37: I feel fool
Aku kembali ke kamar setelah menidurkan Alisa, dia sangat khawatir dan takut jika terjadi sesuatu kepadaku. Apalagi video penyerangan brutal di depan kedai sudah menyebar dan tentunya Alisa sudah melihatnya. Sesampainya di mansion, gadis kecil itu berlari menghambur kepadaku, dia terisak dan tak berhenti menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku terenyuh dengan sikap Alisa dan jika suatu saat nanti harus meninggalkannya, aku benar-benar tak sanggup.
Aku sangat menyayangi Alisa, karena kontrak itu sebentar lagi aku akan pergi darinya. Semoga apa yang aku ajarkan kepadanya tentang kesederhanaan, kehangatan dan ketulusan bisa dia terapkan meski aku tak lagi berada di sampingnya.
Rasanya aku ingin menyesap es kopi menjernihkan pikiran, aku pun berjalan keluar dari kamar menuju dapur. Karena sudah malam, aku menggunakan mesin penggiling kopi otomatis di mana suaranya tak terlalu berisik juga langsung diseduh. Aku hanya perlu menyiapkan cangkir untuk menadah kopi tersebut. Sembari menunggu mesin menyelesaikan tugasnya, aku membuka kulkas mengambil es batu.
Tepat setelah aku kembali mengambil es batu, mesin berhenti beroperasi. Aku menganggkat cangkir lalu menuangkan gula dan beberapa tube es batu ke dalamnya. Aku duduk di kursi bar, menikmati es kopi yang begitu sangat menyegarkan.
Ah, andai Nania tidak buru-buru pulang tadi siang. Aku sangat ingin mengobrol dengannya malam ini.
"Apa es kopi segitu enaknya?"
"Hm?" aku menoleh ke sumber suara. Pak Shaka berdiri di sana, "Iya, seger," jawabku jujur. Entah kenapa, melihatnya malah mengingatkanku pada pernyataan tadi malam dan membuat hatiku terasa berbeda.
Pak Shaka berjalan kearahku kemudian duduk di kursi bar.
"Mau juga? Aku buatkan."
Baru saja ingin beranjak, pria itu menggeleng dan menahanku untuk tetap duduk, "Satu teguk kopi bisa membuatku tidak bisa tidur semalaman."
"Cih," aku berdecih menertawakan pernyataanya, "kau ingat waktu pertama kali ke kedai. Kau menghabiskan tiga gelas kopi hitam tanpa gula. Jika seteguk bisa membuatmu tidak bisa tidur semalaman, lalu bagaimana dengan tiga gelas? Tidak tidur seminggu?"
"Iya, kok tahu?"
Aku menarik kepalaku sembari memasang wajah kaget sekaligus heran, "Bener nggak bisa tidur seminggu?"
Dia langsung mengangguk menjawab.
"Bohong."
"Terserah kalau tidak percaya," ucapnya dengan sunggingan senyum.
Wah, kenapa sih dengan senyum dan tatapannya itu? Kenapa semakin membuat jantungku berlarian seperti pacuan kuda padahal jelas bahwa tidak ada apa-apa di antara kita? Aku menyesapkan kopiku untuk menenangkan jantungku yang out of control hanya karena senyuman dan tatapan pria di depanku ini.
"Kau sudah makan malam?"
Aku mengangguk, "Mau makan?"
"Nggak, ada kerjaan yang harus ku selesaikan malam ini. Cepat istirahatlah, besok kita akan sibuk." Dia beranjak dari tempatnya.
Padahal aku ingin mengobrol banyak dengannya karena banyak yang ingin aku tanyakan. Tetapi, aku hanya bisa mengangguk saat dia memintaku untuk cepat beristirahat. Aku ingin mengutarakan keresahanku tentang pembicaraanya dengan David, jujur sampai sekarang aku merasa janggal.
"Kalau mau tidur, cepatlah tidur. Jangan membuka sosial media." Pak Shaka berjalan keluar dari ruangan.
"Em," jawabku sambil memandang punggungnya perlahan menghilang dari balik pintu.
Aku menghela napas panjang lalu merebahkan setengah badanku di meja bar. Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan kalimat, yang jelas separuh hatiku merasa ada yang hilang. Aku merasa hambar dan ... sedih. Aku benar tidak jatuh cinta kepadanya, kan? Tidak, tidak. Aku hanya kecewa pada presepsiku sendiri.
Tak ingin ada yang melihat aku meratap menyedihkan di atas meja bar, aku menyesap kopi hingga tandas kemudian beranjak, aku menyusulnya. Aku ingin membalas soal ciuman malam itu, aku benar-benar ingin merobek bibirnya. Seenaknya saja menciumku dan menghilang selama dua minggu setelahnya itu dia malah membuatku kesal.
Punggung pria itu baru saja menampaki tangga, aku sudah membuka mulut untuk memanggilnya, tetapi niatkan terurungkan melihat bagaimana dia menurunkan bahu dan pandangannya. Seolah ada beban berat menggelayut di pundak pria itu. Mungkin ini semua karena kecerobohanku, saham Shabiru Mode turun 12%, banyak acara-acara penting batal, rencana perayaan anniversary di Rumah sakit Anak Kanker juga batal. Dasyatnya fitnah itu mempengaruhi roda perusahaan.
Aku sangat merasa bersalah dan menyesal. Andai aku bisa melakukan suatu hal agar bisa mengembalikan semua yang berantakan ini kembali semula. Ah, sial. Jangankah ingin mengembalikan putaran roda perusahaan, kedaiku saja sekarang juga berantakan. Halaman depan kedai hancur, pot-pot dipecah, kaca-kaca kedai dicoret mural dengan kata-kata kotor. Aku bersyukur kondisi dalam kedai baik-baik saja.
David bilang bahwa kehidupan pribadi wajah perusahaan dapat mempengaruhi segala aspek perusahaan. Termasuk nilai saham, penjualan produk, kontrak kerja sama dan kepercayaan publik. Semua mengalami penurunan drastis hanya karena fitnah jahat itu.
Dan hal-hal yang tidak bisa ditoleran oleh publik adalah tentang skandal kekerasan, korupsi, dan perselingkuhan yang dilakukan wajah-wajah perusahaan sekelas Shabiru Mode. Dan sialnya, aku termasuk wajah perusahaan. Penghargaan yang pernah aku terima sebagai perempuan paling berpengaruh dicabut dan dikeluarkan dari nominasi penghargaan top desainer.
Jika suatu saat nanti aku dipertemukan dengan pemfitnah itu, aku benar-benar ingin membuat perhitungan dengannya.
Setelah memutuskan tidak menyusul Pak Shaka, aku kembali ke kamar. Aku merebahkan tubuh setelah gosok gigi, Pak Shaka melarangku untuk membuka sosmed tetapi rasa penasaran mencuat dan mendorongku untuk membuka sosial media, Instagram pribadiku. Ribuan notifikasi komentar dan tag masuk, semua berisi hujatan yang diarahkan kepadaku.
"Aku yakin dia menikahi Arshaka karena ingin uang dan kepopuleran. Setelah dia bercerai nanti, aku tebak dia akan mengeluarkan taringnya untuk menjadi public figure. Strategi basi!"
"Sabella kampungan! Tukang selengki!"
"Udah ganteng, kaya, terkenal, kurang apa woy Arshaka! Shame you Upik Abu!"
"She not a Cinderella! She's Medusa. Wanita ular!"
Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskan kasar, aku benar-benar sebal dengan komentar jahat mereka. Bukan hanya di profilku yang menumpuk hingga ribuan komentar jahat, tetapi juga di instagram official Shabiru Mode. Mereka menuntut Pak Shaka menceraikan aku dan memecatku dari perusahaan. Rasanya ingin membalas satu persatu komentar mereka, tetapi buat apa? Toh, mereka tidak akan percaya.
Aku tidak tahan untuk tidak menangis membaca komentar-komentar jahat tersebut. Seharusnya aku mendengarkan omongan Pak Shaka untuk tidak membuka sosial media, karena memang benar bukannya tambah kuat tapi malah tambah terpuruk. Terlebih lagi dengan apa yang terjadi pada hatiku kini, aku mengeluarkan air mata yang kutahan sejak malam itu.
"Astagfirulahaladzim!" sontak aku terkejut saat sebuah tangan merebut ponselku. Buru-buru aku bangkit dan semakin terkejut saat melihat Pak Shaka tiba-tiba muncul merebut ponsel dengan pandangan mata menajam.
"Aku sudah bilang, jangan membuka sosial media!" Pak Shaka mengusap layar ponselku dan mengetuk tidak tahu apa yang sedang perbuat dengan ponselku.
Aku menunduk sambil menyeka sisa-sisa air mata di pipi. Aku tahu dia pasti marah. Tetapi, bisakah dia menahan itu sebentar? Aku benar-benar terpuruk. Aku memilih menarik selimut kemudian membaringkan tubuhku membelakanginya. Aku tidak peduli dia mau apa.
"Buat apa kau ke sini? Bukannya ada pekerjaan?" tanyaku dengan suara serak.
"Aku tidak bisa membiarkanmu membaca semua komentar itu. Aku melihat akunmu aktif, jadi aku kesini."
"Sudahlah, pergi saja."
"Hey!" Dia menarik selimutku dan hal itu membuatku sangat kesal.
Begitu selimut terbuka, aku langsung bangkit, terduduk lalu menatap tajam kearahnya,"Kau tuli? Aku hanya ingin sendiri. Kenapa kau tidak mau mendengarkanku? Ha? Please! Aku mohon, pergilah!" Aku benar-benar meluapkan semua, kekesalanku, kekecewaanku, kesedihanku, semua itu. Aku menangis keras di depannya.
"Aku ingin sendiri, biarkan aku sendiri." Tangisku semakin terisak-isak, pertahananku untuk menjadi tabah, jebol. Ini bukan hanya tentang komentar jahat itu, tetapi tentang hatiku yang terasa semakin campur aduk tidak keruan sejak malam itu.
Hatiku sakit, aku merasa tercurangi oleh spekulasi-spekulasi bodoh yang kuciptakan sendiri. Harusnya malam itu dia tidak menciumku, sehingga detik ini aku tak merasakan sakit yang membuatku merasa teramat malu. Malu karena kasmaran sendiri, menerka-nerka hal-hal bodoh yang membuat perasaanku semakin berkembang.
Aku menunduk sambil mengusap-usap air mata, mencoba menenangkan egoku untuk menangis. Namun, hatiku kembali merasa sakit dan tangisan itu datang lagi tanpa bisa kutahan. Aku benar-benar bodoh.
"Hey..." Pak Shaka mengangkat daguku, tetapi detik itu aku menangkis dan kembali menunduk.
"Oke, aku pergi," katanya dan gilanya tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku tidak berharap apa pun, tetapi aku malah kesal mendengarnya ingin pergi. Di sisi lain, aku tidak ingin melihat wajahnya. Aku sudah tidak waras, aku bingung dengan aku sendiri.
"Jangan mengkhawatirkan apa pun, aku kan sudah bilang. Aku akan membereskan semuanya. Besok ada konferensi pers, cepat tidurlah. Jangan sampai kamera menyorot mata sembabmu."
"Dasar pria berengsek!" gumamku sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhku.
"Hm? Kau bilang apa tadi?"
"Pergi!!!" teriakku.
Aku mendengar dia menghela napas panjang lalu beberapa detik kemudian aku mendengar langkah kakinya keluar dan menutup pintu kamar. Di dalam selimut aku kembali menangis terisak, menangis betapa bodohnya aku membiarkan dia memenuhi pikiranku dan mencampuri perasaanku.
Ah, sial. Duda gila berengsek!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro