bersatu
Kei.. di up lagi ..
Semoga suka dengan kisah cintanya Keita - Keinan..
Yuk mari yang baca di vote n komen yak..
Lupyu pul dah😍
👧👧👧
Hawa kota pesisir utara jawa terasa hangat ketika Keinan berlari menembus malam gelap di kota Semarang. Belum ada penerangan jalan, hanya berbekal cahaya bulan purnama Keinan melangkah. Keinan menyamar menjadi laki -laki dengan baju yang diberikan Keita padanya - baju kemeja bersaku depan di dada. Keinan tahu itu baju keita yang sengaja dikecilkan agar pas disandangnya. Di saat Keinan lelah berlari, Keinan mengangkat kerah bajunya menghirup kuat aroma wangi parfum khas Keita yang sengaja disemprotkan saat sebelum mengepak.
Malam itu sangat sepi. Sudah tidak ada lalu lalang orang yang lewat. Kadang beberapa tentara yang melintas membuat Keinan harus bersembunyi agar tidak dicurigai. Keinan berlari menuju tempat yang diberitahukan Keita. Sebuah katedral atau gereja besar di kota Semarang yang letaknya di pusat kota.
Sudah satu jam lebih dia berlari, berjalan kadang bersembunyi. Dari jauh sudah dilihatnya atap sebuah gereja. Gereja peninggalan Belanda itu masih kokoh berdiri. Hati Keinan sedikit terhibur bila mengingat akan bertemu ibunya.
Sebentar lagi Kei..kamu akan bertemu ibu...
Keinan berlari sekencang - kencangnya. Melawan angin yang bertiup sehingga menerbangkan sisa rambut di bawah topinya. Sesekali disekanya keringat yang menetes di lehernya dengan lengan baju, namun bola mata hitam legamnya tetap fokus ke depan. Ke arah katedral dimana ibunya berada.
Keinan berhenti. Dadanya kembang kempis kehabisan udara. Paru - parunya sudah tidak bisa menyediakan kebutuhan oksigen yang ia perlukan. Kepalanya bahkan ikut berdenyut karena detak jantungnya yang cepat memompa darah ke seluruh tubuh. Keinan mengibas - kibaskan baju di dadanya berharap angin akan masuk menyapu kegerahan di badan kecilnya. Sesekalinya di tiupnya udara ke dalam baju agar sedikit memberi kesejukan. Keinan menatap gereja tua di depannya. Sepi tidak terlihat satu batang hidung pun. Keinan melangkah tetap dengan kewaspadaan penuh. Namun keinan mulai gundah. Tidak ada seorang pun di situ.
Keinan menggigit sudut bibir bawahnya. Badannya berputar seraya mengamati sekelilingnya. Disekanya buliran keringat yang menetes di dahi menjatuhi matanya membuat matanya pedas. Keinan berbalik dan..
"KYAAAA!!!" Keinan memekik tatkala melihat sosok putih di depannya. Sosok pucat itu membekapnya. Keinan merinding. Dia teringat cerita menyeramkan sewaktu di kampung.
"Ssstttt..." sosok itu mendekatkan jari telunjuknya secara vertical di depan bibir dan ujung hidung mancungnya. Keinan mengamati sosok itu dan pandangannya ke bawah meyakinkan bahwa yang didepannya masih menapak bumi.
"Ibumu disini.." bisik orang itu yang ternyata adalah suster Clara. Setelah tenang barulah suster Clara melepas bekapannya. Suster Clara tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Wajahnya begitu cantik dan badannya tinggi seperti orang eropa kebanyakan.
Keinan menengadah, memandang aneh suster Clara. Dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Wajah suster clara seperti orang belanda namun kenapa berkerudung?
"Kamu..Keinan kan?" tanya Suster Clara pada Keinan yang masih kebingungan.
Keinan tetap waspada takut suatu hal terjadi padanya sehingga dirinya tidak menjawab.
"Ibumu di dalam.."
Suster Clara membawanya masuk ke dalam sebuah gereja. Sejujurnya selama ini Keinan termasuk orang yang skeptis tentang ajaran ketuhanan. Ayahnya yang seorang pemeluk Katolik dan ibunya pemeluk agama islam membebaskan anak - anaknya dalam beribadah. Namun selalu saja Keinan berpandangan, untuk apa beragama bila dunia tetap dipenuhi kebencian dan peperangan. Agama hanya tameng agar dianggap suci tapi tindak tanduknya menyimpang dari ajarannya. Semua agama mengajari kasih sayang. Semua agama mengajarkan kebajikan. Lantas kenapa masih ada perang?
Keinan menapakkan kakinya ke dalam bangunan gereja sederhana. Keinan teringat kepada sang ayah yang pernah mengajaknya ke sebuah gereja di Ambarawa, bahwa saat masuk ke dalam gereja yang pertama kali di kunjungi, kita bisa mengucapkan permohonan. Entah benar atau tidak, kali ini Keinan mengucapkannya dalam hati.
Lindungilah Keita..
Selesai berucap permohonannya, Keinan melangkah masuk lebih dalam. Di dalam cukup gelap hanya diterangi cahaya lilin yang terpasang di altar. Di sisi kanan kiri terdapat patung. Keinan menduga bahwa patung -patung itu punya cerita.
Suster Clara berjalan cepat menuju ke depan. Di bangku deretan ketiga dari depan tampak wanita yang rambutnya digelung duduk menghadap ke sebuah altar. Keinan menggosok matanya tidak yakin apakah betul itu adalah ibunya. Kakinya melangkah ragu satu demi satu bergantian kanan dan kiri hingga akhirnya dia yakin bahwa yang dilihatnya adalah ibunya.
"Ibu.." sapa Keinan pelan. Namun yang dipanggil tidak menyahut. Keinan tidak menghentikan langkah dan begitu sampai di samping depan wanita itu, keinan menurunkan badannya dengan kedua lutut tertumpu di lantai. Keinan memandang wajah kurus wanita bernama Sri Lestari yang kini ada di hadapannya.
"Bu..ini Keinan.." kata Keinan lirih menciumi punggung tangan sang ibu. Bu Sri yang dari tadi memandang kosong ke depan akhirnya menyadari kehadiran Keinan. Dia melihat, namun tidak bereaksi. Hanya menatap Keinan tanpa ekspresi.
Keinan mendongak membelai lembut pipi Bu Sri. Bu Sri hanya menitikkan air mata namun tidak berkata.
"Ibumu...dia masih shock dengan apa yang terjadi. Walaupun tubuhnya pulih namun hatinya remuk redam mencemaskan nasib anak - anaknya. Sejak saat itu, dia hanya bersenandung tapi tidak bicara.."
Keinan terisak keras di paha ibunya. Suara pilunya memenuhi seluruh ruangan katedral. Dan bu sri kembali melantunkan lagu kinanti sambil membelai rambut putrinya.
Kinanthi panglipur wuyung
Rerenggane prawan sunthi
Durung pasha doyan nginang
Tapih pinjung tur mantesi
Mendah gene yen diwasa
Bumi langit gonjang ganjing
Keinan meraung dan terus menangis. Tangisan seperti lolongan swrigala yabg kehilangan mangsanya. Tangisan kebahagiaan karena bertemu ibunya dan tangisan kepedihan karena berpisah lagi dengan laki -laki yang dicintainya.
"Letnan Sato menitipkan ini.." suster Clara memasukkan tangannya ke saku di samping roknya dan mengulurkan sebuah benda kepada Keinan.
Keinan berdiri. Dia menerima benda itu. Diamatinya benda yang sekarang ada di telapak tangannya. Sebuah kalung bertulis Dewa Pamungkas yang pernah jatuh di kamar Keita.
Hati Keinan semakin merana. Kalung itu adalah kalung pemberian Dewa untuknya..kalung tanda perpisahan. Kalung yang terlupakan sejak kalung itu jatuh di tangan Bu Riko, ibu Keita. Dan kalung ini dikembalikan kepadanya lagi sebagai tanda perpisahan Keita dengannya.
Keinan terduduk di lantai. Kakinya tiba -tiba terasa lemas karena kesedihan yang menderanya. Hatinya tercabik - cabik. Kisah cintanya kandas, tidak hanya sekali namun dua kali. Keinan memeluk kakinya menyatukan pahanya di dada untuk membantu menekan nyerinya berpisah dengan orang yang dikasihi.
Keinan menggigit - gigit bibir meredam sesenggukan yang memecah kesunyian. Perpisahan kali ini lebih menyakitkan karena sengaja merelakan seseorang disaat hati dan raga sudah menyatu.
Kalau boleh, Keinan akan berlari menghampiri Keita. Kalau bisa, Keita ingin bersama lelaki itu. Tetapi itu hanya angannya. Sejak awal mereka berbeda. Seperti air dan minyak yang tidak akan bersatu. Bagaikan dua garis sejajar yang tidak akan bertemu di ujungnya. Walaupun begitu Keinan tidak menyesal bertemu dengan Keita, bertemu malaikat pelindungnya.
Biarawati belanda itu mengangkat Keinan. Gadis itu hanya menurut perlakuan suster clara. Suster Clara memeluknya membiarkan setiap tetesan air mata membasahi jubah di dadanya. Sesekali dia mengelus punggung Keinan berharap bisa meringankan deritanya.
Keinan teringat percakapannya dengan Keita setelah mereka melakukan dosa besar. Keita menuliskan sebuah kata "i love you" di selembar sapu tangan bersulam bunga yang disulam sendiri oleh Keinan sewaktu menjadi perawat pribadi Keita.
"Apa artinya I love you?" tanya Keinan dalam isak yang lirih
"Itu artinya, aku mencintaimu.."
Keinan termangu dalam diamnya. Jawaban suster Clara sedikit mengobati gundahnya.
Malam sudah lewat dan fajar hampir menyingsing. Keinan memainkan kalung di tangannya. Keinan menunduk memandang kalung itu. Kalung bertulis Dewa Pamungkas. Kalung itu tidak seistimewa dulu ketika Dewa memberikan padanya sebelum Dewa pergi meninggalkannya. Kali ini Keinan berpisah hanya dengan kenangan pahit dan manis bersama Keita yang tidak akan bisa hilang. Waktu yang singkat namun mampu menorehkan kenangan yang tidak akan terlupa di lubuk hati Keinan.
Lamunan Keinan membuyar saat suara menggelegar pintu masuk gereja itu terbuka. Keinan lantas menoleh melihat apa yang terjadi. Keinan masih waspada memincingkan kelopak matanya berjaga - jaga siapa tahu tentara jepang datang menyergapnya.
***
Raka mengayunkan kakinya tanpa henti. Keringat yang menetes di matanya tidak menyurutkan semangatnya untuk berlari. Bulir peluh membanjiri badannya sehingga bajunya basah. Raka menurunkan frekuensi langkah begitu sampai di pelataran gereja. Sejenak Raka membasuh dahinya yang berpeluh dengan lengannya.
Raka menajamkan kewaspadaannya. Bagaimanapun informasi itu dia dapat dari Keita yang merupakan seorang penjajah. Raka mendorong keras pintu depan yang tidak terkunci sehingga menimbulkan suara yang berderik nyaring memekakkan telinga. Raka melayangkan pandangan sampai melihat wajah seseorang yang sangat ia kasihi.
"KEINANNNN!!!" Panggil Raka. Keinan mengenal suara itu dan bergegas bangkit mendapati Raka.
"MAS RAKA!!" seru Keinan dan segera melompat memeluk sang kakak. Raka menerima tubuh kecil Keinan dan seperti anak kecil, Raka dengan mudah mengangkatnya sehingga kaki Keinan melayang di udara.
"Kamu tidak apa- apa?" Raka menurunkan Keinan dan menyentuh pipi adiknya dengan kedua tangannya. Raka mengamati bahwa Keinan lebih kurus dari biasanya
"Aku baik -baik saja. Bagaimana mas Raka bisa tahu aku di sini?" Tanya Keinan menyentuh punggung tangan Raka yang kekar.
"Letnan Sato yang memberi tahuku saat aku ke rumah jahanam itu.."
Jawaban Raka membuat pipi Keinan memerah. Melihat Keinan yang canggung Raka berusaha menetralisir keadaan.
"Dimana ibu?" Raka mengalihkan pandangan dari adiknya untuk mencari sosok ibunya. Keinan sedikit lega tidak bertanya apapun selain kabarnya. Pastinya Keinan tidak akan mampu menjelaskan keputusan nekadnya dan Keinan yakin Raka pasti tahu bahwa dirinya bukan Keinan yang suci lagi.
Raka menyelinap ke tengah deretan bangku panjang. Raka menurunkan posisinya setara dengan ibunya yang berbaring. Wajahnya terlihat semakin tua walaupun pesona kecantikannya masih terlihat.
"Niki kulo bu..Raka.." bisik Raka di telinga Bu sri dan mencium keningnya. Bu sri membuka matanya pelan dan memandang anak laki -lakinya. Dia tersenyum dalam diam. Namun senyumannya penuh arti yang dalam seolah berkata,
"Terima kasih sudah menjemputku."
Raka memeluk badan ringkih wanita itu. Tak lupa pijitan kecil diberikannya di lengan wanita yang pernah menyusui dan menggendongnya sewaktu ia masih kecil. Perasaan bersalah menyelimutinya karena tidak bisa melindungi ibu dan adiknya. Raka yang kokoh meneteskan air mata dalam sunyi dan temaram lilin gereja.
Surya telah menyingsing. Suster Clara membangunkan Raka dan Keinan yang mengistirahatkan raganya sejenak sebelum melakukan perjalanan jauh. Sementara Bu Sri sudah berjalan melihat -lihat setiap patung di dalam ģedung gereja itu.
"Berangkatlah sekarang.." kata suster Clara sambil memberikan buntalan kain. Raka menerima dan mengintip isi di dalamnya.
"Itu bekal yang sengaja saya siapkan. Ada roti yang bisa kalian makan di perjalanan." Ujar suster Clara lagi.
"Terima kasih suster..saya tidak akan lupa jasa suster.." sahut Raka sambil berdiri menerima bungkusan kain itu.
"Tuhan sudah mengirimkan malaikat pelindung untuk keluargamu" kata Suster Clara dengan senyuman yang mengembang di pipinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro