
34. Because Of Him
Sembari menunggu soup matang, aku menggiling kopi. Meski ada alat yang lebih modern untuk menggiling kopi, aku memilih gilingan yang berisik. Karena aromanya menguar membuat saraf simpatisku bekerja menghasilkan dopamine hingga membuatku merasa lebih baik.
Setelah halus, aku menyeduhnya. Menambahkan dua sendok gula lalu mengaduknya. Sembari mengaduk, pikiranku kembali berkelana tentang kabar Pak Shaka yang lamban laun seperti terkesan sengaja menghindariku. Dia tidak pernah seperti ini, tidak pulang selama hampir dua minggu, paling lama satu minggu itu pun sering menghubungiku. Dia seperti sengaja tidak pulang dan mengulur waktu, sedang batas kontrak akan berakhir satu bulan lagi.
"Bundaaaa!"
Aku memutus kelana pikiranku, sekejap kembali ke dapur mengaduk kopi setelah mendengar panggilan melengking Alisa yang baru saja selesai bersiap dan berlari kearah meja makan.
"Uwah, cantik sekali anak Bunda!" kataku sambil meletakkan kopi di meja dan mencium kening Alisa, "Sebentar ya soupnya dikit lagi matang. Minum dulu susunya, Sayang."
Aku melirik memastikan Alisa mengangkat gelas susunya, setelah itu aku mematikan kompor, mengangkat panci ke atas meja. Mempersiapkan sarapan. Hari ini aku memasak soup sayur, tempe goreng dan telor dadar. Sangat sederhana, tetapi lumayan bergizi. Aku ingin mengajarkan Alisa untuk memakan makanan yang sederhana, murah dan tentunya bergizi. Aku sangat senang saat melihat Alisa begitu antusias menghabiskannya.
Bukan berarti lahir di keluarga kaya, dia harus makan makanan yang mewah. Itu tidak baik untuk karakternya ketika dewasa nanti. Sebelum aku pergi, sebelum aku meninggalkannya, aku harus mengajarkan banyak hal sederhana untuknya. Kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang selalu paham gravitasi bumi (low profile).
"Papa tadi menelpon Alisa," kata Alisa sambil menungguku mengambilkannya nasi dan lauk.
"Oh, ya? Papa bilang apa?"
"Papa bilang tidak pulang hari ini, dia ada pekerjaan di Dubai. I was mad, and talk to him 'don't go home, Papa, you homeless right now!'" terjemah- Aku marah tadi, dan mengatakan padanya, 'jangan pulang Papa, kau tidak punya rumah sekarang!'
Aku tertawa kecil melihat ekspresi Alisa menceritakan kekesalannya kepada papanya. Beberapa hari ini gadis itu sering uring-uringan karena papanya tidak pulang-pulang. Meski katanya selalu dijanjikan akan memberikan apa yang Alisa mau, Alisa tetap kesal dan mau papanya segera pulang.
Jelas, jelas sekali Pak Shaka sengaja menghindariku. Dia sering menghubungi Alisa setiap pagi dan malam, tetapi kepadaku jangankan menelpon, memberi satu pun pesan tidak pernah.
"Nih," aku meletakkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk ke meja Alisa, "habiskan ya, Sayang."
"Menurut Bunda apakah Papa baik-baik saja?"
"Hm?"
Alisa menggeleng, "Ah, nggak, nggak. Jelas Papa baik-baik saja, dia terlalu baik-baik saja sampai bekerja keliling dunia. Tunggu saja nanti kalau pulang, aku akan mengurungnya!" celoteh Alisa.
"Jangan khwatirkan papamu. Dia bekerja untuk Alisa, dia sangat menyayangi Alisa dan ingin memberikan yang terbaik untuk Alisa. Kalau nanti dia pulang, Alisa peluk dan bilang 'terima kasih, Papa, sudah bekerja keras.' Oke?"
Alisa melebarkan senyum kemudian mengangguk, "Em!"
"Dah, cepat makan, Sayang."
Aku menunggu Alisa menyelesaikan makanannya dan mengantarnya ke teras depan. Aku tidak bisa mengantarnya ke sekolah hari ini karena akan ada rapat dengan pihak rumah sakit, tepat yang akan diadakan acara anniversary Shabiru Mode bulan depan.
***
Selesai rapat, aku mendapati panggilan tak terjawab sebanyak tujuh belas kali dari Nania. Namun, tidak ada satu pesan yang dia kirim. Aku khawatir jika sesuatu terjadi dengannya. Aku pun langsung meluncur ke kedai sambil terus menghubungi ponselnya.
Setelah beberapa meter akan sampai di kedai, Nania mengangkat teleponku. Terdengar bising, orang berteriak sumpah serapah. Aku menegakkan tubuh dari sandaran kursi mobil, rasa khawatir langsung memenuhi pikiranku.
"Nania? Apa yang terjadi? Nania!"
Lama tidak ada sahutan, namun suara berisik itu semakin keras. Aku takut Nania kenapa-napa. Aku menyuruh Pak supir untuk melajukan mobil cepat ke kedai.
"Nania! Kamu dengar aku nggak sih! Nania! Apa yang terjadi?! Na-," kalimatku terpotong saat melihat kerumunan orang di depan kedai melempar sesuatu kearah kedai.
"Nyonya sepertinya terjadi demo, sebaiknya Nyonya-,"
Aku langsung membuka pintu mobil, segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan larangan dari Pak Supir. Kebetulan hari ini aku tidak membawa bodyguard karena rencananya setelah rapat aku langsung pergi ke kantor. Sebenarnya aku tidak tau apa yang terjadi, di pikiranku saat ini adalah Nania jadi aku tidak peduli apapun. Aku harus menemuinya.
"Itu dia! Itu wanita murahan!" pekik salah satu dari kerumunan itu. Semua mata langsung tertuju padaku, mata dengan luapan amarah dan aku tidak mengerti kenapa mereka terlihat seperti itu.
"Apa yang-," seseorang melempariku telur, pas mengenai kepala. Detik berikutnya, Pak Supir menghalau di depanku menyeretku untuk kembali ke mobil, detik itu juga aku melihat Nania berlari keluar dari Kedai.
"Sabella! Pergi!" teriakan Nania tenggelam bersamaan dengan teriakan sumpah serapah dari kerumunan. Mereka terus melempariku telur sambil meneriakiku umpatan.
"Wanita murahan!"
"Jalang!"
"Wanita nggak punya urat malu!"
"Dasar pelacur!"
Aku tidak bisa menghindar dari tamparan, jambakan dan pukulan dari mereka. Pak Supir juga kewalahan melindungiku, dia ikut dipukul dan ditampar. Nania berhasil menyeretku masuk ke kedai meski dia juga terkena tamparan dan pukulan.
Nania mengunci kedai lalu menyeretku kembali ke ruangan belakang. Semua staff kedai tampak ketakutan, ada yang menangis dan kebingungan harus berbuat apa.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Nania sambil membersihkan sisa-sisa telur di wajahku, dia menangis.
Karena syok, aku terdiam. Tubuhku gemetar, terlepas dari rasa sakit karena tamparan dan jambakan tadi, otakku seperti membeku tidak tau harus bagaimana.
"Minum, Bel." Nania menyodoriku segelas air putih yang dibawakan salah satu karyawan. Dengan tangan gemetar, aku meraih gelas itu dan meminum airnya beberapa teguk.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Nan? Kenapa mereka menyerangku? Menyerang kedaiku?"
"Kamu beneran tidak tau?"
Aku menggeleng.
"Sekarang bersihkan tubuhmu dulu, ya. Setelah itu aku akan jelaskan apa yang sedang terjadi."
Aku mengangguk mendengarkan saran Nania, meski sebenarnya aku begitu penasaran tentang apa yang membuat mereka mengamuk dan menyerangku. Aku sama sekali tidak bisa menebak kejadian ini.
***
"Istri pengusaha kaya, Arshaka Shabiru terciduk selingkuh di pantai."
"Sabella Hasyim, Istri pengusaha Arshaka Shabiru diam-diam selingkuh dengan pria misterius. Dikonfirmasi perselingkuhan itu terjadi saat Arshaka melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Berdasarkan wawancara saksi mata yang melihat mereka di pantai pada sekitar pukul empat sore, Sabella dan pria tersebut sedang asyik mengobrol menyusuri bibir pantai. Mereka pergi dari pantai jam lima sore. Beberapa orang menduga pernikahan dengan Arshaka adalah sebuah perjodohan karena kabar pernikahan tersebut secara mendadak. Diduga juga, pria yang berkencan dengannya kemarin itu adalah pacar sebelum menikahi Arshaka."
Aku membaca artikel itu dengan tidak percaya, artikel tersebut diposting oleh blog majalah terkenal. Apa yang ditulis di artikel tersebut diperkuat dengan bukti-bukti fotoku dengan Antoni di pantai beberapa hari yang lalu. Jelas sekali wajahku tengah tersenyum di foto itu.
Aku memijit kening, terasa penat, kesal, marah, sedih dan takut. Ini jelas fitnah, aku tidak berselingkuh tetapi aku tak menyangkal jika aku mengaku bodoh karena ceroboh.
"Aku harus klarifikasi!" putusku.
"Klarifikasi di mana? Di depan kerumunan itu? Kamu ingin bunuh diri, Bel?"
"Aku harus gimana, Nan? Nggak mungkin aku diem aja, kan? Aku difitnah!"
"Aku tau, aku tau, Bel. Kamu tenang dulu. Kita pikirkan jalan keluarnya, kita cari waktu yang tepat buat klarifikasi. David sedang dalam perjalanan ke sini. Kamu yang tenang dulu, oke?"
Aku memejam sambil menyandarkan punggungku di dinding, kembali memijit kening. Aku benar-benar kesal dengan pemberitaan itu. Semua foto diambil sejak Antoni mengulurkan masker dan topi ke dalam mobilku sampai aku dan Antoni masuk ke mobil Antoni pulang dari pantai. Aku tidak ingin berburuk sangka kepada Antoni, hanya saja kenapa semua seperti telah direncanakan.
"Kamu udah bisa hubungi Antoni, Nan?" kataku sambil membuka mata.
Nania mengangguk, "Dia mau ke sini tapi aku larang, keadaan bakalan tambah runyam kalau sampai dia ada di dekatmu saat ini. Dia juga khawatir, dia merasa bersalah dan berkali-kali minta maaf. Dia berusaha menghubungimu sejak artikel keluar, tapi kamu tidak mengangkatnya."
Aku menghela napas panjang, aku merasa bersalah ke Antoni karena sempat berprasangka buruk kepadanya. Aku baru teringat dia yang membujukku untuk terus memakai masker, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku benar-benar bodoh.
Kerumunan semakin terdengar riuh, aku tidak bisa keluar dari kedai. Biyung terus menelponku karena Alisa khawatir. Video penyerangan di depan kedai tersebar, semakin banyak kerumunan di depan kedai membuatku terjebak sampai malam tiba. Selama itu, Pak Shaka tidak menghubungiku. Aku yakin dia pasti tau karena David datang ke sini.
Aku tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Bukan hanya karena fitnah itu, bukan karena penyerangan brutal orang-orang, bukan hanya karena kedaiku di rusak. Tetapi juga karena aku merindukannya, aku membutuhkannya, dan dia tidak peduli.
"Hey, everything gonna be okay, Bel. David sedang cari cara buat ngeluarin kamu dari sini." Nania mengusap-usap punggungku mencoba menenangkan, "setelah kamu keluar dari sini, baru kita cari cara untuk menyelesaikan masalah ini, oke? Kamu jangan khawatir, kamu nggak sendiri. Aku akan selalu ada di sampingmu, aku pernah bilang gitu, kan?"
Aku mengusap air mata di pipi lalu mengangguk, "Makasih ya, Nan."
Pintu di ketuk, Nania buru-buru membukanya. Muncul David membawa satu tas ransel. Dia tampak terburu-buru, terlihat jelas dari air mukanya penuh dengan peluh.
"Aku punya cara."
"Gimana gimana?" tanya Nania antusias, "ini apa?" tunjuk Nania pada tas ransel yang dibawa David.
"Ini baju ganti buat Sabella," David mengeluarkan hoodie hitam, celana hitam, topi hitam, masker dan sneaker berwarna putih. "Gini, kita kelabuin kerumunan untuk mengeluarkan Sabella. Tapi kita butuh pancingan."
"Pancingan? Nyamar jadi Sabella gitu?"
David mengangguk.
"Aku, aku, aku aja."
"Nggak, nggak, jangan kamu." Aku tidak setuju.
"Loh, kenapa, Bel? Tinggi kita sama, warna kulit kita juga sama. Aku cuma harus nutupin muka doang, kan?"
"Nggak, aku nggak mau kamu sampai kena serangan lagi. Aku nggak mau, Nan. Nggak apa-apa kita terobos aja, aku nggak apa kalau harus kena tampar, kena pukul lagi nggak apa-apa. Karena emang ini kesalahanku. Aku nggak mau orang lain yang nanggung."
"Ini nggak hanya untuk mengeluarkanmu dari sini, Bel. Ini juga cara untuk mengalihkan perhatian publik. Kau tau, mereka bukan hanya di kedai, tapi juga di depan kantor, di depan mansion. Pak Shaka orang yang berpengaruh, banyak yang marah karena mereka mengira kamu selingkuh dan menghianatinya."
Pikiranku semakin meracau, kenapa orang-orang suka sekali mengurusi urusan rumah tangga orang lain? Ah, kenapa aku mau pergi dengan Antoni waktu itu? Kenapa mereka jahat memfitnahku? Kenapa ini semua terjadi?!
"Aku yang akan melindungi Nania, kau jangan khawatir. Aku juga membawa beberapa bodyguard, aku bersumpah sesuatu tidak akan terjadi pada Nania." David meyakinkanku.
Dengan sedikit desakan Nania, akhirnya aku mau. Aku mengganti pakaianku, sedang Nania memakai pakaianku untuk menyamar. Aku tau ini keputusan sulit, tetapi mau tidak mau aku harus melakukannya. Karena kedai diblokir, karyawanku juga tidak bisa pulang. Mungkin dengan mengalihkan perhatian massa, mereka juga bisa keluar.
"Oke, gini alurnya. Aku sama Nania ditemani bodyguard keluar dari kedai, otomatis perhatian massa ke kami. Saat mereka mulai berlari kearah kami, di saat itu juga kau keluar dari kedai. Jalan biasa saja, jangan menunduk, seolah tidak terjadi apa-apa. Berjalanlah kearah kanan kedai, di gang pertama sudah ada yang menunggumu. Kau ikut dengannya ke tempat yang aman. Nanti aku hubungi lagi untuk rencana selajutnya."
Aku mengangguk.
"Oke, semua paham, kan?"
"Siap!"
Tanpa menunggu lama, kami pun beraksi. David menutupi wajah Nania dengan jaket lalu mendekap kepala Nania ke dadanya. Semua bodyguard membentuk formasi, setelah itu mereka keluar kedai.
Seperti dugaan, kerumunan bersorak mengumpati mereka, perlahan mengerumuni mereka dan mencoba menyerang Nania yang menyamar menjadi aku. Aku keluar bersama para karyawan kedai. Mencoba berjalan seperti biasa, setelah memastikan karyawan terakhir mengunci kedai, aku buru-buru berjalan ke arah kanan.
"Akh!" aku tidak sengaja menabrak orang. Hampir saja terjatuh.
"Kau! Kau Sabella Hasyim, kan? Tukang selingkuh itu!" orang yang kutabrak tadi mengenaliku, "Woy! Woy! Sabella Hasyim di sini!!! Woy!"
Aku berusaha untuk melarangnya berteriak, tetapi salah satu karyawanku menyeretku untuk pergi. Aku langsung berlari, beberapa orang membawa kamera juga mengejarku. Penyamaran terbongkar, aku harus bisa melarikan diri. Gang pertama kurang beberapa meter lagi, topiku terjatuh dan semakin ramai orang yang mengejarku.
Sampai di gang pertama, aku mencari-cari orang yang menungguku. Aku benar-benar tidak punya waktu lagi. Aku melihat beberapa mobil bergerak, tetapi tidak tahu mana yang menungguku.
Tiba-tiba seseorang dengan motor sport hitam berhenti di depanku, orang itu memakai helm fullface, setelah helm itu dibuka, baru aku mengenali sepasang mata itu, "Cepat naik!" dia menyodoriku helm, aku segera meraihnya kemudian langsung naik ke motor.
Setelah memakai helm, orang itu menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya, "Pegangan!" meski ragu, tidak punya pilihan lain, selain memeluk pinggangnya erat. Dalam hitungan sekian detik, motor melaju dengan kencang.
Motor memanuver diantara mobil-mobil yang melaju kencang di jalanan. Tiba-tiba gerimis datang yang perlahan menjadi hujan deras. Aku tidak tau akan dibawa kemana, meski hujan sangat deras dia tidak mau menghentikan motor dan membiarkan kami kehujanan.
Setelah diatas motor sekitar satu jam lebih, motor melaju ke sebuah jalanan yang menanjak. Rumah jadi semakin jarang. Hingga akhirnya motor melewati hutan sekitar dua kilo, baru sampailah di sebuah rumah penginapan yang letaknya paling ujung. Aku belum pernah ke sini, juga belum pernah tau bahwa setelah hutan tadi akan ada sebuah rumah penginapan.
Setelah motor berhenti, kami turun. Dia melepas helmnya, bersamaan dengan itu jantungku kembali terdegub kencang. Dia yang kukira sengaja menghilang dan menghindar, dia yang kukira tidak peduli lagi kepadaku. Menjemputku dengan motor, menerobos hujan dan membawaku ke tempat jauh ini dengan keadaan sama-sama dingin dan basah karena kehujanan.
Aku tak lagi bisa menebaknya, entah mengapa semua terasa semakin menarik.
Itu semua karena,...
...dia, Arshaka Shabiru.
***
JANGAN LUPA TINGGALIN KOMENTAR DAN VOTE!
Gimana part ini?
yuk, Lanjut!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro