Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Misi Menaklukkan Hati Alisa (2)

Rombongan Shabiru Mode pulang setelah keenam belas model yang dirawat di rumah sakit dinyatakan dalam kondisi stabil. Meski gagal tampil, keenam belas model tersebut tetap merasa bangga dan bahagia karena show sukses besar. Kecuali Fastelin yang tidak terima mimpinya gagal terwujud, dia memohon kepadaku jika ada show nanti untuk mengajaknya lagi. Aku tidak bisa berjanji karena kewenangan show mungkin bukan milikku lagi.

"Besok saya ke sini lagi untuk mengganti kasanya," kata perawat sambil membantuku memakai baju setelah perawatan luka di punggungku.

Aku mengangguk, "Terima kasih, ya."

Kini giliran dia yang mengangguk, "Omong-omong, Congratulation for the show, itu sangat menganggumkan."

Aku tersenyum lebar mendengar itu, "Thank you."

"Saya permisi, ya."

Aku mengangguk sembari merebahkan punggung ke tempat tidur, menatap langit kamar yang menampakan lukisan awan biru. Sangat indah, entah kenapa baru sekarang aku merasa terbiasa dan nyaman dengan tempat ini. Meski terkadang aku merindukan kamar yang sempit di rumahku yang dulu.

Setelah kontrak ini berakhir, aku akan membeli rumah itu. Tabunganku selama tiga bulan menjadi istri kontrak duda gila sudah banyak, mungkin tidak hanya membeli rumahku yang dulu, tetapi juga membeli apa yang pernah terlewat untukku, pendidikan desain. Aku masih ingin kuliah meski ya...sedikit terlambat. Ah lagian, tidak ada batasan usia untuk mengejar mimpi, kan?

Kurang tiga bulan lagi kontrak ini berakhir, tetapi aku belum bisa mendapatkan hati Alisa. Nyaris, karena sikap egoisku aku kehilangan kesempatan itu. Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan hatinya kembali? Bagaimana? Cara apa?

"Jadilah ibu untuk anakku, maukah kau jadi ibu untuk anakku?" perkataan duda gila saat pertama kali kita bertemu tiba-tiba muncul di benakku.

Kenapa? Apa maksudnya? Aku memejam, mencoba menemukan korelasi perkataan itu dengan situasi yang aku hadapi saat ini.

"I got it!" cetusku sembari membuka mata lebar. Aku mendapatkan ide cemerlang yang selama ini sering aku abaikan.

Untuk mendapatkan hati dan perhatian Alisa, aku harus melakukan apa yang seorang ibu lakukan. Memasak, membantunya mengerjakan PR, mengantarnya pergi ke sekolah, membacakan dongeng sebelum tidur. Intinya, aku menghidupkan istana dingin ini!

"Ohoo, Sabella, you are smart girl," pujiku pada diriku sendiri sambil tersenyum lebar, kesenengan.

"Aku rasa voicenote itu bukan membicarakanku, tetapi membicarakan dirimu sendiri."

Meski terkejut dengan kedatangan duda gila itu secara tiba-tiba di pintu kamarku, aku mencoba bersikap biasa saja. Aku tidak mau sampai dia tahu ekspresi mukaku yang penuh dengan rencana-rencana.

"Bisa tidak ketuk pintu dulu? Aku tahu ini rumahmu, tapi please jaga batasanmu dengan privasiku," cibirku tidak terima dengan sikap seenaknya sendiri.

Tok! Tok! Dia mengetuk pintu dua kali, aku memutar bola mata jengah. Benar-benar pria satu ini, tidak pernah gagal membuatku emosi.

"Ada apa?" tanyaku dengan nada ketus.

"Boleh aku masuk?"

Aku terkekeh sumbang, menertawakan izinnya padahal tadi dia melupakan etika itu. "Tetap di tempatmu, katakan apa urusanmu menemuiku? Aku mau beristirahat."

"Kalau lusa kau merasa sehat, pergilah ke kantor. Ada perayaan kecil-kecilan yang diadakan staff Shabiru Mode. Itu pun kalau kau mau datang," katanya.

Aku melirik Pak Shaka sebentar, pria itu menyenderkan bahu kanannya di palang pintu, satu tangannya masuk dalam kantong celana setelah jas-nya. Dia menatapku tanpa ada tatapan menindas seperti kemarin lalu. Perasaanku saja atau memang benar, sikap bossy pria itu menghilang.

"Tumben."

"Hm?" Dia menaikan satu alisnya.

"Tumben tidak memaksa."

Dia tertawa sebentar, "Aku hanya menepati kesepakatan yang kita buat. Jika show berhasil dan sukses, you can doing anything what you want. No more my rules. Remember?"

Ah, iya, benar juga. Merasa aneh saja, biasanya pria itu tanpa tedengaling memerintahku melakukan ini itu, bahkan mengatur penampilanku tanpa mau menerima penolakan.

"Show-mu menggegerkan dunia fashion. Kau langsung masuk daftar perempuan insipratif di dunia menurut Women's Choice. Shabiru mode juga langsung masuk nominasi Best Magazine, Best Designer, Best Fashion Show di Golden Fashion Award. Dan, kita menerima banyak tawaran kerja sama. Itu berkat kau."

Aku langsung menggeleng, "Berkat kerja keras kita semua," koreksiku.

"Ya. Kau benar."

Setelah itu sunyi, Pak Shaka masih di posisinya. Aku menarik selimut sembari berkata, "Kalau tidak ada yang dibicarakan, boleh saya beristirahat?" Usirku secara halus.

"Hm, beristirahatlah."

Aku melirik pria itu dan melihat tubuhnya berbalik sembari menarik pintu. Setelah pintu itu benar-benar tertutup, aku membuka selimut lalu turun dari tempat tidur. Ada beberapa hal yang harus kusiapkan untuk menaklukan hati Alisa.

"Oh, ya, kau-," suara itu terdengar bersamaan dengan suara pintu dibuka.

Kontan aku menghentikan langkahku, bak manekin yang terdiam di tempat. Sial!

"Cih," decihnya sambil tersenyum miring.

"Aku mau ke kamar mandi," sahutku beralibi, "ada apa lagi sih?"tanyaku dengan nada kesal.

"Untuk sementara jangan keluar sendirian selain bersamaku. Banyak wartawan yang memburumu."

"Oke. Sudah? Sana pergi!"

Dia terkekeh sumbang mungkin dia tidak menyangka bahwa dia bisa diusir di wilayahnya sendiri, meski ini kamarku dia punya hak lebih banyak. Tetapi, aku bukan perempuan yang mudah ditindas, apalagi oleh manusia sombong sejenisnya.

"Kau ingin melihatku mengompol di sini?" desakku meminta segera pergi.

Dia hanya tersenyum tipis sembari menutup pintu. Setelah memastikan dia menutup pintu, buru-buru aku menguncinya. Lalu bergerak menuju laci lemari, mengeluarkan 'dunia keduaku' yakni sketchbook, pensil, dan spidol. Sudah lama tidak memegang benda-benda ini, beberapa saat dunia keduaku teralihkan oleh kehadiran Alisa yang kini gadis itu menjadi bagian dari dunia keduaku.

Aku pernah mengatakan, kan, bahwa aku merencakan sesuatu dengan kerangka konsep, apa yang aku lakukan selanjutnya, plan A,B,C,D atau opsi-opsi dan sebesar apa risiko terburuk dan takaran keberhasilan rencana tersebut. Aku menulis itu semua di atas kertas sketchbook.

Hampir tiga jam aku menghabiskan waktu diatas meja dengan segala pemikiranku tentang menaklukan hati Alisa part dua, kali ini aku tidak boleh ceroboh, apalagi sampai dicampuri oleh duda gila itu. Rencana ini sudah matang, jangan sampai aku harus memilih opsi terakhir dan memilih risiko kegagalan yang lebih besar. Waktu tinggal tiga bulan, aku harus bekerja lebih keras lagi.

***

"Apa yang kau lakukan?"

Aku menoleh sebentar ke sumber suara sebelum kutuntaskan menuangkan air panas ke dalam cangkir yang berisi bubuk kopi yang baru saja kuhaluskan di mesin penggiling.

Aku membawa cangkir itu ke meja makan, meletakkan di depan kursi kepala keluarga. Di atas meja sudah tertata rapi menu makanan sup tulang iga, omelet, roti yang sudang siap santap, selai, satu gelas susu, satu gelas jus jeruk dan yang terakhir adalah kopi a cup of java sebagai pelengkap meja sarapan keluarga.

"Aku tanya, kau sedang apa?" dia mengulang pertanyaan karena aku tak kunjung memberi jawaban karena sibuk menyiapkan nasi diatas piring untuk sarapan.

"Duduklah," titahku sambil menarik kursi utama. Bukannya menurutiku, pria itu malah mengangkat satu alisnya.

"Apa maksudmu?"

"Mulai hari ini, kita harus sarapan bareng, juga makan malam bareng." Pernyataanku kontan membuat duda gila mengubah ekspresi wajahnya menjadi tidak enak.

"Kau lupa di surat-,"

"Bla-bla-bla, I know I know, jangan GR dulu. Aku melakukan ini untuk Alisa, bukan untukmu. So, setidaknya satu dua kali kau ikut sarapan bareng dengan kami."

"Kami?"

Aku mengangguk, "Aku dan Alisa."

Pak Shaka tersenyum kecut sambil meletakkan tasnya di meja di dekatnya, "Kau yakin dia akan mau?"

Aku menggeleng dan dia menyemburkan tawa sembari berjalan kearah meja makan, dia duduk di kursi utama.

"Setidaknya aku sudah berusaha," kataku sambil menyusulnya duduk di salah satu kursi di dekat kursi utama.

"Apa yang sedang kau inginkan dengan melakukan ini? Kau sendiri tau, kami sudah lama tidak pernah makan di meja makan ini."

"She need mom, right? This is mom's job. Memastikan anggota keluarganya makan dengan baik, salah satunya." Aku menoleh kearahnya, "Dia juga butuh perhatianmu. Perhatian dari keluarga lengkapnya. Kau juga harus berperan dalam proses kesembuhan Alisa."

Dia menatapku sambil tersenyum tipis, tidak lama kemudian duda gila itu mengulurkan tangannya mengambil piring yang sudah terisi nasi, "Oke, aku akan mengusahakannya."

Aku mengangguk sambil melempar senyum terima kasih kepadanya. Tidak menampik, jika aku merasa senang bisa berbaikan dengan pria gila ini. Meski sebenarnya aku tidak mengerti apa yang ada di dalam benaknya mengenai diriku, yang aku tau dia bisa menjadi monster dan angel dalam satu waktu.

"Kau yang memasaknya?"

"Hm, bagaimana rasanya?"

"Not bad," jawabnya bersamaan dengan sepatu gadis kecil yang aku tunggu terdengar menuruni tangga. Aku buru-buru berdiri, namun tangan Pak Shaka mencegahku, "tetap di tempatmu."

Aku memiringkan sedikit kepalaku, heran. Setelah melihat isyarat yang diberikan Pak Shaka membuatku paham bahwa dia tengah mengambil perannya sebagai ayah di meja makan ini.

"Alisa?" panggil Pak Shaka.

Gadis itu muncul bersama Bibi Mai, Alisa sudah rapi dengan seragam sekolahnya karena mulai hari ini dia mengambil kelas pagi.

"What are you doing, Papa?" seperti biasa, nada dan ekspresi wajah Alisa sama-sama datar.

"Breakfast," kata Pak Shaka, "sarapan yuk!"

"Ini pasti idenya, kan?" dia melirikku sinis. Dan Pak Shaka mengganguk.

Aku jadi berpikir bahwa duda gila ini sedang membantuku. Kalau dipikir-pikir memang benar, aku tidak perlu lagi mendatangi Alisa dan memaksanya untuk menerima pelayananku sebagai ibu tirinya. Hal itu akan semakin membuat gadis itu kesal.

Aku hanya perlu diam saja saat ini.

"Bilang padanya, Alisa tidak butuh ibu seperti dia. She so shady!"

Alisa memutar langkah dan pergi dari pintu ruang makan. Aku menghela napas, menerima penolakannya. Bukan hal yang mengejutkan karena aku tau risiko keberhasilannya minim sekali. Pak Shaka menoleh kearahku, dia tidak berkata apa-apa namun dari raut wajahnya dia seolah bertanya, bagaimana?

Aku melebarkan senyum, "Its okay, aku tau dia pasti menolak. Tapi aku tetap akan menyiapkan ini setiap pagi untuk sarapan dan setiap sore untuk makan malam."

Pak Shaka tidak merespon, dia hanya tersenyum tipis sembari menyambar cangkir kopi di dekat piringnya. Aku membereskan meja setelah menemani duda gila itu sarapan dan menghabiskan kopinya. Lucu sekali, kenapa harus aku menemaninya?

Pukul enam sore, Alisa pulang dari sekolah. Aku sudah menunggu di ruang tamu dan menyambutnya seperti apa yang pernah bunda lakukan padaku dulu.

"Anak mama sudah pulang! Bagaimana di sekolah? Menyenangkan? Apa ada cerita yang menarik hari ini?" kataku sambil mengusap lembut ujung kepala Alisa.

Gadis itu langsung menepis tanganku kasar, dengan raut wajah sinisnya, Alisa berkata, "Aku bukan anakmu!" Dia berlalu meninggalkanku di ruang tamu.

Aku menyusulnya ke kamar, dia sedang mengganti pakaiannya dibantu oleh Bibi Mai. Aku langsung mengambil alih peran Bibi Mai, namun yang dilakukan Alisa membuatku terhenyak sebentar. Dia mendorongku dan berteriak, "Don't touch me!"

"Pergi kau dari sini! Aku tidak mau melihat wajahmu!"

"Mama hanya ingin membantumu, Sayang."

"Mama? Who? You?" Dia berkacak pinggang, melebarkan bola matanya menatapku, "kau sendiri bilang, kau tidak mau menjadi mamaku!"

"Can you forgive me about that mistake, Alisa?"

"Mistake?" dia mengulangnya dengan nada tidak percaya, "dari awal kau hanya ingin uang papaku. Kau anggap itu mistake? Aku bukan anak kecil yang mudah kau bodohi!"

Anak ini sungguh, menguras stok sabarku. Namun aku mencoba untuk tetap menahan.

"Pergi aku bilaaaaang!" teriaknya.

Perlahan aku berdiri, sebelum pergi aku kembali mengelus ujung kepalanya, "Jangan lupa nanti makan malam, ya. Sekarang, beristirahatlah," kataku.

Dia kembali menepis tanganku dan membuang muka. Meski begitu aku masih melempar senyum kearahnya yang mungkin tidak pernah dia tau. Aku memutar langkah untuk pergi, namun langkahku kembali terhenti saat mendengar,

"Shady girl!" umpatnya.

Aku putar balik, menatap tajam kearahnya, "Kau bilang apa tadi?"

Alisa menatapku remeh, dia kembali membuka muka, tak acuh.

"Dengar ya Alisa, aku di sini adalah istri papamu-," terpotong.

"Istri bohongan," selanya.

Aku menahan rahangku yang kian mengeras, baru kali ini aku benar-benar diambang batas kesabaran, "Meski hanya istri bohongan, papamu menyuruhku untuk merawatmu, mendidikmu, menyayangimu hanya dalam waktu enam bulan. Bisakah kamu kerja sama selama tiga bulan mendatang?"

"Kau pikir aku bodoh?"

Aku menggeleng, tidak percaya dengan sikap bocah satu ini.

"Ya!" aku mengiyakan sarkasnya, "Bisa jadi."

Merasa tidak terima, dia mengangkat dagunya, "Siapa kau berani bicara seperti itu!"

"Aku istri papamu!"

"Kubilang kau cuma istri bohongaaan! Kau tidak berhak mengaturku!"

"Lalu siapa lagi yang akan mengaturmu? Ha? Papamu? Papamu sibuk bekerja, siapa lagi kalau bukan aku? Mamamu? Kau tau itu tidak mungkin, kan?"

"Jangan sebut apa pun tentang mamaku!"

"Why? Who she is sampai aku tidak boleh mengatakan apa pun tentangnya? Why? Ha?"

"Kubilang berhentilah bicara tentangnya!" teriaknya.

"Dia perempuan seperti apa? Katakan! Dia tidak bisa menjagamu, kan? Dia sudah lama pergi! Di sini hanya ada aku dan kamu, jadi berhentilah mengumpatiku!"

"Aaaaaaaa!!!" dia meneriakiku sambil menutup dua telinganya. Dia benar-benar mengamuk. Bibi Mai mencoba mendekatinya, tetapi aku perintahkan untuk menjauh. Meski dia ragu namun dia patuh, aku memberi isyarat bahwa aku yang akan bertanggung jawab.

Alisa melempariku dengan tasnya, bantal, dengan benda apa pun yang ada di dekatnya. Aku hanya berdiri dan menangkis seperlunya saja. Bahkan aku berkacak pinggang di depannya yang terus saja berteriak. Aku memang istri kontrak papanya, tetapi papanya memberiku wewenang penuh untuk mendidiknya.

"Aku juga tidak mau dilahirkan oleh ibu sepertinya! Dia perempuan jahat!"

Meski terkejut, hatiku tersenyum. I got it!

"Dia perempuan gila! Aku benci padanya!"

Aku langsung berlari kearah Alisa, lalu memeluk gadis kecil itu. Meski berontak, namun aku terus memeluknya erat. Aku tidak ingin dia terlalu jauh membuka luka dalam keadaan seperti ini.

"Dia perempuan gila! Dia jahat, dia memilih menjadi perempuan gila daripada menjadi mamaku! Aku membencinya!!!"

"Its okay, its okay. Cukup, Alisa, cukup." Aku mendekap kepalanya, dia menangis berteriak dalam pelukanku.

Pada detik ini aku tau, trauma itu berasal dari perlakuan ibunya yang tidak menyenangkan, dia membawa kejadian itu sebagai mimpi buruk setiap malam yang tak pernah hilang dan pergi. Aku berpikir bahwa yang salah di sini bukan Alisa, tetapi duda gila itu.

Alisa tidak membutuhkan ibu, melainkan ahli kejiwaan. Jiwanya sangat terguncang, dia masih belum bisa berdamai dengan keadaan dan masalalunya. Masa lalu itu menjadi penghalang untuk mengukir senyum dan tawa di wajahnya.

Aku terus memeluk Alisa di lantai yang dingin sampai dia tertidur, kemudian aku membawanya ke tempat tidur. Sebelum pergi, aku mengecup keningnya dan berbisik, "Bbidi-bodibbi-boo, nightmare nightmare go away from my little princess."

***


terjemah

"Kau bisa melakukan apa pun apa yang inginkan. Tidak ada lagi aturanku, ingatkah?"

"Bisakah kau maafkan aku tentang kesalahan itu, Alisa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro