Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Alisa, Please!

"Jangan-jangan Oriana Kim diracuni sama Pak Shaka?"

Nania langsung menoyor kepalaku, "Astaga, Sabella! Kalau suudzon nggak nanggung-nanggung. Sekalian aja Pak Shaka ngeracunin Kim setelah itu tubuh Kim diawetkan pake boraks dan formalin, suatu hari Alisa melihat jasad Kim yang diawetkan jatuh dan hancur, traumalah Alisa."

"Hiii, serem, gitu," gidikku ngeri mendengar dongeng ngawur Nania.

"Nggak, nggak mungkin."

"Ya terus apa dong? Jelas banget di buku itu kalau hubungan Kim sama Pak Shaka nggak baik. Kan, bisa jadi gitu Nania!"

Nania menggelengkan kepalanya, "Nggak, nggak, aku yakin nggak begitu. Kamu sendiri yang bilang kalau pernah lihat Pak Shaka salat. Masa sih orang paham agama bisa ngelakuin perbuatan sekejam itu? Coba pikirin!"

"Orang yang salat belum tentu paham agama, tapi orang yang paham agama sudah pasti salat. Siapa tau Pak Shaka di masa lalu itu bisa sekejam itu. Siapa tau ya kaaan..."sanggahku.

"Hmm..." Nania menggigit jari telunjuk dan jempol tangan kanannya, dia terlihat berpikir keras. "Bisa jadi Oriana Kim itu..." dia menggantungkan kalimatnya.

Aku mendekat menunggu kalimat selanjutnya.

"Sebenarnya nggak meninggal, dia sekarang di Amerika. Pak Shaka kasih dia black card trus ditukar sama Alisa."

Kini aku yang menoyor kepalanya sampai dia meringis, "Kau yakin kalau di kepalamu itu otak?"

Nania tergelak, "Tau ah, pusing. Terlalu mis—te—rius," katanya sambil berdiri dan berjalan ke belakang counter.

Kami tengah berdiskusi di kedai, aku mampir ke sini setelah meeting di Shabiru Mode untuk acara fashion show di Roma, meeting dilanjut dua hari lagi karena saat ini Pak Shaka sedang di luar negeri.

Hampir semalaman aku memikirkan buku diary itu. Mencatat variabel-variabel yang mungkin terjadi antara Pak Shaka dan mendiang istrinya. Jika memang benar penyebab kematian Kim janggal, itu berarti menjawab kenapa tidak ada artikel yang membahasnya. Bahkan kalau pun ada, artikel itu diblokir. Hm, Pak Shaka semakin mencurigakan.

"Eh, Bel, kemarin malem pas mau nutup kedai, aku ngeliat Antoni di halaman depan," kata Nania yang kontan membuatku berdiri dari tempatku duduk, langsung menghampiri Nania yang sedang menyiapkan gilingan kopi.

"Antoni? Serius?"

Nania mengangguk.

"Trus?"

"Apanya yang terus?"

"Dia ngapain?"

"Waktu aku mau nyamperin dia, dia buru-buru pergi."

Aku menurunkan bahu, kecewa. Sebenarnya ke mana perginya pria itu? Sejak pertengkaran kami, dia benar-benar menghilang. Jujur, aku rindu dia. Satu-satunya pria yang bisa membuatku tertawa saat menangis adalah dia. Satu-satunya pria yang mau berkorban demi kepentinganku adalah dia.

Aku teringat waktu aku menangis di kedai sendirian karena baru saja bertengkar dengan Fastelin dan Amara, Antoni datang membawakanku seperangkat alat boxing.

"Lampiasin apa yang pengen lo lampiasin, Bel. Marah, sedih, kesal, lampiasin semua."

Saat itu aku langsung menghujami papan boxing yang dia bawa dengan membabi buta, melampiaskan semua amarah yang terpendam. Rasa sedih yang tak berujung. Sambil memegangi papan itu, dia tersenyum dan memprovokasiku untuk melampiaskan semua sesak di dada. Saking terbakarnya, aku tak sengaja meninju wajah Antoni. Dia terjatuh.

"Lo gapapa, Ton?" tanyaku waktu itu khawatir.

"Gapapa, tinjuan lo nggak begitu keras, kok. Enteng," katanya sambil bangkit.

"Ton, hidung lo... hidung lo berdarah." Setelah aku bilang begitu, Antoni langsung pingsan. Bukan karena tinjuanku, tetapi karena dia takut darah. Setelah sadar, aku menertawainya puas sampai rasa sesak di dadaku benar-benar menghilang.

Aku tidak mengerti, apa sebenarnya rasa yang tertinggal ini setelah dia menghilang. Hatiku seolah terbongkah jika memikirkannya. Aku... merasa ada yang hilang.

***

"Biyung, ... boleh nanya tentang mendiang istri Pak Shaka?"

"Maaf, Nyonya. Kami tidak boleh membicarakannya lagi."

"Ayolah, Biyung..."

"Maaf, Nyonya."

"Please!!!" Aku memohon semohon-mohonnya. Namun, aku malah diacuhkan.

Aku mencoba mengorek informasi dari Biyung tetapi Biyung begitu keukeh tutup mulut. Aku menghampiri satu-satu persatu pelayan, membujuk mereka untuk memberitau sedikit informasi tentang mendiang istri Pak Shaka dengan imbalan uang.

Namun, jawaban mereka sama.

"Fer, kamu kan bekerja di sini sudah lebih dari lima tahun. Boleh kasih info sedikiiiit saja tentang Alisa ya, ya, ya, aku mohoon, please, please... " Aku sampai menggelayut di lengan Fera.

"Maaf, Nyonya, loyalitas kami lebih berharga dari sekadar uang." Pada akhirnya, dia juga tidak memberitauku.

Padahal aku sudah mengatakan minta imbalan uang berapa pun, pasti akan aku berikan. Sayangnya, mereka terlalu setia kepada Tuan-nya. Sebenarnya duda gila itu menutup mulut mereka semua dengan berapa miliar sih? Usahaku benar-benar sia-sia.

Informan terakhir yang harus aku tanya adalah... Alisa. Mungkin agak memaksa, aku yakin orang yang sedikit dipaksa akan merasa kesal, dipuncak kesalnya seseorang sering terjadi luapan emosi, di tengah luapan emosi tersebut akan ada kalimat yang semula tak mau dikatakan tapi akhirnya dilontarkan tanpa disengaja.

Wish me luck!

Aku membereskan beberapa kertas gambar yang berisi desain-desain rancanganku dan rancangan tim desainer Shabiru Mode di meja. Kemudian aku berjalan kearah lemari, memilah beberapa baju, sepatu, dan aksesoris lainnya. Selesai mandi, aku mempersiapkan diri dengan pakaian yang aku pilih sebelumnya. Kemudian berjalan kearah meja rias. Tidak ada tambahan lain seperti biasanya, hanya blush on tipis, lipmate, ukir alis sebisanya, dan menguncir rambut seadanya.

Sweater cokelat, jeans panjang, dan topi, tak ketinggalan flapbag mungil milikku sendiri, bukan dari Pak Shaka. Sebenarnya Pak Shaka memberiku pesan jika mau berpergian untuk menghubungi stylis agar dipermak seperti yang sudah-sudah. No, no, no, i'm not his doll. Aku mau pakai pakaian apa yang ingin aku pakai. Aku mau berpenampilan untuk diriku sendiri, bukan untuk dilihat orang. Lagian, tuh duda gila tidak ada di sini.

"Nyonya mau ke mana?" tanya Fera saat melihatku keluar kamar.

"Jemput Alisa," jawabku sambil memakai masker dan topi.

"Bukannya Non Alisa pulang jam 6 sore?"

"Mau aku jemput sekarang, nanti, jam satu malem, jam subuh, terserah aku. Oke?" Aku berlalu.

"Tapi, Nyonya, penampilan Nyonya,..." Fera menyusulku.

"Kenapa? Jelek? Tidak mencerminkan Nyonya Shabiru? Iya? Tanya tuh sama Tuanmu, ngapain nikahin perempuan yang tidak modis!" semprotku kesal sambil berlalu pergi.

Jujur, menikah sebulan dengan Pak Shaka. Membuatku muak jika harus ini itu segalanya pakai diatur. Atau mungkin... Oriana Kim mengalami depresi karena sikap sok mengaturnya Pak Shaka, sampai akhirnya dia bunuh diri?

Kalau aku jadi Oriana Kim, jelas sekali depresi. Kehamilan yang ditolak suami sendiri, terpenjara di istana ini, dan lagi sikap Pak Shaka yang otoriter dan posesif. Ditambah, Kim jauh dari keluarganya. Menjalani kehamilan yang tidak mudah dengan berbagai tekanan mendera. Aku yakin, dia pasti depresi. Depresi yang dialami Kim membuatnya mengakhiri hidup, nah, pada waktu dia mengakhiri hidup, Alisa menyaksikan. Oleh karena itu Alisa mengalami trauma yang membuat gadis itu kehilangan senyum dan menjadi dingin.

Hmm... masuk akal?

Untuk saat ini, aku menyimpan spekulasi itu sementara. Sambil terus mengumpulkan berbagai bukti bahwa spekulasiku tadi memang benar.

***

"Pak, ini tidak salah tempatnya?" tanyaku memastikan bahwa sopir tidak salah alamat.

"Benar, Nyonya."

"Yakin?"

Pak sopir menoleh kearahku, dia tersenyum sambil mengangguk. Aku mendongak keluar kaca mobil, menatap gerbang raksasa yang bertuliskan, "Welcome to Antartika Accademy", sebuah jalan lurus terlihat sampai di depan gedung yang beraksitektur seperti Royal Kingdom. Penjagaan begitu ketat, sopir harus mengeluarkan surat resmi pengantar dan penjemputan yang dikeluarkan oleh sekolah. Beruntung sekali aku mengajak sopir yang biasa mengantar jemput Alisa. Kalau naik ojol, apa jadinya?

Aku juga menyerahkan KTP, wajahku juga dipotret memakai alat seperti scanner yang langsung masuk ke komputer Satpam. Setelah pemeriksaaan selesai, gerbang di buka.

Gila, ini sekolah apa bangunan kerajaan? Terlihat klasik, antik namun super mewah. Sampai di pintu utama, aku masih dimintai surat resmi yang diberikan oleh satpam depan. Benar-benar super ini sekolah, super gila ketatnya!

Masuk ke lobby langsung dihadapkan dengan tangga yang bercabang-cabang, nyaris mirip dengan tangga di film Harry Potter. Aku dipandu oleh petugas yang memang bertugas untuk memandu tamu. Aku mengatakan ingin bertemu dengan wali kelas Alisa untuk memperkenalkan diri sebagai mama baru Alisa, padahal bukan itu tujuan utamaku.

Setelah bertemu dan berkenalan dengan wali kelas Alisa yang ternyata seorang bule, aku diantarkan ke kelas Alisa yang berada di lantai tiga. Kami naik lift.

Menurut penuturan wali kelas Alisa, sekolah ini menggunakan kurikulum Internasional Baccalaureate yang menerapkan gaya belajar yang riang dan tidak terpaku kepada akademik. Para guru yang didominasi WNA itu mengajari para murid untuk menggali potensi bakat murid sejak dini, yang paling menarik adalah penekanan integritas dan kerja sama antar siswa. Setelah aku browsing biaya sekolah ini, ternyata pertahunnya memerlukan biaya seratus juta untuk tingkat TK dan SD, untuk tingkat SMP dan SMA malah jauh lebih mahal lagi, nyaris menyentuh angka setengah miliar/tahun. Gila! Gila! Gila!

Apalah aku yang spp 150ribu itu pun sering nunggak! Aku cuma bisa melongo melihat kegilaan sekolah ini.

"Alisa adalah anak yang pendiam, namun dia sangat berprestasi. Dia selalu mendapatkan nilai A+ terlebih lagi di pelajaran multibahasa, dia sangat menyukai bahasa Italia." Penjelas wali murid itu dengan bahasa Indonesia yang lancar.

Dalam hati aku berkata, "Yah, dia sangat menyukai bahasa italia. Aku sering mendapat umpatan dalam bahasa italianya." Miris!

Kami sedang berdiri di depan jendela kelas Alisa. Terlihat gadis berambut lurus panjang itu tengah sibuk dengan pensil dan bukunya, fokus memperhatikan guru yang sedang menjelaskan dalam bahasa inggris.

"Apa dia memiliki teman atau sahabat dekat, Miss?"

"Setau saya, Alisa sering menyendiri. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, dia seolah punya dunianya sendiri. Kami sudah berusaha untuk mendekati dan membantunya bersosialiasi, namun Pak Arshaka bilang untuk membiarkan saja."

"Pak Shaka bilang biarin aja?" Aku terkejut.

"Mungkin Pak Arshaka punya alasan lain."

Aneh, kenapa Pak Shaka malah membiarkan Alisa menjadi seperti itu? Alasan apa yang membuat duda gila itu begitu tega sama anaknya sendiri? Hm, semakin mencurigakan.

Aku menunggu di ruang tunggu sampai jam sekolah berakhir, sekitar tiga puluh menit lagi. Ruang tunggunya seperti hotel, disediakan makanan prasmanan, fasilitas-fasilitas lain yang membuatku merasa bahwa saat ini tidak di sekolah tetapi di sebuah hotel.

Setelah tiga puluh menit berlalu, aku mendengar gemuruh tawa, sepatu, ocehan dari para murid. Kelas sudah berakhir. Aku yang nyaris tertidur itu segera beranjak dan berniat mencegat Alisa di depan tangga utama, tangga yang seperti tangganya Harry Potter itu.

Aku cuma bisa bergeleng-geleng melihat para murid itu dengan penampilan yang highclass, ya iyalah lawong biaya sekolahnya aja selangit, ya kali penampilan mereka nggak selangit juga. Hampir semua murid mengenakan aksesoris sekolah yang branded, dari mulai tas, sepatu, gawai, jam tangan, sampai kuncir rambut. Kuncir rambut saja branded, apalah aku yang sering pakai karet gelang.

Mataku berlarian mencari wajah Alisa, namun sampai tangga sepi, aku tidak menemukan sosok anak tiriku itu. Aku mulai cemas, aku memutuskan untuk menyusul ke kelasnya. Aku mempercepat langkah di koridor kelasnya yang sepi. Aku mencoba menghubungi Pak Sopir, dia bilang Alisa belum keluar gedung.

Aku mencari-cari Alisa di sepanjang koridor kelas, karena tidak ada di lantai dua. Aku memutuskan ke lantai tiga, di sana masih terdengar suara anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran. Mungkin kelas tambahan. Setelah sampai di koridor kelas sekolah menengah pertama, aku berjalan meperhatikan sana-sini.

Ada segerombolan siswa keluar dari kelas mengikuti seorang guru bule. Mereka berpas-pasan denganku, ada beberapa siswa yang sedang membicarakan sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini, barang-barang mereka menghilang dan sepertinya ada pencuri di kelas. Mereka berjalan masuk ke sebuah ruangan bertuliskan Laboratorium.

Sampai diujung koridor kelas, aku tidak menemukan Alisa. Lagian, mana mungkin dia di kelas tingkatan SMP. Aku memutuskan untuk kembali ke lantai dua. Namun, langkahku terhenti di salah satu kelas yang baru saja ditinggalkan para siswanya. Aku melihat gadis kecil berambut panjang legam memakai bando merah muda sedang berjalan di antara barisan bangku. Aku tahu itu Alisa, aku tidak buru-buru memanggilnya. Aku penasaran apa yang dia lakukan di ruangan itu.

Mataku terbeliak kaget saat melihat Alisa membuka salah satu tas dan mengambil barang dari dalam tas itu. Alisa mencuri? Buat apa dia mencuri? Tak berhenti di satu tas, Alisa membuka tas lainnya. Dan kembali mengambil barang dari dalam tas-tas itu. Aku memperhatikan sekeliling, CCTV ada di mana-mana, kenapa Alisa nekat sekali melakukan hal itu?

Aku berjalan kearah pintu, kemudian membukanya dengan dorongan keras. Aku melihat jelas wajah keterkejutan gadis itu. Bahkan dia melempar barang yang hendak dia curi ke lantai.

"Alisa, apa yang sedang kamu lakukan?"

Wajah keterkejutan Alisa berubah menjadi marah. Gadis itu berjalan dengan ekspresi kesal kearahku.

"Bukan urusanmu!" Dia melewatiku dan keluar dari kelas. Aku langsung menyusulnya.

"Alisa?" Aku menggapai pundak kanan gadis itu yang langsung ditepis kasar olehnya, "Aku tanya, kamu sedang apa di sana?" Mataku menatap lekat-lekat manik matanya, "Kamu mencuri?"

"Aku sudah bilang, bukan urusanmu!" Dia berpaling dengan tatapan tajam, berjalan kearah tangga.

"Alisa!" Panggilku, tetapi gadis itu tidak menggubris. Aku berjalan kearahnya, lalu menarik salah satu tangan gadis itu yang masuk ke dalam saku jaketnya. Begitu tangannya kutarik, beberapa barang jatuh ke lantai. Penghapus, pulpen, pensil, jepit rambut, dan kuncir.

"Kamu benar mencuri. Why are you do that?" terjemah: kenapa kamu melakukan itu?

Dia menatap tajam kearahku, dua bahunya terlihat tersengal-sengal menandakan amarah akan segera meledak dari dalam dirinya.

"Cepat kembalikan barang-barang itu, Alisa. Ini tidak benar!"

"BUKAN URUSANMU!" teriaknya.

"No, ini jelas urusanku. Aku mamamu sekarang. Kamu tanggung jawabku."

Alisa menggelengkan kepalanya, "Kau selamanya tidak akan pernah jadi mamaku! Siapa pun tidak akan bisa menjadi mamaku! Siapa pun! Kau hanya gadis miskin yang mau uang papaku. Aku tidak akan membiarkanmu merebut papaku!"

"No, im not! Never!" tegasku, "aku sama sekali tidak mau uang papamu. Aku tidak akan merebut posisi mamamu. Aku hanya ingin menjadi ibu tiri yang baik untukmu, Alisa. Memang benar awalnya aku menginginkan uang papamu untuk menyelamatkan sesuatu yang berharga. Tidak lebih dari itu. Please, jangan melakukan hal buruk itu lagi. Mencuri itu salah, Alisa. Itu buruk sekali."

"Buruk? Mereka yang lebih buruk! Mereka selalu membicarakan jelek tentang keluargaku! Itu semua gara-gara kau menikah dengan papaku. Aku harap kau pergi selamanya dari hidupku! Pergi!"

Aku menghela napas sejenak, menurunkan bahu mencoba untuk tetap bersabar menghadapinya, "Aku tahu ini memang sulit, tetapi cobalah untuk menerima. Aku hanya ingin membantumu keluar dari mimpi buruk. Hanya ingin itu. Please, give me one chance..."

"In your dream!" teriaknya sebelum akhirnya dia membalikan badan dan berlari kearah tangga.

Aku memejam sejenak, rasanya ingin menyerah. Tetapi, aku tidak tega dia menjadi pribadi yang buruk. Dia kasar dan suka mengumpat sudah buruk, ditambah lagi dengan tindakannya yang mencuri, itu sangat buruk sekali. Aku membayangkan masa depannya yang suram jika tidak ada yang menolongnya. Aku bertekad, apa pun yang terjadi, sesulit apa pun itu, aku tidak akan menyerah. Demi masa depan gadis malang itu.

BRUAK!

Aku langsung membuka mata terkejut mendengar suara itu, tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari kearah sumber suara. Mataku terbeliak kaget saat melihat Alisa tersungkur di dasar tangga.

"Alisa!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro