15. Kedai Cinderella
Sial, aku ketahuan!
Aduh bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin, kan, aku menghilang? Aku bukan pesulap. Aku harap ini hanya mimpi dan siapa pun tolong, bangunkan aku!
"Cukup, Sabella. Cepatlah keluar!"
Aku merutuki diri sendiri dalam hati karena terlalu bodoh. Masuk kandang macan tanpa persiapan dan strategi yang tepat jika menghadapi situasi mencengkam ini.
"Hordeng itu tidak menutupi kakimu, kau tau! Jadi, keluarlah!"
Sial, kakiku!
"Oke," jawabku setenang mungkin, padahal keringatku sudah panas dingin. Lututku gemetar, takut. Aku siap didampratnya habis-habisan dan semoga dia tidak membunuhku.
Aku menyikap kelambu, sepasang matanya menatapku tajam. Rahang tegasnya menegaskan bahwa ada aura-aura tidak menyenangkan tercipta di wajahnya. Jantungku seolah melompat-lompat ketika berjalan keluar perlahan dari tempat persembunyian.
"Ha-hai?"sapaku sambil memperlihatkan semua deretan gigiku, menyengir.
"What have you done?"
"Emm..." Aku menahan napas sejenak, memutar otak mencari dalih apa yang tepat. "Tersesat! Ya, aku tersesat,"cetusku, "Ya you knowlah... mansionmu yang luar biasa mewah ini terlalu besar jadi aku tersesat deh. Heheh..." lanjutku dengan tertawa sumbang diakhir kalimat. Semoga dia percaya.
Dia mendekat, tiba-tiba dia mencengkeram kerah piyamaku, aku membeliakkan mata, kaget dan sangat ketakutan, "Aku tanya... sedang---apa---kau---di sini?"tanyanya dengan penekanan nada di semua katanya. Matanya menatapku lurus, menyelidik tajam.
Iya bodoh sih kalau dia percaya aku tersesat. Aku hanya bisa menelan air salivaku sendiri karena ketakutan. Aku menahan napas karena tatapannya seperti singa yang mau menerkam. Jangan sampai dia tahu ada benda yang menyelip di balik bajuku. Jika dia sampai tau, oke, habislah aku.
"Oke, aku jujur!" Akhirnya aku menyerah. "Tapi, bisa lepasin dulu? Sakit, tau."
Dia tidak juga langsung melepas cengkeramannya di kerah piyamaku. Menunggu hampir sepuluh detik sampai akhirnya tangannya lepas dari kerahku. Selama sepuluh detik itu dia hanya diam mencoba menyerobok pandanganku. Sumpah demi apa pun, ketakutanku luar biasa seperti jatuh di kolam penuh dengan buaya kelaparan.
"Aku mencoba mencari sesuatu tentang Alisa di kamarmu. Kau sendiri yang bilang waktuku tidak banyak untuk bisa meluluhkan hati Alisa. Aku tidak mau kehilangan kedai, jadi aku nekat masuk kamarmu," ucapku, jujur. "That's because of your fault never give me one of clue, so don't blame me!" Aku menyela sebelum dia berkata. Terjemah: Itu karena salahmu tidak pernah memberiku satu pun petunjuk, jadi jangan salahkan aku.
Pak Shaka tersenyum sembari berdecih, seolah menertawakan kepedeanku menyalahkannya. Ya memang benar, kan? Tidak ada petunjuk satu pun tentang trauma Alisa. Bagaimana bisa aku meluluhkan gadis ketus itu jika tidak ada satu pun petunjuk untuk bisa meluluhkannya?
"Pasal 5, pihak dua dilarang mengurusi hal pribadi pihak satu," katanya mencoba mengingatkanku tentang surat kontrak.
"Hey, hey, hey hold on! Aku tidak mengurusi hal pribadi Anda, Mas Shaka yang terhormat. Aku mengurusi hal tentang Alisa. Jadi tolong bedakan, oke?" protesku tidak terima.
"Masuk ke kamar ini termasuk hal pribadiku. Sudah sejauh mana kamu menggeladah kamarku, he?" ucapnya dengan menaikan dagu.
"Sejauh mana apanya?! Baru masuk, kau sudah datang!" bohongku bernada ngegas.
Dia menatapku penuh selidik, semoga saja tidak ada ide menggeledahku melintas di pikirannya. Aku juga takut jika benda yang kususupkan di punggung ini akan jatuh dan membuatku ketahuan.
"Oke, oke, I am promise tidak akan pernah masuk kamar ini lagi." Aku terus menyela saat Pak Shaka akan mengatakan sesuatu, aku ingin segera keluar dari sini, "lagian, kamarmu serem tau. Kayak kamar drakula! Kalo tadi aku tidak melihatmu salat nih, aku bisa ngira kalo ini tempat pesugihan, tau!"
Pak Shaka mengerutkan keningnya, mungkin heran. Siapa yang salah, siapa yang selalu nyolot.I dont care, nada menyolotku berhasil menutupi rasa takut yang mungkin jika dibiarkan membuatku pingsan.
"Aku permisi dulu ya, Pak. Maaf telah menganggu kenyamananmu, Masyaallah ternyata bapak orangnya rajin salat tahajud. Sudah konglomerat, rajin ibadah lagi. Sungguh, bapak adalah suami idaman. Saya undur diri, selamat beristirahat have a nice dream. Assalamualaikum." Aku membungkuk sambil melipir menuju pintu.
"Tunggu!"
Langkahku otomatis berhenti. Gawat! Dia pasti melihat buku di belakang punggungku. Harusnya aku tadi berjalan mundur saja. Aku tidak langsung membalikkan badan sampai dia mengatakan sesuatu.
"Kenapa buru-buru?"
"Hah?" Aku membalikkan badan. Dia terlihat mendekat sambil tersenyum miring, satu alisnya terangkat. Biasanya aku menyebutnya senyuman picik, pasti ada sesuatu yang ingin dia lakukan.
"Aku jadi tidak ngantuk nih."
"Ya terus?"
Dia menggerakkan dagunya menunjuk tempat tidur.
"Maksudnya?" tanyaku curiga.
"Kalau tersesat kenapa tidak sekalian menginap di sini? Aku mau kok berbagi tempat tidur denganmu," katanya seraya terus melangkah mendekat.
Aku langsung memasang ekspresi bergidik, memundurkan langkahku menjauhinya.
"Yuk!" ajaknya.
"KYAAA NGGAK!!!" Aku langsung berteriak dan melarikan diri. Dasar duda sinting!
***
Gila, gila, gila semalaman aku tidak bisa tidur, takut duda gila itu masuk ke kamar. Kebayang sekali bagaimana mupengnya. Aku mengunci pintu, kemudian menarik sofa untuk menghalangi pintu. Sebegitu takutnya, meski aku tau dia mungkin hanya menggoda. Tetap saja, sebagai seorang gadis yang tinggal di kandang macan membuatku was-was. Dia kan pria normal. Apalagi aku istrinya yang sah menurut agama dan Negara.
Aku memandangi wajahku yang kusut di cermin. Kantung mataku terlihat jelas sekali jika aku tidak tidur hampir semalaman. Aku menjatuhkan kening di meja rias, sebal pada diri sendiri.
Ah, iya. Aku menarik kening dari meja rias, kemudian menarik holder laci. Buku dengan tulisan tinta emas itu berada di sana. Aku bersyukur sekali bisa selamat tadi malam. Entah bagaimana jika dia tahu kalau aku mengambil buku diary ini. Aku harus mencari tau ada apa di dalam buku ini dan secepatnya mengembalikan buku ini sebelum Pak Shaka menyadari buku ini hilang.
Aku menarik kancing buku dan perlahan membukanya.
Halaman pertama,
"Hai, namaku Oriana Kim. Saat menulis ini, usiaku 22 tahun. Buku ini akan menjadi jejakku pernah ada di dunia yang hidup dalam istana neraka."
Halaman kedua,
"Semua kepahitan berawal dari dia, Arshaka Shabiru. Pria picik itu membuatku layaknya burung yang terpenjara sangkar. Aku benci dia. Aku ingin lepas darinya. Aku hanya ingin hidup seperti yang aku mau."
Halaman ketiga,
"Aku tau kamu menyayangiku. Tetapi, tolong, jangan membuatku menderita dengan tingkahmu yang semena-semena. Aku bukan bonekamu!"
Halaman keempat,
"Shaka, aku harap kamu mati!"
Halaman kelima, sebuah coretan abstrak. Coretan kemarahan, tidak beraturan. Aku bisa menyimpulkan sampai di halaman ke lima ini kalau perempuan berhijab bernama Kim itu tidak bahagia hidup bersama Pak Shaka. Ada apa? Kenapa? Aku sangat tidak sabar membaca halaman-halaman berikutnya.
"Nyonya," suara Fera mengejutkanku, buru-buru aku memasukkan buku itu ke tempat semula, "stylis Nyonya sudah datang."
"Iya, silakan masuk."
"Pintunya tidak bisa dibuka, Nyonya."
Ah, iya lupa. "Sebentar!"
***
Ada apa lagi duda gila ini membawa seperangkat staff modelling? Apa dia akan mengajakku ke Shabiru Mode lagi hari ini? Seingatku, aku sebagai Kepala Desainer cukup mengontrol dari rumah dan hanya ke kantor jika ada meeting saja. Mengingat tugas utamaku adalah menjadi ibu Alisa.
"Ada apa lagi, Pak?" tanyaku malas.
"Foto kita sudah tersebar di internet, banyak majalah yang menawari melakukan interview perihal foto di Kedai. Sesuai rencana, kau harus siap-siap untuk berakting lagi."
Aku memutar bola mata, jengah. Kemudian mengangguk malas, "Oke."
Setelah mendengar jawabanku, Pak Shaka memerintahkan para staf yang kemarin mendandaniku untuk masuk ke kamar dan memulai tugas mereka masing-masing.
Kali ini styleku berbeda dari kemarin, jika kemarin rambutku dibiarkan tergerai dengan liyer keriting jatuh di ujung rambut. Sekarang dikuncir kuda dengan poni mengembang tipis. Polesan make up-nya juga tidak terlalu tebal, sepertinya mereka mengaplikasikan Korean look. Minimalis dan natural.
Baju yang kupakai juga terlihat santai, sebuah sweatter abu kerah panjang menutupi leher dan jeans putih panjang sampai di atas pergelangan kaki, juga sepasang sneakers bermerk Louis Vuitton berwarna putih dengan modifikasi warna keemasan. Semua dilengkapi dengan tas flap bag hitam dengan merk yang sama dengan sneakers yang kupakai.
Tidak terlalu berubah, masih mirip denganku seperti biasanya. Jujur, aku lebih nyaman berpakaian seperti ini daripada memakai gaun atau blouse. Aku juga suka dengan make up natural, kali ini entah mengapa aku suka berpenampilan seperti ini. Jauh lebih percaya diri.
Setelah menghabiskan waktu setengah jam, aku keluar dari kamar. Fera memberitahuku untuk menemui Pak Shaka di ruang depan karena dia sudah menungguku di sana. Aku langsung menuruni tangga dan menghampiri pria itu. Tak disangka ternyata Alisa juga ada di sana. Dia sedang duduk menyilangkan dua kaki sambil memainkan gawai. Di samping gadis itu, duduk Pak Shaka yang juga sama sibuk dengan laptopnya.
"Aku sudah siap," ujarku.
Pak Shaka langsung menutup laptop, sedangkan Alisa tetap memainkan gawainya, dia sempat melirikku sekilas sebelum berkutat kembali dengan benda pipih bermerk Apple itu.
Pak Shaka berdiri, mataku terperangah karena baru kali pertama ini melihatnya tidak memakai setelan jas atau tuxedo. Dia memakai kaos polos berwarna hitam, celana Chino hitam berbahan twill. Kerah V neck membuat leher sampai dada atasnya terlihat jelas, tegas. Dia juga memakai sneakers berwarna putih. Yang lebih mencengangkan adalah gaya rambut yang biasanya formal ke belakang atau ke samping, sekarang undercut.
Glek. Aku menelan air ludah. Aku tak menampik, duda gila ini sangat tampan!
"Saat wawancara nanti, kau hanya mengatakan iya dan fokuslah perhatianmu pada Alisa. Untuk cerita fiktifnya, biar menjadi urusanku," kata Pak Shaka sembari memasang jaket kulitnya.
Glek. Aku kembali menelan air ludah mengagumi style duda gila ini. Jaketnya memberi kesan macho dan tampan berkali lipat.
Sadar Sabella! Sadar! Ingat perjanjian! Kamu tidak boleh sampai jatuh hati kepadanya. Ingat! Pria gila itu seperti buah mangga yang masak karbitan, luarnya bagus tapi dalemnya asem!
"O—oke," jawabku.
Kami bertiga keluar mansion dan masuk dalam satu mobil. Aku menatap Alisa yang duduk ditengah-tengah kami. Aku mengingat perkataannya tempo hari yang mengataiku menggelikan karena berharap bisa semobil dengannya. Pada akhirnya, aku dan dia kini bisa juga semobil. Aku tersenyum kecut, menertawainya dalam hati.
"David sudah menghubungi Nania untuk bersiap di kedai."
"Kita ke kedai?"tanyaku setengah terkejut.
"Iya, kita akan wawancara di kedai. Ada salah satu stasiun swasta yang akan meliput kita." Kemudian dia menoleh kearahku, "Nanti di kedai, jangan sekali-kali mengeluarkan ponselmu," ujar Pak Shaka.
Aku meliriknya, keheranan. "Kenapa?"
"Ponselmu kuno."
Aku mendengus kesal, malas berdebat. Toh, memang benar ponselku jelek. Layarnya sedikit pecah, warnanya pun sudah memudar. Dia benar, ponselku akan membanting penampilanku saat ini. Mengingat harga sneakers yang kupakai berkali-kali lipat mahalnya daripada ponsel ini.
"Belilah ponsel keluaran terbaru. Aku memberimu uang untuk dihabiskan, bukan untuk ditimbun."
Ah, dasar orang kaya!
Tidak akan ada yang menyangka bahwa pria itu taat ibadah, aku saja sampai detik ini masih tidak percaya. Kupikir, hidupnya penuh dengan intrik-intrik kotor yang sering dilakukan orang berduit, di mana menggunakan segala cara haram untuk mendapatkan sesuatu. Ah, aku terlalu menyimpulkan terlalu jauh. Mungkin tadi malam kebetulan dia lagi pengin tobat. Belum bisa membuktikan kalau pria itu pembisnis yang bersih.
"Kau tau, Pak, Sampanye itu beralkohol."
"Dari dulu. Tidak usah bilang, aku sudah tau. "
"Kata guru ngajiku dulu waktu kecil, minuman yang memabukkan itu... ha—ram."
Pak Shaka tertawa, apanya yang lucu?
"Memang kau bisa ngaji?"
Aku bereaksi, "Bisalah!"
"Huruf hijjaiyah setelah lam apa?"
"Eee..." Aku memutar otak mencoba mengingat. Sial, aku lupa. "Hamzah?"
"Mim, bodoh," sahut Alisa yang sedang asyik memainkan gawainya. Pak Shaka tertawa.
"Itu maksudku, tadi salah sebut aja!" alibiku menutupi rasa malu.
Pak Shaka menghentikan tawanya, dia kembali berfokus pada tabletnya, "Yang kau lihat di penthouse kemarin itu bukan sampanye. Memang bentuknya mirip sampanye, tetapi itu bukan sampanye beralkohol. Arabic Sampanye. Baru tau, kan? Coba aja search di google, aku malas menjelaskan," ujarnya menjawab pertanyaanku tadi malam tentang dirinya.
"Ooh, gitu. Oke."
Setelah sampai di halaman kedai, akting di mulai. Pak Shaka turun terlebih dahulu, kemudian disusul aku dan Alisa. Gadis cilik itu tetiba meraih tanganku, menggelayut manja sambil tertawa gembira. Sungguh, aku sekarang yakin seratus persen bahwa gen bapaknya menguasai gen Alisa. Mereka berdua benar-benar mirip, jago berakting dan sedikit,... licik. Beberapa detik yang lalu air mukanya terlihat lempeng, namun saat keluar mobil berubah drastis.
Wartawan sudah stand by di luar kedai. Mereka berdiri di belakang tali pembatas yang mungkin sudah disediakan oleh David, Kepala badan perencana Shabiru Mode sekaligus kaki tangan Pak Shaka. Sorot kamera, kilatan benda itu mulai menghujami kami. Ada beberapa orang yang berkerumun di belakang para wartawan.
Nania menyambutku di pintu kedai, dia bersikap takzim sembari tersenyum jahil. Aku, Alisa dan Pak Shaka masuk ke dalam kedai. Kedai diisi beberapa orang yang kuyakini sedang berakting juga, aku mengenali salah satu pengunjung, dia pelayan di mansion yang kutinggali. Kami duduk di meja yang telah disiapkan, di dekat kaca besar. Mungkin akan memudahkan para wartawan di luar untuk membidik gambar kami.
"Selamat pagi, mau pesan apa?" Nania datang menyodori daftar menu.
"Nan—," kalimatku terpotong saat Pak Shaka menarik punggungnya dari sanggahan kursi.
"Seperti biasanya," katanya. Aku sempat mengerutkan kening, sejenak kemudian berekspresi normal.
Lima belas menit kemudian, Nania datang membawa satu cangkir kopi panas, satu iced coffe latte dan susu hangat. Aku sadar ada kamera yang menyorot kegiatan kami. Pak Shaka sibuk dengan tabletnya dengan sesekali berbincang dalam bahasa mandarin dengan Alisa yang sungguh aku tak mengerti satu kata pun.
Dua makhluk menyebalkan ini sengaja membuatku seperti orang bodoh hanya tersenyum dan sesekali ikut tertawa saat mereka tertawa, padahal aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan.
"Mama?"
Aku terdiam sejenak, jantungku berdegup kencang saat mendengar Alisa memanggilku seperti itu, bahkan tatapan manisnya membuatku lupa permusuhan di antara kami.
"I—iya, Sayang?"
Dia yang duduk di sampingku itu mendekat, bibir mungilnya mengarah ke telingaku.
"Kau seperti orang gila. Aktingmu payah," bisiknya.
Mataku membulat terkejut. Rasa bahagiaku yang sempat tercipta langsung runtuh. Aku melupakan sesuatu bahwa saat ini kami tengah berakting. Sial!
Pak Shaka menatap kami, aku langsung menarik ujung bibirku dan tersenyum. Rasa kesalku kulampiaskan pada pipi Alisa, "Uuuh, iya Sayang. Kau benar, Papamu tampan hari ini," kataku sambil mencubit gemas pipi Alisa.
Alisa tidak bisa melakukan apa-apa selain tertawa meski aku yakin ada seribu kata umpatan yang ingin dia lontarkan kepadaku, aku tersenyum menang.
Maaf, ya, anak tiriku yang cantik. Mama tirimu ini tidak mau lagi ditindas!
"Shaka, media mau melakukan interview lima belas menit lagi," lapor David yang sedari tadi menunggu di depan Counter menemani Nania.
"Oke," jawab Pak Shaka. Kemudian dia menoleh kearahku, menatapku dengan satu alis terangkat dan bibir tersenyum tipis. "Here we go."
Glek. Masih heran, kenapa hari ini dia begitu tampan? Tolong, hatiku jangan sampai jatuh pada makhluk licik itu!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro