D e l a p a n B e l a s
Kejutan Takdir — 18
Ada yang retak; hati. Ada yang runtuh; harapan. Ada yang tumpah; tangis. Dan, ada yang hancur; aku.
┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈
Vien menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Lelah menguasai gadis itu. Waktu kini menunjukkan pukul 2 subuh, dan gadis itu baru bisa menyentuh kasurnya lagi setelah Vai datang tadi. Ditambah dengan surprise tak terduga dari kedua orang tuanya, yang membuat Vien tak bisa menahan harunya.
Ternyata, kedua orang tuanya masih ada di rumah saat itu. Mereka berbohong kepada Vien perihal undangan rekan kerja papanya itu. Dan, Vai terlibat dalam hal ini. Vai yang sebelumnya meminta izin kepada papa dan mama Vien sebelum memberikan surprise kepada Vien, diminta untuk membantu kedua pasangan suami istri itu. Sehingga, pada saat Vai bersama Vien di pekarangan rumah, baik Sonia dan Adit dengan cepat mengurus hiasan di ruang tamu. Setidaknya, itu yang Vien dengar dari penjelasan Vai.
Namun yang masih menjadi pertanyaan Vien adalah bagaimana kedua orang tuanya pulang, tanpa sepengetahuan Vien? Bukankah akan terdengar suara deru mobil apabila mereka pulang? Akan tetapi, persetan dengan semua itu, yang jelas Vien bahagia. Setidaknya, kedua orang tuanya tidak mempertaruhkan waktu kebersamaan mereka demi pergi ke acara orang lain. Itu sudah lebih dari cukup, untuk membuktikan bahwa Vien terlihat berharga di mata mereka.
Sayangnya, masih ada satu hal yang kurang untuk menambah persentase kebahagiaan Vien, yakni Bhara.
Hingga saat ini, dua jam berlalu sejak pukul 00.00, dan Vien masih belum mendapat notifikasi pesan dari Bhara. Jikalau lelaki itu sibuk, lantas, ia bisa kan menghubungi Vien via Whatsapp? Mengucapkan selamat ulang tahun, dan sederetan kalimat serupa dalam ketikan yang tak lebih dari 1 menit. Apa itu susah?
Vien menghela napasnya pasrah. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah berharap ia berjumpa dengan Bhara di kampus, dan lelaki itu akan mengucapkannya selamat ulang tahun.
🌺🌺🌺
“Hai, Vai,” sapa Vien, ketika motor lelaki itu tiba di depan rumahnya.
Lelaki itu membuka kaca helmnya, kemudian melayangkan senyumnya kepada Vien. “Hai juga, Vien. Yuk, berangkat.”
Vien mengangguk, kemudian memasang helm miliknya ke atas kepala. “Ish, susah banget, sih,” kesal Vien yang sedikit kesusahan mengaitkan tali helmnya.
Vai mengulurkan tangannya, membantu gadis itu mengaitkan tali helm itu. Sesaat, keduanya saling bertatapan. Jarak mereka yang begitu dekat, membuat setiap embusan napas mereka terasa satu sama lain. Buru-buru Vien memalingkan wajahnya yang memanas. Gadis itu bagaikan orang yang tengah salah tingkah. Vai diam-diam mengulum senyum melihat aksi gadis itu.
“Gak mau berangkat, nih?” tanya Vai kepada Vien yang masih terdiam di tempatnya.
“Eh, iya, iya.” Vien dengan segera bergerak, dan naik ke atas motor milik Vai.
“Tangannya pegangan, nanti jatuh aku gak tanggung.”
Vien mendengus, kemudian tangannya bergerak dan bersentuhan langsung dengan hoodie hitam yang dikenakan lelaki di depannya itu. Rasanya ... sedikit aneh. Biasanya, Bhara yang mengantarkannya kuliah. Namun, sekarang berganti menjadi Vai, yang sudah terhitung belasan hari menggantikan posisi Bhara.
Vien terdiam sejenak. Apakah selamanya Bhara akan tergantikan oleh Vai? Termasuk, soal kedekatan mereka.
Tapi, hati Vien hanya untuk Bhara seorang. Ia bahkan tidak tahu, apakah perasaannya akan mudah terhapus atau tidak.
🌺🌺🌺
Motor milik Vai berhenti tepat di parkiran kampus. Di sana ada pak Abdi yang merupakan tukang parkir kampus. Pak Abdi mengarahkan Vai untuk memarkirkan motornya di tempat kosong yang ia tunjuk.
“Vien, turun dulu, ya. Aku mau parkir.”
Vien dengan cepat turun dari motor Vai, kemudian berjalan menepi, sembari menunggu Vai memarkirkan motornya. Setelah selesai, keduanya berjalan menuju ruangan kelas pertama yang akan mereka gunakan untuk belajar.
Di koridor, terdengar bisik-bisik yang terdengar jelas oleh Vai dan Vien. Entahlah, sepertinya suara itu tidak bisa digolongkan ke dalam suara bisikan, karena suaranya yang cukup besar. Vai dan Vien saling bertatapan, ketika bisikan itu terdengar menyebut nama mereka berdua. Beberapa orang yang berbisik itu mempertanyakan hubungan antara Vai dan Vien yang seminggu terakhir ini sering berangkat bersama. Padahal yang mereka tahu ialah selama ini Vien dekat dengan Bhara.
“Ah, wajar kali, Vien sama Vai sekarang. Toh, Bhara kan udah punya cewek baru,” ujar salah seorang mahasiswi yang berbadan sedikit gempal itu. Sedangkan, mahasiswi lainnya yang berkacamata itu kelihatan tidak percaya. Yang Vien tahu, keduanya berasal dari program studi teknik kimia, alias seprodi dengan Bhara.
“Ah, masa, sih? Bukannya Bhara selama ini sama Vien? Aku kirain, mereka pacaran, loh.”
“Ya, sama. Aku juga mikirnya gitu. Cuma, tadi pas aku datang, gak sengaja ketemu Bhara dan ceweknya di parkiran. Kayaknya, ceweknya itu anak arsi, deh.”
Vien memberhentikan langkahnya ketika mendengar ucapan tersebut. Anak arsi? Seprodi dengannya? Apa Bhara benar-benar sudah mempunyai gadis lain di hatinya? Dan, siapa gadis itu? Rasanya, Vien ingin langsung berlari menuju kamar mandi untuk menangis, jika saja Vai yang berada di sebelahnya tidak langsung peka terhadap keadaan.
“Vien, itu cuma gosip yang belum tentu kebenarannya. Jangan dipikirin dulu. Ayo, masuk ke kelas, 10 menit lagi, kelas dimulai.”
Vai menggenggam jemari Vien, kemudian tersenyum kepada gadis itu, seolah berusaha menyalurkan energi positifnya pada gadis yang tengah dirundung pikiran negatif itu.
Sebenarnya, bukan pikiran negatif, karena semua gosip itu sepertinya ... berpotensi untuk menjadi benar.
Vien mengangguk, kemudian memaksakan agar senyumnya terbit. Keduanya tiba di kelas semenit kemudian. Namun, pemandangan di dalam kelas membuat Vai yang terlebih dahulu menginjak lantai kelas, beringsut mundur.
“Ehm, Vien, kita ke kantin dulu, yuk. Aku mendadak haus,” ujar Vai, yang dihadiahi kerutan kening dari Vien.
“Bukannya kamu bawa botol minum?”
“Iya, sih. Cuma aku lagi pengen minum jus mangga. Ayo, temenin aku ke kantin.”
Vien menggeleng. “Ih, Vai, ngidam pengen jusnya nanti aja pas kelar kelas. Sekarang itu udah mau masuk, nanti telat.”
“Vien, ayo, dong, temenin aku. Aku pengennya sekarang. Ya, ya?” Vai terus-menerus mengajak Vien untuk ke kantin. Bahkan rasa-rasanya lelaki itu terkesan memaksa. Benar-benar aneh.
“Kok aneh, sih kamu? Udah, deh, aku mau masuk kelas. Bentar lagi, kelas dimulai.” Vien hendak melangkah masuk ke dalam kelas. Namun, Vai berusaha menghalangi pandangan gadis itu ke dalam kelas.
“Vai!” kesal Vien. “Kamu kenapa, sih? Gak usah aneh-aneh, deh. Aku mau masuk kelas.”
Vien berusaha memaksa masuk ke dalam kelas. Namun, seperti itu jugalah Vai memaksa menghalangi pandangan gadis itu.
“Ihh, Vai! Kamu lagi kerasuk—” Ucapan Vien terhenti, kala pandangannya terarah pada suatu pemandangan yang ... menyesakkan.
“Jadi, ini alasan kamu dari tadi ngalangin aku masuk?” Vien tersenyum hambar, ketika ia mendapati dua insan tengah duduk bersebelahan, sembari melempar canda tawa satu sama lain.
Dan, dua insan itu ialah Bhara dan Dara.
“Vien, kita bolos aja, yuk? Gak usah masuk kelas.” Ajakan Vai langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Vien.
Vien baru teringat, bahwa hari ini jadwal mata kuliah Pancasila kelasnya dan kelas Bhara digabung.
Tapi, itu tidaklah mengapa, bila sekarang ia tidak melihat pemandangan itu di depan matanya.
“Papa mama aku gak pernah ajarin aku bolos, Vai,” ujar Vien berusaha tersenyum. Ternyata, begini rasanya, memaksakan senyum agar tetap terbit, di saat hati menuntun untuk menghadirkan tangis.
Vien melepas genggaman tangan Vai pada tangannya, kemudian melangkah mendekat kepada Bhara dan Dara.
“Hai,” sapa Vien kaku.
Dara yang menyadari keberadaan Vien, menghentikan acara tawanya dengan Bhara, lantas bangkit dari kursinya.
“Vien!” sorak Dara bahagia, “Aku udah jadian sama Bhara!”
“Jadian?” Dunia Vien runtuh seketika.
•
•
•
Bagaimana dengan part ini? Semoga, feelnya dapat🤧
Vien, yang sabar, ya, Sayang😭
Gak tahu mau ngomong apa lagi. Intinya, jangan pernah bosan baca cerita mereka.🤧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro