6~Malam Itu
Halloo..author update lagi yak..
Author pengen kasih bonus trailer cerita si Kei..
Ini trailer pertama yang author bikin, jadi masih banyak kurangnya di sana sini..
Semoga suka..
Sato Keita rubuh karena hampir kehabisan darah. Jalannya sempoyongan menahan perih yang menusuk tulangnya. Dari jauh sesosok perempuan berjalan ke arahnya.
Dia terlihat begitu khawatir.
"Mas Dewa ... Mas Dewa...," panggil perempuan itu.
Brukk.
Keita sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan. Dia jatuh tersungkur. Langkah perempuan itu terdengar mendekat. Suara derik ranting yang dilewatinya menyadarkan intuisi Keita agar tetap bertahan.
Perempuan itu berjongkok, membalikkan tubuh tinggi Keita yang hanya merintih kesakitan. Perempuan itu sepertinya sadar bukan dirinyalah orang yang dimaksud. Namun karena kebaikan hatinya mendorong perempuan asing itu untuk menolong sesama..
"Kamu tidak apa-apa?" Perempuan itu menepuk pipi Keita untuk membuatnya tersadar.
Pertanyaan itu terdengar lucu di telinga Keita. Bagaimana mungkin dia tidak apa-apa kalau ada sebuah peluru yang bersarang di bahu kirinya?
Keita tersenyum.
"Sempat-sempatnya kamu tersenyum di saat kritis seperti ini," ujar perempuan itu. Perempuan itu hanya melihat deretan gigi putihnya karena wajah Keita sudah bercampur darah, tanah, debu, keringat bahkan jelaga akibat bom.
Gadis itu tampak sibuk mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. Sebuah botol dikeluarkannya dan dibuka tutupnya.
Perempuan itu mencuci tangannya dengan cairan alkohol 70%. Perempuan pribumi itu juga mengambil sebuah botol antiseptik. Sebelum mengalirkan cairan antiseptik ke luka Keita, perempuan itu membuka baju berlapis Keita sampai akhirnya Keita telanjang dada.
"Tahan sedikit, aku alirkan antiseptik ini ke area luka dan sekitarnya."
Keita menjerit sejadi-jadinya.
"Kalau kamu jadi tentara dengan luka begini berteriak, lebih baik kamu pulang dan berlindung di balik rok ibumu!!" sergah Keinan.
Kata-kata perempuan itu sungguh pedas. Namun tangannya tetap sibuk berusaha mengeluarkan peluru di bahunya. Keinan mengambil sebuah pinset untuk mengorek otot yang terkoyak, hendak mencukil bola timah panas itu.
Suara lengkingan Keita menggema memenuhi hutan, sehingga dengan terpaksa perempuan itu menyumpal mulutnya dengan sebuah sapu tangan.
"Diam ... atau kita akan diserbu oleh Jepang. Oh ya, kamu kan orang Jepang." Jemari kecil perempuan itu menari memainkan pinset yang sudah masuk beberapa senti di bahu Keita yang berlubang.
Keita tidak sanggup menahan sakitnya. Airmatanya meleleh dan jeritannya teredam karena terhalang oleh sumpal di mulutnya. Tangan besarnya mencengkeram tangan kecil perempuan itu menahan perih. Peluh dingin mengucur deras di pelipis Keita yang berdenyut. Sebuah peluru keluar. Perempuan itu memandang puas bola timah itu. Seperti sehabis membantu melahirkan bayi, perempuan itu memperlihatkan peluru itu.
"Selamat! Pelurunya satu. Besar. Sudah keluar," kata perempuan itu.
Badan Keita terasa lemas. Cengkeraman tangannya terlepas begitu saja. Keringat membasahi dahinya. Namun senyuman dan tatapan perempuan itu membekas di hatinya seperti bekas peluru yang sempat bersarang di bahunya.
Keita tergolek lemas. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri di hutan. Sewaktu membuka matanya, Keita mengira dirinya sudah tidak ada di dunia ini. Namun ternyata Keita masih menapak di bumi, duduk bersandar di bawah pohon tempat dia dirawat oleh perempuan itu.
Badan Keita hanya tertutup oleh bajunya saja yang dipakaikan perempuan itu untuk selimut. Di sebelahnya ada sebuah kue. Keita yakin kue itu sengaja diletakkan perempuan tadi untuk dirinya.
Siapa perempuan tadi? Kenapa tengah malam berada di hutan ini?
Keita penasaran dengan apa yang terjadi. Seorang pribumi Indonesia menyelamatkan diri penjajah bangsanya.
***
November 1944
Keita mendapat telepon dari ayahnya yang menanyakan perihal tahanan yang tidak sampai ke Semarang.
"Nande soko ni tojikomete (Kenapa kamu menahannya di situ)?" tanya Kolonel Sato, ayah Keita.
"Biarkan aku yang mengurusnya lebih dulu, Otou-san."
"Dame (Tidak bisa )! Kamu tidak punya hak menghakiminya. Dia akan diserahkan ke pengadilan," larang Kolonel Sato
"Sou suruto, watashi wa asu no asa hassou suru (Baiklah. Aku akan mengirimnya esok hari )." Keita mengalah mendengar titah ayahnya.
Lelaki itu menutup gagang telpon. Tangannya mengusap-usap bibirnya sementara jari tangan kirinya mengetuk-ketuk meja. Dahinya mengkerut tanda Keita sedang berpikir. Lelaki itu bergegas menuju ke pavilliun tempat di mana dapur ada di situ.
"Mbok ... Mbok Parti...," panggil Keita.
"Ya, Tuan." Mbok Parti berlari tergopoh dalam balutan jariknya.
"Tolong buatkan ... nasi goreng. Antar dulu ... ke kamarku," perintah Keita.
Keita melalui kamar Keinan yang terbuka pintunya. Mereka saling beradu pandang. Kerling Keita sangat mengerikan disambut tatapan kebencian dari Keinan. Keinan mengangkat sisi kiri bibir atasnya mencibir Keita. Keinan ingin bisa keluar dari rumah itu. Namun sampai sekarang belum bisa terlaksana.
Keita tak memedulikan Keinan. Dia segera ke kamar, menunggu dengan gelisah nasi goreng buatan Mbok Parti. Begitu Mbok Parti masuk ke kamar, Keita menyuruh Mbok Parti tidak pergi dulu.
"Bantu aku membawa makanan ini ke barak. Sementara Mbok tunggu di luar."
Mbok Parti menurut dan menunggu tuan mudanya di luar kamar. Keita mengamati nasi goreng itu. Setelah beberapa saat kemudian, ia memanggil lagi Mbok Parti untuk mengirim makanan ke barak tempat Raka terkurung.
Keita ikut mengantar ke dalam sel. Sementara Mbok Parti mengikuti dari belakang. Baru kali ini Mbok Parti masuk ke dalam ruang tahanan barak tentara itu. Walaupun jarak barak dari kediaman hanya terpisah oleh ladang, Mbok Parti tidak pernah melaluinya.
Keita berhenti sejenak di pintu depan ruang tahanan barak tentara. Dia memberi tahu maksud kedatangannya hendak bertemu dengan Raka, tahanan pemberontak yang besok hendak dikirim ke Semarang
Tangan Mbok Parti gemetar. Sesuai prosedur, makanan yang masuk ke dalam sel siapapun yang mengantar harus diperiksa. Seorang tentara mengorek nasi yang ada di piring.
Setelah melalui tahap pemeriksaan, Keita masuk bersama Mbok
Parti.
Seorang penjaga memberi hormat dan setelahnya membukakan sel bagi Keita. Mbok Parti diinstruksikan untuk meletakkan makanan itu di meja.
"Letakkan makanannya di situ!" Keita menunjuk meja yang ada di tengah sel. Mbok Parti beradu pandang dengan Raka yang sudah tidak dikenali lagi karena mukanya yang terluka. Yang Mbok Parti tahu, nama tahanan itu adalah Raka, sesuai yang disebutkan oleh Sato Keita saat akan masuk ke ruang tahanan tadi.
Mbok Parti sempat ngeri melihat wajah yang babak belur. Sementara Raka juga memberikan pandangan kebencian pada Mbok Parti yang menganggapnya antek penjajah.
Keita memberi isyarat Mbok Parti keluar dengan mengangkat tangannya dan menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya." Ini makananmu. Kuharap harimu menyenangkan besok."
Raka berontak. Ingin dihajarnya pemuda berkulit kuning itu tetapi tangannya masih terbogol.
"Nikmati makananmu suap demi suap, dan berterima kasihlah padaku karena memberimu tenaga untuk perjalanan panjangmu besok." Nada suara Keita terdengar sangat sinis walau terbata.
"Aku tidak akan berterima kasih pada kaum penjajah!!"
"Hahahaha, kita lihat saja nanti!" Tawa Keita sungguh menyebalkan di pendengaran Raka. "Penjaga lepas borgolnya, biarkan dia makan dengan kenyang!!"
Seorang penjaga masuk, melepas belenggu di pergela-
ngan tangan Raka. Lelaki itu masih duduk diam di kursinya. Pikirannya kalut dengan kekesalan yang memuncak. Ditendangnya makanan itu hingga berserakan ke lantai untuk melampiaskan rasa bencinya.
***
"Simbok darimana?" tanya Keinan yang gelisah tidak mendapati Mbok Parti di dapur.
"Dari mengantar makanan ke barak, Nduk," jawab Mbok Parti. Wanita tua itu duduk di tepi tempat tidur, sambil meletakkan baju yang sudah kering dijemur.
"Ke barak?" Alis Keinan menyatu. Tidak biasanya wanita itu pergi dari kediaman utama majikannya selain waktu menyiapkan makanan dan membersihkan rumah.
"Iya. Ada tahanan baru. Kalau tidak salah, waktu masuk
Tuan Muda menyebut ... Raka." Deg.
Jantung Keinan seolah berhenti mendengar nama yang disebut oleh Mbok Parti. Ia mengatur ekspresi terkejutnya, tak ingin dicurigai. Bagaimanapun ia tetap waspada, tak semudah itu mempercayai pembantu keluarga Sato.
"Bagaimana orangnya? Tinggi? Kulitnya sawo matang? Rambutnya berombak?" Keinan mencecar Mbok Parti dengan deretan pertanyaan.
"Kamu kenal orang itu?" Keinan tidak menjawab. Dia meremas kuat sisi gaunnya membuat roknya agak tertarik ke atas.
Buru-buru Keinan keluar dan bergegas ke rumah induk.
"Nduk, mau ke mana, Cah Ayu? Jangan ke rumah induk!!" larang Mbok Parti melihat arah tujuan Keinan.
Keinan berhenti. Langkahnya tertahan di ambang pintu. Dia harus mengatur siasat lebih dahulu. Tapi apa? Bagaimana kakaknya bisa ditahan?
Keinan kembali menjatuhkan pantatnya dengan perasaan gundah. Mengatur siasat bagi seorang perempuan masa itu sungguh di luar kemampuannya. Namun otaknya terus berputar, mencari cara apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan kakaknya?
Malam itu hatinya sungguh tidak tenang. Keinan mondar-mandir, lalu-lalang di dalam kamarnya. Melihat Mbok Parti sudah terlelap, perempuan muda itu nekad masuk ke rumah induk mencari kamar Keita untuk memohon padanya.
Keinan menyelinap saat tengah malam menuju rumah induk. Di sana ada beberapa deretan kamar. Keinan tidak tahu di mana kamar Keita berada. Di ujung lorong terdengar suara berat yang tidak dikenalnya.
"Otou-san, nande kono yoru ni tsuita bakari no (Kenapa Ayah sampai pulang larut malam begini)?" tanya Keita
"Aku akan pastikan buronan itu aman sampai Semarang. Bagaimanapun kalau terjadi sesuatu dengan tahanan itu, nama keluarga kita akan tercoreng! Dan kamu yang menahannya akan terkena dampaknya karena dianggap tidak patuh," jawab Kolonel Sato.
Keinan mendengar langkah itu mendekat. Dengan kalut Keinan masuk ke kamar yang di dekatnya. Kamar yang dimasuki Keinan masih gelap. Keinan berharap kamar itu tidak terpakai. Namun justru langkah kaki kedua orang itu semakin mendekat. Dalam gugupnya, Keinan memutar otak mencari tempat untuk bersembunyi yang aman. Manik matanya mengedarkan pandang ke ruangan yang gelap, dan segera ia memutuskan bersembunyi di sebuah lemari.
Pintu berderik kasar memenuhi ruang saat kedua orang itu masuk. Tak lama ruangan menjadi terang karena lampu di tengah ruangan dinyalakan. Hanya rumah orang penting saja yang mendapat penerangan listrik pada waktu itu. Mereka duduk dan bercakap-cakap dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Keinan.
Keinan menyesal kenapa bisa terjebak di situ. Cukup lama dia terperangkap dalam lemari. Keinan menjadi teringat akan nasib ibunya yang diperkosa sehingga tanpa sadar dirinya mengeluarkan isakan di sela tangisnya.
"Sore wa nani no otodesu ka (Suara apa itu)?" tanya Kolonel Sato
Keita memasang telinganya namun suara itu tidak lagi terdengar.
"Futsu wa koko ni neko ga iru (Biasanya ada kucing di sini )," jawab Keita.
Suasana kembali hening. Mereka melanjutkan percakapan sampai lepas larut malam. Setelah Kolonel Sato keluar dari kamar sang anak untuk beristirahat, Keita segera menutup pintu kamarnya dan bergegas menghampiri sebuah lemari.
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro