3~Mencari Keinan
Napas Keinan memburu setiap melihat laki-laki Jepang yang berbaju tentara itu. Manik matanya membulat. Pelipisnya berkedut. Namun getaran kecil ketakutan tetap ada dalam diri Keinan. Aura pemuda itu menakutkan. Seolah memaksa membuatnya takluk.
"Hei, apa yang kamu lakukan? Onii-san yang membawamu ke sini. Dia orang baik," tegur Haru tak rela dengan sikap permusuhan Keinan.
"Kalian orang Jepang sama saja!!" sergah Keinan ketus.
Ucapan Keinan itu membuat Haru terdiam.
"Aku panggilkan dokter. Kalau sudah boleh lepas infus, mandilah. Aku akan siapkan baju gantinya lengkap."
Wajah Haru berubah dingin. Gadis Jepang itu keluar dari kamar tak ingin ikut terpancing dengan emosi Keinan.
Keinan berteriak histeris. Keinginannya pulang kandas begitu saja. Siapa dia yang melarang Keinan untuk pulang? Dia hanya ingin pulang untuk melihat keadaan ibunya.
***
Malam itu sebuah berita mengejutkan sampai di telinga Raka Narayana, kakak Keinan, dari seorang anggota gerilyawan yang berhasil meloloskan diri.
"Letnan Raka, keluarga Letnan mengalami musibah. Mereka dibawa tentara Jepang. Menurut saksi mata, Bu Sri sempat diperkosa oleh para tentara Jepang."
Telinga Raka memanas. Matanya menatap nyalang dan memerah memperlihatkan pembuluh darah yang mendidih.
Sungguh berita yang mengejutkan.
"Bagaimana dengan Keinan?" tanya Raka segera.
"Saya tidak tahu."
Jawaban mengambang itu membuat Raka cemas. Rahang Raka mengerat membuat wajahnya tegang. Keinan, adik satu-satunya harus dia jaga. Tak ingin kehormatannya dinodai oleh nafsu bejat penjajah. Tanpa pikir panjang Raka memelesat keluar. Anggotanya tidak bisa mencegah. Malam dingin itu tidak menghalangi niat Raka melintasi hutan untuk menemui adik dan ibunya. Raka berlari pulang menyusuri sungai dan lembah menuju ke desa asalnya. Lelaki itu menyesal meninggalkan ibu dan adiknya sendiri di rumah.
Raka sampai ke sebuah desa di bawah bukit perkebunan kopi pada dini hari. Desanya sudah dikepung oleh tentara Jepang karena Pemerintah Dai Nippon mengeluarkan perintah untuk menangkap gembong gerilyawan Indonesia, yang tidak lain adalah dirinya. Di setiap sudut jalan menuju desa, penjagaan diperketat.
Raka berhenti sejenak. Mengatur napas di antara semak kebun jagung yang sudah rindang juluran daunnya. Matanya memicing mencari waktu dan celah yang tepat agar bisa menerobos penjagaan. Untuk mencari informasi tentang ibu dan adiknya dia terpaksa singgah ke rumah kakeknya.
Raka mengendap-endap berusaha tak terlihat. Beruntung cahaya bulan meredup, menutupi bayangan dirinya yang menyeruak di kegelapan membelah jalan desa tenang di malam itu. Dengan berlari kencang, Raka mendapati rumah kakek dari ayahnya.
Raka mengetuk jendela dengan perasaan was-was. Badannya berbalik bersandar pada dinding kayu rumah sementara pandangannya mengedar, melihat situasi di jalanan desa.
"Mbah Wiryo ... Mbah Wiryo," panggil Raka setengah berdesis agar suara tidak bergema di keheningan dini hari.
Mbah Wiryo yang belum bisa tidur, mendengar suara jendela kamarnya diketuk. Pria tua itu menajamkan pendengarannya yang sudah berkurang.
Mbah Wiryo bangkit menuju ke arah jendela kayu yang tertutup. Dengan berbisik, dia bertanya, "Siapa?" Mbah Wiryo tidak langsung membukakan jendela.
"Raka, Mbah."
"Tak bukake lawang ngarep, Le (Aku bukakan pintu depan, Nak)."
Mbah Wiryo buru-buru mengambil dian untuk menerangi jalannya ke pintu depan, hendak membukakan pintu bagi Raka. Kaki dian diletakkannya di sebuah meja kecil di tengah ruangan. Ruangan itu kini terang oleh cahaya api kecil yang menari di dalam kaca semprong lampu minyak.
Pintu terbuka dan Raka bergegas masuk ke dalam ru- mah. Mbah Wiryo secepatnya menutup kembali pintu rumah, tak ingin orang lain tahu Raka ada di situ.
"Gusti, Raka ... kenapa kamu ke sini?" tanya Mbah Wiryo menepuk-nepuk punggung cucunya yang tersengal dan bersimbah keringat.
"Ibu sama Adik?" tanya Raka langsung seolah terhimpit waktu.
"Mereka dibawa tentara Jepang. Dan rumahmu benarbenar diamankan karena mereka tahu bahwa kamu adalah pemimpin gerakan itu," terang Mbah Wiryo. Raka menelan ludah kasar. Betul ternyata informasi yang didengarnya itu.
Mbah Wiryo duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu. Masih terengah-engah dan bersimbah keringat, Raka duduk di depan kakeknya. Pemuda itu mengelap peluh dengan lengan baju bagian atas.
"Kamu pergilah setelah terang. Jangan pulang dulu," pesan Mbah Wiryo.
"Aku akan mencari Ibu dan Adik!!" sergah Raka.
"Bahaya, Raka! Bisa jadi mereka sekarang sudah dikirim ke luar kota untuk menjadi ju—"
Mbah Wiryo tidak bisa meneruskan kata jugun ianfu namun Raka paham apa yang akan dikatakan kakeknya.
"Di manapun mereka, saya akan menemukannya!!" Bola mata Raka berkilat menunjukkan tekadnya yang sudah bulat.
Mbah Wiryo melepas napas panjang. Tahu keinginan cucunya tak dapat lagi diganggu gugat.
Satu–satunya jalan yang bisa dilakukan kakek tua itu adalah memberi restu bagi sang cucu. "Hati-hati, Raka. Mereka sudah menyebarkan gambar pencarianmu." Mbah Wiryo tampak khawatir. Kehilangan anak lelakinya—ayah Raka dan Keinan—membuat kesedihan tersendiri bagi kakek itu.
Raka tersenyum. "Tenang, Mbah. Saya baik-baik saja. Saya pamit. Doakan saya, Mbah." Raka bangkit, dan menghampiri kakeknya. Lelaki muda berumur dua puluh sembilan tahun itu mencium punggung tangan Mbah Wiryo dan keluar lagi bergabung dengan gelapnya malam.
Betul kata kakeknya. Bahkan untuk masuk ke desanya saja Raka tidak bisa karena ketatnya penjagaan. Maka keluarpun Raka harus ekstra hati-hati. Gembong pemberontak itu memutar otak, kira-kira ke mana dia bisa menemukan Ibu dan adiknya. Akhirnya Raka memutuskan mencari di semua pos penjagaan Jepang. Sepengetahuannya di setiap pos terdapat jugun ianfu yang memuaskan nafsu para tentaranya.
Raka berlari kencang menembus dinginnya malam. Hatinya pedih. Batinnya teriris. Kegagalan misi mereka berdampak pada keselamatan ibu dan adiknya.
Raka mengistirahatkan badannya sejenak setelah lama memacu kakinya menapaki jalan terjal perbukitan. Tubuh kekar itu bersandar pada sebuah pohon. Mengatur napas yang terengah, Raka tersenyum miring dan mendengkus menertawakan dirinya. Sungguh ironi ketika dia berjuang untuk kebebasan bangsanya, tetapi justru mencelakakan Ibu dan adiknya. Haruskah dia menyerah? Idealisme untuk membebaskan diri dari penjajahan mengakar di batinnya. Apapun yang terjadi, dia harus bisa memperjuangkan dua-duanya. Idealismenya dan keluarganya. Dia tidak ingin kehilangan ibu serta adiknya seperti dulu dia pernah kehilangan Ayah dan teman baiknya, Dewa.
Raka tiba-tiba merasa rindu pada Dewa Pamungkas. Dewa adalah sahabat dan juga kekasih adiknya yang tertembak dan diberitakan tewas saat malam di rumah keluarga Sato. Seandainya Dewa masih ada di sini, mungkin kejadian ini tidak akan berlangsung. Mungkin Keinan sudah dibawa Dewa ke Magelang, tempat asal Dewa, dan tak perlu mengalami nasib tragis seperti ini. Raka mendesah kasar. Perjalanannya masih panjang. Dia harus menerobos perkebunan kopi untuk mencapai pos penjagaan Jepang di daerah Tuntang.
Setibanya di perbatasan Ambarawa, Raka menyelinap masuk ke pos penjagaan tentara Jepang. Tindakannya itu sungguh nekad mengingat ketatnya penjagaan. Dia tahu kalaupun ia berhasil masuk namun belum tentu akan keluar hidup-hidup.
Raka menerobos masuk seperti kucing yang berjalan tanpa suara dan bersembunyi dari para tentara Jepang saat menyusup ke dalam barak yang dijaga ketat. Tujuan utamanya adalah ke tempat para jugun ianfu berkumpul sebelum dikirim ke Semarang untuk dipilah. Raka berlari mengendap-endap dari satu bangunan ke bangunan lain. Lelaki itu mencermati keadaan dan pada saat ia merasa suasana aman, dirinya akan masuk ke sebuah bangunan yang setengah tertutup.
Raka yakin gudang itu adalah tempat para wanita yang diculik untuk dijadikan jugun ianfu karena dari luar terdengar jeritan memilukan para wanita yang dipaksa memuaskan nafsu para lelaki Jepang.
Raka menunggu waktu yang tepat. Yaitu setelah beberapa orang tentara Jepang keluar dengan seringai kepuasan setelah melampiaskan hasrat. Lelaki itu menyeruak masuk. Suara berderik saat Raka mendorong pintu membuat semua perempuan yang ada di dalam melihat ke arahnya dengan ngeri. Para wanita itu mengira tentara Jepang yang akan masuk dan melampiaskan nafsu bejatnya.
Kelopak mata Raka terbuka lebar, saat pandangan para perempuan yang berkumpul dengan penampilan semrawut di situ tertuju pada Raka. Raka memberi tanda agar diam, dengan mengacung jari telunjuk di depan bibir yang mengerucut tanpa desisan. Raka memicing, memperhatikan satu per satu wanita itu untuk melihat apakah ada wanita yang berasal dari desanya.
Ayu, namanya. Sesuai namanya wajahnya memang ayu. Gadis itu meringkuk ketakutan di pojok ruangan menyembunyikan wajahnya. Namun Raka mengenali gadis manis itu. Raka menyeruak masuk melewati para perempuan yang duduk di lantai, yang mendongak melihat pergerakannya.
Raka mengambil posisi jongkok agar bisa menyapa Ayu. "Ayu...." Gadis itu ketakutan. Dia semakin menenggelamkan dirinya di balik lengan kecil itu.
"Ini aku Raka. Raka Narayana," bisik Raka. Ketika mendengar nama Raka disebut, pelan-pelan Ayu membuka lengan kecilnya. Gadis itu memperlihatkan wajah yang tak karuan kacaunya.
"Mas Raka...." Ayu menghamburkan pelukannya di ba- dan kokoh Raka.
Raka mengelus naik-turun punggung Ayu yang bergetar karena isakan. Lelaki itu mengeratkan rahangnya karena marah dengan keadaan perempuan itu. "Jahanam betul mereka. Apa yang mereka lakukan?" desis Raka. Raka mendorong tubuh Ayu sehingga bisa melihat kondisinya. Bajunya robek memperlihatkan tali kutang berwarna hitam. Sedang wajahnya penuh bekas memar. Anak rambutnya banyak yang keluar dari gelungan, tergerai menutupi wajah yang basah karena keringat dan air mata.
"Anak ini melawan para tentara Jepang yang ingin menyetubuhinya. Beruntung, sampai sekarang dia belum dijamah para tentara itu," cerita seorang perempuan di belakang Raka. Wajah Raka memanas. Keadaan Ayu sungguh menyedihkan. Darahnya ikut mendidih ketika perbuatan keji itu terbayang di otaknya.
"Mas, bawa aku pergi. Aku takut," pinta Ayu dengan raut muka memohon. Gadis itu mencengkeram lengan berotot Raka.
Raka berbalik, melihat semua perempuan yang ada di situ. Raka yakin semua wanita itu pasti juga ingin keluar dari tempat menakutkan itu.
"Pasti aku akan membawamu keluar dari tempat ini." Raka memandang berkeliling. Otaknya memutar siasat bagaimana caranya membuat semua wanita itu bebas. "Oh ya, apa kamu tahu kabar Keinan?" tanya Raka sembari otaknya mengatur siasat.
Ayu menggeleng.
"Setahuku, dia dibawa dengan mobil lain. Hanya Keinan dan Mbokde Sri yang terpisah dari kami," jelas Ayu.
Raka menggigit bibirnya dengan raut kekecewaan tergambar jelas. Pencariannya di sini gagal. Namun melihat para wanita yang juga ingin dibebaskan itu membuat Raka mengambil jalan nekad. Raka mengumpulkan para wanita itu termasuk Ayu. Raka menggambar di tanah dengan sebuah ranting memberitahukan siasat pelarian mereka.
"Dengar ... begitu kalian mendengar suara tembakan, kalian buru-buru lari. Aku akan mengalihkan perhatian para tentara liar itu," kata Raka sambil memandang berkeliling wanita yang berharap padanya.
"Jangan, Mas ... bahaya," cegah Ayu dengan wajah penuh kecemasan.
"Yu ... kamu percaya Mas. Mas pasti akan selamat," ucap Raka.
Detik berikutnya Raka sudah bangkit untuk melaksanakan strateginya. Ayu tak bisa mencegah. Dia hanya bisa memandang punggung Raka yang menghilang saat lelaki itu memelesat keluar untuk mengalihkan perhatian para tentara.
Begitu terdengar rentetan tembakan berdesing di udara,
Ayu dan beberapa wanita yang ada di situ berhamburan keluar.
Mereka berlomba-lomba berlari menerobos pagar berduri. Desingan peluru yang terlontar dari senjata api pun mewarnai pelarian mereka. Bola timah panas yang beterbangan berhasil menghujam punggung beberapa kawannya. Ayu tidak melihat ke belakang. Yang dia pikirkan bagaimana dia bertahan hidup dan selamat dari cengkeraman para biadab—tentara Jepang—agar usaha dan pengorbanan Raka tidak sia-sia.
Ayu berlari menembus hutan yang mengelilingi pos penjagaan tentara Jepang. Luka di pahanya akibat goresan duri di pagar tidak diindahkan. Ayu hanya melihat ke depan sambil terus berlari sampai tubuhnya tidak kuat lagi sehingga akhirnya ia tersungkur. Ayu meringis menahan perih. Napasnya tersengal berusaha meraup udara ke dalam paru-paru. Baru saat itu Ayu menengok ke belakang. Sepi. Tidak ada yang mengikutinya, apakah hanya dia yang berhasil lolos?
Mas Raka ... terima kasih ... akan kubalaskan jasamu. Setelah beristirahat sejenak mengumpulkan tenaga, Ayu bangkit dan menapakkan kaki telanjangnya lagi menembus ke dalamnya hutan.
Raka menyerang pertahanan serdadu Jepang. Perlawanan tunggalnya sangat mudah dilumpuhkan oleh tentara Jepang. Raka tertembak di bagian kaki kanan dan diseret menuju ke ruangan tahanan.
Seorang serdadu yang terlihat berpangkat dari banyaknya bintang yang dia kenakan masuk ke ruang tahanan yang pengap. Raka disekap di situ. Wajahnya yang rupawan sekarang sudah susah dikenali karena keringat, darah dan debu yang bercampur menjadi satu. Luka lebam di pinggir mata membuat matanya tidak bisa dibuka.
Begitu ditangkap, Raka dipukul dan didera oleh para penjaga Jepang tanpa ampun. Serdadu-serdadu itu sangat senang. Seolah mendapatkan tikus yang datang sendiri ke perangkapnya.
"Beritahu Letnan Sato kita sudah mendapatkan buro- nannya!" perintah komandan di kompi itu.
Raka tidak asing mendengar nama itu. Sato ... dia pasti orang yang membunuh Dewa malam itu.
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro