Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Sebuah Rasa

Pak Shaka mencodongkan tubuhnya kearahku, sontak aku menghindar dan menahan tubuhnya dengan tas.

"Mau ngapain?!"

Masih dengan menatapku intens, duda gila itu terus memangkas jarak, membuat matanya semakin dekat dengan mataku.

"Jangan macem-macem! Bapak mau ngapain!?"teriakku sambil mencoba mendorong tubuhnya.

"Jangan gila ya!" Aku sudah melotot, tetapi dia memaksa untuk terus mendekat. Aku pun langsung memejamkan mata, jika dia berbuat sesuatu, aku akan menghajarnya. Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa bergerak karena tersudut.

Klek! Suara doorlock terbuka, beberapa detik kemudian terdengar suara kaca mobil turun. Perlahan aku membuka mata, wajah Pak Shaka benar tepat di depan mataku namun dia tidak menoleh kearahku namun kearah kaca mobil.

Dia juga menjulurkan tangan kanannya ke kaca mobil, perlahan aku mengikuti tangan itu dan tersadar aku sudah salah paham. Pak Shaka mengulurkan uang seratus ribuan ke pengemis.

"Makasih, Pak. Semoga Allah yang membalas," kata pengemis itu.

"Aamiin," kata Pak Shaka seraya menarik tubuhnya sambil melirik mengejekku.

Meski tengsin, aku berusaha untuk tetap santai. "Uhuk, uhuk," Aku pura-pura batuk. Bersamaan dengan terdengar kaca mobil tertutup otomatis.

Beberapa detik aku terselimuti hawa panas, padahal AC mobil sudah yang paling dingin. Aku mencoba menarik napas panjang kemudian mengembuskan pelan. Sambil menutup kaca mobil, aku melanjutkan pertanyaan yang belum duda gila itu jawab.

"Jadi, -ehem-apakah aku termasuk doamu?"

"Masih proses, entah itu doa yang membawa kebaikan atau keburukan."

Aku mengangkat punggung dari sandaran kursi, sedikit memiringkan tubuhku menghadapku ke arah Pak Shaka. "Keburukan? Hey, enak aja."

Pak Shaka melirik, "Sepertinya hubungan kalian sudah ada progress?"

Aku kembali ke posisi awal, bersandar di kursi mobil, "Iya, memang. Tetapi, aku masih merasa Alisa belum sepenuhnya membuka diri."

"Kau harus berusaha lebih keras lagi."

"Kau tau, waktu aku mengunjunginya ke sekolah sebelum insiden dia jatuh. Dia sempat mencurahkan segala apa yang dia takutkan kepadaku."

Pak Shaka tiba-tiba mengerem mendadak. Aku terkejut bukan main, jika tidak ada sabuk pengaman yang melingkar di tubuhku, mungkin kepalaku sudah terbentur dashboard mobil mahal ini.

"Hei! Kau gila ya?!" semprotku.

"Mencurahkan segala apa yang Alisa takutkan?" tanyanya memastikan.

"Bisakah kau jalan dulu! Ini jalan raya, kita bisa tertabrak dari belakang!" Aku panik.

Namun, Pak Shaka tak lantas menginjak pedalnya. Sebelum bunyi klakson panjang itu terdengar, barulah dia melajukan roda mobilnya perlahan.

"Tindakanmu tadi bahaya, kau tau! Jangan kau pikir nyawa dan pulsa itu sama, bisa diisi ulang. Kau ini, benar-benar mau mati konyol!?" Aku kesal bukan main. Mendampratnya habis-habisan.

"Alisa mengatakan apa kepadamu?" tanyanya dengan tanpa dosa, tidak punya niatan minta maaf, malah mengalihkan topik pembicaraan.

Masih dengan perasaan kesal, aku menjawab, "Dia mengira kalau aku menikahimu karena ingin hartamu, dia takut kalo suatu saat nanti aku akan merebut semua yang dia miliki, termasuk perhatianmu."

Pak Shaka hanya bergeming. Entah apa yang ada di pikirannya. Seperti ada sesuatu yang takut terbongkar.

"Tadi malem juga Alisa mengigau memanggil mamanya. Sebenarnya kenapa dengan hubungan mereka? Kenapa Alisa begitu marah besar?"

Pak Shaka masih diam.

"Aku yakin pasti ada sesuatu di masa lalu dan itu semua berhubungan dengan trauma Alisa. Aku merasa, mungkin hati dan pikirannya pernah terguncang. Melihat begitu parahnya dia mengamuk."

Dan, Pak Shaka masih bungkam.

"Apa kau-,"

"Jika kau berhasil meluluhkan hati Alisa, akan aku ceritakan semuanya kepadamu."

Aku mendengus kesal sembari merebahkan punggung ke sanggahan kursi, usahaku memancingnya untuk bercerita ternyata gagal.

"Oke, oke, don't worry. Tidak lama lagi, aku pasti bisa meluluhkan hati Alisa," ujarku percaya diri, "by the way, balik lagi ke Calista. Siapa yang memutuskan hubungan? Ini penting loh, bukan bermaksud melanggar pasal 5, hanya saja untuk wawasan ketika nanti aku berhadapan dengannya."

Pak Shaka menoleh, "Maksudnya?"

"Revenge," kataku sembari tersenyum penuh rencana.

***

Pak Shaka memberitahuku bahwa yang kali pertama memutuskan hubungan mereka adalah dirinya, Calista ketahuan selingkuh ditambah lagi dengan perlakuan tidak baiknya kepada Alisa. Nah, kalau begitu kan, aku bisa membalaskan dendamnya. Sebenarnya jika kita bisa berteman, aku pikir kita bisa menjadi partner yang baik untuk persoalan semacam ini.

Sesampainya di tempat acara, kami melewati sebuah karpet merah dengan di sisi kanan kiri kilatan cahaya kamera. Untuk sebuah acara pernikahan, aku pikir Calista bukan wanita dari kalangan biasa. Maksudku, Calista mungkin dari kalangan selebriti atau suaminya yang selebriti. Pak Shaka menolak untuk melayani wawancara salah satu wartawan, dia hanya tersenyum sembari terus menggandengku masuk ke dalam tempat acara.

Ballrom hotel bintang lima itu dihias dengan konsep modern dan glamour. Beberapa meja bundar ditata rapi dengan sebuah souvenir kotak berwarna silver, satu meja ada empat kursi dan semua kursi sudah terreservasi nama-nama undangan. Kebetulan dua nama undangan yang satu meja dengan kami belum datang. Pak Shaka mengajakku duduk dulu karena pengantin sedang melakukan sesi sambutan.

Jika dilihat dari jauh perempuan bergaun pengantin merah dengan mahkota berlian di kepalanya itu, terlihat cantik. Beberapa kali aku melirik Pak Shaka dengan senyuman mengejek, yang selalu diresponnya dengan picingan mata.

"Aku sangat bahagia pada hari ini karena telah resmi dipersunting oleh kekasihku yang sangat aku cintai. Kami membangun hubungan dengan segala rintangan, aku yang tak mudah jatuh kepadanya sangat terharu saat melihat kesungguhannya untuk menjadikan aku separuh jiwanya. Aku adalah wanita yang sangat beruntung. I love you, Baby," kata Calista sambil menatap suaminya yang benar sekali, dia adalah seorang aktor yang sering wira wiri di layar bioskop.

Suaminya pun membalas, "I love you too, my Queen."

Mereka ciuman! Sial!

Aku langsung mengalihkan pandangan kearah samping kiri, nahas sekali aku lupa ada siapa di samping kiriku. Pak Shaka menatapku dengan satu sudut bibirnya yang tertarik. Mengurangi rasa malu, aku mengangkat sedikit daguku, "Kenapa?" tanyaku dengan nada ketus.

Pak Shaka menarik punggungnya dan mendekat kearahku, "Kau yang kenapa?" tanyanya dengan wajah yang seolah tak bisa memyembunyikan ledakan tawa.

Aku tau dia pasti sedang mengejekku, "Tidak, tidak apa-apa."

"Kau menambah warna blush on- mu?"

Aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Kau tidak sedang teringat sesuatu, kan?"

"Teringat apa?!"

Pak Shaka kembali menyenderkan punggungnya di sanggahan kursi, "Sesuatu yang sama persis apa yang terjadi di panggung."

Aku tertawa, "Jangan melucu."

Tiba-tiba dia kembali mendekatkan wajahnya kearahku, "Be honest, did you have boyfriend before we got married?"---jujurlah, apa kamu pernah punya pacar sebelum kita menikah?

"Thats not your business!"---bukan urusanmu.

"Jadi aku yang pertama?"

"Can you stop talking about this?"--bisa kita nggak ngomongin ini?

"About what?" Pak Shaka terus memburuku dengan senyuman sialnya itu.

Jika bukan karena waiter datang membawa minuman, aku tak tahu lagi ke mana arah pembicaraan kami. Jujur, aku tak mau mengingat momen itu, meski ya benar apa yang dia katakan; ciuman waktu itu adalah ciuman pertamaku.

"Jadi gimana rasanya?" tanyanya tiba-tiba.

Aku meletakkan gelas di meja, kemudian menatapnya dengan tajam, "Bagus, teruskan saja! Besok pagi kau akan menjadi sampul majalah dengan judul, 'Istri Presdir Adhitama Jaya membuat kacau pernikahan mantan pacar suaminya.' mau?"

Pak Shaka mengerutkan dua alis tebalnya, "What do you mean? Aku cuma tanya gimana rasanya minuman yang barusan kau minum tadi. Minuman itu Arabic Sampanye, kau pernah menanyakan itu, kan?"

"Ha? Mi-minuman?"

Dia terkekeh, "Kau berpikir aku menanyaimu tentang hal lain ya?"

"Em-tidak, jangan sotoy."

"Bukan sotoy, tapi aku memang tahu."

"Maksudnya?"

Pak Shaka hanya tersenyum, lantas dia berdiri, "Ayo!"

"Ke mana?"

"Katamu kau akan membalaskan sesuatu, kan?"

Aku melirik sekitar, ternyata para undangam sudah berdiri bahkan sudah berjalan kearah panggung pengantin untuk memberikan ucapan selamat. Tersadar hal itu, aku lantas berdiri juga dan menyambut tangan hangat Pak Shaka.

Kami berjalan mengikuti barisan antrian. Tidak ada pembicaraan lanjut antara aku dan Pak Shaka, aku tidak tahu kenapa aku merasa sedikit canggung saat tak sengaja bahuku menyenggol bahunya. Bahkan, ketika dia menyuruhku untuk melingkarkan tangan di lengannya, aku tergugup sempat tak paham isyarat darinya.

Its not a feel, right?---ini bukan sebuah rasa, kan?

Ah, jelas bukan. Aku yakin ini semua karena sebelumnya kita membahas sesuatu yang memang seharusnya tak perlu dibahas lagi!

"Here we go," bisiknya. Kemudian dia menarikku untuk berjalan sedikit cepat saat sepuluh langkah di depan ada sepasang pengantin yang sedang sibuk menerima ucapan selamat.

Calista membulatkan mata saat melihat kami, bahkan dia melewatkan ucapan selamat dari beberapa undangan. Sebuah reaksi biasa saat melihat mantan dengan pasangan barunya.

Pak Shaka lebih dulu berjabat tangan dengan suami Calista, memberi ucapan basi dengan mendoakan kebahagiaan mereka berdua. Aku tahu di hatinya ada api yang sedang sulut-sulutnya membakar sesuatu. Dan, suatu reaksi yang tak terduga, Calista melepas tangannya yang semula melingkar di lengan suaminya. "Shaka?" ucapnya seperti tak percaya dia bertatap muka lagi dengan sang mantan.

Pak Shaka mengulurkan tangan, "Congratulation," ucapnya.

Lama Calista tak menyambut uluran tangan Pak Shaka, dia hanya berdiri mematung sambil terus menatap duda gila itu. Aku rasa inilah saatnya aku beraksi.

Calista mengangkat tangannya perlahan, namun saat tangannya akan menyambut tangan Pak Shaka, aku lebih dulu menyambut uluran tangan Pak Shaka yang mengarah ke Calista. Aku menautkan jemariku di jari jemari Pak Shaka. Duda gila itu langsung menoleh kearahku.

Namun aku tak menggubris, malah berfokus pada wajah Calista yang berubah memerah.

"Selamat ya, Kak. Semoga langgeng, semoga segera mendapat momongan. Semoga kakak menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Terutama istri yang setia kepada suaminya. Seperti aku dan suamiku," Aku melempar senyum kearah Pak Shaka yang tak kusangka dia menarik salah satu sudut bibirnya, "pondasi pernikahan itu kasih sayang dan kesetiaan. Semoga dua hal itu selalu tercipta di pernikahan Kak Calista dan suami. Aamiin."

Suami Calista yang menjawab ucapan selamatku, sedangkan Calista hanya menyorotiku dengan tatapannya.

"Kenalkan, dia Sabella, istriku," kata Pak Shaka, "Sayang, dia temanku, Calista."

Aku tak mengulurkan tangan, hanya mengangkat tangan setinggi telinga sebagai ucapan perkenalan, "Hai? Salam kenal."

Dan jelas, Calista tak menjawab. Hanya menarik sudut bibir, tak ikhlas.

"Yuk, suamiku, antriannya panjang." Aku mengajak Pak Shaka untuk berjalan, "Oh, ya, Kak. Dapet salam dari putri kami, Alisa. Sebuah doa yang sama, semoga bahagia selalu."

Calista yang tampak anggun dengan gown merahnya mendadak terlihat kesal bukan main. Sorotan matanya benar-benar menghujamiku.

"Sekali lagi, selamat ya," ucapku lagi, "yuk, Mas." Aku menarik tangan Pak Shaka, kami berjalan meninggalkan panggung.

Benar tak disangka, meski kami sudah sampai di luar panggung pengantin, Calista masih menghujamiku sorotan matanya. Dan apa yang sengaja aku lakukan? Aku semakin bergelayut manja di lengan Pak Shaka.

Aku yakin seratus persen, revenge is successful.

•••


"Kau lihat tadi gimana mukanya? Hahahah!" Aku tertawa terbahak-bahak mengingat wajah kesal Calista.

Pak Shaka tidak bereaksi, dia fokus mengemudikan mobilnya. Setelah mengucapkan selamat, dia langsung mengajakku pulang.

"Bwahahaha! Itu sangat lucu sekali!" Aku menepuk-nepuk pahaku berulang kali saking senangnya menertawakan kejadian beberapa menit yang lalu. "Kau tau, sebenarnya kita bisa jadi partner yang baik untuk urusan semacam ini."

"Oh, ya?"

"Hm. Lain kali jika ada mantanmu yang menikah lagi, aku siap menjadi partner revenge-mu," kataku.

"Sayangnya, aku tidak bisa menjadi partner untuk datang ke pernikahan mantanmu. Karena kau tidak punya mantan, kan?" katanya sembari melirik dan tersenyum mengejekku.

Moodku langsung anjlok, aku membalas dengan tatapan sengit, "Kau masih saja ya membahasnya. Tidak ada mantan bukan berarti tidak pernah ciuman, kan?"

"Jadi kau pernah?"

Aku hanya menaikan sudut daguku sembari menyilangkan lengan di dada.

Tiba-tiba Pak Shaka terkekeh, "Aku masih ingat betul perkataanmu 'aku-tidak tahu-caranya', jelas sekali kalau hari itu yang pertama buatmu, kan?"

"Hey! Kau-,"

BRAK!!!

Aku memekik saat tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobil kami dari belakang begitu keras.

"Kau tidak apa-apa?"tanyanya sambil menoleh ke belakang.

Aku gemetar karena kaget, aku hanya membalas pertanyaan Pak Shaka dengan anggukan kepala.

BRAK!!!

Aku kembali memekik saat mobil tadi kembali menghantam bagian belakang mobil kami. Seseorang dengan sengaja melakukan itu!

"Brengsek!" umpat Pak Shaka, dia menarik tuas persneling, kemudian menginjak gas. Roda mobil melaju lebih cepat.

Raut wajah Pak Shaka yang beberapa detik yang lalu terlihat menyebalkan mengejekku, berubah tegang dan serius, beberapa kali dia menoleh ke belakang dan ke spion samping.

"Pegangan!" titahnya sebelum beberapa detik kemudian, mobil menukik tajam di persimpangan jalan.

Aku ikut menoleh ke belakang, mobil yang menabrak tadi terus mengikuti laju mobil kami. Pak Shaka menekan salah satu tombol di dashboard, tak lama kemudian muncul sebuah suara.

"Ya, Ka?"

"Seseorang mengikutiku, mobilku ditabrak dari belakang dua kali."

"Kirim lokasimu, aku akan menghubungi markas pusat untuk menyusul. Bertahanlah!"

Pak Shaka mengikuti instruksi David. Di layar monitor kecil itu dia mengirim lokasi kami. Sementara mobil yang mengikuti kami berusaha untuk mendahului dan sengaja menabrak samping kanan mobil. Aku memekik sembari memejamkan mata.

Aku ketakutkan setengah mati saat Pak Shaka memanuver mobilnya di antara mobil-mobil yang melaju cepat, meski mataku terpejam, aku tau itu sangat mengerikan.

"Dua menit di depan ada pertigaan, kamu belok ke kiri setelah itu lurus sampai di pertigaan Jalan Merdeka."

Pak Shaka menambah kecepatan laju mobilnya, aku memberanikan diri untuk membuka mata, namun aku kembali memejamkan mata saat Pak Shaka menerobos lampu merah.

"Kau gila!" pekikku ketakutan.

"Harus menjadi gila untuk selamat." jawabnya dan aku mencengkeram kuat handgrib.

"Berengsek!" umpatnya beberapa detik kemudian, "Vid, sepertinya tidak hanya satu mobil yang mengejarku."

"Wait a second..."

Aku kembali membuka mata saat Pak Shaka kembali menukik tajam di pertigaan. Rasanya dadaku berat untuk bernapas, mobilnya benar-benar melaju dengan cepat. Suara klakson yang beruntun, membuatku menggigit bibir.

"Iya, dua mobil. Kamu harus bisa keluar dari jalan raya. Setelah pertigaan Jalan Merdeka kamu belok ke kanan, masuk ke gang. Helikopter sedang menyusulmu, mereka akan menunggu di lapangan dua kilo meter dari posisimu sekarang."

Mendengar itu, mobil kembali dilajukan dengan kilat. Sampai di pertigaan jalan Merdeka, kami masuk ke sebuah gang. Gangnya lumayang sempit, hanya bisa dilewati satu mobil. Beruntung saat itu tidak ada pedagang kaki lima yang berjualan.

Setelah keluar dari gang, mobil melaju lurus masuk ke daerah entahlah aku tak bisa mengira. Di kanan kiri terjejer pohon-pohon meski ada beberapa rumah. Mobil dipepet, kemudian dihantam namun Pak Shaka berhasil menghindar. Satu mobil lain mendekat, kemudian menghantam bagian belakang. Aku memekik ketakutan, bahkan aku menangis tak bersuara. Aku hanya bisa menggigit bibir sambil memegang erat handgrib.

"Helikopter udah stand by di lapangan, percepat satu menit untuk menghilang di tikungan depan."

Pak Shaka melirikku sejenak, "Tutup matamu,"ucapnya.

Aku pun langsung memejam dalam-dalam, beberapa detik kemudian aku merasakan tubuhku seperti ditarik ke belakang oleh sesuatu yang tak kasat mata. Aku pasrah, benar-benar pasrah. Selama hampir lima menit dengan kecepatan konstan, aku berkecamuk dalam ketegangan. Setelah belokan tajam yang membuatku nyaris terpentok kaca mobil, tiba-tiba mobil melambat.

Bersamaan dengan itu, perlahan aku membuka mata. Aku hanya melihat semak-semak yang gelap diantara rimbunan pepohonan. Samar-samar aku melihat ada mobil yang terparkir di depan. Pak Shaka menghentikan roda mobilnya.

"Ayo cepat, turun!"

Buru-buru aku melepas sealtbelt, kemudian membuka pintu. Begitu pula Pak Shaka. Dia mengulurkan tangan dan tanpa berpikir lama, aku menyambut tangannya. Kami berlari menuju mobil yang terparkir sekitar sepuluh meter di depan.

Seseorang berbaju serba hitam berpas-pasan dengan kami, ternyata kami bertukar mobil. Mobil yang aku dan Pak Shaka tumpangi berganti mobil Jeep. Semua berlangsung tak lebih dari dua menit. Setelah mobil sport Pak Shaka kembali ke jalanan, kami harus menunggu beberapa menit menunggu mobil yang mengejar kami tadi melintas.

Setelah dipastikan dua mobil itu melintas, Pak Shaka melajukan mobil Jeep ke jalanan dan bergerak ke lawan arah. Kami kembali ke jalan raya, kemudian melaju cepat ke sebuah lapangan. Di sana helikopter sedang menunggu.

"Ayo!" ujar Pak Shaka setelah Jeep berhenti, deru baling-baling helikopter terdengar bising, anginnya menyibak-nyibak dressku. Pak Shaka kembali memegang erat tanganku dan menarikku untuk berlari lebih cepat.

Aku bernapas lega saat sampai di helikopter, seseorang mengulurkan tangan untuk membantuku naik ke helikopter.

DARR!

Letusan pistol itu membuat pergerakanku terhenti, mendadak deru mesin terdengar melambat. Aku menoleh kearah belakang, menatap dua bola mata yang terbeliak kaget.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro