43: Hirkai Serif Odasi
Satu tahun kemudian...
Aku pindah ke rumah baru tak jauh dari lokasi kedai. Rumah sederhana dengan taman yang luas. Aku membeli rumah ini dari uang pembagian warisan, tabunganku selama bekerja di Shabiru Mode sebagai Kepala Desainer, juga tunjangan bulanan selama aku menjadi istri kontrak. Masih ada banyak sisa tabunganku dan rencananya ingin kugunakan sebagian untuk liburan ke beberapa Negara.
Untuk meredakan pemberitaan karena perceraian yang tak diungkap alasannya, aku berusaha untuk tidak tampil di publik selama beberapa bulan. Selama itu aku sibuk mendekor rumah, menggambar dan juga kuliah daring. Akhirnya, aku bisa melanjutkan kuliah.
Selain kesibukan itu, aku juga mengontrol kedai, Nania sering menginap di rumah. Meskipun dia masih berkencan dengan David, sekalipun Nania tidak pernah mengajaku bertemu dengan kekasihnya itu. Dia bilang aku tidak boleh bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang bisa mengingatkanku pada Keluarga Shabiru, terutama Pak Shaka. Padahal, aku sudah mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
"Nania cepetaaan!!!" Aku berteriak sambil terus berlari menarik handle koper menuju boarding pass Bandara Internasional Phuket, Thailand. Setelah menghabiskan waktu selama empat hari di Negara gajah putih, kami melanjutkan traveling ke sebuah Negara perbatasan Eropa.
"Bel! Tunggu!"
Aku mencoba membelah kerumunan orang untuk membuka jalan. Jika bukan karena semalam tidak ke tempat wisata malam dan menghabiskan banyak makanan, aku dan Nania tidak akan kekenyangan dan terlambat ke Bandara.
"Astagfirullahaladzim!" aku tidak sengaja menabrak seseorang, tubuhku terjerebab ke depan. Seseorang yang kutabrak tadi menolongku membereskan barang-barangku yang keluar dari tas.
"I'm so sorry, I'm late. Sorry, sorry..." kataku sambil memasukan barang yang lain juga ke dalam tasku. "Thank you." Orang itu membantuku berdiri setelah barang itu masuk semua, aku segera bangkit dan berlari kembali, mengejar waktu.
"Bel! Bella!!!" teriak Nania dari arah belakang, tetapi aku terus berlari dan balik meneriakinya, "Cepetan, Nan!"
Gate 3, mataku menangkap tulisan itu dan langsung mempercepat laju lariku sambil mengeluarkan ponsel. Sesampainya di petugas boarding pass aku segera menyerahkan passport dan ponsel, tiket penerbangan kupesan melalui daring. Nania datang tak lama dari itu, sambil ngos-ngosan dia menyerahkan passportnya. Setelah melakukan pengecekan, kami dipersilakan masuk dan langsung naik bus untuk menuju pesawat.
Aku baru bisa bernapas lega saat mendaratkan tubuhku di kursi pesawat. Kebetulan aku duduk di dekat jendela. Setelah mengubah setelan jaringan menjadi mode pesawat, aku membuka tutup botol minuman kemasan lalu meneguknya. Nania di sampingku juga demikian, dia meneguk satu botol air minuman kemasan hingga tandas.
"Hah, syukurlah kita tidak terlambat. Nyaris sekali."
"Ini semua gara-gara kamu, ya Bel. Coba kalau kamu nggak ngajak mencicipi semua kuliner di sana. Kita nggak akan lari ngos-ngosan, tau." Nania melirikku dengan tatapan sengit.
"Namanya juga liburan. Selain menikmati tempat wisata, nggak afdhol kalo nggak wisata kuliner juga. Dahlah, yang penting kita udah di pesawat."
"Ish!" Nania mencibir dengan ekspresi kesal.
Setelah peragaan pemakaian sabuk dan informasi darurat keselamatan dari pramugari dan perintah menggunakan sabuk pengaman serta pengumuman keberangkatan pesawat, roda pesawat mulai melaju cepat. Aku melempar pandangan ke luar jendela, berjejer pesawat yang sedang parkir, ada juga pesawat yang baru saja tiba, ada juga pesawat yang baru saja take off dan menjauh dari bandara.
Pesawat yang ku tumpangi perlahan mulai miring naik dan take-off.
"Em... Bel?"
"Hm?" tanyaku tanpa memalingkan wajah menoleh Nania.
"Em... tadi..."
"Tunggu bentar," selaku saat mataku menangkap sebuah jet terparkir di antara pesawat. Jet yang berwarna biru dan keemasan di bagian sayap dan ekornya. Jet itu mengingatkanku pada jet pribadi Pak Shaka. Apa jangan-jangan,... Ah, mungkin aku salah lihat.
"Iya, Nan?" aku menoleh.
Nania tersenyum sambil menggeleng, "Nggak jadi, nanti aja."
"Oke. Tidurlah, kita akan terbang selama 14 jam." Aku memejamkan mata, "Kita akan transit dulu di Doha, setelah itu sampai di Istanbul. Nikmatilah, ini Negara terakhir." Tidak aja jawaban dari Nania dan aku memutuskan untuk tidak peduli, mungkin dia mengangguk dan aku tidak tahu.
Turki adalah Negara terakhir tujuan kita menikmati liburan pertengahan tahun. Aku dan Nania sudah menikmati liburan di beberapa tempat, seperti Macau, Kamboja, dan Thailand. Kami menabung selama setahun untuk agenda yang telah kami rencanakan sejak lulus SMA. Bahwa jika sukses nanti, kita akan meluangkan beberapa hari untuk berlibur bersama ke beberapa Negara. Kita akan mengakhiri liburan di Turki sebelum kembali ke rutinitas biasa, kuliah dan kedai.
Kenapa Turki menjadi our last vacation?
Aku juga tidak paham, sebenarnya rencana awal kita akan mengakhiri liburan di Negara Jepang atau Korea karena masih dekat jaraknya dengan Negara yang sudah kita kunjungi. Di hari ke-tiga di Bangkok, sambil menunggu Nania berswafoto dengan patung lilin tokoh-tokoh terkenal di museum Madamme Tussauds, iseng aku membuka Instagram, scrool tanpa tujuan karena terlalu bosan. Hingga sampai di sebuah akun seseorang yang menampilkan keindahan Aya Sofia/Hagia Sophia yang sekarang telah resmi difungsikan sebagai Masjid. Mataku berbinar dan hatiku berdebar ketika melihat itu.
Aku berdiri menghampiri Nania, "Nan, habis ini kita ke Turki, yuk!"
Nania yang sedang memotret dirinya itu memberiku tatapan sengit, "Dasar nggak punya sopan santun! Beri salam dulu sama Bapak Proklamasi!" kata Nania sambil melirik patung lilin Bung Karno, "Maaf, ya, Bung. Dia memang suka gitu. Dulu, suaminya aja sering dikatain gila. Parah, kan, Bung, Jamud satu ini?"
"Haish! Sekali lagi kamu manggil aku Jamud, kulempar kau ke kandang gajah!"ancamku karena tidak suka mendengar panggilan yang diberikan Nania, jamud singkatan dari Janda Muda. Pernah dia memanggilku dengan Japer (Janda perawan), Jantik, Jalud, dan janda-janda lainnya. Dia terlalu kreatif.
"Kenapa Turki? Jauh amat. Katanya yang deket-deket aja."
"Pengin salat di Hagia Sophia. Setelah 85 tahun jadi museum, Hagia Sophia udah kembali difungsikan jadi Masjid."
Tiba-tiba mulut Nania melongo beberapa detik, "Masyaallah, Ukhti. Cus, lah."
Selain Haghia Sophia, aku juga ingin menikmati embusan angin di Selat Bourborus, selat yang memisahkan antara benua Asia dan Eropa. Selain itu juga, ingin ke Cappadocia, naik balon udara raksasa. Aku memiliki firasat bahwa Turki akan menjadi vacation terbaik.
***
Setelah penerbangan yang melelahkan, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Antartuk, Istanbul. Setelah transit dua jam di Doha, Qatar. Taksi membawa kami ke hotel daerah Sultanahmed. Meski lelah, aku dan Nania begitu antusias melihat bangunan-bangunan kuno di sepanjang jalan, seperti masuk pada zaman itu. Aku pernah melihat bangunan serupa waktu Tante Celin menonton sinetron Turki, aku sampai bosan melihatnya pada saat itu. Namun, malam ini saat melihat bangunan itu secara langsung, aku tak bosan-bosan. Aku begitu takjub.
Begitu sampai di hotel yang sudah kureservasi begitu memutuskan Turki menjadi last vacation, aku dan Nania mandi secara bergantian. Meski lelah dan ingin menenggalamkan diri di kasur, aku tidak bisa untuk tidak wisata kuliner. Perutku sangat butuh asupan karena makanan di pesawat sangat mahal, aku hanya makan roti yang kubeli di Bangkok.
Ada beberapa restauran di tengah-tengah perumahan bertingkat. Namun, kami memilih gerobak yang menjual food street, karena kami pikir jauh lebih instans dan murah. Dan ternyata, benar. Kami berhenti di gerobak roti dan memesan pide, roti yang berbentuk pipih dengan topping daging sapi, tomat dan keju. Hampir mirip pizza hanya saja bentuk pide dilipat di ujungnya, seperti bentuk daun. Tak berhenti di situ, kami juga memesan simit, roti berbentuk melingkar seperti donat dengan taburan biji wijen. Roti ini terkenal, renyah di luar dan kenyal di dalam.
Kenyang dengan roti, aku mengajak Nania ke salah satu kedai kopi yang meletakkan kursi dan mejanya di luar tanpa atap. Aku memesan Sahlep minuman dari bahan susu murni dan serbuk akar anggrek. Sedangkan, Nania memesan Sherbet, minuman ringan yang berbahan dasar buah dan bunga.
Jalanan begitu ramai meski waktu sudah menunjukan pukul sebelas. Orang-orang hilir-mudik dan kebanyakan dari mereka adalah turis-turis yang sedang berlibur seperti kami. Ada beberapa bangku-bangku di tepi pedestrian yang juga ramai diduduki para turis, gelak tawa mereka terdengar sampai sini. Begitu senang menikmati malam ini. Apalagi kubah Blue Mosque dan Hagia Sophia yang terlihat dari sini sungguh menambah rasa senang dalam hati. Pemandangan yang sangat bagus. Ah, tidak sabar besok ke Hagia Sophia.
"Setelah ke Hagia Sophia, kemana?" tanya Nania sambil menyeruput minumannya.
"Banyak, emm...Blue Mosque, Istana Topkapi. Kita bisa jalan kaki, tempatnya berdekatan dengan Haghia Sophia."
"Terus?"
"Kayaknya langsung ke Cappadocia, deh. Aku pengin habisin hari di sana."
"Why? Emang rencananya mau berapa hari kita di Turki? Kita udah hampir sepuluh hari tau liburannya. Aku udah rindu setengah mati sama Kang Dapit," katanya sambil mencium foto David di layar ponselnya.
Aku bergidik jijik melihat ekspresi Nania saat mengatakan kalimat terakhirnya, "Sampai ulang tahunku. Emm... sekarang tanggal 6, berarti enam hari."
"Hey! Kebangetan, aku udah kangen banget sama pacarku, tau. Jangan mentang-mentang jomlo ya, jadi ngajak-ngajak pacar orang!"
"Ya udah, sana pulang. Kalau emang lebih milih pacar daripada ulang tahun sahabatnya sendiri," aku pura-pura merajuk.
"Hey... bukan itu maksudnya."
"Tahun kemarin kamu kencan sama pacarmu dan melewatkan ucapan selamat ulang tahun kepadaku. Tahun ini mau diulangi lagi? Wah, kamu memang definisi sahabat terjahat."
"Apasih, diungkit-ungkit lagi. Kan, aku udah minta maaf tujuh hari tujuh malam. Kamu sih—,"
"Apa?"
"Eh, bentar Kang Dapit nelpon." Nania mengusap panel hijau lalu mendekatkan benda pipih itu di telinga kanannya, "Iya Sayang?.... lagi nongki... Hm? Kamu bilang apa?....Ha!!! Serius?.... Oh, iya-iya. Oke, oke.... Rencananya sih besok masih di sini mau ke Hagia Shopia, Blue mosque sama istana Topkapi.... Siaaap! Dah, sayang..." Nania meletakkan ponselnya di meja.
"Kenapa?"
"Emm... nggak ada."
"Mencurigakan," kataku sambil menatap selidik kearah Nania.
"Mencurigakan apa?"
Aku mencodongkan tubuhku mendekat ke Nania, "Jangan-jangan,... kamu mau kabur ya? Terus ketemuan di Negara lain? Kan?"
Tawa Nania meledak, "Ide bagus, tuh. Eh, tapi, Bel. Aku boleh tanya sesuatu nggak?"
Aku kembali menyenderkan punggung di kursi sambil mengangkat cangkir, "Apa?"
"Emm... kamu... eh, maksudku... Pak Shaka," begitu aku mendengar nama itu, aku menghentikan cangkir tepat di depan bibirku, menunda menyesapnya. "Pernah menghubungimu?"
Aku mengembalikan cangkir yang hampir saja kusesap dan tidak jadi kuminum. Lalu menatap Nania dengan perasaan heran, "Kenapa tiba-tiba tanya dia?"
Sejak aku bercerai dari Pak Shaka dan keluar dari Mansion, Nania tidak pernah membahas namanya. Dia sangat menjaga perasaanku. Namun, malam ini tiba-tiba saja dia melontarkan nama itu tanpa sebab.
"Nggak... penasaran aja."
"Cih," aku berdecih mengetahui bahwa dia berbohong, tetapi aku sengaja pura-pura tidak tahu kalau ada maksud tersembunyi di balik pertanyaanya, "Nggak pernah. Terakhir, dia menghubungiku waktu Alisa mau ke kedai sekitar lima bulan lalu, sebelum Alisa berangkat ke Amerika."
"Oh, ya, gimana kabar Alisa?"
"Baik, dia sering mengirimiku foto. Terakhir, dia mengirimiku foto bersama Omanya memegang tropy juara menggambar."
Alisa memutuskan ikut dengan oma-nya di Amerika, nenek dari mendiang ibunya. Mereka terpisah hampir enam tahun setelah Oriana memutuskan ikut dengan Ryu ke Korea. Setelah kejadian itu, Alisa tidak mau menemui seseorang yang mengingatkannya pada ibunya, termasuk oma-nya sendiri. Traumanya akan kambuh jika bertemu dengan oma-nya yang memiliki garis wajah yang sama dengan mendiang ibunya. Namun sekarang, trauma Alisa sudah sembuh. Dia bisa bertemu dan tinggal dengan oma-nya.
Aku tidak pernah bertemu dengan Pak Shaka sejak di sidang perceraian tahun lalu. Pun ketika Alisa menemuiku di kedai, pria itu tidak ikut. Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya selain berita kemajuan Shabiru Mode di media sosial dan majalah. Hanya itu.
"Dah, ah, yuk balik ke hotel! Ngantuk," ajakku.
Kami memutuskan kembali ke hotel dan beristirahat sebelum besok mulai melancong menikmati keindahan Negaranya Mesut Ozil.
***
Setelah sarapan, aku dan Nania mulai berangkat menuju destinasi pertama, yakni Istana Topkaki, kemudian lanjut Hagia Shopia dan terakhir Blue Mosque. Bersyukur karena cuaca sangat cerah meski tak begitu terik, Nania kelelahan sehingga bangun terlalu siang dan alhasil kami keluar hotel juga siang. Aku mengenakan terusan motif renda panjang berwarna putih, sneaker putih, dan slingbag berwarna merah muda, rambutku kekuncir kuda dengan hiasan topi berwarna senada dengan tas. Sedangkan, Nania memakai terusan yang sama tetapi berbeda motif dan warna.
Tak ketinggalan, kamera menggantung di leher kami. Aku sudah bilang lebih baik membawa satu kamera, tetapi Nania menolak karena ingin mengabadikan momen tanpa menunggu giliran.
Akhirnya mata kami menangkap tembok besar pembatas kompleks Istana Topkapi setelah berjalan atas arahan sesame turis yang sudah pernah ke sana. Kami harus berjalan beberapa puluh meter sampai akhirnya melihat gerbang Imperial Gate. Ah, dadaku berdebar menginjakan kaki masuk ke dalam. Kupikir, akan ada istana saat memasuki gerbang ternyata tidak. Sebuah taman yang cantik dan luas, begitu asri dan Marmara Sea bisa terlihat dari sini.
Baru setelah melewati gerbang Bab As-salam, kami bisa melihat bangunan istana. Selasarnya terdapat batu-batu prasasti dengan tulisan Arab. Ketika masuk kami melihat begitu banyak porselen cantik peralatan makanan yang berasal dari berbagai Negara dan juga porselen asli dari Turki. Kami memotren sana dan sini, bergantian Nania memotrekku dan aku memotret Nania.
Perjalanan kami berlanjut ke gerbang masuk utama Istana, Akagalar Gate. Ada beberapa bangunan yang berdiri, termasuk Imperial Treasury, tempat penyimpanan harta istana, seperti perhiasan dari emas, perak, berlian dan batu-batu mahal. Nania mengajak ke Mediciye Pavilion, tetapi aku menolak karena waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang lebih, aku ingin mengejar waktu salat zuhur di Hagia Sophia, tujuan utamaku ke Negara Turki ini.
Kami lanjut ke bangunan Hirkai Serif Odasi, yakni tempat penyimpanan Holy Relics. Holy Relics adalah benda-benda peninggalan Rasulullah, keluarga dan para sahabat yang dibawa ke sini setelah Istanbul takluk pada kekhalifan Ottoman, begitu aku membacanya di Wikipedia.
Entah bagaimana ceritanya, setelah takjub dengan etalase yang memamerkan pedang, helai rambut dan jenggot, jejak telapak kaki yang di pahat, serta jubah milik Rasulullah aku merinding bukan main. Mataku sampai berkaca-kaca. Begitu dekatnya dengan Beliau meski ini hanyalah benda yang telah ditinggalkan ratusan tahun yang lalu.
"Hebat ya, Rasulullah... Cuma lihat barang peninggalannya saja, kita dibuat berkaca-kaca dan merinding," ujarku sambil mengamati sebuah kotak logam berisi jubah Rasulullah.
"Hm. Apalagi bertemu dengannya, ya?"
Aku menoleh saat mendengar bukan Nania yang menjawabku, tetapi suara seorang pria. Setelah melihatnya, kontan aku mundur satu langkah saking terkejutnya siapa yang berdiri di sampingku saat ini.
"Pak Shaka?"
***
Jangan lupa tinggalkan komentar dan pencet vote ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro