medan perang
Iwojima, sebuah kepulauan vulkanik di jepang terletak di samudera pasifik merupakan pulau kunci pertahanan Jepang terhadap serangan pasukan Amerika Serikat. Bangsa Jepang mati - matian mempertahankannya sehingga Sekutu tidak mudah menaklukkan Tokyo, ibukota negara mereka. Keita sampai di Iwojima pa da awal tahun 1945 sebelum pertempuran sampai titik darah penghabisan itu berakhir.
Keita keluar dari pesawat yang baru mendarat di pulau itu. Sebuah pulau kecil yang secara umum permukaannya datar dan terdapat sebuah gunung sebagai benteng alam paling dominan. Bibir pantainya penuh dengan pasir hitam. Keita melayangkan pandangannya menyeluruh ke semua sudut pulau itu. Dia menghirup nafas dalam-dalam, merasakan oksigen yang bersih dari pulau itu. Kemudian Keita berjalan menenteng tas di bahunya untuk bergabung dengan tentara yang lainnya.
Sepanjang perjalanannya dari tempat pesawat itu mendarat menuju ke tenda Keita di sambut oleh lalu lalang para tentara yang mengangkut persediaan senjata ke bukit. Keita masuk ke dalam tenda itu dan sekali lagi menebarkan pandangan ke tenda sederhana tempat para tentara beristirahat.
Belum sempat Keita melepaskan lelah, seorang tentara dengan pangkat dibawahnya menghampirinya. Tentara itu memberi hormat dan dibalas oleh Keita.
"Letnan Sato, anda dipanggil untuk menghadap Letjen Kuribayashi."
Seorang tentara melaporkan kepadanya saat Keita sudah ada di sebuah tenda untuk menampung para tentara yang berpangkat sama dengannya. Keita menurunkan tas bawaan dan menaruhnya di tempat tidur sederhana yang biasa digunakan para tentara di medan pertempuran.
Keita memantas dirinya terlebih dahulu. Rambut cepak kini menghias di kepalanya. Keita sengaja memangkas rambutnya agar lebih praktis saat bertempur. Keita berjalan tegap dengan baju kebesarannya sebagai seorang tentara jepang menuju tempat yang ditunjukan oleh rekannya.
Keita masuk sebuah tenda. Di dalamnya sudah berdiri seorang perwira tinggi berpangkat Letnan Jenderal, yang bernama Kuribayashi Tadamichi. Dia berdiri di belakang sebuah meja yang terhampar gambar peta pulau itu. Pria itu masih mengamati gambar di permukaan meja sambil sesekali mengusap -usap dagunya. Keita memberi hormat dengan mengangkat tangannya di samping pelipis.
"Siap, Letnan Sato Keita menghadap!"
Letjen Kuribayashi itu menyadari kehadiran Keita dan membalas penghormatannya.
"Selamat datang di Iwojima," katanya dengan keramahan dan senyuman yang merekah seolah Keita di sambut
dalam sebuah kamp musim panas.
"Aku mendengar bahwa salah satu putra Kolonel Sato bergabung dalam pertempuran ini. Aku sungguh bangga mendapat salah satu anak muda terbaik bangsa."
Wajah Keita memerah karena malu. Dia disitu karena hukuman dari ketidakdisiplinannya.
"Pasti ayahmu juga berpikir akan sangat berat melepas kepergian putranya kesini, karena dia berpikiran sama denganku, cepat atau lambat Iwojima akan jatuh ke tangan Amerika." Keita hanya bisa menelan ludah kasar. Bisa jadi Iwojima ini adalah kuburannya sendiri.
"Aku sudah memerintahkan para insiyur untuk membuat benteng pertahanan bawah tanah, itu merupakan teknik bertahan kita." Letjen Kuribayashi memaparkan taktiknya. Keita mendengarkan dengan seksama tidak ingin ada yang terlewatkan setiap kata yang keluar dari mulut atasannya.
"Nanti kita tidak akan menghadang musuh di bibir pantai. Kamu pasti tahu kekuatan militer amerika akan sangat mudah menggempur pasukan kita. Belum apa - apa kita akan kehilangan banyak nyawa. Kali ini kita akan bertahan. Di sini ...." telunjuk Letjend Kuribayashi menunjuk garis yang saling berhubungan di peta "untuk bertahan menanti musuh datang"
Keita heran Letjend Kuribayashi berbicara dengan sangat santai. Bagi Keita taktik itu hanya cara memperpanjang hidup mereka, seperti menelan pil placebo yang tidak mengobati sebagai sugesti bahwa mereka akan berada di dunia ini lebih lama.
"Setidaknya kita harus berjuang sampai titik darah penghabisan mempertahankan pulau ini," tambah perwira tinggi itu.
Selama Keita di situ, hidupnya seperti meniti di sebuah tali yang tipis. Hidup matinya hanya setipis rambut yang bisa patah kapan saja. Namun berkat kepemimpinan Letjen Kuribayashi, tekad dan semangat Keita bangkit lagi.
"Posisi pertahanan kita ini boleh dianggap kubur kita sendiri. Berjuanglah sampai titik darah penghabisan dan membunuh musuh sebanyak mungkin. Kalian paling tidak harus membunuh sepuluh musuh sebelum mereka membunuhmu!" ujarnya berapi -api setiap kali memberi arahan pada anak buahnya.
Bunker yang saling terhubung dan terowongan bawah tanah yang panjang itu tak ubahnya adalah kubur mereka. Keita sebagai manusia pasti mengenal takut akan kematian. Apalagi pengalaman pertamanya ditembak sungguh sangat menyakitkan membuatnya sedikit trauma. Namun Keita adalah seorang tentara, hidupnya berada di pucuk senapannya. Dan darah samurai yang mengalir di pembuluhnya membuat jiwa Bushidonya membara. Demi bertahan hidup dia harus membunuh. Hukum rimba saat sangat berperan : Membunuh atau dibunuh.
Sudah beberapa bulan, Sekutu membombadir Iwojima dan sekarang mereka bertahan dalam bunker bawah tanah. Suara deru pesawat dan desingan peluru serta dentuman bom sudah menjadi suguhan sehari-hari bagi para tentara yang mengabdikan diri bela negara.
Di dalam bunker itu, para tentara bertahan menunggu musuh yang datang menyerang. Di dalam terowongan panjang yang di terangi lampu remang - remang itu, Keita membaca kembali surat Keinan. Rasa rindu menderanya sekarang. Suara -suara itu tidak bisa mengusik rasa rindunya terhadap wanita yang dicintai. Keita membuka sebuah buku kecil yang diberikan oleh Suster Clara dimana dia menyelipkan foto Keinan yang berwarna hitam putih.
Keinan..aku akan kembali. Percayalah!!
Keita mengepalkan tangannya gemetar karena emosi yang membuncah di dadanya. Keita berjanji akan bertahan hidup walaupun harus dibayar dengan nyawa tentara-tentara Amerika. Meski tangannya harus kotor dengan darah para musuhnya di medan perang, Keita harus pulang kembali ke Indonesia. Dalam kebimbangan dan kegalauan antara hidup dan matinya, Keita memandang wajah Keinan yang tersenyum manis di lembaran foto itu. Saat menyelipkan kertas foto itu di tengah buku, matanya membaca deretan huruf dalam bahasa inggris dalam buku kecil itu.
The Lord takes care of me as his sheep; I will not be without any good thing.
He makes a resting-place for me in the green fields: he is my guide by the quiet waters.
He gives new life to my soul: he is my guide in the ways of righteousness because of His name.
Yes, though I go through the valley of deep shade, I will have no fear of evil; for you are with me, your rod and your support are my comfort.
You make ready a table for me in front of my haters: you put oil on my head; my cup is overflowing.
Truly, blessing and mercy will be with me all the days of my life; and I will have a place in the house of the Lord all my days.
Keita tersenyum miris membacanya. Di saat perang seperti ini, padang berumput hijau sudah menjadi padang bangkai dimana belatung memangsa jasad prajurit yang gugur di medan perang dan air tenang itu adalah darah yang tertumpah dari para pejuang yang membela bangsanya.
Keita menghela nafas panjang. Keita menyandarkan kepalanya pada tenbok terowongan. Kemudian datanglah seorang tentara duduk di sebelahnya. Saat bersamaan dentuman terdengar dan sejenak getaran di tanah terasa menggoyangkan benda -benda yang ada di dalamnya. Lampu yang menggantung bergoyang, dan benda di atas meja bergetar. Serpihan tanah halus pun runtuh dari atapnya. Keita dan Naoki, seorang tentara yang selevel dengannya hanya mendongakkan kepalanya sambil menghalangi matanya agar debu tidak masuk walaupun mereka memakai topi. Keita memandang Naoki dan tersenyum simpul.
"Mungkin ini kubur kita.." ucap Naoki dengan nada sinis. Keita lagi - lagi membuang nafas panjang.
Sejenak mereka diam. Hanyut dalam ketegangan yang baru saja terjadi. Sampai akhirnya Naoki melihat sebuah lembaran foto yang dipegang Keita.
"Siapa itu?" Naoki menunjuk dengan gerakan kepalanya.
Naoki merebut kertas foto itu dari tangan Keita. Keita berusaha mengambilnya namun Naoki lekas berdiri dan mengarahkan matanya melihat apa yang menjadi fokus Keita beberapa waktu tadi.
"Siapa dia? Dia tidak terlihat seperti orang jepang? Ehm...Seperti orang Asia Tenggara??" tebak Naoki. Keita berdiri dan merebutnya. Dielusnya foto itu seolah debu menempel hanya dengan Naoki memegangnya. Mulutnya manyun menandakan dirinya terganggu.
Naoki tergelak melihat tingkah lucu Keita.
"Dia orang Indonesia," jawab Keita.
Naoki mengangakan mulutnya lebar. Mata sipitnya membelalak.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta dengan gadis itu?" selidik Naoki dan Keita hanya menunduk ikut duduk di samping Naoki.
"Dia yang menyelamatkanku. Kalau tidak ada dia pasti aku tidak akan ada disini," ujar Keita menerawang.
"Dia menyelamatkan tentara yang menjajah bangsanya?" Naoki tercengang saat mendapat anggukan Keita.
"Dan kamu jatuh cinta begitu saja?" selidik Naoki.
"Aku ... hanya ingin dia bahagia. Setelah apa yang kulakukan kepadanya ... menghancurkan kebahagiaannya," kenang Keita dan disambut keheningan yang dalam.
Suara gemuruh pesawat terbang yang melintas terasa teredam di atas sana. Di terowongan bawah tanah itu terdengar suara lagu anak-anak yang menggema. Namun, tidak bisa mengusir kesepian yang dirasakan Keita, maupun Naoki. Naoki menundukkan kepala, membungkukkan punggung dalam posisi duduknya. Kepalanya tersangga di tangan yang bersandar di lututnya.
"Kamu kenapa?" tanya Keita memperhatikan Naoki.
"Lagu itu membuatku rindu istri dan anakku."
Keita hanya bisa menepuk punggung Naoki karena merasakan kerinduan yang sama dia rasakan untuk orang tercinta.
◇◇◇
Bulan Maret itu terasa kelabu. Keita dengan jelas bisa merasakan bahwa tentara musuh sudah semakin mendekat. Jantungnya berdetak seirama dengan hentakan boom yang silih berganti terdengar. Beberapa tentara yang sudah tahu bahwa mereka akan kalah sudah melakukan seppuku atau bunuh diri dengan melemparkan granat pada tubuhnya.
Hati Keita berdesir. Akankah dia melakukan hal sama pada akhirnya? Melakukan seppuku lebih baik dari pada menyerah kalah dan menjadi tawanan perang?
Keita tidak pernah berdoa. Dengan cara apapun dia tidak pernah melafalkan doa-doa. Bahkan ke kuil Shinto pun Keita jarang pergi. Mendengar adzan sewaktu di Indonesia pun dia abaikan. Dan lonceng gereja yang bergemuruh tidak menggelitik jiwanya untuk bersyukur dan memohon pada Tuhan sang pencipta. Namun hari ini, Keita menggenggam kuat buku kecil yang diberikan Suster Clara, dengan gerakan bibir yang tidak jelas menghaturkan doa permohonannya agar dia selamat dalam keadaan terhormat.
Tuhan adalah gembalaku..
aku tidak akan kekurangan..
dia membaringkan aku di padang yang berumput hijau..
dia membimbing ke air yang tenang...
Berkali - kali dia menggumamkan tanpa suara, kalimat yang sudah dia baca dalam bahasa jepang.
Ibu dan Keinan doakan aku ...
Taburkan benih baik kalian agar aku bisa menuainya ...
Rentetan desingan peluru sudah berbunyi. Menjadi tanda bahwa mereka sudah dikepung.
"Tank Amerika sudah di depan dan mereka menyeburkan api ke terowongan!!"
Keita dan Naoki berpandangan. Mereka saling mengangguk mengerti bahwa ini saatnya berperang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro