D u a P u l u h E m p a t
Kejutan Takdir — 24
Karena, nyatanya, perasaan kita itu sama. Hanya saja, waktu kita yang tidak tepat.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya, dua insan berbeda jenis kelamin tengah berjalan sembari menautkan jemari mereka. Langkah-langkah panjang yang mereka ambil membawa mereka ke food court yang menjual berbagai jenis makanan Jepang. Setelah mendapati meja untuk mereka tempati, keduanya langsung mendaratkan tubuh mereka di kursi. Seorang pelayan food court datang menghampiri mereka, dan memberikan mereka buku menu.
Buku menu itu diterima terlebih dahulu oleh gadis dengan blus berwarna biru muda itu. Setelah mendapatkan apa yang hendak ia santap, ia segera memesan. “Ehm, saya pesan spicy kare beef aja, Mbak. Sayang, kamu mau pesen apa?” tanya gadis itu. Pandangannya masih fokus membalik buku menu, ia masih belum memesan minuman. “Untuk minumannya matcha smoothie aja.”
“Sayang,” panggil gadis itu kembali, setelah pertanyaannya yang tadi tak mendapat jawaban. “Sayang. Kok bengong?”
“Eh, iya, Dar, ada apa?”
Dara menyipitkan matanya melihat keanehan dalam diri Bhara. Sedari tadi, pacarnya itu kebanyakan diam, tidak seperti biasa-biasanya.
“Ini, kamu mau pesen apa? Kasihan Mbaknya, loh.”
“Samain aja kayak punya kamu,” putus Bhara setelah beberapa saat membalik buku menu, dan belum mendapatkan sesuatu yang menarik untuk ia pesan. Atau, memang karena dirinya yang tidak fokus melihat menu makanan yang tersedia. Pikirannya entah berlari kemana. Fokusnya mendadak hilang.
“Oh, oke. Mbak, jadi spicy kare beef-nya dua, sama matcha smoothie-nya juga dua, ya. Makasih.” Dara mengembalikan buku menu itu kepada pelayan.
“Baik, Mbak. Mohon ditunggu, ya, pesanannya. Terima kasih.” Pelayan itu melenggang pergi. Sepeninggalnya, Dara langsung berdeham, guna menghilangkan hening yang tercipta antara dirinya dengan sang pacar.
“Aku liat hari ini kamu beda, Bhar,” ujar Dara terang-terangan.
Bhara mengernyitkan dahinya, tidak mengerti dengan maksud perkataan Dara. “Beda gimana?”
“Kamu kebanyakan diam, Bhar, gak kayak biasanya. Trus, udah dua kali aku dapetin kamu lagi melamun. Ada apa, sih? Apa yang kamu pikirin?”
“Nggak ada yang aku pikirin. Mungkin, aku lagi kecapekan aja, jadinya lebih banyak diam.” Jawaban Bhara tidak menimbulkan kepuasan bagi Dara, karena gadis itu yakin, ada yang disembunyikan oleh pacarnya itu.
“Kamu lagi mikirin Vien, ya?” tebak Dara.
Bhara spontan menggeleng. “Nggaklah,” ujarnya cepat. “Ngaco kamu, Dar. Ngapain juga aku mikirin Vien?”
“Ya, mana aku tahu. Siapa tahu kamu kepikiran sama dia, karena tadi gak berhasil anterin dia pulang sampai ke rumah.”
Bhara tertawa kecil. “Ada-ada aja, deh. Masa cuma karena hal gitu, aku sampai kepikiran? Ya, nggaklah. Yang ada itu, aku mikir, kenapa cewek aku cantik banget?”
Wajah Dara mendadak memerah, mendengar ucapan Bhara. “Apaan, sih, gombal.” Dara mengambil selembar tisu, kemudian menggenggamnya, menjadikan tisu itu berbentuk bola, lantas melemparkannya ke wajah Bhara.
“Lah, dipuji kok malah ngelempar tisu.” Bhara membalas aksi Dara dengan turut melempar tisu. Tawa seketika mengudara dari keduanya. Jika ada orang lain yang melihat mereka tertawa bersama seperti ini, maka orang itu akan memuji keharmonisan hubungan mereka.
Tapi, tanpa orang-orang ketahui, bahwa salah satu dari mereka tidak tengah memusatkan perhatiannya seratus persen ke pasangan yang ada di hadapannya sekarang. Karena, kini justru pikirannya tengah dipenuhi oleh bayangan gadis lain.
🌺🌺🌺
Suara grasak-grusuk dari lantai bawah membuat sang empunya rumah terbangun dari istirahatnya. Ia melirik jam berbentuk bulat yang menggantung di dindingnya. Sudah nyaris seharian, ia terbaring lemas akibat penyakit tifus yang menyerang dirinya kali ini. Mungkin, penyakit itu ialah bentuk dari teguran Tuhan baginya yang suka tidak kenal waktu saat mengerjakan tugas.
Tubuhnya masih begitu lemas. Ah, jika tahu akan begini akhirnya, ia akan berusaha menjaga pola istirahatnya kemarin-kemarin. Berada di dalam kamar, dan tiduran seharian sebenarnya juga tidak bagus. Seperti saat ini, tubuhnya seketika remuk ketika ia mencoba duduk dengan bersandar pada bantal yang baru ia tumpuk meninggi. Ia mengabaikan suara grasak-grusuk tadi, karena mungkin saja itu adalah suara kepulangan papa dan mamanya sehabis bekerja.
Tak lama kemudian, suara decitan pintu yang terbuka terdengar. Vai yang tadi tengah memejamkan matanya sembari sesekali mengeluh akibat tubuhnya yang terasa remuk sontak menoleh. Ada Arga yang berdiri di depan pintu, dengan wajah yang bisa dibilang panik.
“Vai, ikut gue sekarang,” ujar Arga, yang membuat Vai mengernyit, seolah dari sana ia dapat menyampaikan pertanyaan “ada apa?”
“Ini soal Vien, Vai. Vien ada di kamar tamu. Dia pingsan.”
Mendengar nama Vien tersebut, Vai segera beranjak dari ranjangnya. Lelaki itu sempat meringis, karena tulang-tulangnya yang kaku akibat tidur seharian mendadak diberikan gaya perubahan yang begitu besar.
Lelaki itu berjalan setengah berlari menuruni anak tangga. Sesekali Arga mengumpat, melihat temannya itu yang tidak tahu diri. Sudah tahu sedang sakit, tapi caranya melangkahi dua anak tangga sekaligus benar-benar seperti orang yang sedang mencari mati.
Vai dengan segera membuka pintu kamar tamu, dan langsung bersimpuh di tepian ranjang yang tidak terlalu besar itu. Vien tampak kacau, dengan rambut lurusnya yang biasanya rapi, kini malah acak-acakan.
“Ga, Vien kenapa?” tanya Vai.
“Gue juga gak tahu dia kenapa. Tapi, tadi pas gue mau balik, gue lihat seseorang mirip Vien jalan di pinggir jalan sendirian. Trus, pas gue perjelas lagi penglihatan gue, itu beneran Vien. Lalu, gue pinggirin, deh, tuh mobil, mau manggil dia. Eh, tiba-tiba, dia oleng. Untungnya, gue sigap nangkep dia, kalau nggak udah kebentur sama semen jalanan itu,” jelas Arga panjang lebar, yang entah didengar jelas oleh Vai atau tidak, mengingat lelaki itu fokus memanggil nama Vien, berharap gadis itu cepat bangun.
Melihat raut khawatir yang tercetak jelas di wajah Vai, diam-diam Arga mengulum senyumnya. Kadang, lelaki itu ingin mengumpat kebodohan dari seorang Vai. Jelas-jelas ia menyimpan rasa yang teramat dalam pada Vien, tapi ia malah membiarkan rasanya terkubur karena gelar persahabatannya dengan gadis itu. Terlebih, Vai hanya bisa menjadi sosok kedua dibalik Bhara yang dicintai oleh Vien. Bagi Arga, Vai tidak lebih dari seorang pecundang yang tidak berani mengutarakan perasaannya. Padahal, jika lelaki itu bisa bersikap sedikit lebih gentle, Arga yakin, lelaki itu akan keluar dari zona pemeran kedua yang selalu didahului Bhara.
🌺🌺🌺
Di dalam kamar yang tidak terlalu luas itu, Bhara mengacak rambutnya kacau. Sesekali decakan halus terdengar dari mulut lelaki itu. Pasalnya, ini sudah pesan ke sembilan belas yang ia kirim kepada Vien, tapi tak kunjung juga ia mendapat balasan. Jangankan balasan, bahkan pesan tersebut hanya centang satu, pertanda ponsel gadis itu sedang tidak aktif.
Sejak Vien yang turun dari mobilnya di tengah jalan tadi, Bhara tak bisa memungkiri bahwa lelaki itu merasakan kegelisahan yang luar biasa. Mungkin, ini bukan pertama kalinya Vien pulang sendirian, karena beberapa kali gadis itu nekat membawa motornya sendiri bolak-balik kampus. Namun, kekhawatiran Bhara baru tercipta sekali ini, saat gadis itu memaksa untuk turun dari mobil. Terlebih, jalanan yang mereka lalui itu tergolong jalanan yang tidak begitu ramai.
Bhara tahu, pasti sahabatnya itu merasa tersinggung dengan ucapan Dara. Tapi mau bagaimanapun, Bhara tidak bisa memarahi Dara atas sikapnya, mengingat status gadis itu sebagai pacarnya.
Lelaki itu tahu, bila sekarang pacarnya itu mengetahui isi pikirannya yang digelayuti oleh kekhawatiran akan Vien, Dara pasti akan cemburu, dan marah besar dengannya. Tapi, terkadang, Bhara juga tidak bisa memungkiri perasaan khawatirnya terhadap sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, Vien ialah sahabatnya. Ia telah bersama Vien lama sebelum ia mengenal Dara.
Meski kebersamaan itu terkadang menimbulkan rasa ingin bebas. Karena, jujur saja, belasan tahun bersama Vien, dan harus direpotkan dengan tanggung jawab akan gadis itu tidaklah menyenangkan. Terkadang, Bhara harus mengorbankan kesenangan pribadinya guna menjadi tameng bagi gadis kecil kesayangan Aditya itu. Wajar saja, bila Aditya menitipkan Vien kepada Bhara, mengingat hanya lelaki itulah yang berhasil membuat Vien nyaman dan merasa aman.
Tapi, apa Adit akan tetap mempercayai Vien kepada Bhara, bila pria itu tahu kejadian yang terjadi hari ini?
Setelah menanti balasan cukup lama, Bhara memutuskan untuk menelepon Vien dengan pulsanya. Karena, sia-sia saja bila lelaki itu menelepon dari aplikasi Whatsapp, pesannya saja sampai sekarang belum masuk.
Alih-alih mendengar suara Vien yang mengangkat telepon, lelaki itu malah mendengar suara operator yang isi ucapannya sudah Bhara hafal di luar kepala. Alhasil, Bhara memutuskan panggilan itu.
Jalan satu-satunya untuk menghilangkan pikiran negatif Bhara ialah dengan pergi ke rumah Vien, dan memastikan gadis itu sudah pulang ke rumah, dengan kondisi baik-baik saja.
•
•
•
Hola, Gaes! Gimana dengan part 24 ini?
Kalau dikasi kesempatan buat hujat satu tokoh di sini, coba bisikin siapa yang pengen kalian hujat antara Bhara dan Vai?
Vai si pecundang yang gak berani ungkapin perasaannya ke Vien, kah, atau Bhara yang gak pekaan sama perasaan Vien?
Silakan dipilih😬😬
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro