D u a P u l u h D e l a p a n
Kejutan Takdir – 28
Perasaan ada untuk diutarakan, bukan dipendam hingga menyisakan penyesalan.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Perkuliahan sudah selesai lima belas menit yang lalu, dan satu per satu mahasiswa mulai beranjak pulang. Sama seperti halnya Vai dan Vien, yang hendak pulang, setelah mereka berdua melepas rindu dengan soto di kantin teknik. Maklum saja, penjual soto ayam itu sudah cukup tua, sehingga anaknya melarangnya untuk menjual soto ayam di kantin setiap hari. Sehingga, nek Ina hanya akan menjual setiap hari Kamis saja, sekali seminggu. Dan, sekalinya soto itu kembali dijual, mahasiswa dan mahasiswi akan dengan senang hati mengerumuni kantin guna menikmati kuah soto yang dianggap super nikmat itu. Begitupula Vien yang merupakan penggemar nomor satu soto ayam nek Ina itu.
“Enak banget sotonya, ya. Sayang aja, nek Ina jualnya jarang-jarang, padahal laku banget,” ujar Vien. Gadis itu berjalan dengan perlahan, membiarkan makanannya turun dengan hati-hati, tidak terburu-buru. Gadis itu hendak menambah soto tadi, sayangnya sudah habis kata nek Ina. Hal itu membuat Vien murung untuk sesaat. Hanya sesaat, karena nek Ina bilang, ia akan menjual lagi besok sebagai pengganti minggu depan ia akan pulang kampung, dan Vien dengan semangatnya memesan terlebih dahulu beberapa porsi untuk ia bawa sekaligus pulang ke rumah kepada papa dan mamanya.
“Ya, maklum aja, nek Ina udah tua. Cuma, nek Ina kayak masih segar gitu. Gak mirip sama usia nenek-nenek yang seharusnya.”
Vien mengangguk menyetujui kalimat yang diucapkan oleh Vai. Nek Ina terlihat muda dari usia aslinya. Usianya yang sudah menginjak kepala tujuh itu tidak membuatnya terlihat lemah saat menjual soto. Justru, tangannya dengan gesit memasukkan sayur-sayur pelengkap soto itu.
“Vien, nanti malem, kamu ada rencana mau keluar, gak?” tanya Vai tiba-tiba. Vien lantas menggeleng.
“Kenapa emangnya?”
“Nggak pa-pa, malam ini aku ada janji sama bang Ardi dan temennya, mau nongkrong di kafe, sekaligus menyambung tali persaudaraan lah. Udah lama gak ketemu soalnya. Jadi, kalau kamu mau keluar, aku kan bisa batalin janji aku buat temenin kamu.”
Vien mengangguk paham. Bang Ardi adalah sepupu Vai yang juga berkuliah di Universitas yang sama dengan mereka, bedanya bang Ardi berada di fakultas ekonomi dan bisnis, dengan jurusan akuntansi internasional. Hal itu menyebabkan Vai jarang bertemu dengan bang Ardi. Terlebih lagi, tempat tinggal keduanya lumayan jauh.
Dan, perihal ucapan Vai yang akan membatalkan janjinya untuk Vien, ya, Vien akui, gadis itu merasa tidak enak kepada lelaki itu. Vai terlalu baik, hingga lelaki itu siap saja membatalkan janjinya jika Vien berencana untuk keluar malam ini. Wajar saja lelaki itu berkata demikian, mengingat beberapa hari terakhir, Vien memang meminta Vai untuk menemaninya keluar rumah. Seperti untuk mengantarnya ke rumah salah satu temannya untuk mengerjakan tugas rancangan kelompok, atau sekadar ke minimarket untuk membeli keperluannya. Terkadang, Vien merasa bahwa ia terlalu bergantung kepada orang lain. Dulu, ia bergantung kepada Bhara. Sekarang, justru Vai lah yang menjadi tempatnya bergantung.
“Vai, jangan terlalu baik sama aku. Kamu gak perlu sampai berniat ngebatelin janji kamu, untuk aku. Sometimes, I need to learn how to be independent, Vai. Aku gak bisa terus-terusan bergantung sama kamu, ataupun sama orang-orang di sekitar aku. Jadi, aku mohon, prioritasin kepentingan kamu, jangan kepentingan aku, ya.” Ucapan Vien membuat Vai tertegun sejenak, sebelum akhirnya tangan lelaki itu sudah berada di puncak kepala Vien.
“Ternyata, seorang Vienna Devansha sekarang udah dewasa, ya,” ledek lelaki itu. Lelaki itu menghentikan langkahnya, yang secara otomatis, Vien berhenti melangkah juga. Vai menatap kedua bola mata hitam gadis di hadapannya lekat-lekat. “Kalau kamu bilang gitu, aku gak bakalan nentang. Kamu benar, sometimes you need to be alone, and solve every problem only with yourself. But, overall, you must know this. You can count on me, and trust me, I will never leave you alone.”
“Because, I love you more than you know, Vien,” sambungnya di dalam hati.
🌺🌺🌺
Malam dengan cepat menguasai bentangan langit di atas sana. Kegelapan mulai melingkupi langit, menggantikan warna jingga senja yang tadi bertahta. Pukul tujuh tepat, Vai keluar dari rumahnya, dan segera mengambil mobilnya yang ada di garasi. Lelaki itu dengan cepat memacu kelajuan mobilnya menuju sebuah kafe yang membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk menggapainya.
Sejujurnya, Vai bukanlah tipikal orang yang hobi keluar malam, bahkan kepulangan Vai yang menginjak waktu di atas delapan malam itu dapat dihitung dengan jari. Lelaki itu lebih suka menghabiskan waktunya di rumah untuk mengerjakan tugas kuliah, atau mungkin menikmati hari bersama alat musik piano yang dibelikan ayahnya dua tahun lalu. Diam-diam, lelaki itu memang memiliki kemampuan dalam menekan tuts hitam dan putih yang berderet sempurna di satu baris itu, menjadi sesuatu yang terdengar merdu suaranya. Meskipun ia juga lihai memainkan alat musik petik bernama gitar, tapi baginya, suara yang dihasilkan dari penekanan tuts itu lebih merdu.
Perjalanan dari rumah hingga ke kafe sudah ditempuh Vai. Kali ini, ia hanya memerlukan tujuh menit saja untuk perjalanan itu. Tiga menit sisanya, ia manfaatkan untuk mencari tempat parkir kosong, dan berjalan masuk ke dalam kafe.
“Vai,” panggil seseorang sembari melambaikan tangannya kepada Vai dari sana.
Vai memicingkan matanya, dan lelaki itu lantas tersenyum. Orang yang memanggilnya tadi ialah bang Ardi —sepupunya—.
“Hei, Bang,” sapa Vai, kemudian menepuk bahu bang Ardi. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama kepada Rey dan Farrel yang merupakan teman dari sekampus bang Ardi, sekaligus teman masa kecil Vai pada saat menginap di rumah neneknya. Rumah Rey dan Farrel yang bertetanggaan dengan rumah nenek Vai, dan Ardi membuat keempat dari mereka tampak begitu akrab, meski berbeda usia. Rey selaku yang tertua, dengan Farrel yang lebih muda beberapa bulan dengannya, sedangkan Ardi terpaut setahun dengan keduanya. Vai pula berbeda dua tahun dengan Ardi.
Setelah formasi pertemuan mereka lengkap, mereka lalu memanggil pelayan kafe dan memesan minuman, serta beberapa camilan untuk melengkapi.
“Gimana kabar lo, Vai? Udah lama gak ketemu, makin ganteng aja lo,” ujar Rey, yang membuat Vai terkekeh kecil.
“Kabar gue baik, Bang. Perasaan gue, gue biasa aja, Bang, masih kalah jauh lah dari kegantengan lo, Bang.”
“Nah, ini nih yang perlu gue lurusin. Kita itu gak bisa menilai diri kita sendiri, Vai. Betul, gak?” tanya Rey, meminta persetujuan dari Ardi dan Farrel.
“Yoi, Man. Si Vai itu palingan cuma malu-malu kucing aja pas dikatain makin ganteng. Padahal mah, emang kenyataannya ganteng. Kalau kata anak-anak zaman sekarang, glow up nya gak ketolong, Man, bikin orang terpana ae aja,” tambah Farrel, yang membuat keempatnya tertawa kecil.
“Bisa aja dah Bang Rey sama Bang Farrel. By the way, kalian apa kabar?”
“Kabar gue sih baik-baik aja, Vai. Ya, palingan dikit stress aja gara-gara skripsi. Gilak, lo harus ngerasain gimana ada di semester delapan, dan kawan-kawan lo udah pada hampir kelar skripsinya. Sedangkan lo, nentuin judul aja belum,” ujar Rey dengan dramatisnya. Ardi yang berada di sebelah kiri lelaki itu hendak menoyor Rey, namun ia urungkan mengingat itu bukanlah hal yang sopan. Meskipun mereka tumbuh besar bersama, dan telah berteman sejak belasan tahun yang lalu, tapi tetap saja, menjaga sopan santun adalah hal yang harus diperhatikan terutama kepada mereka yang lebih tua.
“Ya, itu sih karena lo nya aja yang mageran. Orang udah nyampai di Mars, lo baru nyiapin baju buat dibawa ke sana, ya, telat,” sambung Rey, yang membuat Vai tertawa.
“Benar juga lo, Bang,” ujar Vai. “Nah, kalau lo sendiri, gimana kabarnya, Bang?”
Pertanyaan itu ditujukan Vai kepada Rey.
“Oh, kalau Rey gak usah ditanya. Kabarnya dia lagi gak baik-baik aja,” jawab Farrel yang sepertinya pada mala mini menjadi juru bicara dari seorang Rey.
“Loh, gak baik kenapa? Karena skripsi lagi?”
“Karena mantan, Vai,” timpal Ardi, yang membuat Rey mendelik tajam ke arahnya.
“Biasa aja kali matanya, hati-hati keluar tuh bola matanya.”
“Jadi, ceritanya, ada yang gagal move on?” tanya Vai, yang membuat Farrel dan Ardi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan yang ditertawai, hanya menghela napasnya.
“Ketawain aja guenya,” ujar Rey.
“Eh, Bang, ampun, ya. Gue becanda doang.”
“Jangan ngomongin gue, lo sendiri gimana, Vai? Gue denger dari Ardi, lo suka sama satu cewek?”
“Ha? Bang Ardi ngasi tahu lo?” Kini, Vai menatap tajam Ardi yang berpura-pura tidak bersalah. “Ember banget, sih, lo.”
“Santai, Vai, lo kayak siapa aja,” ucap Farrel.
“Sampai sekarang, cewek itu gak tahu kalau lo suka sama dia?” tanya Rey. Lelaki itu memperbaiki posisi duduknya.
“Nggak, Bang. Gue masih belum berani nyatain perasaan gue ke dia.”
“Kenapa gak berani, sih? Dengar, ya, Vai, jadi cowok itu jangan cemen. Zaman sekarang, kalau lo kalah cepet nyatain perasaan lo, lo bakalan kehilangan cewek itu,” ucap Rey.
“Nah, gue setuju sama Rey. Gini, ya, Vai, kalau lo gak nyatain perasaan lo ke cewek itu, selamanya dia gak bakalan tahu soal perasaan lo. Ya, sesuai yang dibilang sama Rey tadi, lo bakalan keduluan sama cowok lain, dan ujungnya apa? Lo sakit hati, karena cewek itu malah sama cowok lain,” timpal Farrel.
“Ya, lama-lama juga ceweknya bakalan peka, kok, kalau si Vai nya kodein trus,” ujar Ardi.
“Ya, iya, kode itu perlu juga. Cuma, ya, sebaiknya diutarain juga secara langsung. Cewek lo mana mungkin tahu perasaan lo, kalau lo gak bilang. Ini real life, Man, bukan film azab yang suara hati lo bisa dia denger gitu aja.”
“Makasih banyak, ya, Bang. Malem ini kayaknya gue dapat banyak pencerahan dari kalian. Thanks, ya.”
“Yo i, sama-sama, Vai. Lo udah kami anggap kayak adek sendiri, jadi kalau perlu apa-apa, tinggal calling-calling aja,” ujar Farrel, yang membuat Vai mengangguk patuh. “Nah, si Vai udah dikasi pencerahan. Lalu, apa perlu Pak Bos dikasi pencerahan juga?” tanya Farrel, dengan mata yang melirik ke arah Rey.
Rey meluruskan punggungnya, kemudian menatap Farrel tajam. “Siapa yang perlu dikasi pencerahan?”
“Eh, ampun-ampun, Pak Bos.”
Vai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah keduanya. Dari mereka bertiga, hanya Ardi yang mempunyai sifat lebih kalem.
“Pasti mantan lo itu cantik banget, Bang, makanya lo sampai gak bisa move on. Iya, kan?” Pertanyaan Vai langsung diangguki oleh Farrel.
“Beh, cantik banget. By the way, kalau gak salah, dia sejurusan sama lo, Vai. Seangkatan pula. Iya, gak, Ar?”
“Ho oh, bisa aja sekelas sama Vai,” timpal Ardi.
“Ha? Seangkatan sama gue? Siapa namanya coba?”
“Ah, kalau namanya gue lupa. Nah, gue tunjukkin fotonya aja, ya. Ini kemarin gue colong dari hapenya Rey. Wong, punya stok foto cecans bukannya dikirimin ke gue,” ucap Farrel, yang membuat Rey membesarkan pupil matanya.
“Lo buka-buka hape gue?”
“Ya elah, santai, Bos. Hape doang yang gue buka, bukan aurat lo, jadi biasa aja kali.”
“Nah, ini dia fotonya, Vai. Lo kenal, gak?” Farrel menyerahkan ponselnya yang dalam keadaan terbuka itu kepada Vai.
“Yah, kalau gini caranya, mana gue bisa tahu. Fotonya aja dari samping, mana blur lagi,” ucap Vai. “Ada foto lain, gak?”
“Oh, ada-ada. Sini gue cariin ….” Farrel men-scroll isi galerinya. “Ah, ini dia. Ini udah yang paling jelas.”
Vai kembali menerima ponsel itu, dan melihat foto gadis yang ada di layar itu. Wajah seorang gadis dengan rambut panjang agak kecokelatan itu berhasil membuat Vai membulatkan matanya.
•
•
•
Special update hari ini, jam 9 malem, baru kelar ngetik, gas mau update, hihi.🤭
Berikan kritik sarannya, ya, untuk part ke 28 ini. Semoga, kalian gak bakal bosen-bosennya baca kisah Vien, dan teman-teman.🥰
See you next part, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro