38: Staring at Me
Kilatan kamera menghujami kami di acara Konferensi Pers yang diadakan di ballroom gedung Adhitama Jaya Group. Pak Shaka, David, aku dan beberapa orang yang baru kutahu bahwa mereka pengacara Pak Shaka duduk di belakang meja menghadap puluhan kamera yang sedang menyorot. Ada layar putih berdiri tak jauh dari meja kami.
MUA bekerja keras menyembunyikan mata sembabku dengan riasan. Meski terkesan agar menor, katanya itu menandakan bahwa aku sedang menantang siapapun yang mencoba mengusikku. Aku tidak paham apakah teori itu benar, tetapi aku lumayan percaya diri meski sebenarnya hatiku sangat berantakan.
Sebelum masuk ke meja konferensi pers, Pak Shaka memberiku briefing untuk diam saja selama dia menjelaskan sesuatu di acara tersebut. Jika ada yang bertanya tentang sesuatu yang tidak kuketahui aku cukup melempar pertanyaan itu ke pengacara untuk menjawabnya.
"Nah, konferensi pers akan segera di mulai. Di mohon untuk para wartawan tidak menjeda klarifikasi dari narasumber sebelum dipersilakan di sesi tanya jawab." David memulai acara, "Silakan untuk Bapak Arshaka untuk memulainya."
Pak Shaka menoleh ke operator kemudian mengangguk sekali, setelah itu muncul artikel beserta fotoku dan Antoni di layar monitor. Pak Shaka mendekat portable mikrofon lalu mulai menjelaskan, "Seperti yang kalian lihat di layar, sebuah artikel telah memfitnah istri saya berkencan dengan seseorang. Artikel dimuat saat saya dalam perjalanan bisnis ke luar negeri."
Layar menampilkan beberapa artikel dengan sumber yang jelas, "Saya menegaskan bahwa itu semua fitnah, saya akan menuntut semua sumber yang telah memuat artikel-artikel tersebut. Saya tidak pandang bulu, entah itu partner bisnis Shabiru Mode, orang terpercaya sekali pun, saya akan menuntutnya secara hukum."
Suara dengungan seperti suara tawon terdengar di barisan para wartawan, pasalnya salah satu sumber dari artikel tersebut relasi Pak Shaka di dunia mode. Dan pernyataan Pak Shaka tentu mengejutkan banyak pihak.
Layar berganti menjadi sebuah roomchat, aku sempat membelalakan mata saat melihat foto profil kontak tersebut. Itu jelas sekali fotoku dan lebih mengejutkan lagi nama kontak tersebut adalah 'Istriku'. Dan lebih sangat mengejutkan lagi adalah isi chat tersebut.
"Pada tanggal 1 Juli pukul empat pagi, istri saya menghubungi saya bahwa dia meminta izin untuk bertemu dengan teman kuliahnya. Dia juga mengirimiku sebuah kontak bernama 'Antoni'. Alasan dia menemui Saudara Antoni karena tepat pada tanggal tersebut peringatan tahunan kematian ayah dari saudara Antoni. Mereka berdua bersahabat dekat, saya juga sudah pernah bertemu dengan saudara Antoni. Saudara Antoni pernah menjadi pekerja paruh waktu di kedai istri saya bersama sahabat yang lain, Saudara Nania. Meskipun saya sangat percaya dengan alasan istri saya, saya hanya ingin memastikan Saudara Antoni tidak berbohong tentang peringatan kematian ayahanya, sehingga saya menghubungi Saudara Nania."
Layar berganti dengan roomchat antara Pak Shaka dan Nania.
"Saudara Nania mengiakan bahwa hari itu adalah hari kematian ayah Saudara Antoni. Dan menyebutkan bahwa setiap tahun mereka bertiga selalu memeringati hari itu dengan bertemu dan berkumpul. Namun, pada saat itu Saudara Nania ada jadwal ujian di kampusnya sehingga dia tidak bisa datang."
Layar berganti dengan roomchat antara Pak Shaka dengan Antoni.
"Saya mencoba menelpon saudara Antoni, tetapi tidak bisa, mungkin beliau sibuk. Pukul tujuh pagi, saya mencoba mengiriminya pesan bahwa saya adalah suami dari Sabella ingin menyampaikan agar bisa menjaga istri saya kemana pun mereka pergi dan selalu berhati-hati terhadap paparazzi yang mungkin saja tidak sengaja bertemu dengan mereka. Saudara Antoni membalas dengan kesanggupannya menjaga istri saya yang sekaligus sahabatnya. Saya menyampaikan rasa berduka atas kematian Ayahnya dan dia membalas terima kasih dan berjanji akan mengantarkan istri saya dengan selamat. Dia juga meminta izin untuk membawa mobilnya karena terlalu mencolok jika menggunakan mobil pribadi istri saya."
Aku tercengang membaca semua isi pesan palsu yang dipaparkan di layar. Aku sama sekali tidak menghubungi Pak Shaka hari itu, entah bagaimana bisa kenapa ada pesan-pesan tersebut.
"Jadi," Pak Shaka menghadap ke sorotan kamera, "saya tegaskan, bahwa berita yang telah beredar adalah fitnah. Saya akan menuntut pemuat artikel berita hoaks tersebut, orang-orang yang melakukan penyerangan terhadap istri saya dan perusakan terhadap kedai istri saya. Dan juga, ... komentar-komentar jahat yang menyerang istri saya di media sosial. Saya membawa semua pengacara dan mereka yang akan mengurusnya. Jadi, bersiaplah buat kalian yang mencoba mengusik keluarga kami," lanjut Pak Shaka dengan tatapan seriusnya ke arah sorotan kamera.
Gedung menjadi ramai dengan bisik-bisik para wartawan yang saling berdebat suatu hal. Ada diantara mereka yang sibuk menelpon, sibuk mencatat, memotret dan bahkan merekam untuk disiarkan di siaran televisi. Mereka terlihat kelimpungan dengan pernyataan Pak Shaka yang mungkin menyindir mereka secara tak langsung.
"Baik, klarifikasi dari Bapak Arshaka sudah selesai, sekarang silakan bertanya dengan tertib," kata David yang membuat para wartawan langsung mengangkat tangan dan berebut ingin melontarkan pernyataan.
David menunjuk satu orang yang berdiri memakai seragam salah satu stasiun televisi swasta terkenal, "Silakan."
"Terima kasih atas kesempatannya, saya Edho dari stasiun TV Saluran 13. Jika saya meminta file capture roomchat tersebut untuk dicek keasliannya, apakah diperbolehkan?"
Aku menelan ludah, Pak Shaka pasti tidak setuju. Karena pesan palsu itu akan terbongkar, masalah akan semakin runyam. Lagian, kenapa harus pakai bukti paslu itu sih?
"Boleh, silakan. Tetapi, jika Anda sudah mengeceknya dan ternyata asli. Saya akan menuntut Anda atas giringan opini publik bahwa saya berbohong. Pasal pencemaran nama baik, Anda siap?"
"Ee...eem... saya akan bicarakan dengan tim terlebih dahulu. Terima kasih atas jawabannya." Orang itu langsung duduk dan menelpon seseorang.
"Lanjut." Setelah mengatakan tersebut, David menunjuk salah satu staff dari majalah terkenal, rival Shabiru Mode.
"Saya ingin mendengar tanggapan dari Nyonya Sabella mengenai berita ini. Terima kasih."
Mendengar namaku disebut, jantungku berdetak kencang. Aku meremas bajuku dan itu disadari oleh Pak Shaka. Dia menyentuh punggung tanganku dan menepuknya pelan, mencoba menenangkanku. Aku teringat pesannya dulu, bahwa ingin mengusai audience, cukup dengan mengatur ritme napas. Napas yang teratur tentu juga akan menenangkan detak jantung yang tidak terkontrol.
Aku menghirup napas sepanjang mungkin, kemudian meraih mikrofon. "Baik," kataku sembari mengembuskan napas. "Eee... saya pernah membaca buku berjudul 'Bertumbuh'." Aku memulainya, mencoba menatap ke depan dengan berani.
"Di depan sana, akan ada banyak yang harus dilewati, terlewati, juga hal-hal yang terpaksa harus kamu lewatkan—sekuat apa pun kamu menginginkan. Jadi, siapkanlah hatimu untuk selalu berani mengambil setiap keputusan dalam perjalanan ini. Akan ada banyak keputusan. Tidak semuanya selalu menyenangkan, malah lebih banyak membuatmu bimbang. Selalu ingat-ingatlah ke mana tujuanmu agar bisa lebih siap menerima segala kenyataan yang harus kamu temui."—Bertumbuh, Kurniawan Gunadi.
"Keputusanku menerima lamaran Mas Shaka dibarengi dengan sebuah hati yang siap menerima segala risiko yang tidak menyenangkan. Akan ada fase di mana saya harus siap melewati sebuah guncangan dalam hubungan. Besar maupun kecil. Tujuan saya hanya ingin menjadi satu-satunya orang yang menjadi tempatnya berpulang sejauh kemana pun dia pergi. Juga, menjadi ibu sambung terbaik untuk Alisa. Tidak ada satu pun tanggapan mengenai berita ini, karena pada dasarnya ini hanyalah sebuah guncangan kecil dari berbagai guncangan lainnya. Silakan memberikan guncangan kepada kami, kami tidak akan goyah. Terima kasih."
Konferensi Pers ditutup setelah pernyataan itu. Meski banyak yang mengajukan pertanyaan, tetapi kami harus segera pergi agar masalah cepat selesai. Semakin banyak memberi pernyataan akan semakin dikulik lebih dalam oleh pemburu berita dan tentunya masalah akan semakin berlarut-larut.
***
Aku duduk di sofa ruangan kerjaku, setelah memburamkan kaca pembatas ruangan. Aku merebahkan seluruh badanku di atas sofa. Entah kenapa rasanya lelah sekali. Fisik, pikiran, dan perasaanku menghadapi masalah ini seolah terkuras habis, mungkin pikiranku saja yang terlalu lelah hingga mempengaruhi fisik dan perasaanku. Atau sebaliknya, perasaanku yang sedang tidak baik mempengaruhi pikiran dan fisikku.
Siklus dunia entertaimen, setelah viral, selalu diberitakan di mana-mana, diusut kemana-mana, setelah bosan akan menghilang begitu saja. Hanya cukup bernapas tanpa harus sibuk klarifikasi ini dan itu. Semua pasti akan cepat berlalu.
Kling!
Ponselku menerima sebuah pesan. Aku merogohnya di saku blazer kemudian membuka pesan tersebut. Ternyata dari Nania. Dia mengirimiku sebuah video. Dan setelah kubuka, aku langsung bangkit dari rebahan.
Video tersebut adalah rekaman saat Konferensi Pers tadi pagi, lebih tepatnya saat aku memberi tanggapan dari pertanyaan salah satu wartawan. Aku sama sekali tidak tertarik dengan videoku yang berbicara sok lugas dan berani, mataku tertuju pada seseorang yang memandangku tanpa berkedip, bahkan dia tersenyum tipis. Setelah aku selesai memberi tanggapan, pria itu mengangkat dagu seolah menyombongkan miliknya.
Nania : Kau yakin tidak ada sesuatu diantara kalian? Pak Shaka staring at you like you're really really his belong. Are you sure something not happen?
Bukan sesuatu yang terjadi pada Pak Shaka, tetapi kepadaku. Ada sesuatu yang telah terjadi dan aku sulit untuk menjelaskan dari mana itu semua berawal. Aku memilih tidak membalas pesan Nania dan kembali merebahkan punggung di sofa. Karena aku tahu, Pak Shaka menatapku seperti itu karena dia sedang berakting. Dia adalah aktor ulung, pintar bersandiwara. Karena hal itu juga, bodohnya aku malah menganggap sesuatu yang lain.
Aku bangkit setelah pintu diketuk, "Masuk!"
Dan, sialnya orang yang barusan ada di pikiranku sekarang berdiri di sana. Aku berdesah kasar, menghadapi stressor utama dari lelahnya fisik, pikiran dan perasaanku.
"Ada apa?"
Pak Shaka berjalan dan duduk di sofa berseberangan dengan tempat dudukku. Pria itu mengenakan setelah jas hitam dengan tatanan rambut rapi sedikit bergelombang di bagian depan. Menatap bibirnya, rasanya aku sangat ini merobeknya.
"Jawabanmu tadi di konferensi pers sangat bagus."
"Kau ke sini hanya untuk memberiku pujian itu? Tidak perlu, aku sedang tidak ingin dipuji."
Pak Shaka tersenyum miring, "Kau tidak lapar?"
"Kalau aku lapar mau apa? Kalau nggak kenapa? Apa urusan Anda mengenai perut saya?"
Pak Shaka berdecih, "Kenapa kau jadi ketus sekali?"
"Em, Kurniawan Gunadi juga menuliskan, 'Tidak semua hal dari dirimu bisa diterima orang lain' jadi, menurutku ... bodo amat kalau kau tidak suka cara bicaraku, silakan pergi," kataku seraya berdiri menuju meja kerja untuk mengambil tas berniat pulang untuk menjemput Alisa.
"Kau marah?"
"Hm? Marah? Ngg... nggak."
"Jelas sekali kalau kau sedang marah, aku berbuat salah?" tanyanya seraya berdiri dan berjalan mendekatiku.
Pertanyaan paling berengsek yang dilontarkan seseorang yang sama sekali tidak tahu diri sudah berbuat salah. Dan, kepalaku seolah mengeluarkan asap dari terbakarnya dadaku yang panas. Aku mengangkat tas kemudian berjalan mendekatinya.
Sekitar sepuluh detik aku menatapnya dalam-dalam, menatap pupil matanya yang berlarian ke sana kemari. Lalu, aku mengangkat dua tangan meraih tengkuk pria itu dan menarik wajahnya untuk kukecup bibirnya. Setelah melepas pagutan, aku berkata dengan ketus, "Ups, sorry, nggak sengaja. Maybe, ... I'm drunk?"
Aku berjalan meninggalkannya sendiri dan keluar dari ruangan, setelah keluar dari pintu utama. Buru-buru aku berlari kearah toilet, untung tidak ada siapapun di dalam situ. Lututku terasa lemas dan tubuhku merosot di belakang pintu toilet.
"Ah, gila gila! Kau sudah gila, Sabella!" aku memukul-mukul bibirku karena lancang sudah mengecup bibir Pak Shaka untuk melampiaskan amarahku kepadanya. Aku hanya ingin dia tahu, bahwa ciuman malam itu adalah kesalahannya. Sebab itu aku menjadi ketus dan marah kepadanya. Tetapi...
"Aaaaaaa... gimana ini? Nanti kalau ketemu gimana? Aaa... pengin menghilang aja. Aaaa... gila gila gila....!"
Bukan ingin cepat melewati masa-masa memalukan yang lalu, nyatanya aku malah menambah durasi itu lebih lama lagi. Fix, aku sudah gila!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro