23. See Your Heart
Sekali pun sedetik, pernahkah kalian berpikir bahwa hidup hanya ada dua fase; pertama sedih lalu bahagia, kedua bahagia lalu sedih. Dua bulan yang lalu aku hanyalah Cinderella sengsara karena hidup dalam tekanan batin yang selalu mendera. Kemudian Pangeran bermata elang dengan jabatan Presdir, datang menawarkan sebuah kebahagiaan.
Aku menerimanya, lalu aku menikmati bahagia yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Tinggal di istana, menaiki kereta besi ke mana-mana, makan dan minum yang enak, dan pergi ke tempat di mana kasta tertinggi berada. Namun, kemarin aku merasakan ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan yang membuatku sedih.
Aku berpikir bahwa hidup kalau tidak bahagia ya sedih, kalau tidak sedih sudah pasti bahagia. Adakah fase di antara sedih dan bahagia? Katakan, aku ingin berada di fase itu. Karena setiap aku merasa bahagia, aku dicemaskan oleh kekhawatiran akan datangnya sebuah kesedihan.
"Beruntung peluru tidak sampai menembus organ dalam, nyaris, sedikit saja. Saya pastikan luka benar-benar kering setelah enam Minggu," kata Dokter Hasita, dokter pribadi keluarga Adhitama Jaya. Dokter blasteran itu yang mengurusku selama hampir dua Minggu ini.
"Apakah lusa saya bisa bepergian ke luar negeri, Dok?" tanyaku karena masih memikirkan show yang akan diadakan lusa.
Dokter Hasita tampak berpikir, beberapa detik kemudian dia terlihat telah menemukan keputusan, "Boleh, tetapi harus ada perawat pendamping karena kemungkinan untuk pendarahan masih bisa terjadi."
Aku bernapas lega, show itu adalah bagian dari mimpiku untuk menyuarakan hati perempuan-perempuan di luaran sana yang masih merasa insecure terhadap dirinya sendiri. Aku ingin membuka mata dunia tentang standart kecantikan yang sesungguhnya dan aku berharap penuh jika show itu benar-benar sukses dan membantu jutaan perempuan untuk membangkitkan kepercayaan dirinya.
"Nanti sore perawat akan melakukan rawat luka, jangan lupa obatnya di minum teratur, ya."
Aku mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi dulu, lekas membaik."
"Terima kasih, Dok."
Dokter Hasita berjalan keluar kamar. Setelah kulihat pintu benar-benar tertutup, aku meraih ponsel. Tidak ada satu pun pesan dari kontak Duda Gila. Sejak hari itu, hari di mana aku mengatakan bahwa akan mempertimbangkan untuk membatalkan perjanjian kontrak pernikahan. Dia menghilang dan lumayan menganggu pikiranku. Ke mana duda gila itu selama hampir dua Minggu ini?
Setelah memastikan tidak ada notif darinya, aku meletakkan kembali ponsel di nakas. Bersamaan dengan itu mataku kembali menangkap bunga di vas yang terletak di atas nakas. Setiap harinya bunga itu berganti dan hari ini bunga mawar putih yang sebelumnya bunga sedap malam.
Aku menanyakan hal itu kepada pelayan yang stand by di depan kamarku selama aku dirawat, tetapi mereka menjawab tidak tahu. Aku tau kalau mereka berbohong, loyalitas mereka terhadap Pak Shaka tak diragukan lagi. Apakah bunga ini dari duda gila? Aku benar-benar penasaran sampai membuatku merasa terganggu dengan rasa penasaran itu.
Aku menarik selimut yang menutupi kakiku, kemudian dengan perlahan aku menurunkan kaki lalu berjalan kearah meja rias, sembari menghubungi Nania. Selama ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, aku merasa bosan. Apalagi, aku harus bisa menemukan buku diary Kim yang hilang di kamar Alisa.
Beruntung sampai sekarang duda gila itu tidak menyadari kalau buku itu tidak ada di tempatnya. Aku hanya takut jika buku itu ditemukan oleh Alisa. Aku berharap, jangan ada yang menemukan sebelum aku yang menemukan. Aku mengambil ponsel kemudian mengetik sebuah pesan untuk Nania, tidak lama setelah pesan itu terkirim, Nania menelponku.
"Kau yakin mau ke kedai?"
"Hm." Aku memungut lipbalm, kemudian mengoleskan ujung benda itu di permukaan bibirku, "Pak Shaka bilang sudah aman, aku tidak perlu khawatir lagi. Lagipula aku ditemani beberapa bodyguard."
"Tetap saja, aku yang khawatir, Bel"
Aku meletakkan lipbalm itu ditempat semula lalu mendekat wajah ke depan cermin. Setelah dipastikan lipbalm itu menempel sempurna, aku berdiri.
"Aku rindu ayah dan Bunda, satu-satunya tempat yang bisa aku kunjungi adalah kedai. Kamu jangan khawatir, Nan, aku sangat dikawal ketat, nyebelin sih, tetapi untuk saat ini hal itu yang membuatku sedikit merasa aman."
Kakiku berjalan menuju sofa, memunggut tas dan jaket yang akan ku kenakan hari ini. Juga, masker dan topi, aku tidak mau diburu wartawan di jalan karena menampakan diri kali pertama setelah insiden penembakan. Ah, jika diingat seberapa hebohnya berita itu sampai muak melihat wajahku selalu menjadi headline news di berita-berita gossip.
"Aku lega kalau kamu sudah merasa aman, Bel."
"Apakah di kedai ramai pengunjung?"
"Lumayan, tapi tenang saja aku akan sediakan satu tempat khusus untukmu."
"Hey, jangan. Aku mau bantu kamu di belakang counter. Aku rindu menggiling kopi, menghirup bubuk dan meraciknya."
Aku mendengar kekehan tawa Nania, "Kamu sudah gila? Kamu akan menjadi pusat sorotan, wajahmu akan terpampang lagi di akun gossip."
"Entalah, aku sudah mulai terbiasa sekarang."
"Iya iya, artis baru."
"Apa kamu bilang!?"
"Aku tunggu di kedai! Daah."
"Hey!" Nania menutup sambungan sepihak, "gadis ini benar-benar,"ocehku sambil memasukan ponsel di tas.
Aku memutar kenop pintu lalu menariknya, aku terkejut sampai harus memundurkan kaki satu langkah ketika melihat Pak Shaka berdiri di depan pintu kamarku.
Lucu, sejak kejadian itu kenapa kami seolah memutus jarak? Aku sendiri juga masih bingung kenapa begitu kesal kepada Pak Shaka mengenai apa yang terjadi padaku meskipun dia sudah meminta maaf. Itu pun bukan sepenuhnya salahnya.
"Kau masih belum pulih total,"katanya.
"Lalu?"
"Sebaiknya jangan ke mana-mana."
Aku berdecih, "Kau selalu seperti itu, suka sekali mengatur orang."
"Aku tidak mengatur, aku hanya memberi saran. Kalau kau tidak mau dengar, silakan, terserah."
Aku menatapnya heran, aku benar-benar tidak mengerti dengan pria ini. Selama hampir dua Minggu menghilang tanpa satu kali pun menanyakan keadaan dan kabarku, sekarang tiba-tiba datang dan sok perhatian. Jujur, aku muak dengan pria sejenis dia. Tak ingin menggubris, aku memilih memasang topi lalu berniat mengenakan jaket.
"Arrgh!" rintihku ketika mengangkat tangan kanan untuk memasang jaket. Aku tidak bisa mengangkat atau meluruskan lenganku ke arah samping kanan, luka bekas peluru itu masih terasa nyeri. Dokter bilang peluru itu meretakkan tulang belikatku.
Aku mencoba memakainya lagi, namun tetap saja aku tidak bisa, "Argh!"keluhku saat mencoba meluruskan lengan kearah samping.
Aku pun mengurungkan niat untuk memakai jaket tersebut, lagipula udara terasa panas meski di luar sana mendung. Aku memutar langkah untuk mengembalikan jaket ke dalam kamar, namun langkahku terhenti saat melihat Pak Shaka tiba-tiba merebut jaketku.
"Putar balik!"
"Hm?"
"Ck," dia berdecak kesal, tanpa menanyakan izinku, duda gila itu memakaikanku jaket. Kami saling berhadapan karena perintahnya untuk memutar balik kutanggapi dengan ekspresi tidak paham. "Di luar mau hujan, kau harus pakai jaket."
Aku merasakan deguban jantung abnormal sembari menatap dada bidang Pak Shaka yang terbalut kemeja putih. Mendadak aku terpaku, menurut saja saat dia memakaikan jaketku dengan pelan-pelan.
Tuhan, bau parfumnya! Kenapa kita dekat sekali!?
"Apa kau yakin mau berpergian?"
Aku masih terdiam, karena masih tidak percaya dengan apa yang barusan Pak Shaka lakukan. Please, hati, kamu jangan pernah salah paham!
"Aku mau ke kedai," jawabku datar sambil menarik langkah untuk kembali berjalan, "makasih." Sebagai ucapan terima kasih sudah membantuku mengenakan jaket.
"Bella," Pak Shaka mencegat dengan menggapai lengan kananku, "aku tidak mengerti, kenapa kau seolah terus menghakimiku padahal itu sudah jelas bukan salahku?"
Aku melempar pandangan tidak mengerti, detik berikutnya aku baru paham apa maksudnya, "Ini semua karenamu yang tidak berpikir dua kali melaporkan perundung Alisa. Jika hal sepele ini bisa membuatmu punya musuh, apalagi hal yang tidak sepele?"
"Itu bukan hal sepele, mental Alisa sedang tidak stabil. Perundungan itu jelas menambah beban mentalnya. Kupikir kau tau itu." Dia terlihat tidak suka dengan kalimatku.
"Pasti ada jalan tengahnya, Pak Shaka. Bukan seperti itu."
"Cukup." Pak Shaka terlihat benar-benar tidak menyukai pendapatku, "Kupikir kau paham tentang hal itu. Ternyata sama sekali tidak. Lebih memilih aku yang terluka, daripada anakku. Bukankah prinsip semua orang tua seperti itu? Terlihat jelas kalau kau egois, tidak siap menjadi orang tua."
Aku baru sadar tentang hal itu. Ternyata aku terlalu egois, hanya karena ingin mementingkan diri sendiri aku melupakan perasaan gadis itu. Padahal aku sendiri yang sudah berjanji akan menolongnya dari mimpi buruknya, tetapi ini menjadi rumit karena kejadian tempo hari.
Pak Shaka meninggalkanku tanpa kata tambahan lagi. Aku berdiri mematung mencoba mengobrak-abrik nurani yang sempat menghilang karena sebuah rasa keegoisan. Perlahan aku memutar tubuh, menatap punggung pria itu. Mungkinkah dia kecewa telah memilihku menjadi ibu sambung putrinya?
Tanpa alasan yang jelas, aku merasa teramat menyesal.
***
"Apa dia bilang? Tidak siap menjadi orang tua? Cih, menyebalkan. Benar, aku memang tidak siap menjadi orang tua. Kenapa dia memilihku? Seharusnya dia memilih tante-tante anak tiga. Haish!"
Aku mengurungkan niat untuk pergi ke kedai karena moodku yang berantakan karena perkataan Pak Shaka beberapa menit yang lalu. Saat ini aku duduk di sofa kamar, menyalakan televisi. Tidak ada saluran yang menarik, aku hanya menggulir-gulir dari saluran 1-260. Dasar kurang kerjaan!
"Haish, menyebalkan!" Aku mematikan televisi, kemudian beranjak menuju jendela untuk melihat hamparan rumput peternakan, tampak kuda-kuda sedang berlarian di sana. Daripada gabut, aku berinisiatif untuk menengok peternakan, selama ini aku hanya melihatnya dari sini. Aku penasaran, ada ternak apa saja di sana.
Begitu beranjak, aku mendengar pintu diketuk. Aku pun berjalan ke sana dan membukanya.
"Bibi Mai?"
"Nyonya sudah baikan?"
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, "Ada apa, Bi?"
"Ini, anu, Nyonya," Bibi Mai menyodoriku bunga mawar segar yang kemungkinan baru saja dipetik.
"Oh, jadi selama ini Bibi Mai yang selalu menaruh bunga di kamar?" tanyaku sembari meraih sebuket bunga mawar merah itu.
Bibi Mai tersenyum, "Bunga-bunga itu dipetik dari rumah kaca."
"Rumah kaca? Bukankah Alisa selalu melarang--," kalimatku terpotong ketika menyadari sesuatu, "Apa bunga-bunga ini Alisa yang memetik?"
Bibi Mai tersenyum kemudian mengangguk.
"Buatku? Dia yang nyuruh?" tanyaku memperjelas. Dan Bibi Mai kembali tersenyum sambil mengangguk.
Deg! Ingin rasanya teriak, berjingkrak, saking senangnya mendengar kabar membahagiakan ini. Namun, aku terlalu cengeng. Aku tidak bisa menahan air mata bahagia karena terharu. Akhirnya, Alisa mau membuka jalan untuk aku mendekatinya.
"Sekarang dia di mana?"
"Ada di teras belakang, Nyonya, tapi,..." Bibi Mai mencegahku melangkah, "perlahan ya, Nyonya, jangan dulu masuk ke dunianya. Pelan-pelan, saya takut dia kembali menarik diri karena rasa malu atau rasa ketidaknyamannya."
"Siap!" Aku paham maksud Bibi Mai, "Makasih, ya, Bi! Tolong taruh di kamar." Aku menyerahkan bunga itu kembali ke Bibi Mai, kemudian berjalan penuh rasa semangat ke teras belakang.
Ah, nyaris saja. Kalau aku menuruti rasa egoisku, aku benar-benar kehilangan kesempatan ini. Ada kalanya sesuatu yang baik akan bertemu dengan buruknya. Ada kalanya kalimat yang buruk akan berubah menjadi baik. Semua itu berproses, mungkin beberapa waktu lalu aku masih belum berpikiran dewasa, aku masih egois. Aku sadar, sejak kalimat akad pria itu ucap, aku resmi telah menjadi ibu meskipun itu hanya kontrak. Sejak saat itu, aku bertanggung jawab menjadi ibu yang baik untuk Alisa. Demi Tuhan, aku melakukan ini bukan karena perjanjian, namun aku memang benar-benar telah menyayanginya sebagai anak.
Aku menarik napas panjang saat melihat kursi roda Alisa di teras belakang, dia sedang memperhatikan papanya naik kuda. Kupikir duda gila itu sudah terbang ke antah berantah, ternyata masih di sini. Baru kali ini aku melihatnya berkuda. Haish, lupakan duda gila. Fokus ke Alisa!
Aku berjalan mendekati kursi roda Alisa, dia bersama dua babysitternya.
"Wah, ternyata papamu jago berkuda, ya?" Sebetulnya aku tidak tahu jago berkuda itu seperti bagaimana. Aku mencoba untuk berbasa-basi.
Alisa tidak menjawab, dua babysitter di belakang Alisa langsung mengambil langkah untuk pergi. Kini hanya ada kami berdua memperhatikan Pak Shaka berkuda.
"Bagaimana kakimu? Sudah baikan?" tanyaku sambil meliriknya, melihat bagaimana ekspresi gadis itu. Wajahnya datar, sepertinya dia fokus memperhatikan papanya.
"Hm. Kau?"
Aku membulatkan mulut, saking terkejutnya dia menjawab pertanyaanku dan menanyai balik keadaanku. Aku menarik napas panjang sejenak, kemudian mengembuskan pelan. Aku benar-benar harus berhati-hati memilih kalimat yang ingin kulontarkan kepadanya.
"I'm, I'm good. Lusa aku akan terbang ke Roma, apakah kau mau ikut?" tanyaku dan dia menggeleng.
"Kenapa?"
Dia tidak menjawab, entah apa yang membuatnya menolak ikut. Kupikir dia akan senang ikut ke sana. Bukankah dia sangat menyukai hal-hal yang mengenai Italia.
"Aku dengar kau akan membatalkan kontrak pernikahan dengan papaku?"
"Hm?" Darimana Alisa tau? Aku punya firasat buruk tentang hal ini. Haish, bodohnya aku pernah mengatakan itu. Jantungku berdebar, takut Alisa mengatakan sesuatu yang membuat hubungan kami kian rumit.
"Apa papamu yang bilang?"
"Bukan, aku mendengarnya sendiri."
Aku melumat bibirku, memejam sejenak sembari menarik napas panjang kemudian mengembuskan sedikit kasar. Aku menyesali pernah mengatakan hal itu meski sebenarnya itu bukan keputusan final.
"T-tapi waktu itu aku belum sadar, sekarang aku sepenuhnya paham. Aku tidak akan pernah mengajukan pembatalan kontrak lagi. Aku sudah berjanji akan membuatmu sembuh, Alisa."
"Aku tau menjadi istri papaku bukanlah hal yang mudah. Dia banyak musuhnya. Bahkan, keluarganya sendiri memusuhinya. Kau yakin ingin terus maju? Aku lebih menyarankan kau untuk mundur."
Aku menelan saliva ketika mendengar kalimat itu, Alisa menekan sesuatu di kursi rodanya. Roda berjalan meninggalkanku sendiri yang mematung di tempat. Beberapa detik aku terjebak pada harapan yang pupus. Namun, aku berbalik arah menyusulnya. Aku menghentikan laju kursi rodanya dan menatapnya lekat dan dekat.
"Aku yakin papamu memilihku karena sesuatu yang tidak aku tau. Dan aku yakin, perjanjian itu dia buat untukmu, bukan karena apa pun. Dan bagaimanapun itu pasti dengan tujuan baik," kataku, aku memberanikan diri untuk menatap semakin lekat dua manik matanya, "Dengar Alisa," ucapku, jeda beberapa detik, "aku benar-benar menyayangimu sebagai putriku. Aku tidak akan mundur, apa pun yang akan terjadi. Aku tidak akan mundur."
Untuk beberapa saat Alisa hanya menatapku, sampai akhirnya dia melontakan sebuah pertanyaan, "Bagaimana jika akhirnya kau jatuh cinta kepada papaku?"
Bersamaan dengan itu, Pak Shaka baru saja masuk dan berjalan mendekati kami. Aku meliriknya sembari menjawab, "Never, jangankan untuk jatuh cinta, untuk menyukainya saja, aku tidak punya alasan yang bagus."
Pak Shaka berdiri memasang ekspresi datar, aku kembali menatap Alisa. Meyakinkannya dengan tatapan bahwa perkataanku bisa dipegang olehnya. Dia tidak membalas kalimatku lagi dan memutuskan untuk beranjak.
Aku berdiri lega mengatakan hal itu. Pak Shaka masih berdiri di tempatnya menatapku dengan ekspresi datar. Tak mau terjadi perdebatan yang hanya membuang tenagaku, aku memilih meninggalkannya. Sudah kukatakan, tidak ada alasan yang bagus untuk jatuh cinta kepada duda gila itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro