5. Kesepakatan
Pria itu datang mengenakan setelan jas biru dongker. Dia berdiri di depan pintu dengan sunggingan senyum yang beberapa detik seakan menindas. Detik kemudian Pak Shaka berjalan mendekati counter, memperpendek jaraknya denganku. Seketika membuatku was-was, aku melirik sisi kanan kiri mencari benda tajam kalau-kalau pria itu berbuat sesuatu.
Klatak! Pak Shaka meletakkan sepatuku yang tertinggal di kantornya di atas meja counter. "Aku mengembalikan ini. Kau meninggalkannya."
Aku mengembuskan napas perlahan setelah kutahan sejak kedatangan Pak Shaka. "Thanks," ucapku dibalas senyuman miring olehnya, mungkin sudah menjadi khas pria itu, tersenyum miring dengan tatapan super intens ditambah lagi dengan satu alisnya yang terangkat. Mungkin bagi perempuan biasa, itu sangat mempesona. Namun, bagiku itu sangat menyeramkan.
Kami terselimuti hening, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku masih merasa malu atas tindakanku menerima lamaran Pak Shaka tadi siang di kantor, terlebih lagi ketika aku teringat beberapa hari yang lalu menampar pria itu dan mengatainya orang gila.
"Jadi, Anda ngapain ke sini?"
Pak Shaka kembali tersenyum, namun kali ini senyuman itu memperlihatkan deretan gigi putihnya, seperti mendapatkan apa yang sudah dia tunggu-tunggu. Dia mengeluarkan sesuatu di kantong jaket mewahnya, sebuah kotak kecil dan menampakkan satu buah cincin bermata biru saphire.
"Bukankah kau sudah menerima lamaranku?" Pak Shaka mengeluarkan cincin itu dari kotaknya, kemudian mengulurkannya ke arahku, "Ini tanda lamaranku."
Aku tersenyum kecut, masih tidak percaya apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Ini sedikit gila. Dua orang yang tidak saling kenal, memutuskan untuk menikah. Ini bukan sedikit, tapi benar-benar gila.
"Wait! Aku masih nggak paham. Kenapa Anda tiba-tiba melamarku waktu itu?"
Pak Shaka menurunkan tangannya, "Aku melamarmu bukan untuk jadi istriku, tapi untuk jadi ibu dari anakku."
Aku tertawa sumbang, "Bukankah itu sama saja?"
"No," jawab Pak Shaka kontan, "Statusnya kau memang istriku, tapi bukan. Kau hanya bertugas mengurus anakku, bukan mengurusku. Sebagai imbalannya, aku akan menuruti semua keinginanmu. Apa pun."
"Wedding contrac?" tanyaku tak percaya.
"Exactly!"
"Nggak, nggak, itu gila." Aku menggeleng tidak setuju. "Pernikahan bukan permainan. Itu adalah hal sakral. Dan harus dijalani dengan sungguh-sungguh, nikah itu ibadah. Aku tidak mau."
"I don't push you. Itu pilihanmu. Aku tidak tahu apa alasanmu datang ke kantor tadi siang, yang aku yakini pasti itu sesuatu yang sangat mendesak. Right?"
Aku menghela napas, sejenak mengusir semua amarah dalam dada. Bukankah tujuanku menerima lamaran Pak Shaka karena aku butuh uang, kan? Jika aku membuang kesempatan ini, apa aku sanggup kehilangan kedai ini? Apa aku sanggup kehilangan harta paling berhargaku?
Menjual diri bukan pilihan yang bagus, Sabella. Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus kedai dalam waktu satu bulan?
Beberapa menit aku bergulat dengan batinku sendiri. Mencoba mencari cara tapi hasilnya nihil.
Sial! Aku tidak punya pilihan lain! Gerutuku dalam hati.
"So? Will you marry me?" ucap Pak Shaka sembari mengulurkan cincin itu ke arahku.
Tatapan dan senyum Pak Shaka membuatku benci setengah mati, namun apa daya, aku butuh ini. "Yes,... I will," jawabku dengan nada terpaksa.
"Good choice. Give me your hand," kata Pak Shaka memintaku mengulurkan tangan kepadanya. Dengan segala keterpaksaan, aku mengulurkan tangan ke Pak Shaka dan pria itu pun menyambut dengan senyuman khasnya, dia menyematkan cincin itu di jari manisku.
Setelah memberikan cincin kepadaku, Pak Shaka meminta sebuah map dari David yang sedari tadi menunggu di luar pintu. Keningku berkerut, mau apa lagi duda gila ini?
"Ini adalah surat perjanjian. Tidak ribet, hanya beberapa pasal yang harus kau jalani dan hanya satu pasal yang tidak boleh kau langgar. Baca!" Pak Shaka memberikan map itu kepadaku.
Meskipun sedikit ragu, aku membuka dan memulai membacanya. Setidaknya ada tiga pasal kewajiban, tiga pasal atas hak, dan satu pasal yang paling penting dan tidak boleh dilanggar.
Pasal 1 : Pihak satu (Arshaka Shabiru) memberikan segala fasilitas apa yang dibutuhkan Pihak dua (Sabella Hasyim) berupa black card.
Membaca itu mataku langsung melotot. Mungkin bukan cuma kedai ini yang mampu aku beli, tapi rumah dan segala isinya mampu aku beli. Ini sungguh gila!
Pasal 2 : Pihak satu boleh memberikan sebuah warisan dan pihak dua wajib menerimanya, namun jika pihak dua yang meminta cerai dulu, pihak dua tidak mendapatkan apa-apa.
Pasal 3 : Pihak dua tidak perlu melayani segala sesuatu keperluan pihak satu.
Pasal 4 : Kewajiban pihak dua melayani Alisa Shabiru (Putri pihak satu). Dari jam 6 sore sampai jam 12 siang, setelah jam 12 siang pihak dua dibebaskan tugas sampai jam 6 sore.
"Kenapa harus ada jam?" tanyaku, kurang paham dengan pasal empat.
"Karena putriku dari jam 12 siang sampai jam 6 sore ada di tempat belajar. Tugasmu hanya menjemputnya tepat pukul 6 sore."
"Kenapa Anda tidak sewa babysitter aja sih? Ribet amat."
"Aku butuh seorang ibu, bukan babysitter," tandas Pak Shaka membuatku menghela napas, jengah. Kemudian aku melanjutkan membaca pasal-pasal berikutnya.
Pasal 5 : Pihak dua dilarang mengurusi hal pribadi pihak satu, pihak dua harus bersandiwara di depan semua orang untuk melindungi nama baik pihak satu.
Pasal 6 : Pihak dua tidak boleh membocorkan pernikahan kontrak ini kepada siapa pun dalam kondisi apa pun, pihak dua berkewajiban merahasiakan pernikahan sampai waktu yang ditentukan pihak satu.
"Sampai kapan?"
"Yang pastinya tidak dalam waktu dekat ini."
"Iya, pastinya sampai kapan?"
"Suatu saat kau pasti tahu sendiri," jawab Pak Shaka ambigu membuatku kembali menghela napas jengah.
"Tapi untuk poin ini, aku minta kelonggaran."
Mendengar aku mengucap kalimat tersebut, Pak Shaka langsung menghujamiku dengan tatapan, "Kelonggaran?"
Aku mengangguk, "Ada satu orang yang harus tau kesepakatan ini."
"Kau belum menandatangani tapi sudah mau melanggar?"
"This person very important for me."
"Who? Your boyfriend?"
Aku menggeleng, aku merogoh saku untuk mengambil ponsel kemudian memperlihatkan wallpaper ponsel kepadanya. Aku melihatnya menyipitkan mata, bibirnya sudah sedikit membuka dan aku langsung menimpali, "Nania, sahabatku."
"Dia bisa dipercaya?"
"Of course she is."
Aku melihat ekspresi keraguan di wajahnya, namun beberapa detik kemudian dia mengangguk, "Oke, tapi, kalo dia sampai membocorkan kesepakatan ini, dia harus menanggung akibatnya."
Aku mengangguk mantap, aku yakin Nania tidak akan pernah mengkhianatiku.
Pasal 7 : Pihak dua tidak boleh jatuh cinta pada pihak satu. Begitu pun sebaliknya. Pasal ini dilarang keras untuk dilanggar.
"Pasal tujuh ini seharusnya nggak perlu, karena aku nggak akan pernah mungkin jatuh cinta pada Anda."
"I hope so," Pak Shaka kembali tersenyum miring.
"Oke, ini sederhana sekali. Aku hanya berkewajiban mengurusi anak Anda, kan?"
"We got a deal?" Pak Shaka mengulurkan tangan kanannya ke arahku.
Aku memandang tangan kekar itu sebentar, kemudian menyambutnya dengan kemantapan.
"Deal."
Di kedai itu sebuah kesepakatan terjadi, sembari kubertanya-tanya apakah Tuhan tengah membuat skenario dongeng Cinderellaku menjadi kenyataan?
***
"Orang ini sangat penting untukku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro