10~Masa Terindah
Hai..kebiasaan yak nih author emang hobby up cerita..
Di jam istirahat siang ini author sengaja up lagi kisahnya Keinan n Keita.
Ikutin terus lanjutannya..
Semoga readersku tercinta suka.♥️♥️
Jangan lupa vote n komennya yak..
Derit pintu kamar yang dibuka Keinan menggaung di seluruh ruangan tetapi tidak mengganggu pendengaran Keita yang saat itu masih terbaring lelap oleh pengaruh obat tidur. Keinan mendekati Keita yang sedang pulas. Gadis itu duduk dan memperhatikan wajah Keita. Wajah rupawan itu terlihat pucat. Namun luka yang ada di setiap bagian wajahnya tidak mengurangi pesona lelaki itu. Keinan baru menyadarinya, bahwa laki-laki penjajah itu terlihat ringkih saat itu.
Mata Keinan tertuju pada baskom yang diletakkan disebuah meja kecil. Keinan mengambil handuk yang disampirkan di bibir baskom danmencelupkan handuk itu ke air dan dilanjutkan dengan memerasnya.
"Tuan Muda Kei, aku kembali. Aku akan membalas budi baikmu," bisik Keinan dengan perasaan sangat bersalah. Setiap sorot mata Keinan mengandung makna rasa terima kasih dan haru yang tidak ada habisnya.
Keinan menyeka wajah Keita perlahan. Baru disadarinya betapa polos dan rupawan wajah laki-laki yang sempat dibencinya. Mata sipitnya terpejam dengan bulu mata lentik yang Keinan pun tidak punya. Hidungnya mancung bertengger apik di tengah wajah. Bibirnya tipis terlihat pucat walaupun bia-
93
sanya bibir itu terlihat merah tanpa polesan gincu.
Tiba-tiba pipi Keinan merasa panas. Pipinya memerah karena dia teringat bibirnya pernah menyentuh bibir Keita. Ingatan itu memicu jantungnya bergerak cepat tanpa bisa dia kendalikan.
"Sampai kapan ... handuk basah ... akan menempel ... di pipiku?" Keinan sangat terkejut karena tahu-tahu suara Keita keluar dari mulutnya.
"Ah, maaf." Keinan menarik handuknya dan menaruh kembali ke baskom. Keinan membalikkan badannya sembari menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Keita menyeka air yang mengalir di lehernya. Keita berusaha menegakkan badan untuk duduk bersandar di ranjang. Keita mengerang merasakan perih di perutnya. Keinan dengan sigap membantu. Kain selimut yang menyelubungi badan Keita melorot turun ke perutnya memperlihatkan luka pecutan menganga yang mengelupas tak hanya kulit namun juga sebagian dagingnya. Tak hanya itu, mata Keinan juga tertuju pada sebuah bekas luka tembak di bahu kiri Keita.
Keinan ngeri melihat luka-luka dan bekas luka yang terlihat di badan Keita, padahal sudah sering dirinya mengobati dan merawat luka yang lebih parah dari yang dialami Keita.
Entah kenapa hatinya ikut pedih hanya dengan melihatnya.
Keita meringis menahan perih. Sementara tangan kirinya memegang perut. Luka yang kering di perutnya menjadi semakin pecah karena gerakannya.
"Sakit?" Suara Keinan bergetar. Pertanyaan aneh yang keluar dari bibirnya. Keita tersenyum teringat pertanyaan yang sama ketika pertama kali bertemu dengan Keinan di hutan setahun yang lalu.
Jari Keinan tanpa sengaja menyentuh ujung luka yang panjang dan dalam dari dada hingga perut Keita. Otot perut yang awalnya terukir seperti lapisan roti sobek itu tidak lagi berbentuk. Keinan tidak menyangka sang ayah tega memperlakukan anaknya seperti itu.
Lagi-lagi Keita meringis.
"Kenapa ... kamu kembali?" tanya Keita sedikit tersengal sambil menahan nyeri.
"Aku ... aku hanya ingin berterima kasih. Aku tidak ingin berhutang budi."
"Kalau kamu merasa berhutang budi kita impas," tukas Keita ketus dengan ekspresi yang masih menahan sakit.
"Impas?" Alis Keinan berkerut.
"Kamu ingat pemuda Jepang yang kamu...," Napas Keita tersengal tampak berpikir sejenak, "eto ... kembalikan nyawanya di hutan setahun lalu? Yang tertembak peluru?"
Keinan mengorek kembali ingatannya. Dan saat melihat luka di bahu Keita, kenangannya kembali.
Itu malam Mas Dewa mulai menjalankan misi.
"Pemuda itu aku. Semua yang kulakukan ini untuk membalas budimu. Jadi, jangan merasa berhutang budi, Perempuan Bodoh!" Tatapan mata Keita begitu sengit seolah tidak ingin melihat gadis pribumi itu di situ. Memang Keita tidak ingin melihat Keinan kembali ke kediaman Sato.
Keinan tercenung, mengenang masa itu. Ingatan memutar peristiwa kala ia bertemu seorang pemuda Jepang yang bersimbah darah. Keinan tidak mengenali wajahnya karena penuh darah, debu, tanah dan keringat. Terlintas jelas di ingatan Keinan bahwa malam itu hanya diterangi oleh sinar rembulan saja sehingga Keinan tidak begitu memperhatikan siapa yang ditolongnya. Keinan tidak menyangka bahwa Keitalah pemuda itu.
"Apa yang terjadi karena buah dari budi baikmu. Kamu selamatkan nyawaku, dan bila untuk membalasnya harus kehilangan nyawa aku sudah siap. Bukankah seharusnya aku sudah mati dari dulu. Aku tidak suka berhutang apalagi berhutang budi," kata Keita.
Telinga Keinan memerah. Wajahnya panas. Diremasnya ujung rok di lututnya.
Salah. Ini salah. Tidak seharusnya dia balas budi dengan mengorbankan nyawanya.
"Yang bodoh itu kamu! Mengorbankan nyawa untuk musuhmu!!" ujar Keinan dengan nada meninggi.
Justru kamu yang terlalu polos, di zaman perang seperti ini menolong musuhmu sendiri, dapat menghancurkan hidupmu dan bangsamu, jawab Keita dalam hatinya.
Keinan bangkit dan keluar dengan wajah yang masam. Keita hanya memandang punggung Keinan yang menjauh saja tidak bisa berbuat apa-apa di atas ranjang.
Keinan berlari menuju pavilliun ke kamar Mbok Parti. Kamar yang pernah dia pakai sebelumnya. Mbok Parti sedang menjahit kebayanya yang robek. Dia kaget karena Keinan masuk dengan kasar.
Keinan menghempaskan pantat di tepi ranjang. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Bibirnya manyun membuat wajahnya terlihat aneh.
"Dasar, Laki-laki Bodoh!!!" umpat Keinan.
Mbok Parti terkekeh. "Kamu juga perempuan bodoh. Tuan muda sudah mau membebaskan kamu dengan mempertaruhkan nyawanya tapi kamu malah kembali," ujar Mbok Parti.
"Justru dia yang bodoh, Mbok. Masa membebaskan musuhnya."
"Itulah yang namanya cinta."
"Cinta?" Manik mata Keinan membulat. "Siapa yang mencintai musuhnya. Bangsa Jepang adalah bangsa yang menjajah negeri ini." Keinan mencibir.
Kekehan Mbok Parti masih mengudara, membuat Keinan justru semakin jengkel. Gadis itu tak enak hati karena dibebaskan oleh musuhnya, kesal karena dia kembali ke situ untuk membalas budi.
"Ya. Aku disini membalas budi orang Jepang itu." Keinan meyakinkan dirinya.
***
Sebelum kembali ke kamar Keita, Keinan melihat sapu tangan yang selesai disetrika Mbok Parti dengan setrika arang. Terbesit dalam pikiran Keinan untuk meminjam sapu tangan itu untuk disulam sambil mengisi waktu luang di saat merawat Tuan Muda Sato."
Saya pinjam dulu sapu tangannya, Mbok." Keinan membentangkan sapu tangan itu. Saputangan putih tulang itu kira-kira berukuran 40cm x 40 cm.
"Untuk apa?" tanya Mbok Parti.
"Untuk saya sulam. Ada benang warna?"
Mbok Parti memberikan sekotak benang warna kepada Keinan. Setelah memilih, Keinan memutuskan mengambil warna merah.
"Saya ambil ini." Keinan mengambil sapu tangan, benang dan jarum. Setelahnya dia bergegas kembali ke kamar Keita.
Saat itu Keita sedang mengoles pasta ke luka di perutnya. Keinan yang baru saja masuk terkejut karena Keita melakukannya sendiri. Gadis itu bergegas menaruh barang-barangnya di meja tengah ruangan dan menghampiri Keita.
"Tuan Muda, sini saya bantu." Keinan mengambil alih pot pasta itu. Keita yang dari tadi merunduk serta masih menahan perih, memandang Keinan.
"Ke mana kamu? Bukannya kamu disini ... eto ... diminta Okaa-san untuk merawatku? Kamu melewatkan kunjungan dokter!" oceh Keita.
Keinan mencolek isi pasta dalam pot itu dengan jari tengahnya. Manik matanya tertuju pada luka menganga di dada sampai perut Keita dan tidak memperhatikan ucapan Keita.
"Tahan sedikit ya...." Keinan pelan-pelan menyapukan jari tengahnya ke atas luka, membuat Keita menjerit.
"Kamu bisa lembut? Atau mau membunuhku?" sergah Keita dengan tatapan elang yang menusuk.
"Maaf...." Sekali lagi Keinan mengoleskan pasta itu de-
ngan sentuhan yang lebih ringan.
Area pertama yang diolesnya adalah area perut di sebelah kanan pusar. Jari Keinan kemudian naik melintasi permukaan perutnya yang berotot menuju ke dada kiri. Keita meringis. Jemari Keinan lebih berasa menggelitiknya daripada menyakitinya. Jemari kecil itu menimbulkan sensasi lain yang tidak pernah Keita rasakan. Ini kali pertama seorang perempuan selain ibu dan adiknya menyentuh tubuhnya secara langsung. Andai Keita tidak terluka, mungkin Keinan yang di depannya sudah menjadi mangsa naluri alamiahnya.
"Sakit?" Keinan ikut meringis. Keita tidak menjawab namun tetap meringis.
Keinan tidak tega melihat luka itu. Entah kenapa dirinya ngeri menyentuh tiap senti sayatan di tubuh Keita. Tanpa terasa air mata menetes di pipinya. Walaupun berusaha ditahan namun, air mata itu tetap berontak ingin mengalir keluar hingga menetes di punggung tangan Keita.
"Kamu ... eto ... berliur?" Suara Keita memecah kebisuan mereka. Alisnya terangkat memperlihatkan lipatan di dahinya.
"Hah?"
Keinan mendongak memandang Keita. Wajah Keinan yang bermata sembab jelas terekam di penglihatan Keita.
"Kamu menangis?"
"Hah?"
"Hah??" Keita jengkel karena Keinan hanya merespon pendek. "Kamu tuli? Jawaban hanya 'Hah' seperti lidah panas karena makan cabai!"
Kesadaran Keinan kembali.
Orang ini kan musuhku. Penjajah negaraku. Kenapa aku harus kasihan?
Keinan lantas mengusap kasar luka Keita membuat lakilaki itu terpekik.
Dasar tidak tahu dikasihani!! Penjajah manja begini mau ikut perang!! umpat Keinan dalam hati.
"Aarrgghhh ... sakitttt! Kamu mau merawat atau mencelakakan aku?" protes Keita.
"Oh, maaf, Tuan Muda." Seringai mengejek Keinan mengembang di wajahnya.
"Ini baru gadis yang kukenal," kata Keita membuat Keinan memandang lelaki itu dalam-dalam.
Kamu jangan menampakkan wajah sendumu itu lagi, karena aku bisa lepas kendali. Jangan kasihan atau menaruh perasaan apa pun, karena kamu akan terluka. Batin Keita membalas tatapan Keinan.
Keinan kembali mengusap luka di dada Keita, tetapi justru kenapa dada Keinan yang merasa perih. Seolah sebuah belati telah menghujamnya?
Kumohon ... jangan pernah teteskan air mata untuk penjajah bangsa.
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro