32. After That Touch
Beberapa detik kami terjebak dalam suasana yang entah bagaimana menjelaskannya. Aku merasakan tubuhku seolah jatuh pada jurang yang membuat permukaan kulitku meremang, jantungku seperti lepas dan membuat sesuatu yang menari riang di antara rongga perut dan dada, karena sentuhannya. Sentuhan lembut bibirnya yang tak terduga.
Pak Shaka melepas pagutan, dia menatapku dengan manik membulat. Seperti tersadar dari perbuatannya barusan. Aku juga menatapnya bingung, aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan tak tahu harus bereaksi apa. Aku mematung.
"Ma--aaf,"ucapnya sembari menjauhkan tubuhnya dariku. Dia menyentuh bibirnya dengan jemarinya sendiri, wajahnya menunjukan ketidakpercayaan atas apa yang barusan terjadi. Lalu, tanpa kata tambahan, pria itu pergi sambil mengacak-acak rambutnya.
Angin yang menerpa rambutku, setengah menutupi kepergiaanya tanpa penjelasan. Masih dengan jantung yang terpompa keras, aku menyadari sesuatu bahwa dia, Arshaka Shabiru telah melanggar pasal 7.
***
Sambil mengusap kening Alisa yang tertidur pulas, pikiranku melayang. Dua bulan tersisa umur kontrak, aku dihadapkan pada sebuah kebingungan. Pak Shaka menciumku karena pengaruh alkohol? Atau dengan keadaan sadar penuh telah melanggar pasal 7? Pasal yang dia sendiri bilang sangat tidak boleh untuk dilanggar.
Aku berusaha untuk memejam, namun bayang-bayang beberapa waktu lalu mendobrak benakku. Sentuhan bibirnya yang dingin, pelukan eratnya. Kenapa aku tidak bisa berhenti untuk memikirkannya? Bukankah dia juga pernah menciumku sebelumnya pada saat di pernikahan?
Tepat pukul 6 pagi, Alisa bangun. Dan aku masih menatap kosong langit-langit kamar dengan pikiran menggelayut penuh pertanyaan, penuh asumsi yang kuciptakan sendiri, menerka-nerka tak tertandaskan.
"Are you okay, Bunda?" tanya Alisa dengan suara serak khas bangun tidur. Sambil mengucek mata kanannya, Alisa menatapku.
Aku tersenyum rikuh, kemudian mengusap rambutnya, "Bunda baik-baik saja." Aku mencium keningnya kemudian beranjak turun dari tempat tidur. "Bunda siapkan air untuk Alisa mandi, ya?"
"Em."
Aku berjalan ke kamar mandi, menyalakan keran bath up. Sambil menatap keluncuran air yang keluar dari keran itu, benakku kembali ditarik pada kejadian semalam.
Tanpa sadar, aku menggigit bibir merasakan betapa dadaku berdebar hanya karena mengkilas balik sedikit tentang tatapan matanya yang kian mendekat dan memberiku sentuhan kecil yang berdampak besar hingga saat ini aku seperti orang linglung. Sebentar gelisah, sebentar merona. Aku tidak tau, aku harus bersikap bagaimana.
"Bunda bath up-nya sudah penuh!" interupsi suara Alisa menyadarkanku. Buru-buru aku mematikan keran.
"Uh, sorry." Aku langsung menjulurkan tangan ke bath up untuk membuka tub drain.
"Bunda, what are you doing!" Alisa langsung mencegah tanganku, menariknya untuk menghindarkan aku dari bath up. "Airnya panas, tangan Bunda bisa melepuh!"
Mendengar pekikan Alisa, aku kembali pada orbit pikiran sadarku. Hampir saja aku melukai kulit tanganku karena lupa jika bath up terisi air panas.
"So-sorry, Alisa." Aku merasa kebingungan.
"Bunda, are you sure you fine?" –Bunda, kau yakin kau baik-baik saja?
"Emm, ya, ya..." aku kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan sederhana Alisa, "I'm good." Aku mencari sesuatu tetapi tidak tau apa itu. Aku benar-benar bingung.
"Alisa panggil Bibi Mai, Bunda istirahat saja. Sepertinya Bunda kurang istirahat."
"Iya, maafin bunda ya Alisa?" Aku menyamai tubuh gadis itu, mengusap ujung keningnya.
Dia tersenyum lebar, kemudian beranjak pergi untuk memanggil Bibi Mai. Bersamaan dengan itu aku berdiri, sambil menatap bath up yang berisi air panas aku masih tidak percaya, aku hampir saja melukai tanganku sendiri hanya karena pikiranku yang carut marut karena kejadian semalam.
Aku menenangkan diri di ruang tengah, ruangan yang memiliki kaca raksasa memperlihatkan pemandangan Ibu kota Singapura.
Apakah dia telah jatuh cinta padaku?
Apakah dia tidak sengaja? Atau tidak sadar?
Apakah dia hanya bermain-main, ah tetapi ini sangat tidak lucu.
Dadaku kembali berdebar, pipiku juga kembali merona. Napasku menjadi cepat mengingat setiap inci momen semalam. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus bicara padanya. Aku tidak mau memiliki asumsi lain yang bisa membuat keadaan menjadi buruk.
Aku memutar langkah dan berencana menemuinya yang kini kutahu sedang menerima pelayat dari kalangan penting di ballroom gedung ini. Namun, saat manik mataku menatap David yang baru saja keluar dari pintu utama penthouse, aku mengurungkan niat. Jantungku kembali berkencang hebat. Sepertinya aku tidak siap untuk bertemu dengan Pak Shaka. Bertemu dengan bawahannya saja mendadak kincup, apalagi dengan orangnya langsung.
"Mau ke mana?" tanya David.
"Eng---," aku memutar otak untuk mencari alibi, "tidak ada."
"Pak Shaka tadi tidak sempat pamit kepadamu." David berjalan mendekat.
"Eh? Ke mana memangnya?"
"Dia ke New york menghadiri meeting dengan CEO Majalah NYstyle." Jawaban David membulatkan mataku.
"Mendadak sekali, bukankah dia masih dalam masa berkabung?"
"Yah, begitulah sikap buruk Pak Shaka, menghindari rasa sakit dengan menyibukkan diri."
"Lalu pelayat?"
"Pak Shaka membuat statement tidak menerima pelayat lagi karena urusan pribadi. Hah, lucu memang, bohongnya itu buruk sekali."
"Bohong?" Aku tidak mengerti ucapan David tentang Pak Shaka.
"Sudahlah, jangan dipikirkan manusia aneh itu. Dia akan kembali ke Indonesia seminggu lagi. Setelah dia kembali, aku memintamu untuk menghiburnya. Biasanya setelah mencoba menghindari masalah hati, dia akan terpuruk lagi, aku takut dia kembali seperti dulu."
"Se—seperti dulu? Yang seperti apa?"
David meletakkan jari telunjuk kanannya di depan dahi dengan gerakan kecil sambil berkata, "Sinting."
"Ma—maksudnya?"
"Kalau dia sampai pegang botol alkohol, kau rebut terus timpuk aja botol itu di kepalanya. Dia suka sinting sampai melakukan hal-hal yang berbahaya, seperti meminum alkohol."
"Kau sama-sama tidak waras. Bicaramu sulit aku pahami."
"Begitu ya? Ya udah lupain." David nyengir sebelah, "Oh, ya, hampir lupa sama tujuan menemuimu."
"Kenapa?"
"Aku udah pesanin tiket pesawat untuk pulang nanti siang. Jadi, siap-siap, ya?" kata David sambil berjalan kembali kearah pintu utama.
"Eh, Vid. Aku boleh tanya sesuatu?"
David memutar tubuh sedikit menoleh kembali kearahku, "Iya?"
"Emm,..." aku ragu ingin menanyakan hal ini kepadanya, karena mungkin hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku tanyai. "Apa kau pernah minum alkohol?"
David mengerutkan keningnya, sepertinya dia heran karena tiba-tiba aku bertanya seperti itu kepadanya. Tak lantas menjawab, dia malah menoleh kanan dan kiri, kemudian mendekat kearahku.
"Apa Nania yang menyuruhmu bertanya seperti itu?"
"Nania? Uh, nggak. Aku hanya penasaran."
Tampak wajah kecewa David, "Kupikir Nania yang tanya. Iya aku pernah, bahkan sampai sekarang kalau lagi stress aku minum. Ya, tidak banyak, tidak sampai kehilangan kesadaran."
"Oh,... Kalo minum seteguk, apa bisa membuatmu berimajinasi?"
David menatapku dengan tatapan heran, "Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan, Sabella? Sejak kapan minum alkohol seteguk bisa membuatmu berimajinasi. Jangan-jangan..."
"Jangan jangan apa? Jangan ngawur ya nuduh aku minum alkohol!"
"He? Siapa yang nuduh? Kau .... Baik baik saja, kan?"
"Ah, lupakan, lupakan." Aku beranjak dari tempat, berjalan masuk kearah kamar untuk bersiap-siap, sekaligus menghindari David. Karena tidak mau diintegorasi lebih lanjut. Biar menjadi rahasia antara aku dan Pak Shaka saja. Aku akan menunggunya dan meminta penjelasan dari aksi malam itu.
***
Karena Pak Shaka belum pulang dari New york, aku yang datang ke kantor untuk meeting membahas acara Annyversary Shabiru Mode bulan depan. Seperti pekerja kantoran biasa, hari ini aku memakai span hitam dengan blazer senada, aku merapikan rambutku dengan kuncir kuda biasa.
Rapat dimulai seperti biasa, aku yang membuka lalu dilanjutkan David untuk pembagian jobdesk, setelah itu kami mulai mendengar beberapa pendapat tentang konsep yang akan kita usung. Fresh dan Original.
"Kalau Fashion Show sepertinya itu pasti akan ditebak oleh masyarakat karena setiap tahun kita membawa Fashion Show sebagai puncak acara," kata Nandini.
"Yang lain ada ide? Sesuatu yang belum pernah kita adakan?" tanya David. Sepuluh staff utama tampak berpikir keras, meja panjang di ruang rapat tampak berantakan dengan kertas-kertas calon konsep.
"Gimana kalau kita mengadakan sesuatu yang jauh dari imej Shabiru Mode?"cetusku yang langsung membuat para staff mendongak lalu menatapku.
"Seperti?" tanya David.
"Selama ini imej Shabiru Mode selalu glamour, bagaimana jika mengadakan sesuatu yang sederhana tetapi berkesan dan memukau." Semua orang tampak serius mendengarkanku.
"Kita adakan sebuah acara di Rumah sakit. Kita melibatkan anak-anak pejuang kanker. Gimana?"
"Eee-, anu, Bu." Hannah, staff berwajah chinese menginterupsi, "kita pernah mengajukan itu di Annyversary ke-lima, tetapi kata Pak Shaka masyarakat akan menilai kita pencitraan. Karena pasalnya masyarakat sudah tahu kalau karakter Pak Shaka yang dingin dan cuek, sangat tidak mungkin jika mengadakan sesuatu yang bertolak belakang dengan imejnya. Pak Shaka sangat anti gossip seperti itu."
"Ouh, begitu ya? Tapi kurasa itu yang paling fresh deh," opiniku.
"Tetapi originalnya diragukan, Bu," jawab Nandini.
"Pak Shaka akan ikut rapat melalui virtual sebentar lagi." David berdiri menyambar remote layar proyektor, sedangkan Hannah menyiapkan laptopnya.
"Tunggu, bentar, Pak Shaka mau ikut apa?" tanyaku. Belum sempat ada yang menjawab, layar putih tepat di depanku itu muncul wajah seseorang. Kontan aku memutar kursi membelakangi layar, aku tidak paham kenapa harus malu dan menghindar?
"Selamat pagi." Suara bariton itu menambah rasa degub jantungku.
"Pagi, Pak!" kompak para staff menjawab salam bosnya.
"Sampai di mana rapatnya?"
"Masih memilih konsep, Pak. Ada beberapa konsep yang sedang kami pertimbangkan, di antara lain; konser K-pop, Carnival, Fashion Show, dan...," suara David melandai, "Pertunjukan di Rumah Sakit pejuang kanker."
"Pertunjukan di rumah sakit? Siapa yang mengajukan ide itu?"
Aku menahan napas, pasti saat ini pandangan semua orang tertuju padaku. Kenapa rasanya canggung, sungguh aku jujur bahwa aku tidak siap bertatap muka dengan Pak Shaka, meskipun itu hanya melalui virtual.
"Ibu Sabella?" suara Nandini.
"Bel, ngapain sih ngadep ke situ?" tanya David.
Sial! Kenapa jadi memalukan begini sih? "Eng---," perlahan aku memutar kursi, tetapi masih tidak berani untuk menatap layar di depan, "kancing blazzerku, lepas." Alibiku.
Semua orang saling pandang, mungkin terasa aneh karena sedari aku masuk ruang rapat aku sudah membuka kancing blazzerku karena lebih gampang untuk bergerak. Ah, bodo amat!
"Jadi,..." Pak Shaka kembali bersuara, "apa idemu, Kepala Desainer?"
"Bel?"
"Hm?" Aku mendongak, sadar situasi semakin awkward dan aneh. Maksudnya, aku yang aneh. Aku benar-benar aneh dan mendadak blank.
"Coba kamu presentasikan ide konsepmu tadi ke Pak Shaka," kata David.
"Ah, iya, iya... mana tadi?" Aku membuka-buka lembaran di meja, mengacaknya dengan tangan tremor. Ada beberapa kertas yang jatuh, aku juga sempat memungutnya. Kebingungan sendiri, sebenarnya kertas yang mana yang aku cari.
"Bel, are you okay?" tegur David, aku mengangguk masih sambil mencari kertas konsep.
"Nah, ini. Ketemu!" pekikku dengan napas yang tersengal-sengal, tanpa menunggu lagi, aku mulai mempresentasikan ide konsepku.
"Jadi, untuk konsep fresh and original, aku punya ide bahwa kita mengadakan sesuatu yang belum pernah diadakan. Sebuah fashion show anak-anak pejuang kanker. Mungkin fashion show di sebuah gedung mahal sudah biasa, tetapi fashion show ini berbeda. Karena kita melibatkan anak-anak hebat."
Meski dengan degub jantung yang berdebar, aku memberanikan diri untuk menatap Pak Shaka di layar. Beberapa detik suasana hening, lebih mendominasi rasa canggung yang aku rasakan saat menatap lekat seseorang yang beberapa hari ini menggelayuti pikiranku.
"Hannah sudah memberitauku bahwa kau tak suka sesuatu yang bertolak belakang dengan imej Shabiru Mode, tetapi percayalah. Shabiru Mode bukan lagi hanya tentang Arshaka Shabiru, tetapi tentang kita. Seperti benang merah dengan Fashion Show sebelumnya yang mengangkat tentang hak perempuan, kita sambung benang itu dengan mengangkat tentang hak anak-anak pejuang kanker. Tentang mereka yang tidak bisa seperti anak-anak yang lain," ucapku dengan lugas.
"Kau yakin?" tanya Pak Shaka.
Aku mengangguk langsung tanpa ragu, "ada lagi ide yang bisa membuat fashion show itu berbeda dan lebih fresh," kataku, jeda helaan napas, "jika konsep ini deal, minggu depan akan aku jadwalkan untuk melobi rumah sakit, setelah itu kita adakan pemanasan dengan acara menggambar bersama, menggambar sebuah desain baju dari anak-anak pejuang kanker. Hasil menggambar itulah sebagai desain baju kita untuk fashion shownya."
"Lalu?"
"Kita tidak perlu mengundang kalangan yang berpengaruh, kita buat video saja seperti vlog or dokumenter. I think itu lebih berkesan buat kita, mereka dan masyarakat yang melihatnya. Pesan yang ingin disampaikan; kanker tidak pernah bisa merenggut kebahagiaan anak-anak yang menyandang. Meskipun berat, masih ada harapan, pun tidak harapan itu akan menjadi sebuah kenangan terindah mereka sebelum pergi untuk selama-lamanya."
Beberapa detik ruangan rapat hening, aku menatap lurus ke layar. Menatapnya dengan keyakinan bahwa apa yang aku ajukan bukan suatu candaan, ini sebuah jalan untuk menghancurkan stigma bahwa Shabiru Mode bukan perusahaan angkuh. Ah, tidak, sisi jujurnya, aku ingin memperlihatkan sikap hangat Pak Shaka terhadap putrinya kepada dunia. Dia tidak sekejam dan sedingin covernya.
"Oke, kita putuskan mengambil konsep itu," kata Pak Shaka.
"Siap!" kompak semua staff menjawab, setelah itu mereka bertepuk tangan mengapreasiasi usahaku.
Aku bernapas lega, sambil melempar senyuman kearah para staff aku menyempatkan juga untuk melirik layar. Ternyata, layar itu sudah mati. Entah kenapa rasanya kecewa, jujur aku ingin melihatnya sedikit lebih lama lagi.
Ini bukan sesuatu yang disebut rindu, kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro