4. Aku bersedia
"Arshaka Shabiru Jaya, anak pertama dari keluarga konglomerat yang mewarisi penuh bisnis raksasa milik mendiang ayahnya. Sebelum menjabat menjadi Presiden Direktur, Shaka panggilan akrabnya menempuh pendidikan MBA di London."
"Di usianya yang ke-32 Shaka sudah mencapai puncak karir dengan mengantarkan top desainernya mengadakan pameran busana di bawah naungan divisi Shabiru Mode di tujuh negara Eropa. Saat ini Shabiru Mode menjadi divisi setara kelas dunia, banyak rancangan busananya mendapat penghargaan di beberapa acara Fashion Award." Setelah membaca artikel itu mulut Nania melongo, takjub.
Sedangkan aku memilih mencium bubuk kopi yang baru saja kuhaluskan. Mencoba tidak peduli dengan artikel tentang pria yang kutampar tempo hari.
"Gini nih, kalo kebiasaan suudzon sama orang, jadi kufur nikmat," cibir Nania.
Aku mengangkat termos, menuangkan air perlahan membasahi saringan kopi tubruk yang aku racik. Kemudian menghirupnya sejenak, masih mencoba pura-pura tuli dengan ucapan Nania.
"Harusnya waktu itu kamu terima lamarannya, aku jamin sekarang kamu nggak akan berdiri di sini bergulat sama bubuk kopi dan celemek bulukmu itu." Nania mendekat, "Fairytale will coming true, Cinderella dilamar pangeran istana, hidup bahagia, Forever after," sindirnya lagi.
"Ini dunia nyata, please jangan samakan dengan dunia khayalan," balasku sambil berkonsentrasi menakar kopi.
"No, itu doa, tau. Bisa aja kan, kamu jadi Cinderella masa kini yang mengulang kisah dongeng Cinderella. Secara gitu, latar belakangmu dengan tokoh Cinderella hampir mirip. Hidup teraniaya di rumah sendiri dengan ibu tiri dan dua saudari tiri yang jahat."
Aku tersenyum miring, "Aku nggak selemah tokoh Cinderella. Hanya belum waktunya saja, kalo udah tiba waktunya kamu bakal lihat siapa aku sebenarnya."
Nania menyambut senang perkataan ku, "Yawow! Aku akan dengan sabar menanti waktu itu tiba," katanya dengan senyuman, Nania percaya aku tidak sekadar ngomong saja, aku benar-benar serius jika sudah bertekad.
"Tapi, kok aku nggak nemuin artikel dia menikah ya?" Nania menscrool ponselnya ke atas ke bawah, "bukannya kamu bilang dia punya anak?"
"Tau, deh, mungkin anak dari cemceman kali."
"Iih, suudzon mulu heran deh."
Aku mengangkat bahu, tidak peduli. Aku memang tak menyangka pria yang aku tampar tempo hari adalah seorang anak konglomerat, memiliki bisnis raksasa yang luar biasa. Hanya saja, aku heran kenapa pria itu tiba-tiba melamar sembarang orang, bukankah posisi menjanjikannya bisa mengundang banyak perempuan yang setara dengannya.
Bahkan Pak Sakha memiliki garis wajah yang tampan, maskulin dan super perfeksionis, aku yakin tidak mungkin ada perempuan yang tidak suka dengan pria itu, kecuali aku, aku sama sekali tidak tertarik dengan pria semacam dia. Meskipun tampan dan kaya, aku benar-benar tidak tertarik padanya.
Sejenak aku menghentikan aktivitas mengaduk, aku kepikiran satu hal. Sepatu bunda yang tertinggal, padahal itu peninggalan bunda yang berharga, bunda sendiri yang mendesain sepatu itu. Apa aku harus datang lagi ke kantor Shabiru Mode dan bertemu dengan pangeran iblis itu?
Haruskah?
Aku menghela napas berat. "Maaf, Bunda. Sepatunya hilang," desisku penuh penyesalan.
***
Kesempatan emas menjadi desainer di tempat berkelas, hilang. Boleh saja menyalahkan dan mengataiku gadis yang bodoh sudah menolak rejeki nomplok. Tetapi, bagiku pernikahan bukan suatu permainan semata, pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Tentang dua insan manusia yang saling mencintai dan berjanji sehidup semati dan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Itu sebabnya meski usiaku sudah pantas menikah, aku masih menyisihkan porsi itu jauh-jauh.
"Bel, pulang dulu ya. Udah selesai semua, kan?"
"Udah, thanks, ya, Nan. Hati-hati di jalan."
"Yuhu, kamu juga cepet pulang, nanti kemaleman di jalan. Daah..." Nania melambaikan tangan sembari menarik knop pintu kedai.
"Daah..," balasku, setelah melihat Nania keluar dari kedai, aku melanjutkan pekerjaan mengelap beberapa cangkir. Aku melirik jam di dinding, sebentar lagi jarum panjang akan menyentuh angka 10, aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan ini.
Aku membuka lemari di bawah counter , memasukkan cangkir yang sudah aku bersihkan. Lalu terdengar suara pintu dibuka.
"Maaf, kedai sudah tutup!" teriakku tanpa berdiri dan masih menata cangkir.
Karena tidak ada suara pintu ditarik lagi, aku menarik tubuh untuk berdiri. Mataku menyipit saat melihat pria berjaket bludru hitam berdiri di sana.
"Sabella Hasyim?"
Aku mengangguk.
"Inget nggak?" kata pria itu sembari berjalan mendekat, "yang ketemu di lorong Shabiru Mode tadi pagi."
"Ooh, iya, emm..." Aku mencoba mengingat nama pria itu, jeda sekian detik, "David, ya?"
Pria itu tersenyum, kemudian duduk di kursi tinggi.
"Ada keperluan apa ke sini? kok tahu kalo ada di sini?"
"Bentar," David mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah map berisi berkas CV milikku, "aku tahu alamatmu dari ini," katanya.
"Oh, trus ada keperluan apa?"
"Pak Shaka mengutusku untuk ke sini."
"Pak Shaka? Kok bisa?"
David membuka berkas itu dan menarik selembaran dari dalam sana. "Dia tertarik dengan desainmu ini." David memberikan selembaran itu. "Kalo boleh tahu apa nama konsepnya?"
Aku sempat berkerut kening, mencoba mengingat kapan aku menggambar gaun itu. Jeda sekian detik, aku baru ingat gambar itu aku buat di tengah kegabutanku saat kedai sepi.
"Freedom."
"Excatly, I knew it," ujar David dengan senyuman seolah tebakannya benar. "Pak Shaka ingin kau menjadi salah satu desainer di Shabiru Mode. Dia ingin merancang gaun ini untuk pameran pekan depan di New York. Kalo kau berminat, kau bisa datang besok pagi jam 8 untuk melanjutkan wawancara tadi pagi," kata David dengan senyuman simpul.
Aku memutar otak untuk menimbang kesempatan emas yang datang lagi padaku. Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan ini. Ini adalah satu-satunya jalan aku bisa bebas dari neraka Tante Celin dan saudari tiriku. Tetapi, kejadian tempo hari dan tadi pagi, membuat nyaliku ciut.
Dalam benakku Pak Shaka adalah pangeran iblis yang akan menambah drama dalam hidupku. Atau jangan-jangan jika misal aku menerima tawaran ini, bisa jadi keluar dari neraka Tante Celin dan masuk ke neraka lain.
"Sorry, nggak minat," tolakku pada akhirnya.
David yang semula mungkin yakin tawarannya bakal diterima, bereaksi tak percaya.
"Seriuosly? Are you kidding, right?"
Aku mantap menggeleng, membenarkan bahwa ini bukan candaan.
"Ini kesempatan besarmu loh untuk jadi desainer top. Aku tahu kau itu sangat berbakat. Kau yakin menolak tawaran ini?"
"Yap," jawabku, jeda sebentar, lalu aku kembali berkata, "Bilang sama bosmu, jangan kebiasaan nawarin sesuatu yang dia anggap sepele. Nggak semua yang dia inginkan bisa dia dapetin. Aku saranin dia harus pake otak sebelum bertindak," tandasku dengan penekanan nada di kalimat terakhir. Aku masih tidak terima dengan sikapnya tempo hari.
David tertawa sumbang, masih menatapku tak percaya. Mungkin aku adalah satu-satunya perempuan yang berani menolak bosnya. Whatever, I don't care.
"Maaf, kedai sudah tutup, silakan anda keluar," usirku.
Dia pikir ini mungkin akan sangat mudah, nyatanya sama sekali tidak. Maaf saja, aku bukan perempuan gampangan dan perempuan yang gila akan si Shaka siapalah itu.
"Silakan, pintu keluarnya di sana," kataku sembari menunjuk pintu.
Mau tidak mau, David harus beranjak dari tempatnya, namun sebelum itu dia berkata, "Semoga kau tidak menyesali ini."
"Terima kasih sudah berkunjung di kedai kami, jangan pernah kembali lagi," ucapku membungkukkan setengah badan seperti biasa ketika pengunjung berpamit.
Setelah melihat David benar-benar pergi dari kedai, aku melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Berat memang, seperti melepas impian begitu saja. Tetapi, bagiku ini adalah keputusan terbaik, aku tidak mau berurusan dengan pria gila itu.
***
Aku meletakkan tiga piring di atas meja makan setelah selesai dengan pekerjaan rumah. Tante Celin, Fastelin dan Amara sudah duduk di kursi meja makan menunggu piring-piring mereka ditata rapih olehku.
"Silakan," ucapku dengan nada malas, seperti biasanya, terlebih lagi sejak kejadian tangan jahil Fastelin yang merusak gambarku.
"Tuangin nasi ke piring gue dong," titah Amara, "yang banyak," lanjutnya.
Aku memutar bola mata muak, meskipun begitu aku tetap melakukan apa yang diperintah Amara.
"Amara, gue kan udah bilang, jangan makan karbohidrat banyak-banyak. Tubuh lo udah kayak badak liar, tau," kata Fastelin.
"Hari ini gue ada kuis di kampus, gue nggak mau kelaparan gara-gara mikir keras," jawabnya.
"Aelah, lo emang nggak ada niat buat kurus. Lihat gue nih, emangnya lo nggak mau punya body kayak gue? bodygoals nih!" kata Fastelin berbangga diri dengan tubuhnya.
"Pppft," refleks aku menahan tawa. Yah, Fastelin memang memiliki bentuk badan yang kurus, sampai tidak ada yang bisa ditonjolkan di bagian tubuhnya, kecuali tulang. Ukuran pinggang Fastelin jauh dibawah normal, dia sangat terobsesi memiliki bentuk tubuh seperti boneka barbie. Entahlah apa itu namanya, dia memiliki syndrome takut gemuk dan terlalu obsesif.
"Maksud lo apa, Bel!" Fastelin berdiri mungkin merasa tidak terima.
Aku menghentikan aktivitas mencetong nasi, "Apanya?" detik kemudian aku melanjutkan centongan nasi ke piring Amara mencoba tidak menggubris tatapan kesal Fastelin.
"Lo tadi ngetawain gue, kan?"
"Eng—nggak,"
"Gue denger kok, kenapa? Lo iri ya sama bodygoals gue?" kata Fastelin, dia menunjuk mukaku, "Lo lihat aja nanti, foto gue bakalan nampang di majalah Shabiru Mode, gue bakal jadi top model di sana."
"Ppftth," Aku menahan tawa lagi, perkataan saudari tiriku ini sungguh menggelitik. Mana mungkin Fastelin akan menjadi model Shabiru Mode, mengingat aku pernah melihat model Shabiru Mode yang berkelas itu.
"Tuh, kan, lo ketawa! Apanya yang lucu, ha!"
Pertikaian kami dihentikan gertakan Tante Celin yang membanting sendoknya ke piring. Perempuan itu merasa terganggu dengan keributan kecil kami. Tante Celin menyuruh Fastelin untuk duduk lagi dan melanjutkan sarapan, sedangkan aku disuruh untuk pergi dari ruang makan.
"Sabella, tunggu sebentar."
Aku menoleh ke arah Tante Celin, "Apalagi?"
"Notaris Johan akan ke sini jam sembilan, kamu jangan ke mana-mana."
Aku memiringkan wajah sedikit, mengerutkan kening, bertanya-tanya. "Pak Johan ke sini? Ngapain?"
Tante Celin tersenyum licik, "Aku ingin mengambil hak warisan ayah kamu."
"Maksud Tante?"
"Iya, aku dan anak-anakku akan pergi dari sini."
Jantungku berdebar kuat, ketakutan seketika menyergapku. Jika Tante Celin memutuskan pergi dari rumah ini otomatis kedai dijual. Aku masih belum punya banyak uang untuk membeli kedai. Aku pasti akan kehilangan kedai misalkan Tante Celin memaksa pembagian harta sekarang.
"Aku mohon jangan sekarang."
"Kenapa?" Tante Celin tersenyum simpul, "katamu kita tak lebih dari sekadar parasit, kan? Jadi, aku putuskan aku dan anak-anakku tidak akan menjadi parasit di hidupmu lagi."
Tubuhku mendadak kaku, aku meremas jari jemariku sendiri. Aku tidak ingin kehilangan kedai, satu-satunya tempat di mana kenangan indah bersama ayah dan bunda, satu-satunya tempat yang membuatku bertahan sampai saat ini.
"Tante, ..." suaraku bergetar, " aku mohon jangan sekarang."
"Sayang sekali, aku sudah menemukan pembeli kedaimu."
Satu bulir air mata menetes ke pipiku. Aku merasakan rasa sesak di dada. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kedai.
"Beri aku waktu untuk membeli kedai, jangan dijual ke orang lain."
Tante Celin tampak terkejut, detik selanjutnya dia tersenyum menyeringai, "Berapa lama? Maaf, waktu kita tidak banyak. Fastelin akan sekolah modelling dan butuh biaya banyak, Amara pun akan kursus memasak profesional, sangat butuh biaya banyak. Dan,... tentunya butuh investasi untuk usaha baruku."
Aku menggigit bibir, memutar otak dari mana aku akan mendapat uang untuk membeli kedai? Tabunganku masih jauh dari kata cukup, aku pun tidak punya barang berharga untuk dijual.
"Hem?" desak Tante Celin.
Sejenak aku menghela napas kemudian berkata, "Enam bulan."
"What? Of course not! Itu terlalu lama, Sabella. Gue mau masuk kelas modelling bulan depan,"sahut Fastelin.
"Iya, gue juga masuk kursus bulan depan," imbuh Amara.
"See? Waktumu cuma satu bulan," kata Tante Celin memperjelas.
"Satu bulan, Tante? Dari mana dapetin uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan?" Aku panik karena itu sangat menyulitkanku.
Tante Celin, Amara dan Fastelin kompak mengangkat bahu tidak peduli. Mereka tersenyum menang melihatku begitu kebingungan. Mereka yakin aku akan kalah dan menyerahkan kedai untuk dijual.
****
Hari ini kedai tutup.
Di atas kursi tinggi, aku menelungkupkan tangan dan menenggelamkan wajah di atas meja counter. Sudah lama aku dalam posisi itu, otakku meroda memikirkan bagaimana aku harus mendapatkan uang. Aku sudah berusaha meminjam uang ke bank, namun ditolak karena tidak ada jaminan untuk meminjam uang puluhan juta. Aku juga sempat meminjam uang ke saudara dan teman tetapi mereka tidak bisa meminjamiku. Bahkan pikiran jahatku sempat menyarankanku untuk menjual diri, namun bayang-bayang wajah bunda seketika mengingatkan jika perbuatan itu salah.
Lalu aku harus bagaimana?
Perlahan aku mulai berdesis lirih menahan tangis, namun tak lama akhirnya suara hatiku memberontak dan kedai dipenuhi dengan suara tangisku yang mengeras.
Di kedai ini mimpiku mulai terajut, saat asa menghilang bersamaan kematian ayah. Aku mencoba bangkit, menjadikan kedai ini sebagai alasanku bertahan hidup. Aku sudah mengorbankan segalanya demi kedai peninggalan orang tuaku, termasuk masa mudaku harus terbanting di kedai ini. Jika kedai ini dijual, apalagi yang menjadi alasanku untuk bertahan?
Perlahan aku mengangkat wajah, mengusap air mata yang tumpah dan mencoba menghela napas panjang meski berat rasanya. Dadaku amat sesak, deru kesakitan merasakan peliknya hidup.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
"Maafin Sabella, Bunda. Maafin Sabella, Ayah," lirihku diiringi isak tangis. Bibirku bergetar, mataku terpejam, kedua tanganku mencengkeram kuat rambutku. Terasa pening, keadaan ini begitu terasa mencekik.
Perlahan mataku terbuka, aku memutar kursi yang kududuki. Pandanganku menyapu seluruh ruangan kedai. Sekilas bayang-bayang bunda mengelap meja terlihat, bayang-bayang ayah meracik kopi juga hadir di pelupuk mata. Semua kenangan itu membuat tangisku kembali pecah, tatkala mengingat betapa bahagianya dulu aku di kedai ini bersama ayah dan bunda.
Hingga akhirnya, mataku menangkap lembaran kertas gambar di atas lantai. Lembaran kertas gambar yang dibawa David kemarin malam. Perlahan aku beranjak dari kursi, memungut kertas gambar itu.
Shabiru Mode dan tawaran itu seketika terlintas di pikiranku. Mungkin, hanya itu satu-satunya jalan. Kalau pun tidak berhasil, setidaknya aku sudah berjuang semaksimal mungkin mempertahankan kedai ini. Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengusap air mata dan bergegas keluar kedai.
Langkahku berhenti di depan gedung Adhitama Jaya Group, aku sudah membulatkan tekad. Biar saja orang berkata aku seperti menjilat lidah sendiri, biar saja aku dianggap tak tahu diri, setidaknya aku punya alasan di balik keputusanku saat ini.
"Oke, Sabella. This is your last chance. Lest go!" tekadku sembari melangkah percaya diri masuk ke gedung tersebut.
Aku masuk lift dan menekan lantai tujuh, setelah sampai di sana tanpa basa-basi aku berjalan menuju ruangan Arshaka Shabiru.
"Mbak, mau ke mana?" tegur seorang perempuan saat melihatku melintas tanpa izin.
"Pak Shaka ada?" tanyaku.
"Ada keperluan apa ya? Beliau sedang tidak bisa diganggu."
Aku tidak menjawab setelah mendengar Pak Shaka sedang rapat. Aku langsung bergegas menuju pintu yang bertuliskan "Meeting Room" tanpa peduli perempuan tadi mencoba mencegahku.
"Mbak, jangan ke sana! Pak Shaka sedang sibuk, tidak bisa diganggu!" cegahnya, namun tekadku sudah bulat, hari ini atau tidak sama sekali.
Pintu kugeser secara kasar. Semua yang ada di ruangan itu serentak menoleh, termasuk Pak Shaka yang tengah berdiri di depan layar putih. David yang berada di situ pun terlonjak kaget saat melihatku tiba-tiba datang menyolonong masuk.
"Aku terima lamaranmu, aku bersedia jadi ibu dari anakmu," lontarku.
Semua orang jelas terkejut, tetapi tidak untuk Pak Shaka. Pria itu malah menarik satu sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Dongeng menjadi nyata"
"Selama-lamanya"
"Serius? Kau bercanda, kan?"
"Ini kesempatan terakhirmu, ayo!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro