Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Roma, hari pertama.

[Selamat sore, dengan saya pilot Private Jet Shabiru Air ingin memberitahu bahwa pesawat sudah berada di langit kota Roma, sepuluh menit lagi pesawat akan melakukan landing di Leonardo Da Vinci Airport, perbedaan waktu dengan Jakarta 6 jam, di mohon untuk para penumpang mengenakan sabuk pengaman dan berada di kursi masing-masing. Terima kasih dan selamat datang di Roma, Italia.]

Aku menarik sabuk pengaman setelah mendengar pengumuman dari pilot, kemudian kembali menutup mata. Begitu melelahkan setelah hampir 17 jam perjalanan. Meski pesawat ini sangat nyaman, aku merasa tidak nyaman karena hanya ada aku dan Pak Shaka saja.

Dia berada di kursi belakang, sedangkan aku memilih di kursi depan. Kami saling diam, tidak bertegur sapa sejak hari itu. Pramugari dan perawat berada di ruangan lain, mereka hanya datang saat kami memanggil. Setelah roda pesawat berhenti, pramugari membuka pintu. Aku membuka sabuk pengaman lalu berdiri, bersamaan dengan itu Pak Shaka berjalan melewatiku. Sikapnya benar-benar dingin.

Keluar dari bandara, kami menuju ke hotel. Di mobil pun kami tetap saling diam, aku mengedarkan pandangan ke luar jendela sedangkan dia sibuk dengan pekerjaannya. Seharusnya hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagiku, namun aku merasa tidak begitu bahagia.

Begitu sampai di hotel, ternyata Pak Shaka memesan satu kamar, mungkin karena tak ingin dicurigai. Sesampainya di dalam kamar, dia melanjutkan pekerjaan di atas meja, sedangkan aku memilih untuk beristirahat. Merebahkan tubuh dengan sesekali menatap punggungnya.

"Apa kau tidak lelah? Selama perjalanan kau berkutat dengan laptop, sekarang kau juga sibuk dengan benda itu lagi. Istirahatlah, fisikmu butuh itu."

Kalimat itu hanya terucap dalam hati tanpa bisa keluar dari lisan. Bukan karena aku membencinya, aku tidak peduli padanya. Aku masih punya rasa empati untuk manusia-manusia pekerja keras sepertinya.

•••.

Aku membuka mata saat seseorang membangunkanku, aku melirik jam di dinding, pukul 10 malam waktu Roma, aku langsung menarik tubuh karena melewatkan gladi resik show.

"Nyonya mau ke mana?"

Aku baru sadar ada seseorang di samping bed-ku. Dia perawat Dokter Hasita yang ditugaskan untuk mengawasiku selama di Roma.

"Ke tempat gladi resik." Aku turun dari tempat tidur kemudian berjalan kearah kamar mandi untuk mencuci muka, "ehm, Suster...," Aku menghentikan langkah di depan pintu kamar mandi, "apakah Suster tau kapan perginya suamiku?"

"Pak Shaka pergi setelah makan malam, beliau menitip pesan kepada saya untuk membangunkan Nyonya karena Nyonya belum makan malam karena tadi sore Nyonya tidak mau dibangunkan."

"Aku tidak mau dibangunkan? Siapa yang membangunkan?"

Perawat itu tersenyum, "Tentu suami Nyonya, beliau sendiri bilang."

Jelas bohong, aku sama sekali tak merasa dibangunkan. Dia sengaja meninggalkanku.

"Begitu, ya?"

Perawat itu mengangguk, kemudian aku kembali melanjutkan niatku untuk masuk ke kamar mandi, mencuci muka. Di depan cermin, aku menatap diri sembari menghela napas lelah.

"Its okay, Sabella. Keep calm, jangan pedulikan duda gila itu. Kamu harus fokus sama Show, tidak ada yang lain, kamu pasti bisa!" monologku. Aku kembali menarik napas panjang, kemudian memutar keran lalu mencuci muka. Meskipun begitu, hatiku masih terasa berat. Sangat berat.

"Suster, apa Suster tau di mana lokasi show? Mungkin mereka belum selesai gladi resik, aku mau ke sana," kataku setelah keluar dari kamar mandi, berjalan menuju lemari untuk memilih baju.

"Tidak perlu."

Jawaban itu menghentikan tanganku memilah baju, Pak Shaka sudah datang. Aku mengurungkan niat untuk mengganti baju, hanya menarik syal merah.

"Kau sudah datang?" tanyaku sembari menutup pintu lemari.

Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara meletakan tas dan jas. Kemudian aku meliriknya yang sedang melepas kancing lengan kemeja.

Aku merasa tidak digubris, seolah dia tengah balas dendam karena beberapa waktu lalu kami terlibat perdebatan. Lucu, seharusnya kita tidak perlu seperti ini karena tidak ada hubungan istimewa di antara kita. Mungkin Pak Shaka masih marah karena sikapku yang sempat egois dan ingin meninggalkan putrinya. Bahkan, permintaan maaf sama sekali tidak mampu membuatnya bersikap seperti semula.

Oke, jika itu yang dia inginkan. Toh, seharusnya aku mengemis bukan kepadanya. Aku memutuskan untuk pergi, melingkarkan syal di leher kemudian meraih tas yang berada tak jauh dari posisinya.

"Mau ke mana?"

"Keluar," jawabku singkat sembari melangkah menuju pintu.

"Kau sudah makan?"

Brak! Aku membanting pintu tidak menjawab pertanyaannya.

***

"Gladi berjalan dengan lancar, kok. Para model tampak bersemangat, apalagi dua saudari tirimu itu."

Aku terkekeh, "Melegakan sekali."

Karena aku tidak tau harus ke mana, aku memilih duduk di lobi. Lobi hotel sangat luas dengan banyak sofa dan meja, aku duduk di sofa yang menghadap ke jendela besar yang menampakan lalu lalang jalanan Roma, sudah malam tetapi tamu semakin ramai berdatangan.

"Jangan khawatir, aku yakin besok akan berjalan dengan sukses."

"Hm, aku harap seperti itu," jawabku, jeda beberapa detik aku berkata, "apa Pak Shaka ada di sana tadi?"

"Iya, tetapi hanya sebentar. Dia pergi ke Milan untuk meeting dengan klien."

"Haish, apakah dia robot? Di pesawat dia kerja, sampai di hotel bukannya istirahat dia malah membuka laptop, setelah perjalanan 17 jam nonstop dia terbang lagi buat kerja! Haish, aku tidak mengerti apakah pekerjaan CEO sesibuk itu?"

David tertawa, "Are you worried about him?"

Aku tersentak mendengarnya, "Kau gila ya? Buat apa aku mengkhawatirkannya? Apakah nadaku terdengar seolah mengkhawatirkannya? Hahaha," aku tertawa sumbang, "tidak, jelas sekali tidak."

"Semakin menyangkal, semakin kentara sekali kalau kau memang mengkhawatirkannya."

"Kau ingin mati ya? Cepat beritahu hotelmu di mana, aku akan membunuhmu sekarang juga!"

David terdengar tertawa sangat keras, pria itu sudah tidak waras, sama tidak warasnya dengan bosnya.

"Haish! Menyebalkan!" Aku memutuskan untuk menutup sambungan karena hanya mendengar mulutnya tertawa puas.

Aku meletakkan ponsel ke meja, mendengus kesal. Setelah itu aku terdiam sembari menatap lalu lalang orang-orang bule keluar masuk hotel. Mereka tampak bergembira, jelas berbeda dengan situasiku di sini. Andai ada Nania, aku tidak akan merasa buruk sekali hari ini.

Kling!

Sebuah pesan masuk ke ponselku.

From: Duda Gila
Kau di mana?

"Nggak paham, nggak paham. Nih orang nggak waras," kataku sambil melempar ponsel ke meja lagi.

Beberapa detik kemudian aku meraih ponsel kembali, membuka pesannya. Jempolku mengetuk fitur voice note, "Di mana aja kek bukan urusanmu, nggak usah kepo, udahlah tidur sana kerja mulu kek kuda lu, Om. Lagian ngapain cari-cari sih, toh aku dianggap patung kalo ada. Udahlah, tidur aja sono! Nggak usah sok perhatian tanya-tanya aku sudah makan apa belum, aku belum makan tapi udah kenyang sama muka jutekmu! Cih! Dasar duda gila!" Aku meluapkan emosiku untuk hari ini, sebatas meluapkan tetapi tidak untuk mengutarakan.

Setelah voice note itu merekam, aku mengusap ke kiri untuk menghapusnya kemudian sedikit melempar ponsel itu ke meja.

"Seharusnya aku memikirkan sikap Alisa yang jutek, bukan malah frustasi sendiri karena sikap jutek bapaknya. Haish." Aku merebahkan punggung di sandaran sofa, "menyebalkan."

Kling!

Terdengar pesan kembali masuk, aku melirik notifikasi.

From: Duda Gila
Oh, oke.

"Ha? Oke?" Aku menarik punggungku untuk meraih ponsel, kenapa Pak Shaka mengirimiku pesan begini. Aku mengetuk notifikasi darinya.

"Sial!" umpatku sambil berdiri, aku memperjelas pandangan ke layar ponsel.

KENAPA VOICE NOTE ITU TERKIRIM!?

"Aaaaaaaakh!" Aku memekik, kesal. Sampai-sampai semua orang yang berada di lobI melihat kearahku.

"Sial! Sial! Sial!" umpatku tidak percaya dengan apa yang saat ini terjadi.

"Miss, are you okay? Why are you screaming?" Karyawan hotel datang menanyaiku.

"Oh, so—sorry, i'm okay, i'm sorry." Aku meraih tas kemudian beranjak pergi karena malu. Aku keluar dari pintu utama hotel berjalan ke teras paling ujung.

"Gimana ini! Astaga, aku sudah gila! Kenapa voice notenya terkirim sih!? kayaknya tadi sudah jelas-jelas kehapus!"

Bagaimana aku akan menghadapinya? Sabella, kau semakin membuat keadaan seperti neraka!?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro