9~Balas Budi
Hi...author tambahin partnya lagi ya..
Mari dibaca, vote , n komen..
Feedback kalian moodbooster hari ini..
🤵♥️👧
Keinan bergegas turun ke lembah tempat di mana pintu rahasia itu berada. Gaun compang-camping itu berkibar tertiup angin tatkala dirinya menuruni bukit. Dalam pelarian, Keinan tidak memedulikan apa yang disandang dan bagaimana penampakan rupanya. Cukup bisa bertahan hidup di tengah kepungan tentara Jepang yang berdarah dingin membuat Keinan bersyukur.
Sementara suara sangat hening. Hanya jantung Keinan yang berdegup seperti genderang memenuhi kepalanya. Mata- nya memicing memusatkan perhatiannya pada suara yang ada di balik pintu rahasia tersebut.
Keinan mendengar suara Mbok Parti terbatuk. Jalannya terdengar seperti diseret karena masih luka akibat didera. Keinan ragu apakah harus mengetuk saat ini. Bagaimana kalau bukan Mbok Parti. Pasti akan tamat riwayatnya. Namun Keinan memutuskan mengetuk pintu itu.
Mbok Parti terkejut. Ruangan yang awalnya sepi itu bergema dengan suara ketukan yang terbenam. Mbok Parti mencari darimana suara ketukan itu berasal.
Tok ... tok ... tok!
Mbok Parti celingak-celinguk, sampai akhirnya paham sumber suara itu berasal dari dalam lorong. Dia menutup pintu kamarnya sekaligus jendelanya. Membuka pintu rahasia itu dan sudah menduga siapa yang akan keluar dari dalam lorong. Keinan yang berlumuran keringat melambaikan tangannya dengan senyuman aneh dari dalam.
"Hime!" pekik Mbok Parti tertahan.
"Ssstttt...." Keinan memberi isyarat Mbok Parti agar diam dengan telunjuknya.
Susah payah Keinan mengangkat tubuhnya untuk keluar. Perempuan itu menghamburkan badannya ke pelukan Mbok Parti dan menangis di pelukan wanita tua itu. "Syukurlah Mbok Parti baik-baik saja. Aku khawatir," kata Keinan terisak.
"Lebih mengkhawatirkan Tuan Muda. Dua hari dia tidak diberi makan," kata Mbok Parti sambil menepuk punggung gadis itu. Mata Keinan nanar. Dia menarik pelukannya, meman- dang Mbok Parti.
"Aku sudah tahu dari Mas Raka bahwa Tuan Muda Sato membantunya," ujar Keinan.
"Sebaiknya kamu jangan kembali. Susah payah Tuan Muda membebaskan kalian bahkan harus mengkhianati ayahnya sendiri," jelas Mbok Parti sambil menarik Keinan supaya masuk kembali ke dalam lorong. Keinan menolak dengan melepas genggaman tangan Mbok Parti di pergelangannya.
"Aku tahu, Mbok, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Izinkan aku menemuinya untuk mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf," pinta Keinan dengan pandangan berharap.
Mbok Parti terhenyak mendengar permintaan Keinan. Ekspresi wanita di depannya membuat Keinan tidak nyaman.
"Jangan bermain api, atau kamu akan terluka. Pergilah selagi dapat," saran Mbok Parti.
"Tapi, Mbok, aku tidak bisa berhutang tanpa membayarnya. Apalagi hutang budi," sahut Keinan lirih.
Bukan Keinan namanya kalau langsung menurut. Gadis berusia dua puluh empat tahun itu tetap bersikeras ingin dipertemukan dengan Keita.
Mbok Parti menghela napas panjang. "Baiklah kalau begitu. Tunggulah di sini. Saat mengantar makan siang aku akan memberitahu kamu apakah keadaan aman untuk masuk." Mbok Parti melihat kesungguhan di mata Keinan. Ia tidak ada gunanya untuk memaksa gadis itu pergi.
Bukan sebuah hal yang mudah bagi Keinan untuk bisa bertemu dengan Keita. Kondisi Keita yang tak berdaya dalam penjagaan ketat tentara dan ibunya yang 24 jam menemani
Keita.
Berulang kali Mbok Parti selalu menggelengkan kepala tanda tak ada kesempatan untuk Keinan masuk, ketika memasuki kamar selepas mengantar makanan untuk Keita. Walaupun kekecewaan selalu menghampirinya, Keinan nampak tidak menyerah dengan selalu berharap ada keajaiban yang muncul. Hingga akhirnya kesempatan itu datang juga. Sato Riko ada tamu saat makan siang, dan terjadi kekosongan penjagaan saat pergantian shift. Melihat itu satu-satunya kesempatan, Mbok Parti memberi aba-aba agar Keinan segera bergegas masuk ke kamar Keita.
Keinan berlari secepat yang dia dapat dengan kaki pendeknya. Dia sampai di kamar Keita dengan selamat karena tidak ada seorang yang memergokinya. Keinan dipersilakan Mbok Parti masuk.
"Ingat, hanya dua menit," peringat Mbok Parti.
"Lima menit," tawar Keinan sambil mengacungkan kelima jarinya tetapi tak dijawab oleh Mbok Parti.
Kamar itu tidak asing bagi Keinan yang pernah sekali memasukinya. Begitu masuk yang dilihatnya adalah Keita yang tergolek lemas dengan jarum infus di tertusuk di pembuluh darah tangannya. Wajah tirus itu terlihat bengkak dengan lebam yang merata.
Keinan merasa merinding melihat kondisi Keita. Langkah Keinan terasa berat menapak saat mendekati raga yang terkulai itu. Satu tangannya menutup mulut yang menganga, tangan yang lain meremas roknya. Manik matanya masih terpaku dari sosok itu.
"Tuan Muda Kei, ini aku Keinan. Namaku Kei, sama seperti namamu." Keinan meraih tangan Keita yang terlihat kurus. Tanpa sadar air mata meleleh di pipi Keinan. Disekanya air mata Keinan menggunakan punggung tangan Keita.
Dalam tidur Keita samar-samar mendengar ada suara yang memanggilnya. Dan suara itulah yang memaksanya untuk membuka mata kembali.
"Hime!"
Desisan Mbok Parti terdengar jelas memanggil Keinan. Hal tersebut sungguh di luar dugaan, karena tentara yang mendapat giliran jaga selanjutnya sudah datang. Mbok Parti tidak bisa berkutik dan menyeret Keinan ke lemari.
"Nyonya datang! Sembunyilah disini dulu. Jangan berani bersuara!" ancam Mbok Parti. Keinan hanya bisa menurut.
Sato Riko masuk bersamaan dengan decit pintu yang bergesekan dengan lantai. Mbok Parti masih ada di situ menyiapkan meja yang berisi makanan seolah tidak terjadi apaapa.
Riko-san terkejut mendapati tangan anak laki-lakinya bergerak-gerak tanpa tahu bahwa Keita sudah sadarkan diri.
"Kei-chan,kamu sudah bangun?"
Riko-san bergegas menghampiri tempat tidur dan saat dia berjalan, sandalnya menginjak sesuatu.
Krek.
Suara logam itu berbunyi di bawah telapak geta yang di-
pakai Riko-san. Dia membungkuk, mengambilnya. Mbok Parti melirik Riko-san yang memperhatikan kalung itu. Wanita yang membantu keluarga Sato itu berpura-pura sibuk menutup sedikit tirai.
Ketahuan sudah! Mati riwayatku!! pikir Mbok Parti.
Riko-san mendekat dan duduk di kursi di sebelah tempat tidur. Wanita paruh baya itu menatap anaknya dengan wajah berbinar karena mendapati Keita sudah siuman. "Mbok ... keluarlah! Aku akan urus semuanya!" perintah Riko-san yang membuat Mbok Parti was-was karena jarang Riko-san memerintahnya. Mbok Parti menuruti perintah majikannya dan keluar dari kamar itu.
Riko-san tersenyum pada Keita. Sementara manik mata Keita mengikuti setiap gerakan ibunya. Dengan lembut Riko-san memosisikan kepala Keita lebih tinggi dari badannya agar tak tersedak saat disuapi.
Wanita itu mengambil mangkok yang berada di meja kecil di dekat ranjang. Uap yang masih mengepul menandakan bubur masih panas. Dengan sendok bubur, Riko-san menyendok permukaan atas bubur itu. Ia memberikan suapan pertama pada Keita, sambil berseru,"Kalau kamu masih ada di sini, keluarlah!"
Mata Keita membelalak. Lelaki itu tahu adik pemberontak yang diselamatkan ada di kamarnya. Keita tidak menyangka ibunya mengetahui ada orang lain selain mereka.
Kuduk Keinan meremang kala pendengarannya menangkap ucapan Riko-san. Ia yakin rangkaian kata yang didengarnya itu ditujukan padanya.
Tamat sudah.
"Keluar atau aku panggil penjaga!"
"Okaa-san, hentikan." Keita menggeleng dengan tatapan memelas.
Keinan menurut. Dia keluar dengan suka rela. Baju compang-camping melekat di tubuhnya yang sudah beberapa hari dikenakan.
"Kamu punya liontin ini?" Riko-san menunjukkan liontin itu di depan Keinan yang baru saja keluar. Keinan meraba dadanya dan benar kalung itu sudah tidak menggantung di lehernya.
"Berani sekali kamu menerobos masuk ke kamar putraku?" Riko-san berdiri mendekati Keinan yang merasa terpojok. "Apa yang kamu mau?"
"Maafkan aku. Aku hanya ingin berterima kasih."
"Soal apa?" potong Riko-san. Wanita cantik itu terlihat anggun, tetapi juga memancarkan aura yang membuat Keinan segan dan takut.
"Berterima kasih karena sudah menolongku saat ibuku diperkosa oleh para tentara. Mendengar kondisinya aku beranikan diri untuk ke sini." Keinan memutar otak mencari alasan yang lain.
Riko memicingkan matanya. "Oh, begitu."
"Okaa-san, kumohon jangan ganggu dia. Dia yang me- nyelamatkanku waktu itu."
Riko-san memandang Keita. Alisnya bertaut terkejut de- ngan apa yang diucapkan anak sulungnya. Sementara Keinan tidak mengerti arti ucapan Keita dalam bahasa Jepang dan ekspresi nyonya besar keluarga Sato.
"Baiklah. Kamu kuampuni! Tapi sekarang pergilah membasuh badanmu. Aku tidak ingin putraku terkena infeksi." Rikosan keluar memerintahkan para penjaga pergi dan saat itu barulah Keinan bisa keluar.
"Tunggu aku di kamar Mbok Parti." Keinan hanya menurut. Nyawanya ada di tangan Sato Riko saat itu dan dia juga tidak ingin lebih mempersulit Keita.
Riko-san tidak banyak berbicara saat menyuapi Keita. Keita pun tidak berani menatap mata ibunya. Namun dalam diamnya, Sato Riko menangkap sesuatu dalam hati putra sulungnya, yang hanya dia simpan dalam hati.
Keinan duduk dengan gelisah menunggu Nyonya Sato. Istri Kolonel Sato itu masuk membawa sebuah bungkusan yang ternyata berisi beberapa pakaian. "Pakailah baju ini! Besok pagi pukul sembilan ... eto," Riko-san berhenti sejenak untuk merangkai kata, "kita bertemu di toko kain. Basuh badanmu dengan bersih kenakan baju ini. Aku akan mempekerjakanmu sebagai seorang perawat Keita," lanjut Riko-san terbata berbicara dalam kalimat Bahasa Indonesia yang panjang.
"Maksudnya?"
"Kurang jelaskah bicaraku?" Nada bicara Riko-san begitu dingin dan tegas. Membuat Keinan segan.
"Tetapi? Kenapa tiba-tiba?"
"Aku dengar dari Keita bahwa dia ditolong olehmu yang seorang sukarelawan kesehatan di medan perang. Jadi, kalau hanya merawat luka-luka Keita sekarang ... aku yakin kamu bi- sa."
Keinan tidak berpikir panjang untuk menyanggupinya permintaan Riko-san. "Baik, saya bersedia."
"Siapa namamu?"
"Himeka Keinan...." Sato Riko tersenyum mendengar nama yang terlontar di bibir gadis pribumi itu.
"Aku akan memanggilmu Himeka supaya tidak sama dengan nama putraku."
***
Keinan pulang dengan melewati pintu depan. Dia menembus sendunya senja menuju gubuk tempat Raka dan dirinya bersembunyi. Keinan menunggu Raka kembali dan malam itu ketika mereka makan malam dengan sebuah ubi bakar, Keinan mengungkapkan niatnya. "Mas, aku mau bicara."
"Hemmm...." Raka masih mengunyah ubi hangat itu. Tangannya sibuk mengupas kulit tipis ubi bakar sementara matanya melirik Keinan karena tidak biasanya dia berbicara dengan wajah seserius itu.
"Ehm, begini...." Keinan agak takut-takut membicarakannya, tetapi Keinan tidak ingin dia melakukannya di belakang sang kakak. "Aku mau jadi perawat Letnan Sato." Manik mata Raka membulat dan hampir tersedak mendengar apa yang keluar dari mulut Keinan. Lelaki itu terbatuk dan Keinan memberikan kendi berisi air untuk menggelontorkan makanan yang mencekat tenggorokan kakaknya.
"Kamu gila?" Bola mata Raka hampir keluar dari rongga matanya saking melotot. "Kita baru saja bisa lepas dari kandang singa itu dan sekarang kamu sukarela mau ke sana?"
Raka sontak kehilangan nafsu makannya. Dia melempar ubi bakar itu percuma karena kesal dengan niat sang adik.
"Kumohon, Mas. Ini cara kita membalas budi," pinta
Keinan
"Tapi, Dik. Bagaimana kalau mereka tahu identitasmu?"
"Tidak mungkin! Mereka tidak tahu aku adalah adikmu, Mas ... selain Keita."
Raka menghela napas panjang. Percuma meyakinkan adiknya, kalau dia menolaknya. Pasti Keinan akan pergi diamdiam lagi seperti setahun lalu.
"Aku tidak mau kehilangan kamu...."
"Aku akan baik-baik saja. Percayalah! Ehm ...?" Keinan mengangkat kedua alisnya, meminta persetujuan Raka.
"Baiklah. Jaga dirimu. Setiap malam aku akan menengokmu," pesan Raka mengalah.
***
Sementara itu di kediaman Sato, Riko-san masih setia menemani Keita. Wanita itu mengelap tangan putranya yang masih menampakkan bilur luka. "Ada hubungan apa kamu dengan anak itu sehingga dia yang menyelamatkanmu justru terlihat berhutang budi kepadamu?" tanya sang ibu dengan nada lembut. Fokusnya masih tertuju pada tangan kekar Sato Keita.
Keita memandang ibunya. Dia tidak bisa menyembunyi- kan apapun dari sang ibu, namun kali ini dia terpaksa tidak mengatakan semuanya.
"Dia tidak tahu aku orang yang diselamatkannya. Dia ha-
nya tahu aku menyelamatkan ibunya. Itu saja," ucap Keita lirih.
"Okaa-san menyuruhnya untuk menjadi perawatmu." Keita membelalak tidak menyangka perkataan ibunya.
"Nande (Kenapa)?" Lidah Keita terasa terkunci tak dapat memutar kata.
"Kebetulan Okaa-san mencari perawat, lalu menghubungi rumah sakit di Semarang tapi tidak ada yang bisa diambil ke sini. Dokter di barak sudah cukup sibuk merawat para tentara. Kebetulan ada dia, kenapa tidak dia saja, toh dia merasa berhutang budi."
Keita tercenung. Dalam hati merutuki kebodohan gadis itu. Mati-matian dia berusaha menyelamatkan Keinan dan kakaknya, tetapi justru Keinan kembali lagi ke rumah itu. Membuat pusaran balas membalas budi baik tidak akan ada habisnya.
Keesokan harinya, Keinan mempersiapkan segalanya dengan ala kadarnya. Dia berusaha membasuh tubuhnya sebersih mungkin sehingga Riko-san tidak kecewa padanya. Sesuai yang dijanjikan, Keinan bertemu dengan Nyonya besar Sato di pasar.
Suasana di pasar sangat ramai. Kebetulan hari itu hari pasaran sehingga banyak orang yang datang berbelanja dan menjual hasil buminya. Keinan berjalan di tengah keramaian dengan dipenuhi rasa was-was takut ketahuan bahwa dirinya adalah anggota keluarga ketua tim gerilya.
Keinan mendapati toko yang ada di pojok jalan. Dia bergegas ke toko itu dan menunggu selama lima belas menit sebe- lum Riko-san datang.
"Ayo masuk!" seru Riko-san dari balik jendela yang terbuka di dalam mobil. Keinan menghampiri mobil yang menepi di depannya berdiri dan mereka pulang ke kediaman Sato. Keinan takut dan sedikit khawatir karena akan bertemu dengan Kolonel Sato yang mengerikan itu.
"Masuk." Riko-san mempersilakan begitu dia keluar dari mobil. Ini kali kedua Keinan melalui pintu depan.
Riko-san memanggil suaminya yang saat ini berada di kediaman Ungaran. Lelaki yang tampak berwibawa dan gagah itu di usia tak lagi muda itu mewariskan mata elangnya pada anak sulungnya.
"Ini anak yang kubicarakan. Dia yang akan merawat Keichan," cerita Riko-san.
"Douyatte kono ko ni mitsukemashita no (Bagaimana kamu menemukan anak ini)?" tanya Kolonel Sato penuh selidik. Alis tebalnya mengerut bersatu di pangkal hidung.
Pertanyaan itu sungguh tak terduga. "Aku mengenalnya saat mencari obat di sebuah apotik. Dia pandai sekali meracik obat, maka aku bertanya-tanya dan saat tahu bersekolah di sekolah kesehatan aku menawarinya pekerjaan ini." Riko-san mengarang cerita itu yang dipercayai begitu saja oleh suaminya.
"Baiklah. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku terlalu lelah kalau harus sering pulang ke Ungaran dan aku tidak senang bila kita harus berjauhan. Itulah sebab kenapa kamu ku- ajak ke Indonesia," ucap Kolonel Sato.
Setelah menyapa Kolonel Sato, Riko-san mengajak Keinan masuk. "Rawat Tuan Muda dengan baik. Namun satu hal yang kuminta. Begitu dia membaik pergilah segera dari tempat ini," kecam Riko-san.
"Baik,Nyonya," ucap Keinan.
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro