Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Bayangan Hitammu

Aku duduk di ruang tunggu, kaki kananku terus bergerak-gerak, menapakkan ujung sepatu di lantai dalam tempo cepat. Aku juga mengigit bibir, menahan gemelatuknya gigi. Aku takut, aku khawatir. Sekujur tubuhku panas dingin. Semenit kemudian aku kembali berdiri, menengok Alisa dari celah-celah kaca pintu. Tampak tenaga medis mencoba menyelamatkannya. Mengejar waktu, mengejar nyawa untuk menetap di raga gadis itu.

Aku tidak tahu menahu bagaimana kronologinya Alisa sampai jatuh tersungkur di tangga, saat mendapati kepala Alisa berlumuran darah karena mungkin terbentur lantai, aku langsung menggendongnya. Berlari mencari bantuan. Beruntung sekolah memeliki ambulans dan dokter umum. Alisa bisa diberi pertolongan pertama menghentikan pendarahan di kepalanya.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Alisa sempat sadar tetapi hanya sebentar. Tidak lebih dari dua menit. Aku duduk di samping brankarnya, memegang erat tangan kiri gadis itu. Sembari terus berdoa agar Tuhan masih memberinya kesempatan untuk selamat.

Aku duduk lagi, menggigit ujung kuku ibu jariku. Pikiranku benar-benar tidak keruan. Tiga kali aku merasakan situasi seperti ini, pertama saat detik-detik kematian Bunda, kedua saat Ayah akan menikah dengan Tante Celin. Aku seperti berada di ujung tebing dengan segunung kekhawatiran yang seakan mendorong tubuhku jatuh ke jurang.

Jurang penderitaan.

Aku mengangkat tubuh, berdiri saat melihat Pak Shaka yang masih berjaket musim dingin, berjalan cepat kearahku. Beberapa orang berjas hitam mengikutinya. Beberapa waktu lalu aku mendengar Pak Shaka membatalkan meeting nya di Jepang dan terbang langsung ke Indonesia setelah mendapat kabar Alisa jatuh dari tangga.

"Pak?—," Saat dia mendekat aku mencoba menyapanya, ingin memberitahukan hal yang beberapa waktu lalu terjadi.

Namun, dia tidak menggubrisku. Bahuku sengaja disenggol, acuh, sambil berlalu masuk ke ruang perawatan. Aku terbengong, kemudian menekuk leher sambil terduduk kembali di kursi tunggu.

Pantas dia marah, pantas dia mengacuhkanku. Dia menikahiku karena untuk menjaga Alisa dengan baik, tetapi pada kenyataannya aku sama sekali bukan ibu yang baik untuk putrinya. Meski, Alisa tak pernah menganggapku.

Aku pasrah.

•••

Beberapa saat kemudian, pintu perawatan dibuka. Beberapa paramedis dan Pak Shaka mendorong brankar Alisa keluar. Aku mengikutinya. Aku melihat kepala Alisa diperban, pergelangan kaki kirinya dibidai dan lehernya dipasangi cervical collar. Wajahnya tampak memucat. Rasa khawatirku semakin menjadi.

Tiba-tiba Pak Shaka melepas tangannya dari brankar, kakinya berhenti dan mencegatku. Dua bola matanya tampak nanar, jelas ada pancaran kemarahan di sana. Sejenak aku menahan napas, ditatapnya begitu intens.

"Apa yang kau lakukan di sekolah Alisa?"

"Aku...," Aku bingung harus menjelaskan, pada kenyataannya tujuanku ke sekolah Alisa memang ingin menemui Alisa dan menanyainya perihal Kim. Tetapi, kalau aku mengatakan itu pada Pak Shaka, aku pasti ketahuan sudah mencuri buku Diary mendiang istrinya. Situasinya bakal tambah runyam.

"Jawab, Sabella!"sergahnya yang kontan membuatku terjingkat, kaget.

"Aku hanya ingin mencari cara untuk menaklukkan hati Alisa, aku menemui gurunya. Menanyai perkembangan sekolah Alisa. Itu saja," kataku dengan bibir bergetar.

"Dengan pakaian seperti ini?"katanya dengan bibir seolah mencibirku.

Jelas, aku meradang."Kenapa memangnya? Ingat ya Arshaka! Kau sendiri yang bilang aku hanya bertugas menjadi ibu Alisa, bukan sebagai istrimu!"

"Ini semua juga untuk Alisa, kau tau!" bentaknya.

"Lalu kenapa aku? Kenapa kau memilihku?! Kenapa kau tidak memilih perempuan yang sekelas denganmu!?"

Pak Shaka bergeming, tetapi jelas rahangnya mengeras menahan letupan amarah. Tatapannya menyerobok dalam, mengintimidasi. Jujur, aku takut. Nyaliku menciut. Namun, aku tidak mau berakhir seperti Kim yang mungkin karena sikap sok mengatur Pak Shaka tentang hidup Kim, membuat Kim menderita dan pergi darinya.

"Kau mempersalahkan pakaianku tanpa berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada anakmu! Sebenarnya kau ini bapak macam apa?"

"Sekolah sudah mengirimiku rekaman cctv kejadian. Itu sebuah kecelakaan, lalu apa yang mau dipermasalahkan?"

Aku tersenyum kecut, kemudian bergeleng tidak percaya sebegitu acuhnya dia terhadap anaknya. Kupikir dia bapak yang baik, sebaik itu sampai mencarikan ibu sambung untuk anaknya. Namun, aku salah.

"Aku mempergoki Alisa mencuri di sekolah, apa kau tau selama ini?" Aku menaikkan dagu, menantangnya.

"Mencuri?"

Aku kembali tersenyum kecut, "Dari ekspresimu saja sudah terjawab, kau sama sekali tidak peduli dengan Alisa. Pantas saja dia menjadi pribadi yang kurang sopan, ketus, judes dan kata-katanya kasar. Ini semua karena parentingmu yang salah. Alisa kurang perhatian darimu."

"Jangan bicara konyol. Alisa tidak mungkin mencuri!"

"Aku melihatnya sendiri!" kataku dengan penuh tekanan di setiap kalimat, "Kleptomania. Dia mengidap gangguan itu. Aku yakin kau tau apa itu Kleptomania."

Dia terdiam, masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan tentang putrinya.

"Dia tidak hanya butuh seorang ibu, tetapi dia juga butuh ayahnya. Dia butuh perhatianmu. Kleptomania bukan gangguan biasa, itu bisa mempengaruhi masa depannya jika kau tidak menolongnya. Please, buka mata hatimu. Dia putrimu sendiri."

Dia masih terdiam, hanya menatapku dengan penuh selidik. Mungkin mencoba menganalisis ekspresi kejujuranku tentang apa yang kukatakan.

"Aku yakin besok sekolah aku menelpon, karena hal itu." Aku mendekat kearahnya, "Kita pikirkan besok apa yang akan terjadi besok, untuk sekarang kita fokus pada keselamatan Alisa. Aku yakin kau paham dengan semua kebenaran yang sudah kukatakan padamu. Aku berharap kau sadar. Dia juga membutuhkanmu."

Setelah mengatakan itu aku berjalan melewatinya, menyusul brankar Alisa ke ruangan perawatan. Aku mengumpulkan segala keberanian untuk mengungkapkan kejadian tadi sore kepada pria itu. Semoga Pak Shaka paham dan mau sadar.

***

Pak Shaka membawa Alisa pulang untuk dirawat di rumah oleh tim medis keluarga. Aku mendengar laporan bahwa Alisa mengalami gegar otak ringan, fraktur clavikula, dan disposisi pada pergelangan kaki kiri.

Besoknya, sekolah benar memanggil Pak Shaka ke sana. Wali kelas Alisa memberikan rekaman CCTV saat Alisa melakukan tindakan mencurinya di kelas SMP. Banyak siswa yang mengaku kehilangan barang beberapa hari terakhir ini. Wali kelas tersebut juga memperlihatkan rekaman saat aku mencoba membujuk Alisa mengembalikan barang itu. Seolah membenarkan apa yang kukatakan sebelumnya kepada Pak Shaka.

Ada beberapa siswa yang memberikan saksi bahwa Alisa dirundung oleh siswa yang barangnya dicuri. Mereka sering membicarakan jelek tentang keluarga Alisa di depan Alisa. Alisa dikatai-katai anak haram karena rumor pernikahan diam-diam papanya dengan mendiang mamanya. Alisa juga dikatai anak tiri yang akan hidup menderita seperti yang terjadi di dongeng Cinderella. Alisa menjadi pendendam dan melakukan tindakan mencuri tersebut. Ternyata tidak berhenti ditindakan mencuri barang yang merundungnya, tetapi dia juga melakukan pencurian jika ada kesempatan.

Alisa mendapat surat peringatan dan skorsing. Dan, Pak Shaka mengajukan tuntuan kepada perundung-perundung Alisa, terutama kepada Antartika Accademy karena tidak memperhatikan hal-hal serius seperti perundungan di antara siswa dengan baik. Namun, pihak sekolah meminta berdamai dengan cara kekeluargaan. Jelaslah Pak Shaka menolak, dia mau menerima damai asal perundung Alisa dipulangkan ke orang tuanya dan diblacklist dari sekolah bergengsi. Pihak Antartika keberatan karena orang tua perundung Alisa termasuk donatur terbesar di yayasan mereka.

Aku kurang tau bagaimana ceritanya sehingga kudengar kabar, Antartika Accademy akhirnya memulangkan perundung Alisa ke orang tuanya dengan bukti kuat saksi dari para siswa, adapula yang merekamnya. Entah dengan ancaman atau uang, aku yakin salah satunya. Atau mungkin, dua-duanya adalah cara Pak Shaka membuat Antartika Accademy tunduk.

Pak Shaka, pria itu bisa terlihat seperti malaikat saat menjatuhkan keningnya di atas sajadah, tetapi dia juga bisa seperti iblis bengis yang tak punya rasa belas kasih.

Sementara di tengah sibuknya aku mempersiapkan fashion Show di Roma, aku juga tetap pelan-pelan mendekati Alisa dengan berbagai cara. Aku belajar masakan Italia, susah payah sampai tanganku tak sengaja menyentuh penggorengan dan meninggalkan bekas yang melepuh, meski pada akhirnya makanan itu ditumpahkan ke lantai dan berakhir di tempat sampah. Aku masih tetap sabar dan terus mendekati Alisa.

Aku juga pernah membuatkannya minuman susu sebelum dia tidur, namun nasib susu itu lebih parah, berakhir di bajuku. Kulitku kembali memerah karena susu panas itu.

Suatu ketika dia jatuh dari tempat tidur karena kakinya masih dibalut, aku mencoba membantunya berdiri, gadis kecil itu mengeluarkan sumpah serapahnya kepadaku. Menyalahkanku atas kecelakaan yang terjadi kepadanya. Dia melarangku untuk menemuinya. Bahkan dia berkata,

"Aku harap kau menghilang dan tidak pernah kembali lagi."

Sampai pada di titik aku terduduk di samping tempat tidur. Menengadahkan kepala ke langit kamar. Lalu menghela napas panjang, merasa lelah. Tanpa bisa dicegah, air bening mencuat dari sudut mataku. Aku menangis merasa lelah menghadapi Alisa.

Sekarang bukan lagi tentang kedaiku, bukan karena hal itu aku mau membantu gadis kecil itu keluar dari keterpurukan. Namun, karena aku benar-benar ingin membantunya. Bahkan, aku sudah menganggap Alisa seperti anakku sendiri yang masa depannya menjadi tanggung jawabku.

Aku mau dia menjadi pribadi yang baik, berkarakter cantik seperti fisiknya. Aku mau dia memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya, aku mau dia menikmati dengan ceria masa-masa emasnya menjadi anak-anak.

Aku hanya mau itu. Aku bertahan hanya karena itu.

"Nggak bisa kayak gini terus!" Aku mengusap air mata di pipi, kemudian aku bangkit.

"Sabella, kamu pasti bisa!" Aku menyemangati diri sendiri, membarakan semangat dan memupus rasa lelah serta rasa menyerah.

Aku keluar dari kamar, berjalan dengan cepat mencari keberadaan Alisa. Setengah berlari aku mengelilingi mansion sampai akhirnya aku melihat gadis itu tengah berada di teras belakang bersama pelayannya. Dia duduk di kursi roda sedang memainkan gawai.

"Eh, Bel, Bel..." aku melihat David berjalan kearahku, aku juga melihat Pak Shaka baru saja turun dari tangga.

Oh, ya, selama hampir dua minggu aku tidak bicara dengannya. Kita sesekali bertemu di ruang rapat dan berdiskusi mengenai Fashion Show yang segera digelar tiga minggu lagi. Selain tentang pekerjaan, kami tidak saling bicara. Bahkan, berpapasan di dalam mansion, kami tidak saling menyapa. Pada dasarnya kita memang jarang bicara, sejak kejadian itu kita seperti tidak saling mengenal. Dan aku masa bodoh.

Aku menoleh kearah David dengan kakiku tidak berhenti melangkah.

"Apa kamu sudah mengecek email-."

"Stop!" kataku sambil mengangkat tangan mencegah David melanjutkan kalimatnya, "aku sangat sibuk hari ini. Besok aku ke kantor." Konsentrasi dan tekadku sudah bulat aku tidak mau diinterupsi apa pun.

"Tapi, deadline-,"

"Stop! Stop! Setoop!" aku berteriak kearahnya, jelas sekali ekspresi terkejut David yang mungkin baru kali ini melihatku seperti ini, tetapi aku tidak peduli. "Jangan banyak bicara!"

Aku kembali mempercepat langkah kearah Alisa yang saat itu melihat kearahku. Dia memicingkan mata, detik kemudian melengos, ketus.

"Minggir!" Aku menarik pelayan Alisa mundur, kemudian merampas ponsel gadis itu. Lalu mendorong kursi roda turun ke halaman.

"Apa yang kau lakukan, Bodoh!?" Alisa berteriak, berontak. "Bibi Mai, hentikan perempuan gila ini!"

Bibi Mai, pelayan Alisa mencoba mendekati. Namun, aku melempar tatapan ancaman, seperti yang biasa Pak Shaka lakukan kepadaku. Bibi Mai otomatis diam di tempat. Aku juga melihat Pak Shaka dan David berdiri di pintu teras, melihat kegaduhan yang kubuat.

"Papa! Papa! Help me! Papa!"

Pak Shaka berjalan kearahku, dia menahan tanganku untuk tidak mendorong kursi roda Alisa lagi, "Apa-apaan, Sabella?"

"Jangan ikut campur urusan ibu dan anak!" Aku menepis tangan Pak Shaka. Mungkin dia mengerti sehingga dia membiarkanku untuk melanjutkan mendorong kursi roda Alisa.

"Papa! Papa!"

Aku terus mempercepat roda berputar menjauh dari teras. Menuju ke halaman rumput hijau dan berhenti di bawah pohon jati besar. Selama roda itu terus berputar, selama itu pula segala cercaan sumpah serapah dari mulut Alisa keluar. Dari stupid, shit, gila, idiot. Semua dia lontarkan.

Bukannya marah, aku malah semakin bersemangat untuk mengubahnya menjadi gadis kecil yang baik.

Setelah roda berhenti, aku berjalan menghadap Alisa yang memasang wajah marahnya, alisnya bertaut, kulit putihnya terlihat memerah, bibirnya pun mengerucut tajam.

"Alisa," Aku melunakkan nada, memberinya tatapan kasih sayang, lalu aku menjatuhkan lutut persis di depan kursi rodanya.

"Aku tau kamu membenciku. Kehadiranku mungkin membuatmu berpikir bahwa aku akan merebut kekayaan papamu, menggantikan posisi mendiang mamamu. Aku tidak seburuk apa yang orang-orang bilang bahwa ibu tiri itu jahat. Aku sama sekali tidak punya niatan mengambil satu pun apa yang kamu punya saat ini."

Dia memalingkan wajah, tapi aku tau dia pasti mendengarkan perkataanku.

"Karena aku pernah di posisimu. Pernah menjadi anak tiri. Aku sangat tau perasaanmu. Aku paham sekali."

Aku melihat ekspresinya mulai mengendur, mungkin dia baru tau kalau aku pernah menjadi anak tiri sepertinya.

"Jujur, aku mau menikah dengan papamu karena ingin menyelamatkan kedai yang kita datangi waktu itu. Kedai itu sangat berarti bagiku. Banyak kenangan indah pernah tercipta di sana, kenangan yang tak mungkin bisa terulang kembali."

"Aku tak mencintai papamu, papamu juga tak mencintaiku. Mungkin kamu sudah tau jika aku dan papamu hanya bersandiwara. Aku juga tak pernah tau apa maksud papamu membuat pernikahan ini, yang aku yakini ini semua untukmu. Kita akan berpisah setelah enam bulan, jika aku tidak berhasil membuatmu luluh, papamu akan merebut kedaiku yang berharga."

Aku menyentuh lututnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya, menatapnya lebih lekat meski sorotan matanya tidak kearahku. "Namun, seiring berjalanannya waktu. Aku tak hanya ingin menyelamatkan kedai, tetapi juga menyelamatkanmu."

Alisa melirikku sekilas. Aku tersenyum, dia merespon kalimatku.

"Masa depanmu masih puuuanjang sekali, anak seumuranmu sekarang sedang menikmati masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Aku tidak ingin kamu melewatkan masa itu, Alisa. Karena masa itu tidak akan bisa diulang kembali."

Aku memberanikan diri untuk membelai rambutnya, "Jika kamu kesulitan untuk memulai, aku selalu ada untukmu. Aku akan dengan sabar menemanimu untuk memulai sampai kamu benar-benar bisa melewati masa buruk ini. Sampai bayangan hitammu menghilang dan tidak menghantuimu lagi."

Aku tersenyum sembari menghela napas panjang, lega. Akhirnya aku bisa berkata panjang lebar, mengungkapkan segalanya di depan Alisa. Aku berharap, dia mau membuka hatinya meski hanya sedikit.

Aku bangkit dari posisi, kemudian berjalan ke belakang kursi roda Alisa lalu mendorongnya kembali ke Mansion. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengeluarkan amunisi yang sudah aku persiapan jauh-jauh hari. Sambil mendorong kursi roda Alisa, di tengah embusan angin sepoi-sepoi melewati Padang rumput hijau aku memulainya. Menyanyikan sebuah lagu mandarin, berjudul 'Your Silhoutte' di mana arti lagu itu adalah harapan baik meski kenyataan memberi kesakitan. Sebuah pertemuan indah meski kita tidak saling mengenal dengan baik.

Aku menyanyikan lagu kesukaan Alisa yang tak sengaja aku dengar saat dia berdiam diri di kamar memutar lagu itu berulang kali. Selama seminggu penuh aku mencoba menghapalnya, belajar melafal kata Mandarin secara otodidak melalui YouTube. Sebagai bukti, bahwa aku bersungguh-sungguh ingin menyelamatkannya.

Tuhan, semoga hatinya lekas terbuka untukku.

Aamiin. 

Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengeluarkan amunisi yang sudah aku persiapan jauh-jauh hari. Sambil mendorong kursi roda Alisa, di tengah embusan angin sepoi-sepoi melewati Padang rumput hijau aku memulainya.


https://youtu.be/bO805Ah3YjQ


•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro