu hari, dan alhasil ngebut-ngebutan, deh, kerjainnya,” ujar Vai, mengelus puncak kepala Vien.
“Hehe, maaf, Vai. Abisnya, aku lupa.”
“Masih muda aja udah pikun, gimana, sih?”
“Ih, Vai, nyebelin banget, sih.” Vien mendorong lelaki itu untuk menjauh darinya, hingga tubuh lelaki itu nyaris tumbang ke samping.
“Eh, dianya ngambek. Maaf, deh, Tuan Putri.” Vai berjalan mendekat kepada Vien, bahkan kali ini sepertinya jarak antara keduanya semakin dekat, sehingga Vai dapat dengan mudahnya menyenggol lengan Vien. Jelas itu menambah tingkat kekesalan Vien kepada lelaki itu.
“Jangan ngambek, dong, Tuan Putri,” ujar Vai. Namun, tak kunjung mendapat jawaban. “Tuan Putri,” panggilnya lagi.
“Tuan Putri ngambek, nanti mukanya jelek loh.”
“Gak duli,” ketus Vien. Vai terdiam sejenak, untuk berpikir.
“Aha! Aku tahu, nih, caranya supaya Tuan Putri gak marah lagi,” gumamnya pada dirinya sendiri, tapi masih dapat didengar jelas oleh Vien. Vien menoleh, dan tersenyum kecil melihat wajah lelaki itu.
“Tuan Putri, sebagai permintaan maaf Pangeran karena udah membuat Tuan Putri kesal, maka Pangeran akan mentraktir Tuan Putri makan di kantin, bebas mau makan apa aja. Gimana?” tawar Vai.
Vien berpikir sejenak, hingga akhirnya mereka sudah tiba di kantin. Tawaran yang cukup menarik dari Vai, Vien mencondongkan tubuhnya menghadap ke Vai, lantas memamerkan sederetan gigi putihnya. “Tawaran permintaan maaf Pangeran diterima. Tuan Putri akan dengan senang hati memaafkan.”
“Giliran makan gratis aja cepet kamunya,” ledek Vai. Namun kali ini, Vien tidak protes, melainkan langsung berjalan meninggalkan lelaki itu, dan menarik salah satu kursi.
Vai berjalan mengikuti Vien, dan menaruh tasnya di atas kursi. “Mau makan apa, Tuan Putri?”
“Ehm, hari ini, aku mau makan bakso aja, deh, Vai,” ucap gadis itu. “Gak usah—”
“Gak usah pakai daun bawang, mie kuningnya dikit aja, trus baksonya yang kecil aja. Iya, kan?”
Vien terkekeh kecil. “Udah hafal, ya, Pangeran?”
“Hafal, dong. Orang pesanannya gitu mulu. Ya udah, tunggu bentar, ya, aku pesenin dulu.” Vai segera beralih dari sana, dan memesan bakso untuk mereka berdua.
“Tadaa, baksonya udah datang,” ujar lelaki itu sekembalinya dari memesan bakso. Vien menatap mangkuk bakso itu dengan mata yang berbinar-binar. Dengan cepat ia mengambil satu sendok kuah pertama, dan meniupnya.
“Ah, enak banget kuahnya,” ujar gadis itu, yang membuat Vai tersenyum kecil.
“Dihabisin, ya, Tuan Putri.”
“Ayayay, Captain.”
Untuk beberapa menit pertama, tidak ada yang berniat memulai percakapan. Mereka masih sibuk untuk mengenyangkan perut masing-masing. Suasana di kantin tergolong tidak terlalu ramai, mungkin kebanyakan dari mereka memilih makan di kafe ataupun di tempat di luar kantin.
“Ehm, Vien. Aku mau nanya, deh.”
Vien yang hendak memasukkan satu buah bakso ke dalam mulutnya, mengurungkan niatnya. Sendoknya ia taruh kembali di atas mangkuk. “Tanya apa, Vai?”
“Soal Bhara. Sejak hari dia ninggalin kamu, dia ada datengin kamu trus minta maaf, gak?”
Vien berpikir sejenak, sebelum pada akhirnya gadis itu menggeleng. “Nggak ada, Vai.”
“Emang ada apa?” lanjutnya.
“Nggak pa-pa, Vien. Cuma heran aja, masa dia gak ngerasa bersalah sama kamu gitu? Setelah dia udah ninggalin kamu di pinggir jalan.”
“Ya, urusan itu gak usah diingat-ingat lagi, Vai. Biarin aja,” ujar Vien. Gadis itu mengangkat sendoknya, dan memasukkan bakso kecil ke dalam mulutnya.
“Ya, gak bisa gitu, dong, Vien. Lagian, aku juga udah ….”
“Udah apa?”
“Ehm, maksud aku, aku pikir, Bhara bakalan ngerasa bersalah gitu akhirnya,” ujar lelaki itu cepat. Hampir saja ketahuan Vien, jika ia sudah membongkar semuanya kepada Bhara, dan parahnya sudah melayangkan tonjokkan kepada lelaki itu.
“Oh, gitu, kirain udah apa. Ya, gimana, ya, Vai, biarin aja udah. Aku udah gak mikirin hal itu. Sekarang, aku cuma mau fokus ngelupain perasaan aku sama Bhara.”
“Maksud kamu? Kamu mau move on gitu?”
“Iya, Vai. Aku rasa, udah saatnya aku ngelupain perasaan aku sama Bhara. Dia juga udah punya pacar, dan aku yakin, Dara itu bisa jadi pacar yang baik buat Bhara. Jadi, aku rasa, udah gak ada lagi alasan buat aku pertahanin perasaan aku,” ujar gadis itu, sembari menundukkan kepalanya. Garpu dan sendok yang ada di tangannya ia gunakan untuk mengaduk-aduk baksonya yang tinggal seperempat. “Aku juga capek, Vai, terus-terusan nyimpen rasa buat Bhara. Aku capek, harus ngerasain cemburu trus pas aku ngelihat Bhara sama Dara. Capek banget,” lirih gadis itu.
Dengan segera, tangan Vai terulur, untuk mengusap air mata yang nyaris mendarat turun dari permukaan wajah Vien.
“Vien, jangan sedih. Aku tahu, move on itu gak mudah. Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, move on itu bukan berarti kita lemah karena gak mampu pertahanin perasaan kita. Melainkan, move on adalah opsi terbaik yang bisa kita pilih untuk menyelamatkan hati kita dari yang namanya sakit hati.”
“Makasih, ya, Vai. Kamu emang paling bisa kasi kalimat motivasi buat aku. Thanks for always in my side.”
•
•
•
Aaaa, akhirnya Vien mau belajar move on dari Bhara. Semoga aja rencananya berhasil, ya, biar Vien gak usah sakit hati lagi.
By the way, setelah Vien move on, kira-kira ada gak, ya, kesempatan buat Vai ngeduduki tahta hatinya Vien?
Kalau kalian, pada nge-ship Bhara-Vien atau Vai-Vien? 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro