EXTRAPART 2
Warning ( bad words)
•••
Samar-samar aku mendengar seseorang berbicara dalam bahasa asing di saat itulah kesadaranku perlahan kembali. Namun, saat aku membuka mata pandanganku masih mengeblur. Kepalaku pusing. Tanganku tidak bisa bergerak karena terikat sesuatu.
"Heh, heh, dia udah sadar. Sono urus!"
Bersamaan dengan itu samar-samar aku melihat seseorang yang mirip dengan Antoni berjalan kearahku membawa kotak berwarna biru muda. Lamban laun pandanganku mulai jelas. Seseorang yang kukira mirip dengan Antoni ternyata itu memang Antoni.
"Ton?"
Dia duduk di kursi lipat persis di depanku. "Hai, Sabella?"
Aku melihat sekeliling, seperti sebuah gudang atau bekas pabrik. Banyak besi-besi berkarat tertumpuk di sudut-sudut tempat ini. Ada api unggun menyala membara beberapa meter di depanku, di mana ada beberapa orang berjas rapi duduk sedang mengobrol serius. Selain mereka, ada beberapa orang berpenampilan preman bermuka sangar berdiri menyebar. Ada yang tengah merokok, ada yang memegang pistol dan ada yang hanya berdiri saja.
Butuh beberapa detik untuk sadar bahwa aku telah menjadi korban penculikan. Dan yang lebih herannya adalah seseorang yang duduk di depanku saat ini.
"Maksud lo apa, Ton?"
Antoni tersenyum tipis, "Jangan takut, lo akan baik-baik saja, kok."
"Si—siapa mereka?"
Antoni menoleh kearah beberapa orang berpakaian jas yang tengah mengobrol serius dalam bahasa asing. Kemudian dia kembali menghadapku dengan senyuman tipis, "Tujuan mereka bukan lo, kok. Gue jamin lo bakal baik-baik saja."
"Tujuan mereka? Maksud lo? Gue jadi pancingan gitu?" tanyaku yang dibalas anggukan kecil oleh Antoni, "trus, siapa tujuan mereka? Jangan bilang..."
"Betul," sahut Antoni seperti mengerti orang yang kumaksud, "Arshaka Shabiru, orang yang mereka cari."
Aku berhenti bernapas sejenak, ketakutan merayapi jiwaku pada detik itu juga. Aku harus cari cara agar Pak Shaka tidak datang dan terperangkap jebakan mereka. Tidak apa-apa jika akhirnya aku yang akan terluka. Aku tidak mau dia kenapa-napa.
"Dia—dia nggak ada di Negara ini, dia nggak akan datang," kataku dengan nada bergetar.
Antoni tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan tatapan instensnya, "Terlambat, Sabella. Nggak lama lagi dia bakal datang. Sendirian."
"Bajingan!" rutukku, "apa yang akan kalian lakukan? Apa mau kalian?!" teriakku kesal. "Kenapa lo gini, Ton? Kenapa lo lakuin ini ke gue?" tanyaku dengan suara bergetar karena menangis.
Sambil menarik wajahnya, Antoni tersenyum kecut sembari membuka kotak yang dia bawa. Dia menunjukan satu persatu barang yang tersimpan di dalam kotak itu. Barang pertama, sebuah foto. Fotoku dengannya beberapa tahun silam. Kedua, sketchbook, dia membuka lembar tiap lembar benda itu menunjukan sketsa wajahku dari yang sketsa amatiran penuh dengan coretan sampai sketsa halus nyaris mirip dengan foto asli.
Aku masih tidak mengerti sampai akhirnya barang terakhir yang di keluarkan, sebuah kotak merah hati berisi cincin emas bermahkota berlian.
"Saat gue tau pernikahan lo terikat kontrak, gue ngeyakinin diri untuk tetap sabar, gue yakin lo adalah gadis berprinsip yang nggak akan mudah jatuh cinta sama orang yang baru lo kenal. Gue sengaja ngilang, sampai akhirnya gue datang dan lo bilang lo bakal cerai dari suami lo dua bulan lagi." Antoni menjeda kalimatnya sejenak, "Tau nggak, saat itu kesannya lo berharap gue nunggu lo. Gue ngerasa lega, bahagia, dan nggak sabar waktu itu akan tiba."
"Saking nggak sabarnya, gue manipulasi lo untuk datang nemuin gue dan gue sengaja nyewa wartawan buat bikin berita skandal yang gue pikir hal itu akan mempercepat perceraian lo. Nyatanya, Shaka bangsat ngebuat alibi palsu buat ngelindungin lo."
"Jadi...beneran lo waktu itu?"
Antoni mengangguk sambil tersenyum tanpa dosa. Lamban laun, bukan kasihan yang aku rasakan padanya. Kemarahan dan kebencian yang kini memenuhi hati dan pikiranku.
"Akhirnya gue ngalah dan milih bersabar lagi. Sampai akhirnya lo resmi cerai dengannya. Gue happy, happy banget. Saat itu juga gue mau nemuin lo dan ngelamar lo langsung tanpa harus nunggu lagi. Tapi, karena berita skandal itu, gue nggak pengin hidup lo terusik dan bakal ngaruh juga ke gue. Akhirnya, gue mutusin buat nunggu lagi setidaknya setahun."
Semakin aku melihat wajahnya, mendengar ceritanya, semakin banyak pula rasa muakku kepadanya. Benar-benar brengsek!
"Setelah gue nunggu setahun, apa yang gue terima, Bangsat?! Lo balik ke dia! Lo nikah sama dia! Kalian hidup bahagia diatas penderitaan gue. Lo ngancurin hidup gue. Ngancurin segala mimpi gue. Dan. Beginilah endingnya. Kalo gue nggak bisa milikin lo, siapapun juga nggak bisa milikin lo, termasuk Arshaka Shabiru."
"Maksud lo? Lo mau bunuh gue? Hm? Silakan bunuh gue!"
Antoni tertawa kembali, suaranya mengelegar. Benar-benar merasa puas. Dia kembali mendekatkan wajah ke wajahku, menatapku dengan tatapan piciknya.
"Biar Arshaka yang menentukan. Dia... atau... lo yang mati." Setelah mengatakan itu dia kembali tertawa terbahak-bahak.
"Bener-bener bajingan lo ya, Ton."
"Lo yang bajingan, Bel! Lo ngasih harapan palsu ke gue. Lo nggak ngerti apa yang gue rasain selama ini. Dan, terimalah akibatnya." Dia bangkit kemudian meninggalkanku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku takut hal buruk akan terjadi. Aku bingung, marah, dan benci dengan keadaan ini. Sebisa mungkin aku melepaskan ikatan di tanganku, meski rasanya mustahil karena ikatannya yang kencang. Meski begitu, aku tetap berusaha melepasnya. Mesk sakit, pun. Sebelum Pak Shaka datang.
***
Mungkin sekitar satu jam lebih, seseorang datang melepaskan ikatan tangan dan kakiku yang terpilin di kursi yang aku duduki. Kemudian, dia menarik tanganku untuk berdiri dan berjalan mendekat ke api unggun. Semua orang seperti bersiap-siap, berdiri menghadap pintu gudang. Jika didengar lebih dekat, orang-orang berjas rapi ini berbicara dalam bahasa korea. Aku baru menyadari bahwa ini pasti ada sangkut pautnya dengan keluarga mendiang Ryu.
Pintu gudang dibuka, jantungku berdebar hebat. Dalam hati aku berharap itu bukan Pak Shaka, mataku tak sanggup melihat orang yang datang adalah suamiku. Aku tidak mau dia terluka, aku tidak mau dia harus memutuskan keputusan yang buruk. Aku benar-benar membenci Antoni, sangat membencinya.
Satu bulir air mata jatuh saat melihat siapa yang datang. Pak Shaka datang dengan napas terengah-engah, semua kancing jasnya dilepas, wajahnya tampak mengkilap berkeringat. Sepertinya dia berusaha keras untuk datang cepat ke tempat ini. Setelah matanya bertemu denganku, pria itu terlihat bernapas lega. Sambil berjalan mendekat, matanya tak lepas menatapku.
Aku menangis sambil menggeleng untuk memberinya isyarat agar tak mendekat. Namun, dia sama sekali tak gentar. Langkahnya semakin cepat dan berhenti tak jauh dari api unggun. Seperti tak punya ketakutan, Pak Shaka malah mengangkat dagu dan satu alisnya sembari menatap satu persatu orang yang terlibat dalam penculikan ini, tatapannya dingin seperti memendam kemarahan yang tak dapat diukur.
Satu orang berjas hitam memakai kaca mata cokelat maju satu langkah, dia berbicara dalam bahasa korea yang entah tak kupahami, aku hanya bisa menangkap kata Alisa, Oriana, Ryu dan sering menyebut kata 'Harabeoji' dan 'Halmeoni' yang kutau artinya adalah kakek dan nenek. Mungkin, mereka adalah suruhan orang tua Ryu untuk mengambil alih hak asuh atas Alisa.
Aku tidak tahu Pak Shaka mengerti bahasa Korea atau tidak, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah pistol! Aku langsung membelalakan mata, terkejut apa yang akan dia lakukan. Semua orang yang berpakaian preman langsung menodongkan pistol kearah Pak Shaka dan satu kearah kepalaku.
"If you touch her, you in serious danger," –Jika kalian menyentuhnya, kalian dalam bahaya yang serius. Ancamnya.
"Heh, Arshaka!" Antoni maju satu langkah, "Kita percepat aja. Lo tanda tangani pengalihan hak asuh, kita serahin Sabella ke lo."
"Don't listening him, im okay. Im gonna be okay. Just,... go!" –Jangan mendengarkannya, aku baik. Aku akan baik-baik saja. Hanya saja... pergilah!
Pak Shaka tersenyum tipis, dia malah mengongkang pistol. Semua orang pun juga segera mengongkang pistol mereka bersiap untuk menembak. Ketakutanku semakin menjadi-jadi, aku tak peduli mendengar ongkangan pistol tepat di kepalaku, yang kepedulikan hanyalah pria bodoh yang berdiri di sana.
"Please! Just go! Please!" Aku memohon kepadanya, nampaknya sekali pun aku menangis darah, pria itu keukeh berdiri di sana.
"Sayang," ujarnya, dia menatapku dalam, "Trust me."
"Hm?" Air mataku tidak berhenti mengalir, suasana tampak tegang dan aku tidak bisa berbuat sesuatu, bahkan membujuknya pun aku tidak bisa.
Pandanganya beralih ke orang yang tadi bicara dalam bahasa korea, "Give to me that contrac."
Semua orang saling pandang, kemudian salah satu bawahan orang korea itu berjalan mendekat kearah Pak Shaka memberikan sebuah map. Pak Shaka menerima map itu lantas membukanya. Beberapa detik kemudian dia tertawa.
"Aku tidak mengerti bahasa Korea, kenapa kalian tidak membuat dalam bahasa inggris saja?"
Ketua orang korea itu tampak memarahi bawahanya dalam bahasa korea. Melihat hal itu, Pak Shaka tertawa terbahak-bahak, "Wah, lucu sekali. Tidak professional. Untuk hal penting seperti ini sebaiknya kalian mempersiapkan dengan baik, karena momen ini tidak akan terulang lagi."
"Heh, jangan banyak bacot! Cepet tanda tangani surat itu!" sela Antoni.
Pak Shaka tersenyum kecut, "Harusnya waktu itu aku membereskanmu. Aku hanya merasa kasihan padamu karena cintamu yang sepihak, aku tidak tega mempermasalahkan soal skandal waktu itu."
Aku sempat terkejut, ternyata Pak Shaka tahu kalau dalang skandal waktu itu adalah Antoni. Aku semakin merasa bersalah kepadanya, dia terlalu baik untuk orang yang tidak baik kepadanya.
"Cinta sepihak? Bwahaha..." Antoni tertawa, "Heh, jangan ngebuat gue keliatan menyedihkan, berengsek! Gue nggak semenyedihkan itu. Dia cuma wanita tolol yang terjebak permainanmu!" kata Antoni sambil menoyor kepalaku saat mengatakan kalimat terakhirnya.
Melihatku diperlakukan seperti itu, Pak Shaka langsung menodongkan pistolnya kearah Antoni. Suasana semakin tegang, semua orang menodongkan pistol kearahnya.
"I warning you, don't touch her!" teriaknya, kesal.
"Why? What you want to do? Shoot me?" Antoni malah semakin memanasinya, dia sengaja menyentuh daguku dan bahkan nyaris mencium bibirku.
"Bajingan! Stay away from her!"
Aku berusaha keras untuk menghindar dengan meludahinya.
"Cuih!" Ludahku terlempar tepat ke wajahnya. Merasa tidak terima, Antoni melayangkan tamparan ke pipi kiriku hingga membuatku terjatuh. Daguku menyentuh lantai, aku merasakan darah mengalir di sudut bibirku.
Segera mungkin aku melihat kearah Pak Shaka ingin memberitaunya bahwa aku baik-baik saja, aku tidak ingin dia berbuat gegabah dengan melepaskan peluru karena hal itu akan sangat membahayakan nyawanya.
"HEY!!!" Guratan otot Pak Shaka terlihat, dia benar-benar marah, matanya melotot penuh kearah Antoni.
"Please, please, aku mohon, jangan, jangan, please! If you love me, please, don't shoot! Please!" aku memohon sekali, dibalik kobaran api unggun aku menatapnya dengan penuh permohonan agar dia tidak melepaskan pelurunya.
Antoni menarik tanganku, memaksaku untuk berdiri. Lalu dia mendorongku mendekat kearah api unggun yang berkobar, "Silakan tentukan, lo pilih dia mati atau menyerahkan Alisa ke keluarga Ryu?"
Bajingan, benar-benar bajingan. Aku menoleh kearahnya, memberinya tatapan benci kepadanya. Dia tersenyum sambil menodongkan pistol kearahku.
Aku menarik sudut bibirku yang terasa perih karena tamparan tadi, memberinya senyuman kecil menghina, "Gue yakin bokap lo di akhirat sana, nyesel udah ngebesarin putra bajingan kayak lo. Gue yakin! Bokap lo bakal bilang, 'Lebih baik, aku tidak punya anak saja daripada mengasuh anak sepertimu. Sia-sia.'"ucapku dengan senyuman yang sama, menghinanya.
Antoni terdiam sejenak, tidak lama kemudian aku melihat dia mengongkang pistolnya bersamaan dengan itu aku kembali menghadap ke depan, menatap Pak Shaka yang masih dalam posisi yang sama dan saat mata kami bertemu perlahan dia menurunkan pistolnya, pancaran matanya tampak memperlihatkan sebuah keterkejutan.
Dia menggeleng perlahan dan kubalas dengan seulas senyuman.
"Ton, ada satu hal yang pernah bokap lo bilang ke gue." Aku telah memutuskan sesuatu, "dia...tau semuanya."
"Maksud lo?"
"Dia tau kalo sebenarnya lo bukan anak kandungnya, dia hanya merasa kasihan sama lo karena nyokap lo udah ngebuang lo dan lari sama laki-laki lain. Selama bertahun-tahun, Om Sanjaya mencoba nerima lo dan nganggap lo sebagai anak kandungnya. Sampai dia pergi pun, dia masih nganggap lo sebagai putra terbaiknya."
"Apa lo bilang?"
"Hm, benar. Hidup lo sebenarnya memang menyedihkan. Jauh menyedihkan daripada hidup gue. Kasihan."
"Jangan bacot sembarangan! Ha! Jangan asal ngomong tentang keluarga gue! tau apa lo! Ha!" nada suara Antoni naik satu oktaf, kelemahan Antoni yang aku tahu adalah dia sangat sensitif jika membicarakan tentang ibunya, karena pada kenyataannya memang benar, ibunya meninggalkan dia untuk pergi dengan laki-laki lain.
"Ha!!! Bicara apa lo, berengsek! Ha!"
Aku melempar senyum kearah Pak Shaka yang mungkin telah paham bahwa aku mencoba memancing Antoni untuk menembakku agar dia bisa memilih menyelamatkan Alisa. Aku tidak akan membiarkan Pak Shaka memilihku dan melepas Alisa karena perjuangan mereka yang tidak mudah sampai pada titik ini. Alisa sudah bahagia, sudah sembuh dari traumanya. Dan aku pun sudah mendapatkan porsi bahagiaku, kini jika memang Tuhan memanggil, aku siap. Karena kepergiaanku tidak akan sia-sia.
"I love you..." ucapku tanpa suara kearahnya.
Dia menggeleng, manik matanya berlarian seakan mengisyaratkan sebuah ketakutan yang luar biasa.
DARR!
***
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro