EPILOG
Satu setengah tahun kemudian...
"Pagi, Bu Sabella?" salah satu karyawan menyapaku begitu aku keluar dari pintu lift.
"Pagi..." aku membalasnya sambil terus berjalan menyusuri koridor kantor.
Hari ini aku sedikit telat berangkat ke kantor karena Biru terus menangis tidak mau kutinggal, sedangkan kakaknya harus pergi sekolah. Terpaksa, aku membawa bayi empat bulan ini ke kantor.
"Pagi, Bu Sabella?"
"Pagi..."
Aku melihat David berlari dari arah divisi Shabiru membawa map-map yang akan kita diskusikan di rapat beberapa saat lagi. Pria itu sudah menikah dengan sahabatku beberapa bulan yang lalu, dia mewujudkan keinginannya dengan memberikan terbaik untuk orang yang dicintainya. Nania menjadi pengangguran yang bahagia sekarang.
"Bel, eh—maksudku... Bu Bella ini berkas untuk rapat sepuluh menit lagi. Semua sudah siap di ruang rapat."
"Penyelenggara di sana udah dihubungi akan ikut rapat hari ini?"
"Sudah, mereka akan bergabung melalui virtual saat rapat nanti."
"Oke, bagus. Nania udah di ruanganku?"
"Hm. Dia sudah menunggu Anda. Saya permisi kembali ke ruang rapat untuk memberitau yang lain." David mendahuluiku berjalan lalu masuk ke ruang rapat divisi Shabiru.
Sedangkan aku berjalan lurus ke ruangan bertuliskan 'Presiden Direktur' di ujung lorong. Setelah Pak Shaka pergi, aku yang memegang semua pekerjaannya. Berkatnya dulu sering melibatkanku dalam masalah perusahaan membuatku sedikit banyak tahu tentang pekerjaannya. Aku menjabat sebagai Presiden Direktur Adhitama Jaya Group, sementara kepala Divisi Shabiru di ambil alih oleh David, hanya dia orang yang paling kupercayai.
Jika dulu Presdir dan kepala divisi Shabiru Mode dipegang oleh satu orang, kini aku membaginya. Karena jujur, aku tidak bisa memegang dua kendali sedangkan aku kadang sibuk mengurus anak-anakku. Aku takut keluargaku tak terurus.
Begitu aku membuka pintu, mataku menangkap perempuan satu tahun lebih muda dariku itu sedang berputar di kursiku. Karena Nania berstatus pengangguran, hanya dia yang bisa kuandalkan menjaga Biru di kantor.
"Biruuu.... Sayaaaang!" Nania bangkit dari kursi lalu berlari menyambut kami. Dia langsung menciumi Biru dan memaksaku untuk memberikan gendongan padanya.
"Biru ganteng sama onty cantik ya, Bundamu mau cari duit buat beli susu..."
"Biru ASIX tau, nggak minum sufor."
"Ya udah diganti, Bundamu mau cari duit buat beli Lamborghini."
Aku terkekeh, "Heh, jangan ngajarin anakku hedon ya!"
Nania tergelak, "Ya udah, yaudah buat beli tempe goreng! Hm? Puas?"
Kini aku yang tergelak, "Ya udah, aku rapat dulu, ya. Titip Biru, semua kebutuhannya ada di tas. Terus, aku sudah pompa ASI di botol cukup sampai nanti jam sepuluh, tolong masukin freezer ya."
"Siap, Nyonya."
"Biru sayang, Bunda rapat dulu, ya... Biru sama onty Nania." Aku berpamit sambil menciumnya.
"Dadaaah, Bundaaaa..."
"Daah..." aku keluar dari ruangan lalu berjalan ke ruangan divisi Shabiru Mode.
Di sana sudah ada beberapa staff inti dan beberapa kepala divisi perusahaan. Layar monitor menampilkan video panggilan ke beberapa kepala anak perusahaan. Semua berdiri begitu aku masuk ke dalam ruangan.
"Silakan duduk kembali," ucapku begitu aku mendaratkan diri di kursi utama. David memberiku berkas tadi, aku membuka lalu memulai rapat.
"Dua belas tahun Shabiru Mode, kita akan membuatnya menjadi tahun yang paling berkesan. Ada beberapa pertimbangan seperti konser megah sampai carnival dari beberapa Negara."
Semua orang tampak serius mendengarkanku, "Kita libatkan semua anak perusahaan, pemilik gerai, waralaba fashion sampai waralaba lainnya. Jadi, saya setuju jika membuat sebuah kemeriahan sebagai perayaan ulang tahun ke-12 Shabiru Mode. Saya menyetujui konser megah dan carnival yang kalian ajukan. Saya juga menambahkan seperti kegiatan amal di beberapa tempat. Konser dan Carnival tidak hanya dinikmati golongan tertentu, tetapi semua golongan. Kita membuat ruang untuk disabilitas dan kelas menengah bawah untuk menikmatinya juga. Jadi, mari kita siapkan semuanya."
"Siap!"
"Figthing!"
"Figthing!"
***
"Pa, selamat ulang tahun..." Alisa mencium nisan bertuliskan nama 'Arshaka Shabiru Jaya' sembari memeluknya.
"Pa, papa jangan lelah menunggu kami ya. Tunggu kami selalu ya, Pa... Bunda, Alisa dan Dedek Biru..."
Aku menengadah sebentar untuk menghalau air mata, aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi di depan Alisa. Aku harus menjadi sosok paling kuat di antara kami. Aku tidak mau Alisa merasa sedih melihatku kembali meneteskan air mata karena kepergiaan Pak Shaka. Aku harus tetap terlihat bahagia agar dia juga merasa demikian.
"Terima kasih, ya, Pa, sudah kasih Dedek Biru untuk menemani Alisa dan Bunda. Alisa sangat bahagia. Alisa tidak akan pernah meninggalkan Bunda dan Dedek Biru. Bunda dan Dek Biru adalah keluarga Alisa. Keluarga Alisa yang paling berharga."
Aku tersenyum sembari mengusap lembut kepala Alisa yang terbaluti hijab berwarna hitam.
"Pa, I miss you... Miss you so much..." Alisa kembali mengecup nisan papanya. Kemudian dia menoleh kearahku, "Bunda mau bilang sesuatu sama papa?"
Aku menggeleng, "Bunda sudah bilang dalam hati." Karena jika aku berucap melalui lisan, air mataku tak akan berdiam diri untuk tidak mengalir. Aku takut aku menggila lagi menangisi kepergiannya.
"Sudah, Sayang? Dek Biru udah kepanasan nih."
Alisa mengangguk sambil bangkit, "Pa, kami pamit dulu, ya. Sekali lagi, tunggu kami ya, Pa. I love you..."
Aku menggandeng tangan Alisa untuk beranjak dari makam yang setahun lalu kudatangi setiap hari, kutangisi setiap hari, meminta dia kembali lagi. Tepat setahun yang lalu, langit seolah runtuh bagiku saat menatapnya dikebumikan dalam balutan kain kafan. Tidak ada kalimat perpisahan, dia pergi tanpa pamitan. Setahun yang lalu aku begitu hancur hingga nyaris kehilangan Biruku yang saat itu dalam kandungan. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit sampai bedrest berminggu-minggu.
Hingga empat bulan yang lalu, saat Biru lahir. Saat aku menatap manik cokelat terang di sepasang matanya. Pak Shaka seolah hidup kembali dalam diri bayi yang kulahirkan. Setiap jengkal wajahnya mirip sekali dengannya. Hingga kuputuskan memberinya nama, Arshaka Shabiru Jaya Jr. Karena kemiripan mereka.
Pada detik itu hidupku berbalik 180 derajat, perlahan pulih dan benar-benar bangkit. Biru kecil memberiku napas yang sempat pergi bersama kematian Pak Shaka, Biru kecil memberiku alasan untuk tetap melanjutkan hidup tanpa ratapan. Biru dan Alisa menjadi satu-satunya alasanku untuk terus semangat meski separuh hatiku hancur tak bisa diperbaiki.
Biru dan Alisa, .... Dua anugerah yang tak henti aku syukuri detik ini dan detik-detik sampai aku mengembuskan napas terakhir.
Tuhan, terima kasih...
Semberi berjalan menjauhi makam, aku sempat menoleh sebentar. Seolah aku bisa melihatnya berdiri di sana memakai pakaian putih bersih bersinar sedang melambai sambil tersenyum.
Arshaka, kekasihku.
Kenanganmu hidup di setiap napasku. Partikelnya seakan membunuhku secara perlahan. Imajiner tentangmu membutakan hatiku untuk mengenal rasa cinta lagi.
Arshaka, kekasihku.
Harum tubuhmu tertinggal di bajuku. Sekaan menyatu dalam nadiku, kemana pun aku berlari, aku masih bisa menciumu. Mengoyak ketenangan batin dan membuka rintihan perih dalam dada.
Seperti baru kemarin, kamu mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku.
Seperti baru kemarin, kamu tersenyum manis sembari mengucap kata cinta.
Seperti baru kemarin, lembut bibirmu menyentuh permukaan bibirku.
Seperti baru kemarin, peluk hangatmu terasa hangat ditubuhku.
Waktu seakan cepat berlalu.
Kini hanya ada aku dan gundukan tanahmu yang mulai terayapi rerumputan hijau.
Kini hanya ada aku yang ditemani bisikan rindu ingin bertemu denganmu.
Kini hanya ada aku dan imajinerku tentangmu yang tenang di alam sana.
Kini hanya ada aku dan seribu kenangan manis bersamamu.
Arshaka, aku cinta kamu. Bagaimana aku bisa bernapas jika oksigenku adalah dirimu? Bagaimana aku bisa melangkah jika kakiku adalah dirimu? Bagaimana aku bisa melihat jika mataku adalah dirimu?
Aku seperti puzzle cacat yang kehilangan kepingannya. Aku seperti sepatu yang kehilangan pasangannya. Aku seperti mendung yang kehilangan hujannya.
Arshaka, dengar bisikanku?
Aku rindu.
***
LADY GAGA- I'LL NEVER LOVE AGAIN
Wish I could
Seandainya aku bisa
I could have said goodbye
Aku ingin dapat mengucapkan selamat tinggal
I would have said what I wanted to
Aku ingin dapat mengatakan apa yang ingin aku katakan
Maybe even cried for you
Bahkan mungkin aku akan menangis untukmu
If i knew it would be the last time
Jika aku tahu itu akan menjadi yang terakhir kalinya
I would have broke my heart in two
Aku akan mematahkan hatiku menjadi dua
Tryin' to save a part of you
Mencoba untuk menyelamatkan sebagian darimu
Don't want to feel another touch
Tidak ingin merasakan sentuhan lain
Don't want to start another fire
Tidak ingin menjalin hubungan lagi (dengan orang lain)
Don't want to know another kiss
Tidak ingin tahu ciuman lain
No other name falling off my lips
Tidak ada nama lain yang keluar dari bibirku
Don't want to give my heart away
Tidak ingin memberikan hatiku
To another stranger
Untuk seseorang yang lain
Or let another day begin
Atau membiarkan hari lain dimulai
Won't even let the sunlight in
Bahkan tidak membiarkan sinar matahari masuk
No, I'll never love again
Tidak, aku tidak akan pernah mencintai lagi
I'll never love again
aku tidak akan pernah mencintai lagi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro