19. Girls Power
"Tidak, tidak, aku tidak setuju."
Aku menarik punggung dari sanggahan kursi ruang rapat, kemudian berdiri. Menyela pernyataan Pak Shaka tentang kriteria model yang akan kita bawa ke Roma.
"Kenapa, Ibu kepala perencana?" tanyanya.
"Konsep show kita adalah 'Angel', mindset kebanyakan orang terlalu mainstream dengan visual Angel yang cantik secara fisik, tinggi, putih dan standart generalnya memiliki beauty value di atas rata-rata. Kenapa kita tidak membawa konsep angel ini lebih mendalam? Karena pada kenyataannya, di dunia ini tidak semua perempuan dikaruniai dengan kesempurnaan visual."
Pak Shaka tersenyum samar, aku paham dia tidak menyetujui ideku. Sebenarnya aku sudah resah dengan pemikiran ini saat melihat kebanyakkan model di majalah, iklan maupun audio-visual menampilkan model yang cantik, tinggi, langsing, putih, mancung atau lebih ringkasnya model dengan visual ideal. Mereka seolah buta bahwa banyak di luaran sana yang memiliki visual jauh dari kata ideal.
"Kita pilih model dengan visual yang beda, yang sesuai dengan realita. Dari BB 45kg-100kg. Dari TB 140cm-175cm. Mancung, pesek. Belo, sipit. Chubby, tirus. Kulit hitam, cokelat, putih. Aku memilih konsep angel karena aku ingin dunia tau, bahwa kemalaikatan seseorang bukan hanya dari visual tapi juga dari hatinya," penjelasanku dengan percaya diri.
Semua orang terkejut, saling bertatap, terlebih lagi dengan Pak Shaka. Pria itu menatapku intens seolah ada pesan yang ingin dia sampaikan, bahwa dia sangat tidak setuju. Tatapan ancamannya itu kubalas dengan tarikan sudut bibir, sebuah senyuman balasan karena dia pernah mempermasalahkan pakaianku beberapa waktu yang lalu.
"Emm, tetapi, Bu Sabella," Pak Shaka berdiri dari kursinya, berjalan mendekat. Melingkarkan tangan kirinya di pinggangku. "Show akan dilaksanakan 3 Minggu lagi. Kita tidak punya model yang seperti itu, misal kalau membuka audisi itu akan memakan waktu. Bahkan, para desainer sudah merampungkan beberapa gaun yang akan kita tampilkan di show. Itu mustahil untuk diwujudkan. Kenapa Anda tidak bilang dari awal jika punya ide seperti itu?"
Aku membuka folder di laptop, mengklik file yang aku presentasikan saat rapat pertama pemilihan konsep. Kemudian aku menunjukkan kalimat, "Not every beautiness always about visual, sometimes true beauty come from inside, whoever she is."
"Kuyakin Pak Shaka paham bahasa Inggris," skakmatku.
Pak Shaka terkekeh sembari melempar pandangan kearah para karyawannya.
"Rapat selesai hari ini, saya akan berdiskusi lebih lanjut dengan kepala perencana," ucapnya mengakhiri rapat. Semakin menunjukkan bahwa kau kalah hari ini, Arshaka.
Karyawan bergegas membereskan barang-barang mereka kemudian satu persatu meninggalkan ruangan dan menyisakan kami berdua. Pak Shaka masih di posisinya, beberapa centimeter dari posisiku. Lengan kirinya juga masih bertengger melingkar di pinggangku.
Setelah yakin semua karyawan keluar dan pintu ruangan tertutup. Kupikir duda gila itu akan langsung melepas lingkaran lengannya, namun ternyata dia menarik tubuhku untuk lebih dekat dengannya.
"Jangan bercanda menyangkut Shabiru Mode. Idemu sangat gila." Guratan senyumannya hilang, berubah menjadi gertakan dingin yang terpasang di ruat wajahnya.
"Aku suka hal gila sejak menikah denganmu. Aku juga terbiasa dikatai gila oleh anakmu. Kita ini,..." Aku menunjuknya lalu menunjukku sendiri, "sama-sama gila," lanjutku dengan jari telunjuk memutar-mutar di samping kepala.
"Aku tidak bercanda, Sabella."
"Aku juga," timpalku tidak mau kalah.
"Aku tidak setuju dengan idemu."
"Kau lupa ya? Kau sendiri yang menunjukku untuk menjadi headplanner show ini. Aku juga kepala desainer. Jadi semua keputusan ada di tanganku."
"Aku Kepala divisi Shabiru Mode."
"Aku...." Aku mengangkat dagu, "istrinya Kepala divisi Shabiru Mode."
Pak Shaka tersenyum kecut, "posisimu tidak berarti apa pun untuk segala keputusan mengenai show Shabiru Mode."
"Kita adakan voting!"
"Tidak perlu!"
"Jangan-jangan kau lupa ya, visi divisimu sendiri? Apa kau ingin aku bacakan visi misi Shabiru Mode untuk mengingatkanmu?" Visi itu berbunyi bahwa divisi Shabiru Mode menampung segala aspirasi siapa saja.
Pak Shaka menyipitkan pandangannya, mungkin sangat kesal terhadapku. Tetapi, aku tidak peduli. Aku harus bisa membawa konsep ini! Konsep ini akan membantu para perempuan yang mengalami insecure bisa bangkit agar lebih bersyukur dan percaya diri terhadap apa yang mereka miliki.
"Oke, kita adakan voting," putusnya, kalah. Aku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang.
"Panggil semua karyawan kemari, kita langsung adakan voting," titahnya sambil melepas lingkaran lengannya.
"Oooke, tunggu!" Aku keluar memanggil semua karyawan divisi Shabiru Mode.
Setelah mereka kembali duduk di tempatnya masing-masing. Kita mulai adakan voting. Sebelum itu, aku menyampaikan prakata sesuatu.
"Aku harap para perempuan di sini menghargai sesama perempuan. Kita bukan objek yang bisa dinilai dengan tolok ukur kriteria laki-laki. Kita bisa jadi cantik dengan apa adanya sesuai kemauan kita. Kita harus mengubah mindset standart kecantikan mulai dari sini, dari hati dan kepercayaan diri kita sendiri."
Guees what? Yes, i am the winner. Lebih dari setengah karyawan divisi Shabiru Mode menyetujui ideku.
"Aku mempunyai kenalan yang akan membantu kita menemukan dengan cepat model-model yang kita butuhkan. Aku akan menyerahkan data diri para model dua hari lagi, untuk saat ini temen-temen bisa mengerjakan gaun yang berukuran di bawah ideal dan di atas ideal. Untuk yang terlanjur jadi, aku pikir tidak akan sulit mengubah ukuran karena desain yang kita buat bukan desain paten untuk satu ukuran."
"Siap!" semua tampak bersemangat, terlebih lagi Karina, asisten desainer yang memiliki berat berlebih.
Keputusan diambil, rapat selesai. Semua kembali berjibaku pada pekerjaan masing-masing. Ruangan kembali menyisakan aku dan Pak Shaka.
"Trust me, Pak. Show ini akan membuat Shabiru Mode semakin memperjelas kelasnya."
"Kalau kau tidak berhasil dan malah membuat imej Shabiru Mode jatuh, apa yang akan menjadi konsekuensimu?"
Aku menghela napas sejenak, meski berat aku harus menunjukkan keseriusanku. "Aku akan menuruti semua perintahmu. Termasuk penampilanku, sesuai apa yang kau inginkan," kataku. Detik berikutnya, "tetapi jika aku yang berhasil, biarkan aku menjadi Sabella seperti apa yang aku inginkan. Kau tidak berhak mengatur, apalagi mengenai pakaianku. Deal?"
Aku mengulurkan tangan, namun dia tak lantas menyambut. Dari ekspresinya mungkin sedang menimbang-nimbang. Beberapa detik kemudian dia mengatakan, "Deal!" Sembari menjabat tanganku.
Oke, let's destroy pyramid kearoganan hakiki Arshaka Shabiru, Sabella!
***
"Beneran, Beeeel? Beneran? Serius? Serius, kaan?!"
Dengan malas aku menjawab,"I—ya." Karena sudah berulang kali Fastelin menanyai keseriusanku mengajaknya casting model show Shabiru Mode di Roma.
Meski dulu Fastelin yang kerap membuatku menangis, bukan berarti aku melupakan orang yang selama hampir lima tahun satu atap denganku kan? Kata bunda, jika kita membalas perbuatan jahat seseorang, kita tidak ada bedanya dengannya. Sama-sama jahat. Sama-sama sampahnya. Aku lagi, lagi, termakan omongan sendiri. Aku pernah bilang pada Tante Celin dan anak-anak agar tidak menganggu lagi. Pada kenyataanya, aku membutuhkan mereka. Ini juga sebagai rasa bersalah karena pernah menghina ukuran badan mereka. Kini, mataku terbuka lebar.
"Tapi gue juga mau minta tolong sama lo."
"Apa ajaaa siap, Bel! Minta tolong apa? Katakan, saudariku."
Ah, ada maunya gini baru ngaku saudari. Dasar manusia!
"Lo masih di komunitas penyitas Anxiety?"
Fastelin mengangguk. Dari dulu Fastelin mengalami kecemasan berlebih karena menganggap dirinya selalu gemuk, dia akan mengalami serangan panik saat angka berat badannya naik meskipun hanya beberapa ons. Karena hal tersebut yang membuat tubuh gadis setahun lebih tua dariku itu kurus kerempeng karena sempat mengalami anorexia nervosa yang membuatnya menghindari makanan berat selama berminggu-minggu.
"Ajak gue ke sana."
Fastelin menautkan keningnya heran, "Ngapain? Apa lo mengalami kecemasan menjadi seleb dadakan?"
"Entar gue jelasi."
"Baiklah." Fastelin menyanggupi.
"Oh, ya, bagaimana kabar Tante Celin?" tanyaku bukan basa-basi, aku memang penasaran dengan kabar mereka bertiga, terumata Tante Celin setelah menjual rumah.
"Mami sekarang membangun bisnis online."
"Oh, ya? Bisnis online apa?"
Fastelin mengedikan bahu, "Dia hanya bilang, bisnis itu akan sangat menguntungkan. Setelah membeli rumah di daerah Bekasi, mami menginvestasikan sisa uang untuk bisnis itu."
Aku hanya beroh-ria karena bodo amat. Lagian, dia bukan lagi bagian keluargaku. Aku hanya bisa mendoakan semoga dia sehat-sehat selalu, bagaimana pun juga Tante Celin pernah menjadi ibu idaman meski itu hanya tipuan.
"Aku juga membutuhkan Amara sebagai model. Apa dia masih intens pergi ke klub yoga?"
"Ngapain sih ngajak dia? Nggak, nggak, dia nggak boleh ikut. Dia itu gendut, badannya kek badak tau. Nggak cocok buat jadi model!" Fastelin tidak terima aku mengajak saudarinya.
"Kalo Amara tidak ikut, gue nggak jadi ajak lo ikut."
"Hey! Kok gitu?" Fastelin semakin tidak terima.
Aku hanya mengangkat bahu, menyerahkan keputusan kepadanya. Meski dengan raut wajah tidak terima dan berat, Fastelin akhirnya menyanggupi untuk mengajak Amara menjadi bagian dari show Shabiru Mode.
Sungguh, semesta itu lucu ya. Tuhan itu paket lengkap menghadirkan sesuatu. Ada pergi ada pulang, ada sakit ada tawa, ada suka ada duka. Dulu terhina, sekarang dicinta. Tuhan memang ahlinya mengatur kapan porsi setiap manusia-Nya akan datang, Dia memberi porsi di waktu yang tepat. Tinggal manusianya saja, mau bersabar atau tidak. Dan aku sangat bangga pada diriku sendiri karena mampu bersabar selama bertahun-tahun sampai porsi ini benar dan nyata datang.
Hari itu juga aku pergi bersama Fastelin ke tempat komunitas Anxiety, di sana banyak kutemukan orang-orang dengan berbagai karakter, sifat dan bentuk. Ternyata tidak hanya perempuan yang memiliki kasus sama dengan Fastelin, namun banyak macamnya. Dari yang mengalami kecemasan akibat depresi tekanan belajar, perihal mencemaskan masa depan, bentuk tubuh, warna kulit dan masih banyak lagi.
Komunitas ini luar biasa, mereka belajar terbuka satu sama lain dan saling mendukung untuk progress kesembuhan. Mentornya juga pernah mengalami Anxiety dan berhasil sembuh dari gangguan tersebut. Dia menjadi motivator untuk lebih dari 20 anggota komunitas.
Anxiety sendiri adalah gangguan kesehatan mental yang dapat menyebabkan penderita cemas berlebihan, ketakutan yang luar biasa dan mempengaruhi aktivitas keseharian. Biasanya jika Anxiety disorder kambuh, penderita akan mengalami serangan panik, tremor, pusing, keringat dingin, dan terkadang jika sulit terkontrol Anxiety disorder membuat penderita bisa melakukan selfharm, melukai diri sendiri.
Aku langsung tembusan kepada mentor komunitas, beruntung dia langsung menyetujui. Aku pun mulai presentasi untuk mengajak menjadi bagian dari Show Shabiru Mode di Roma.
"Kita harus tunjukkan ke dunia luar, bahwa standart general lingkungan sosial itu tidak ada. Kita tidak sedang dalam perlombaan mempercantik diri, kita ini hanya sedang hidup. Dan hidup kita ini berjalan bukan karena patokan orang lain. Kita bisa jadi diri kita sendiri, kita ciptain standart kita sendiri. Sesuai kemampuan, sesuai keinginan hati, sesuai apa yang membuat hati kita bahagia," pungkasanku.
Semua anggota terdiam, aku sudah mulai resah. Mungkinkah presentasiku gagal? Pikiranku perlahan meracau, namun sebisa mungkin untuk tetap tenang.
"Aku ikut!" Seseorang mengangkat tangannya. Dia perempuan muda yang berkelainan pada warna kulitnya, albino. Aku tersenyum sambil bernapas lega.
"Aku juga!" seorang perempuan mungkin seumuranku mengangkat tangannya.
"Aku juga!"
"Aku juga!"
Aku senang sekali ternyata responnya luar biasa, 16 anggota mendaftarkan diri. Sedangkan sisanya adalah anggota laki-laki. Bisa dikatakan, semua anggota perempuan, ikut daftar!
Aku masih membutuhkan 9 anggota lagi. Hari itu juga aku bergegas menuju rumah klub yoga Amara. Serupa, di sana aku menemukan perempuan-perempuan percaya diri meski berat mereka lebih dari 80kg semangat mendaftarkan diri.
Lihat saja, Arshaka. Kau akan kalah!
•••
Aku terbangun dari tidur sekitar pukul sebelas malam. Perutku keroncongan karena baru ingat terakhir makan tadi pagi bersama Nania di Kedai. Aku terlalu fokus pada misiku untuk bisa mengalahkan si congkak duda gila itu.
"Kamu masih aja menyebutnya duda gila. Dia itu udah punya istri, dan istrinya itu elu, Bel!" kata Nania tadi pagi di kedai.
"Di mataku dia tetap saja duda. Kan, nikahan kita cuma boongan."
"Ya sih, tetapi seenggaknya panggil dia sepantasnya. Kau sendiri yang pernah bilang kalau Pak Shaka rajin sholat tahajud. Gimana kalo duleh?"
"Apaan duleh?"
"Duda Sholeh."
"Najis!"
"Dupanshol, Bel."
"Apaan lagi itu?"
"Duda tampan Sholeh."
Aku hanya melempar ekspresi jijik kearah Nania, tetapi gadis itu tidak mau berhenti.
"Duren rasho. Duda keren rajin sholat. Dumaleh. Duda mapan Sholeh."
"Stop! Stop!" Aku menutup mulutnya dengan telunjuk, "yang bener itu dugem!"
"Apaan dugem?"
"Duda gemblung!"
"Astaga, istri durhaka lo ya!" pekik Nania.
Aku tertawa terbahak-bahak, lagian tidak penting juga membahas pria itu. Fokusku sekarang adalah show dan Alisa. Show adalah impianku dan Alisa adalah bagian dari paggilan nuraniku.
Mengenai Alisa, dua hari yang lalu saat berhasil mengungkapkan segala uneg-uneg di depannya. Tidak ada perubahan signifikan sih, hanya saja waktu kursi rodanya diambil alih Bibi Mai berjalan masuk ke dalam mansion, gadis kecil itu sempat menoleh kearahku meski dengan wajah yang masam. Aku membalas dengan lambaian tangan dan senyuman. Aku yakin sekali, hatinya mulai terketuk untuk mempertimbangkan menerimaku sebagai ibu dan sahabat baik untuknya.
"Astaga, aku belum mengembalikan buku diary Kim!"
Aku baru teringat buku itu sudah hampir dua Minggu di laci meja riasku. Beruntung sekali Pak Shaka tidak menyadari. Lebih beruntungnya lagi saat ini duda gila itu sedang mengunjungi Ma di Singapura. Aku bergegas turun dari tempat tidur, mengambil buku itu dan keluar dari kamar.
Tidak mau terulang lagi kejadian waktu itu, aku tidak langsung masuk ke dalam kamar Pak Shaka, terlebih dulu aku memeriksa ruang tengah, ruang tamu, ruang baca, dan terakhir kamar Alisa. Selesai dari ruang baca, aku beranjak ke kamar Alisa untuk memastikan duda gila itu memang belum pulang. Baru saja turun dari tangga, aku melihat Bibi Mai masuk ke dalam kamar Alisa dengan tergesa-gesa, disusul Biyung dan beberapa pelayan.
Tidak lama dari itu aku mendengar sebuah teriakan kencang.
"JANGAN PERGI!!! JANGAN TINGGALIN ALISA!"
Alisa!?
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro