Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Something in Your Eyes

"Kau sedang menawar atau berandai?"

Pak Shaka menatapku lama, pandangan kami menyerobok satu sama lain. Aku merasakan getaran halus yang kian lama kian terasa di dalam dada.

"Menurutmu?"tanyanya balik.

Aku mengangkat dua bahuku, tidak tahu. Lagian aku juga tidak paham kenapa duda gila ini tiba-tiba bicara seperti itu? Kalimatnya terlalu ambigu, aku takut salah mengartikan.

"Berandai," katanya sembari kembali melangkah.

Aku sudah menduga itu, mana mungkin dia menawariku menjalani pernikahan kontrak ini dengan waktu yang tak terbatas, bukankah itu sama artinya dengan aku hidup menjadi istrinya untuk waktu yang sangat lama, lebih tepatnya dia menawariku hidup bersama. Mustahil.

"Kenapa kau berandai jika pernikahan kontrak kita tidak ada batas waktunya?" aku penasaran.

"Aku kan bertanya itu kepadamu, bagaimana jika pernikahan kita tidak ada batas waktunya? Menurutmu apa yang terjadi?"

Aku benar-benar merasa aneh, kenapa duda gila ini membuat benakku mengartikan hal lain. Aku langsung menepis pikiran itu, lalu menanggapi pertanyaannya.

"Mungkin aku bisa sakit jiwa." Aku menjawab asal.

Pak Shaka langsung menghentikan langkahnya yang berada dua langkah di depanku. Kemudian aku menyamai posisi pria itu, "Aku tidak bisa hidup dengan pria menyebalkan sepertimu untuk waktu yang lama."

Pak Shaka berdecih dengan senyuman tipis, "Aku sebegitu menyebalkan ya?"

"Tentu saja, baru sadar?"

"Bagaimana jika yang terjadi adalah kita bisa saling jatuh cinta?" katanya seraya menoleh kearahku.

Deg! Getaran itu semakin menguat di dalam dada, seperti pacuan kuda yang membuat napasku sedikit memburu yang kupaksakan untuk menahannya di pangkal tenggorokan. Angin laut terasa sejuk di pipi yang memanas, aku langsung menarik wajah memandang matahari yang tinggal sedikit lagi tenggelam sempurna.

Aku mengembuskan napas sepelan mungkin. Ini aneh, benar-benar aneh. Kenapa dia mengatakan itu? Sudah jelas itu tidak boleh terjadi karena surat perjanjian sudah menuliskan bahwa itu tidak boleh dilanggar. Dia sudah tidak waras? Dia sendiri yang membuat perjanjian itu. Kenapa dia membuat benakku semakin berlari ke hal lain?

"Kau lihat matahari itu?" Aku menyahut.

"Hm?"

"Dia tidak bisa bersinar di malam hari." Aku menunjuk matahari yang menyisip di ufuk barat. "Seperti itulah kita, kau matahari dan aku adalah malam. Kita tidak bisa bersatu. Kau tau itu, kan? Jadi jangan mengatakan hal konyol tentang ini lagi. Aku tidak ingin salah paham." Aku menoleh kearahnya, menatapnya serius bahwa aku sama sekali tidak suka dia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kita langgar.

"Kau salah," sahutnya.

"Hm?" Aku mengerutkan kening.

"Matahari dan malam sempat bertemu meski hanya sebentar," Dia menunjuk arah laut dengan tatapannya, "Mereka bertemu di ujung senja."

Aku memandang senja, matahari yang nyaris tenggelam dan malam yang mulai menyapa. Benar juga sih, "Pokoknya kita tidak cocok hidup bersama," kataku seraya menoleh sengit kearahnya.

Aku dan Pak Shaka kembali saling tatap, tidak lama dari itu dia menyemburkan tawa, "Hey, pikiranmu sangat jauh sekali. Kita kan sedang berandai. Aku hanya ingin tau pendapatmu jika kau melanggar pasal tujuh. Itu saja."

Melegakan sekali, meski begitu tetap saja aku merasa aneh.

Aku langsung menepis rasa aneh dalam hati dan pikiranku, aku paham sekarang apa yang dimaksud Pak Shaka, "Jadilah terus menyebalkan, biar aku tidak sempat untuk jatuh cinta kepadamu." Aku mengubah suasana menjadi hangat kembali, tak lagi canggung seperti beberapa saat lalu.

Pak Shaka tersenyum tipis, "Itu bukan perkara sulit."

"Itu sudah jadi bakat alami." Aku terkekeh yang dibalas kekehan juga olehnya.

"Lalu apa maksudmu jika pernikahan kontrak kita tidak ada batas waktunya?"

"Di dalam surat perjanjian tidak tertulis batas waktu, kan? Bagaimana jika Alisa memintamu untuk tetap menjadi ibunya?"

Aku langsung menangkap poin yang Pak Shaka ingin tau tentangku jika kontrak ini berakhir.

"Alisa akan tetap menjadi anakku, meskipun aku bukan lagi menjadi istrimu," jawabku, jeda beberapa detik, "kau sendiri bilang kalau Alisa yang menentukan usia perjanjian kita, jadi kupikir Alisa sudah tau kapan aku akan pergi. Itu artinya dia pasti sudah mempersiapkan sesuatu setelah kepergianku. Sebenarnya tugasku sudah selesai, kan? Membuatnya tertawa kembali."

"Kalau aku memintamu yang memperpanjang kontrak sampai batas waktu tertentu, apa kau mau?"

Aku kembali merasa aneh, sudah berusaha keras untuk menghilangkan pikiran konyol jika terjadi sesuatu pada pria gila itu. Tetapi, kenapa kalimat pria itu semakin membuatku merasa aneh? Atau mungkin aku saja yang terlalu percaya diri.

"Kalau kau yang minta aku jelas tidak mau, kalau Alisa yang minta, akan aku pertimbangkan."

"Begitu ya?" Aku mengangguk.

Setelah itu tidak ada lagi obrolan serius antara aku dan Pak Shaka, kami kembali ke resort menunggu helikopter untuk terbang ke Penthouse Ma, aku dan Alisa memutuskan untuk menginap sampai pekerjaan Pak Shaka selesai. Kami terbang keesokan harinya ke Indonesia. Sejak obrolan kita di pantai kemarin, aku masih belum sepenuhnya bisa melupakan. Aku masih saja kepikiran, seperti benar terjadi sesuatu yang tidak aku sadari.

Aku dan Pak Shaka juga tidak memiliki ruang lagi untuk bicara karena entah mengapa pria itu menyibukkan diri bahkan saat kita duduk berhadapan di dalam jet pribadi. Waktu aku ingin membuka obrolan, Pak Shaka menyela jika ada sesuatu yang ingin dia kerjakan. Dia seolah menghindar dan tidak menganggapku ada di depannya.

Aku saja yang merasa aneh atau memang dia seperti itu?

***

"Yey, selamat buat kita! Terima kasih atas kerja kerasnya!" seru Nandini membuka perayaan kecil-kecilan di kantor Shabiru Mode. Ada sekitar enam belas staff yang hadir di sini, mereka memesan pizza dan minuman soda sebagai hidangan perayaan.

Aku berdiri di antara mereka bersama pria yang sejak kemarin irit sekali bicara. Bahkan saat di mobil beberapa saat lalu, dia diam seribu bahasa. Biasanya kami mengobrol sesuatu, meski obrolan itu kadang menyebalkan bagiku. Aku benar-benar merasa dia berubah.

Aku melirik tangan yang melingkar di pinggang, dia juga tidak mengenakan cincin pernikahan yang biasa dia pakai selama lebih dari tiga bulan ini. Aku berharap, ini hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan, bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan.

"Oke, sebelum kita melaksanan tradisi kemenangan, kita mau dengar cuap-cuap sekata dua kata dari kepala desainer sekaligus kepala perencana show, kita sambuuut.... Ibu Sabella Hasyim a.k.a Nyonya Shabiru." Nandini menunjukku untuk maju ke tengah-tengah lingkaran para staff.

Suara tepuk tangan dan terompet mini memenuhi ruangan, aku sempat menolak tetapi mereka semua mengompori yang pada akhirnya mengharuskan aku maju ke tengah lingkaran.

"Emm,..." Aku bingung harus memberi sambutan apa, "Ehem," Aku mencoba berdeham mengurangi rasa gugupku, "pertama-tama terima kasih kepada Tuhan yang senantiasa melindungi dan membantu kita sampai akhirnya kita bisa sukses besar. Kedua, terima kasih kepada teman-teman yang sudah bekerja keras siang dan malam bahkan saat show digelar kalian juga bekerja extrakeras, kalian luar biasa. Terakhir, selamat untuk kita semuaaa!" aku bertepuk tangan yang diikuti para staff, kecuali Pak Shaka yang hanya menarik sudut bibirnya tipis.

"Terima kasih juga untuk Bu Sabella yang bersedia menjadi model ke-15, anda luar biasa sekali!" celetuk salah satu staff.

"Iya, anda cantik sekali!" seru staff lainnya.

"Anda cantik setiap waktu, saya penggemar berat anda, Bu! I love you 3000 tanpa kembalian!" sahut staff laki-laki yang kontan langsung dihujami tatapan oleh semua staff, termasuk Pak Shaka.

"Kau ingin mati ya?" ada yang berbisik seperti itu.

"A—maksud saya,..." wajah staff tersebut langsung berubah memucat, dia seperti kelimpungan menjawab, "saya minta maaf." Staff tadi langsung membungkukan setengah badan lurus kearah Pak Shaka setelah itu kearahku, "Sekali lagi saya minta maaf, saya menyesal."

Aku tertawa, "Hey, its okay... saya merasa terhormat. Terima kasih atas cintanya." Aku melempar senyum kearah staff tadi, aku menghargainya karena telah jujur menganggumiku.

Untuk beberapa saat suasana menjadi canggung, sampai akhirnya Andini berseru, "Tradisi time!" suasana kembali ramai dan menghangat. Aku berjalan ke tempat sebelumnya, di samping Pak Shaka yang saat itu melipat tangan di depan dada.

Andini membawa nampan yang berisi satu gelas besar berisi minuman berwarna hijau pekat. Aku dengar tradisi ini sudah ada sejak show pertama Shabiru Mode, sebagai perayaan kesuksesan.

"Untuk perayaan show yang berakhir manis, kali ini jus pare sebagai penutup acara Show kali ini." Semua staff berekspresikan jijik karena membayangkan betapa pahitnya jus pare.

"Oke, seperti tradisi yang sudah-sudah, sebelum pemilihan staff yang akan meminum jus ini secara acak, apakah di sini ada yang sukarela maju untuk mewakili melaksanakan tradisi?"

Semua staff saling dorong, mencoba menggoda temannya untuk maju sukarela meminum jus pare. Terdengar riuh sekali dan menurutku sangat seru, aku antusias menjadi bagian dari tradisi.

Tiba-tiba Pak Shaka memegang tanganku, kontan aku menoleh kearahnya dengan tatapan bingung. Pria itu menatapku dengan tatapan licik dengan seulas senyuman tipis. Sebelum aku paham maksudnya yang tiba-tiba memegang tangan kananku, "Kepala Desainer ingin maju sebagai sukarela," cetusnya sembari mengangkat tanganku.

Semua orang menatapku, detik berikutnya terdengar riuh tepuk tangan mereka. Aku langsung menarik tanganku, menatap Pak Shaka lalu membelakangi para staff, aku melotot bulat kearahnya, "Kau gila?" ucapku tanpa suara.

Tak lantas merespon, Pak Shaka malah mendekatkan bibirnya kearah telingaku, dia berbisik, "Ini sebagai pembalasan atas voicenotemu waktu itu." Dia menarik diri sambil tersenyum menyeringai.

Aku merasa kesal sampai ke ubun-ubun, kupikir dia lupa masalah voicenote itu. Ternyata pria ini sangat pendendam. Dasar duda gila picik!

Pak Shaka mengangkat satu alis, mengejek. Seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak bisa dilawan oleh siapa pun. Aku memutar tubuh menghadap para staff yang saat itu riuh menyuruhku untuk segera maju dan menyelesaikan tradisi.

"Ayo! Ayo! Ayo!" kompor mereka.

Dengan terpaksa aku melangkah menuju meja yang diatasnya ada satu gelas jus pare. Ukuran gelas yang besar itu semakin membuat perutku terasa terkoyak sebelum meminumnya. Baunya sangat menyengat khas pare, beberapa kali aku harus menahan muntah.

"Bu Sabella pasti bisa! Semangat!" seru salah satu staff yang diikuti lainnya memberiku semangat.

Aku berdiri di dekat meja, ragu untuk mengambil jus itu. Tapi seruan para staff terus memaksaku.

"Minum! Minum! Minum!"

Belum meminumnya saja, lidahku seolah merasakan kepahitan yang tidak bisa dibayangkan. Sial, benar-benar sial! Aku melirik duda gila itu sebentar, dia tersenyum licik karena sudah berhasil membalasku.

Aku menutup hidung, kemudian meminum jus pare itu beberapa tegukan.

"Uwek!" Aku merasa mual, tenggorokan terasa tercekik kepahitan jus pare. Aku benar-benar mual dan ingin muntah.

"Habiskan! Habiskan! Habiskan!"

Aku melambaikan tangan, menyerah. Minuman itu sangat menyiksa tenggorokan dan lambungku. Tetapi, mereka tidak menggubris. Aku terus dikompori harus bisa menghabiskan jus pare yang masih belum ada setengahnya itu.

"Sumpah, aku nggak kuat. Please! Please!"

"Habiskan! Habiskan! Habiskan!"

"Haish!" kesalku sambil melirik tajam Pak Shaka yang melipatkan dada dengan senyuman piciknya itu.

Aku kembali meraih handle gelas, menutup hidung sambil memejam. Lalu meneguk satu kali, perutku rasanya menolak dan ingin memuntahkan semua yang sudah terminum, tetapi aku menahannya. Mataku sampai berair saking betapa pahitnya minuman itu.

"Habiskan! Habiskan! Habiskan!"

"Semangaat bu!!"

Oke fix, aku menangis saking tidak sanggupnya lagi meminum jus itu. Meski begitu, tidak ada diantara para staff yang memberiku keringanan, aku harus menyelesaikan tradisi.

Aku mengangkat tangan, memberi isyarat 'okay' lalu kembali menutup hidung dan memejam. Namun, tiba-tiba gelas di tanganku itu direbut seseorang, aku langsung membuka mata dan melihat Pak Shaka meminum jus pare yang tersisa.

"Uwuuu...!" semua staff berseru dan beriuh siulan.

Aku menatap tidak percaya apa yang terjadi, Pak Shaka meneguk jus itu tanpa berekspresi apa pun, bahkan sampai gelas itu kosong dan mengembalikannya kepadaku.

"Woooo, Pak Shaka kereeen!" celetuk salah satu staff yang disahuti tepuk riuh.

"Suamiable banget!" celetuk tambahan.

"Yang jomlo, yang jomlo....kuati atimu!"

Aku mematung menatapnya, bahkan saat dia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap pelan pinggiran bibirku yang mungkin ada bekas jus yang menempel di sana. Aku menatap manik mata Pak Shaka, dia pun sama. Kami saling bertatapan di tengah suara riuh sorakan para staff.

Aku semakin merasa aneh, bahkan dadaku terasa sesak karena detak jantungku yang terpompa lebih keras dari biasanya. Rasa pahit di lidahku seolah lenyap, aku tidak mengerti kenapa aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi tetapi tidak tau apa itu. Sesuatu yang ada di matanya.

"Oke!" sahutan suara Andini menyadarkanku, aku langsung memutus kontak mata dengan Pak Shaka dan mengalihkan pandangan. "Tradisi sudah selesai dilaksanakan! Selamat menikmati makanannya!"

Andini menarik tanganku untuk duduk di depan meja yang sudah terhidangkan beberapa kotak pizza dan minuman bersoda. Andini memberiku satu potongan pizza, "Cepatlah makan, biar pahitnya ilang," katanya.

Aku tersenyum seraya meraihnya kemudian memakan satu potong pizza itu. Lidahku seolah terselamatkan dengan rasa keju mozzarella yang enak. Para staff mengambil sepotong demi sepotong pizza, ada juga yang menuangkan minuman. Raut wajah mereka benar-benar tampak bahagia dan sangat menikmati.

Aku menoleh ke belakang, mataku tak menangkap sosok pria yang beberapa saat lalu menyelamatkanku dari setengah lebih jus pare. Aku mendongak beberapa kali ke segala arah untuk mencarinya. Namun, pria itu tidak ada di ruangan ini lagi. Aku mengangkat bahu mencoba tidak peduli dan kembali menikmati potongan pizza bersama para staff.

***


"Boleh bunda masuk?" Aku mendongak di pintu kamar Alisa.

Gadis itu sedang membaca buku di atas tempat tidur, Alisa melepas kaca mata yang dipakai, kemudian mengangguk mengizinkanku untuk masuk ke kamarnya. Aku langsung membuka pintu dengan lebar, lalu berjalan kearahnya.

"Mau bunda bacain dongeng?"

"Tentang?"

"Emm, apa yang belum pernah Alisa baca?"

"Semua dongeng sudah Alisa baca."

"Yaah..." Aku berpura-pura menunjukkan ekspresi kecewa, "kalau begitu bunda boleh bercerita tentang hal lain?"

Tidak menunggu lama sampai kepala Alisa mengganguk setuju ingin mendengar cerita dariku sebelum tidur. Aku pun langsung membuka selimut Alisa kemudian duduk di dekat gadis itu.

"Apa ini, Bunda?" Alisa menunjuk sesuatu yang aku bawa.

"Ini adalah album kenangan. Kau ingin melihatnya?"

"Em." Alisa tanpa antusias.

Aku membuka halaman pertama, foto barisan anak kecil yang bertopi bundar berseragam, "Yang ini adalah bunda waktu kelulusan Taman Kanak-kanak, dan ini semua teman-teman bunda."

Aku membuka halaman berikutnya, foto kelulusan Sekolah Dasar, "Ini bunda waktu kelulusan kelas enam dan ini semua teman-teman bunda."

Lalu, aku kembali membuka halaman berikutnya dan menujukkan foto kelulusan Sekolah Menengah Pertama hingga foto kelulusan Sekolah Menengah Atas dan menunjukkan fotoku bersama teman-temanku.

"Kenapa Bunda selalu menyebut teman-teman bunda?"

"Karena mereka semua memang teman bunda. Bahkan, sampai sekarang ada teman TK bunda yang masih bersahabat akrab dengan bunda."

"Perempuan di kedai itu?"

"Yap, dia sahabat bunda dari TK, namanya Tante Nania. Kapan-kapan bunda kenalin ya?" kataku dan Alisa mengangguk.

Setiap kelulusan aku selalu meminta ayah untuk mengambil fotoku dan satu persatu temanku. Semua dari TK sampai SMA. Album kenangan ini penuh dengan foto-foto masa sekolahku.

"Apa sekolah Bunda menyenangkan?"

"Menyenangkan sekali," jawabku antusias, "bunda punya teman buanyak sekali. Meski sekolah bunda bukan sekolah mahal, tetapi kami menikmati masa-masa sekolah. Karena masa-masa itu tidak bisa terulang kembali."

Alisa terlihat murung, aku tau dia pasti teringat kejadian bullying yang dia alami beberapa waktu lalu. Dan kudengar bahwa dia juga dikucilkan karena sudah membuat perundung Alisa dikeluarkan dari sekolah.

"Alisa tau, apa hal yang menyenangkan saat jam kosong di sekolah?"

Alisa mendongak menatapku, "Apa?"

"Kita bermain gobak sodor di lapangan, walau terik itu sangat menyenangkan. Ada kalanya kita bermain drama cerita rakyat, dulu bunda sering memerankan karakter antagonis, seperti bawang merah, trus Dewi Ajeng, Calon Arang, pernah juga jadi Malin kundang."

Alisa terkekeh, "Memangnya Malin kundang ada yang perempuan ya?"

"Ada, di sekolahanya bunda,"selorohku. Alisa kembali terkikik.

"Lalu apalagi yang menyenangkan?"

"Di SMP dan SMA, waktu jam kosong akan ada siswa yang mengadakan konser dadakan. Memakai sapu dijadikan mikrofon dan bernyanyi di depan kelas. Satu kelas ikut bernyanyi seperti konser betulan. Lain waktu, bunda dan teman-teman bunda akan memutar film di proyektor dan menonton bersama seperti di bioskop."

"Terdengar menyenangkan."

"Sudah bunda bilang, kalau masa-masa sekolah bunda adalah masa-masa yang menyenangkan karena bunda melewatinya bersama teman-teman bunda," kataku, kemudian aku memeluk Alisa dengan tangan kananku, "di sekolah bunda tidak mengenal kasta, tidak mengenal siapa orang tuamu, apa pekerjaan orangtuamu, kau memakai barang berbranded atau tidak? Kita hanya bersaing di mata pelajaran, bukan di kehidupan sosial."

Meski samar, aku tau jika di sudut matanya itu ada bendungan bulir bening yang akan tumpah. Ujung hidungnya juga terlihat memerah.

"Tante Nania sebenarnya dari keluarga yang mampu, tetapi dia tidak malu bersahabat dengan bunda yang orang tuanya jualan di kedai. Bahkan, Tante Nania memutuskan untuk hidup mandiri dan memilih bekerja paruh waktu di kedainya bunda. Itu karena pertemanan tidak memandang siapa dirimu. Kalau kau baik, kau juga akan mendapatkan teman yang baik."

"Jadi, bunda berharap Alisa bisa menikmati masa-masa sekolah Alisa dengan menyenangkan bersama teman-teman Alisa."

Alisa mengangguk kecil, aku paham sekali pasti sulit baginya untuk membangun persahabatan di lingkungan dia berada saat ini. Tetapi aku tidak akan berhenti terus menyemangatinya, selagi waktuku masih ada.

"Sabella?"

Aku dan Alisa kompak menoleh ke sumber suara, di pintu berdiri Pak Shaka dengan muka khasnya, jutek dan jelek! Haish, pria menyebalkan itu pasti akan merusak momen bahagiaku lagi.

"Ya?"

"Bisa bicara sebentar?"

Aku menoleh ke Alisa sebentar, gadis itu sepertinya juga terkejut dengan kedatangan papanya yang tiba-tiba. Aku kembali menoleh kearah duda gila sembari mengangguk.

"Tunggu sebentar, ya, Alisa?" Aku beranjak dari tempat tidur Alisa lalu berjalan kearah pintu. Pak Shaka berjalan menjauhi pintu dan melangkah ke tangga, dia naik dan aku mengikutinya.

Dia berhenti di sekat ruangan yang terletak tepat di depan ruang baca, Pak Shaka memutar tubuh begitu aku sampai di dekat posisinya.

"Ada apa?" tanyaku.

Pak Shaka tidak lantas menjawab, dia menatapku dengan serius, seperti ada pancaran amarah di bola matanya. Atau aku saja yang terlalu berlebihan.

"Katakan..."

Aku mengerutkan kening, heran, "katakan apa?"

"Katakan di mana kau sembunyikan benda yang kau ambil dari kamarku?"

Sial! aku ketahuan!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro