42 : Turun Dari Panggung Impian
Tok! Tok! Tok!
Palu persidangan diketok oleh Hakim, pada detik ini juga aku resmi bercerai dengan Pak Shaka setelah melewati proses satu bulan penuh. Aku berdiri dari kursi sidang, bersamaan dengan pria di sampingku. Kami saling melempar senyum datar, sebelum akhirnya aku melangkah dulu untuk meninggalkan ruang persidangan.
Di halaman gedung Pengadilan Agama berjubel para pemburu berita. Setelah mengenakan masker, aku digiring bodyguard untuk keluar dari gedung. Para wartawan mencoba mendekati, namun aku enggan memberi tanggapan karena seperti itu alur yang sudah disampaikan Pak Shaka sebelumnya. Sesampainya di mobil, sopir langsung tancap gas pergi dari halaman gedung Pengadilan Agama.
"Iya, Nan?" aku mengangkat panggilan telepon dari Nania.
[Gimana? Lancar?]
"Hm. Alhamdulillah."
[Are you okay, Bel?]
"Hm, aku akan langsung ke kedai setelah mengemas barangku di Mansion. Tapi, sebelum itu aku mau ke kantor dulu."
[Kamu jadi langsung pindahan ke rumah baru?]
"Hm, kamu sibuk ya hari ini? Nggak bisa bantu aku pindahan? Gapapa, sih."
[Ah, nggak-nggak. Aku sama sekali nggak sibuk. Aku tunggu di kedai, ya.]
"Oke." Aku mengembalikan ponsel masuk ke dalam tas setelah panggilan berakhir. Kemudian, aku menyenderkan punggung di kursi sembari melempar pandangan ke luar kaca mobil.
Tepat pada hari ini, aku telah turun dari panggung impian. Melepas mahkota ratu dan kembali menjadi rakyat biasa. Aku bersyukur Tuhan memberiku porsi berharga ini meski hanya sekejap saja. Ini bukan soal tinggal di istana dan menjadi ratu, tetapi tentang menjadi seorang ibu. Tuhan memberiku kesempatan untuk menjadi ibu sebelum aku menjadi ibu yang sebenarnya. Aku banyak menerima pelajaran selama tinggal hampir setahun di istana itu dan menjadi ibu sambung putri mahkota.
Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Karakter anak ketika dewasa terbentuk di tangan orang tuanya, terumata di tangan ibu. Bukan perkara mudah mengemban tanggung jawab menjadi seorang ibu, sabar dan ikhlas menjadi kunci dari keberhasilan ibu mendidik sang anak. Jangan pernah menggunakan kekerasan sekecil apapun itu dengan dalih pendidikan, karena sebenarnya hal itu akan membuat anak menjadi generasi penindas.
Aku selalu mengajarkan Alisa tentang kesederhanaan, aku selalu mengingatkan Alisa pada gravitasi bumi agar dia selalu ingat bahwa manusia terbentuk dari bahan yang sama. Yang membedakan hanya pola pikir dan hatinya, jika kau baik kau akan mendapatkan kehidupan yang baik, pun sebaliknya.
Aku tersadar dari lamunan begitu Pak Supir memberitauku sudah sampai di halaman kantor. Segera aku beranjak keluar mobil lalu berjalan masuk ke gedung Adhitama Jaya. Sesampainya di kantor Shabiru Mode, aku terkejut ketika para staff menyambutku dengan tundukan kepala.
"Hei... kenapa dengan wajah kalian semua?"
Nandini mengangkat kepala, raut sedih tampak sekali di wajahnya, "Bu..." rengeknya menahan tangis menatapku dengan rantapannya.
"Aku masih di kota ini loh, aku tidak pergi jauh. Kita masih bisa bertemu lagi," hiburku. Meski sebenarnya aku juga menahan emosional melihat mereka yang selama hampir setahun menemaniku di kantor ini.
Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskan melalui mulut dengan pelan mencoba mengeluarkan sesak dalam dada, "Emm... aku ke sini, mau pamit."
Semua orang mengangkat kepalanya, kini aku bisa melihat siapa saja yang menitihkan air mata. Nandini terisak menutup matanya. Aku tahu ini sama-sama berat, tetapi keputusanku sudah bulat untuk mengundurkan diri dari kursi Kepala Desainer sekaligus mengundurkan diri dari Shabiru Mode. Pak Shaka memintaku untuk tetap bekerja di sini, tetapi aku menolak dengan alasan ini bukan hakku lagi.
"Aku harap teman-temen tetap semangat, tetap solid, dan semakin sukses. Kalau mau ketemu denganku, kalian bisa datang ke kedai. Dengan senang hati aku akan melayani kalian."
Aku menatap satu persatu wajah para staff, menatap wajah mereka mengingatkan aku banyak kenangan. Kita yang tertawa menikmati pizza dan minuman soda saat lembur, kita yang pusing saat ada masalah di kantor, kita yang menangis bahagia dan berpelukan saat acara berjalan sukses. Semua kenangan itu membentuk slide show di benakku. Terutama kenangan suasana kalang kabutnya sebelum fashion show pertamaku di Roma. Bagaimana mereka membantuku bangkit saat harapanku mulai pupus. Semua kenangan itu, seolah meremas hatiku. Aku tidak lagi bisa menahan bendungan air mata.
"Aku ucapkan terima kasih kepada temen-temen yang sudah baik membantuku selama menjadi Kepala Desainer. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan-kebaikan kalian. Dan, aku minta maaf... jika...aku pernah menyakiti kalian." Aku menangis terisak.
"Bu Sabelaaaa..." semua berlari memelukku. Kami menangis bersama sebagai upacara perpisahan.
Sesuatu yang menyakitkan dalam perpisahan adalah kenangan. Waktu bisa mengikis luka, tetapi waktu tak akan pernah bisa menghapus kenangan. Sejauh kemanapun kita berlari, sekuat apapun kita menghindar, kenangan-kenangan itu seperti magnet yang selalu mengekor kemana langkah kita pergi.
Aku sama sekali tak membenci perpisahan, karena perpisahan adalah hukum alam yang mutlak. Yang kusesali hanyalah kenangan, seindah apapun itu. Karena saat kenangan itu mengetuk pintu benak kita, dia membawa turut rindu yang besar. Lebih sakit lagi, ketika kita tak memiliki daya untuk mengusir rindu itu. Pada akhirnya yang tersisa hanya ada kita dan air mata.
Aku menitipkan beberapa desain baju-baju terbaru, semoga siapapun nanti yang menjadi Kepala Desainer mau mengajukan desain-desain itu ke bagian produksi. Sebagai bentuk cintaku untuk Shabiru Mode, staff dan semua yang pernah terlibat dalam show pertamaku di Roma.
***
Mataku menyapu setiap sudut kamar dengan saksama. Tempat tidurnya, lampunya, sofa-sofa, meja rias, almari, gorden, dan gambar awan di langit kamar, untuk terakhir kali. Aku menghirup aroma kamar dengan tarikan napas panjang dan mata terpejam, menikmati untuk terakhir kali aroma yang setiap hari menemaniku.
Aku mengembuskan napas pelan seraya membuka mata, lalu aku menarik handle koper dan melangkah keluar. Aku sempat menemui dua pelayan yang selalu melayaniku selama ini, aku berterima kasih atas bantuannya selama ini. Sebelum aku benar-benar pergi, aku menemui Alisa di rumah kaca.
Gadis kecil itu tengah duduk di bangku menatap kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga-bunga. Suasana ini mengingatkanku saat pertama kali bertemu dengan Alisa, dia duduk di bangku tersebut persis seperti sekarang. Hanya saja yang membedakan adalah sambutannya. Dulu, dia menyambutku dengan tatapan sinis dan kini dia menyambutku dengan senyuman.
Aku berjalan kearahnya kemudian duduk di sebelah gadis itu. Kami saling diam untuk beberapa saat, memperhatikan kupu-kupu yang sedang asyik mengisap madu bunga. Sampai akhirnya, isakan kecil itu terdengar. Aku langsung memeluk Alisa dan membelai rambut panjangnya.
"Jangan menangis, kita masih bisa bertemu lagi, kan?"
Alisa tidak menjawab, dia memeluk tubuhku erat dan menangis di dadaku. Jujur, hatiku merasa sakit melihat dia menangis seperti ini. Tidak ada hubungan darah di antara kami, tetapi aku bisa merasakan betapa sedihnya perpisahan ini. Semua memori mengkilas balik tentang kebersamaanku dengan Alisa. Kita yang awalnya bermusuhan, lalu berdamai, sampai akhirnya kita menjadi sepasang ibu dan anak yang saling berbagi tawa dan bahagia.
Jika suatu hari aku akan menikah dengan seseorang dan memiliki anak. Aku akan tetap menganggap Alisa anak pertamaku. Aku tidak ingin hubungan ini berakhir, aku ingin selamanya menjadi ibu Alisa meski tanpa surat kontrak, tanpa berstatus istri dari papanya.
"Bunda, jangan pergi."
Aku mengusap air mata sebentar, kemudian kembali membelai rambut panjang gadis itu, "Bunda tidak pergi, Sayang. Bunda akan selalu di samping Alisa. Alisa bisa setiap waktu menemui Bunda."
"Bagaimana kalau mimpi buruk itu kembali? Alisa takut. Alisa tidak tahu harus memeluk siapa saat mimpi itu datang. Bunda, jangan pergi."
Aku memberi jarak, membekap dua pipi Alisa dan menengadahkan wajahnya ke atas menatapku. Dua jempolku mengusap air mata yang mengalir di pipinya sambil berkata, "Mimpi buruk itu tidak akan datang lagi, Sayang. Alisa sudah mengusir mimpi itu dan dia tidak berani datang lagi. Alisa sudah menang dari ketakutan-ketakutan yang menjerat sisi bahagia Alisa. Alisa tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir, doa Bunda akan selalu menjaga Alisa dari mimpi buruk itu. Hm?"
Dia mengangguk kemudian kembali memelukku.
Setelah Alisa membuka diri, setelah acara di rumah sakit itu. Pak Shaka membawa Alisa ke psikiater, selama sebulan Alisa menerima terapi dan dinyatakan sembuh dari trauma. Alisa bisa hidup normal tanpa harus takut dengan pemicu trauma seperti darah, tali, benda tajam atau pun dengan sesuatu yang berbau Korea. Pelegalan adopsinya berjalan lancar, dia memiliki akta asli dengan orang tua sambung atas namaku dan nama Pak Shaka. Tinggal menunggunya berumur tujuh belas tahun, dia bisa memiliki kewarganeragaan Indonesia dengan resmi.
Setelah menemui Alisa, aku berniat menemui mantan suami kontrakku. Namun, sayangnya pria itu tidak ada di rumah. Pria itu sudah terbang ke Singapura untuk menghadiri rapat cabang gerai Shabiru Mode di sana. Meski sedikit kecewa, hal itu tidak terlalu membuatku sedih karena jika mungkin aku bertemu dengannya sekarang, aku takut menangis di depannya. Tidak, aku tidak perlu menangis lagi.
Aku akan mengakhiri dengan senyuman.
Sebelum pergi, aku berdiri tepat di halaman Mansion, menatap gedung tinggi dengan pilar marmer dengan perasaan bersyukur. Berterima kasih kepada Tuhan atas porsi istimewa ini. Aku termasuk orang paling beruntung bisa menikmati impian orang walau hanya sebentar. Sesuatu yang sangat patut untuk disyukuri.
Aku meninggalkan Mansion tepat pukul satu siang, aku mengembalikan semua fasilitas yang sudah Pak Shaka beri. Black card, ponsel keluaran terbaru, dan barang lainnya. Aku hanya membawa sertifikat kedai dan itu sudah lebih dari cukup. Meskipun Pak Shaka tidak meminta itu kembali dan bahkan memberiku warisan villa mewah di Bali, aku menolaknya. Alisa sembuh, kedai kembali padaku. Itu adalah imbalan yang paling pantas, aku tak menginginkan yang lain. Cukup itu. Karena pada dasarnya, tujuanku memang ingin mendapatkan kedai dan kesembuhan Alisa.
Selamat tinggal Alisa...
Selamat tinggal Keluarga Shabiru...
***
Cinderella melepas sepatu kacanya :(
Jangan lupa tinggalkan komentar ya gais..
I biru you... huhuhu
Uri Sabella :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro