Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Sisi Lain Duda Gila

"Aaaaaaakh!!!"

Aku membanting diri ke kasur, kemudian bergulung-gulung kesal karena lagi-lagi usahaku untuk mendekati Alisa gagal. Tadi pagi aku menghampiri Alisa di kamarnya —di depan pintu kamarnya—karena pelayan Alisa melarangku masuk atas perintah gadis itu. Aku sudah menyiapkan amunisi untuk mendekati Alisa, namun semua sia-sia hanya dengan satu ucapan dari mulut gadis kecil itu.

"Ciao, Alisa, Buon giorno? È una bella giornata, buona giornata. Sei Molto Bella, ti adoro."---terjemahan: "Halo, Alisa, selamat pagi? Hari ini sangat indah, semoga harimu menyenangkan. Kamu begitu cantik, aku suka".

Aku menuruti saran Nania untuk mempelajari sedikit tentang bahasa Italia, berharap Alisa mau membuka diri untukku atau setidaknya dia mau menyambut ucapanku tanpa wajah sinis dan perkataan kasar. Namun, itu semua sia-sia saat mendengar jawabannya.

"Wǒ hèn nǐ!"---terjemah: aku benci kamu!

DIA MENJAWAB PERTANYAAN BAHASA ITALIAKU DENGAN BAHASA MANDARIN!!!

Dan berakhirlah aku di sini, menggulung diri dengan selimut melampiaskan sedihnya nasibku harus berhadapan dengan anak luar biasa seperti Alisa. Aku sudah belajar bahasa Italia semalaman, menghapal kalimat yang ingin kuucapkan sampai menjelang subuh, tapi endingnya sungguh memalukan. Sebenarnya dia bisa berapa bahasa sih!? Dia manusia atau kamus berjalan?

Saat anak usia sepuluh tahun baru belajar perkalian, tetapi dia sudah bisa menguasai empat bahasa. Aku tidak percaya ini, Alisa itu benar-benar manusia atau jelmaan roh Einstein?

Kling! Terdengar sebuah pesan masuk di ponselku, dengan malas aku meraih benda pipih itu yang juga di atas tempat tidur. Melihat siapa yang mengirimiku pesan, aku membuang ponsel itu jauh-jauh. Siapa lagi kalau bukan duda gila itu. Pada detik ini aku hanya ingin bebas tekanan dengan mengistirahatkan sel-sel otakku sejenak.

Baru saja masuk ke alam mimpi, Fera salah satu pelayanku mengetuk pintu. Memberitauku untuk segera ganti baju dengan baju yang dia bawa. Aku yakin itu pasti perintah duda gila.

"Emangnya Pak Shaka ada di mana sekarang?" biasanya orang itu akan menyuruhku langsung sambil membawa satu paket karyawan make up modeling miliknya.

"Di Singapura, Nyonya."

"Singapura?" Aku memekik terkejut, "trus ngapain dia nyuruh aku pakai baju ini?"

"Tadi pagi Tuan muda berangkat ke Singapura untuk menghadiri meeting, Tuan muda baru saja mengabari bahwa beliau membutuhkan Anda di sana."

"Untuk?"

"Mohon maaf saya tidak tahu, Nyonya, Tuan muda hanya memberitau itu saja. Sekarang, Nyonya hanya punya waktu setengah jam untuk mempersiapkan diri terbang ke Singapura."

Jelaslah, aku langsung melotot kaget. Ke luar negeri tiba-tiba dan hanya diberi waktu setengah jam. Duda gila itu benar-benar otoriter sinting!

"Udah gila ya?" protesku.

Fera meletakkan tas ransel di lantai, "Di sini sudah ada passport dan kebutuhan lainnya saat Anda sudah berada di Singapura. Lima belas menit lagi helikopter akan sampai di halaman belakang menjemput Nyonya untuk ke bandara karena jet pribadi Tuan muda sudah stand by di sana."

Aku masih berdiri mematung, terkejut, bingung dan kesal.

"Nyonya?" panggilan Fera pun kuabaikan, masih mencerna kehidupan macam apa ini? "Nyonya, waktu Anda sangat sedikit. Helikopter akan segera tiba."

"Haish!" Aku mengangkat tas itu sambil berlalu, kesal.

Duda gila itu memberiku t-shirt lengan panjang berwarna hitam, celana jeans telur asin, topi dan masker. Lumayan membuat rasa kesalku berkurang karena dia tidak menyuruhku berdandan macam-macam. Aku menuju kamar mandi lalu mambasuh tubuh secara kilat, mempoles wajah ala kadarnya, bahkan aku tidak sempat memberi warna pada bibirku, hanya lipbalm saja. Aku memakai sneakers baru yang sudah distok beberapa hari lalu oleh entah siapa aku lupa namanya, dia anggota di bagian fashion show Shabiru Mode.

Suara helikopter terdengar bersamaan dengan ketukan pintu dari pelayan. Aku meraih ponsel, memakai topi dan cabut dari kamar dengan sedikit terburu-buru. Menuruni tangga dan berjalan kearah pintu belakang, langkahku terhenti saat melihat sosok gadis berambut pendek itu berdiri di teras belakang bersama David.

"Nania?"

Gadis itu menoleh, pipi chubbynya mengembang, matanya pun berbinar. "Sabella!" dia memekik sembari berlari kearahku. "Akhirnya bisa ngerasain lantai mahal," bisiknya sambil memelukku.

"Haish!" Aku berdecak kesal, norak! "Kamu ngapain ke sini?"

"Kak David tadi menjemputku di kampus, dia memintaku menemanimu terbang ke Singapura."

"Jangan bilang kamu bolos kuliah?" Aku menatapnya selidik dan responnya hanya tersenyum tidak jelas. "Nania, kamu itu udah mau semester akhir, sayang banget kalo sering bolos, kamu itu S2 loh, S2!"omelku.

"Ah, cuma sehari doang nggak bakal bikin aku di-drop out, lagian siapa juga yang nolak diajak ke luar negeri secara gratis. Cuma orang nggak waras yang nolak, berhubung aku masih waras, so i take that chance,"ucapnya sambil meringis. Aku berdecih, dasar Nania!

Sorot mataku kemudian mengarah ke laki-laki yang memakai jaket hitam itu, dia tersenyum menampilkan satu lesung pipit di pipi kanannya.

"Ngapain ajak-ajak Nania? Dia harus kuliah, tau."semprotku kesal.

"Gapapa kali, Bel," sahut Nania, "dia nggak maksa, kok. Aku aja yang emang excited ikut."

"Lagian dud—," hampir saja keceplosan,"Pak Shaka ngapain sih nyuruh aku ke Singapura? Mendadak pula."

"Kita tidak punya banyak waktu untuk mendengar penjelasanku, Nyonya Shabiru. Dua jam lagi kamu bakal tau, so lets go!" kata David seraya mengambil langkah menuju helikopter yang sudah menunggu kami.

Deru mesin helikopter terdengar bising, sebising jantungku yang untuk kali pertama menaiki capung besi yang kerap mengalami kecelakaan di beberapa adegan film. Aku cemas, ternyata keberadaan Nania menguntungkanku, aku meraih tangannya, berpegangan kuat karena gugup dan takut.

Seorang laki-laki berseragam mengulurkan tangannya menarikku untuk naik ke helikopter, kemudian dia menyerahkan earmuff yang langsung menghilangkan bising helikopter. Nania menyusul dan duduk di sampingku, kemudian David duduk di sebelah Nania. Laki-laki tadi memberi kode kepada pilot untuk segera menerbangkan capung besi ini.

Melihat kode itu, aku langsung kembali meraih tangan kanan Nania lalu meremasnya kuat, jantungku seolah ingin jatuh dari singgasananya. Aku benar-benar takut.

"Calm, Bel!" kata Nania, "inget film I am Legend waktu Will Smith nganter anak sama istrinya naik heli?"

"Iya, kenapa?"

"Jangan dibayangin!"

"Kalo gitu nggak usah ngingetin, dodol!" semprotku. Nania hanya tertawa.

Gara-gara Nania pikiranku meracau, membayangkan yang tidak-tidak. Belum sempat taubat, Tuhan. Please, beri keselamatan setelah itu beri hamba hidayah untuk taubat!

"AAMIIN!" pekikku saat baling-baling heli mengangkat kami.

***

Tak seseram yang dibayangkan, ternyata naik helikopter tidaklah menyeramkan. Aku bisa melihat puncak-puncak gedung, melihat hiruk pikuk kota metropolitan dari atas. Its fun! Baik buruknya nasib memang tergantung takdir, intinya jangan lupa berdoa. Itu saja.

Lima belas menit mengudara di langit perkotaan, kami sampai di landasan heli di Bandara. Setelah itu David mengarahkan kami berjalan menuju ke sebuah jet yang sudah stand by menunggu kami. Sepuluh menit kemudian, jet yang pernah kutumpangi waktu ke Jepang itu lepas landas menuju Bandara Internasional Changi, Singapura.

Sekitar hampir dua jam terbang, kami akhirnya landing. Aku memakai topi dan masker sesuai arahan David, bukan cuma aku. Nania dan pria itu juga bertopi dan bermasker. Menurutku, kita seolah bersembunyi dari seseorang atau mungkin dari tangan jahil hengpong jadul paparazzi. Kurang tau apa maksud Pak Shaka memerintahkan hal ini, kuyakin dia punya alasan tertentu. Keluar bandara, kami dijemput mobil dan melaju ke suatu tempat.

Mobil membawa kami sekitar 20 menitan, gedung besar tersohor Marina Bay Sands terlihat, kami melewatinya. Nania sudah mengoceh kesal karena tidak diperbolehkan selfie oleh David, takut jika ada media yang berniat mengusut karena khalayak sudah tau jika Nania adalah sahabatku. Itu sangat mengancam bocornya perjanjianku dengan Pak Shaka.

David membawa kami ke sebuah penthouse yang berada di apartemen Tanjong Pagar Center, bagian dari Wallich Residence. Penthouse sendiri seperti apartemen namun letaknya di tingkat paling atas. Kata David, penthouse ini milik Pak Shaka yang dibelinya beberapa tahun silam. Super mewah, ada , private park, skypool, gazebo, dan Jacuzzi (kolam air hangat).

"Kalian tunggu sebentar di sini, ya," kata David, aku dan Nania mengangguk dan memilih duduk di sofa sembari menunggu David yang masuk ke sebuah ruangan.

"Nggak asik nggak bisa selfie," oceh Nania sembari rebahan karena mual gara-gara naik lift pribadi dari lantai 1 sampai lantai 64.

"Ya sudah, sana pulang!" sergahku kesal mendengar ocehannya.

Nania menarik tubuh saat David datang. Aku pun juga berdiri dari posisi dudukku.

"Pak Shaka sudah menunggu di dalam."

"Ngapain sih?"

"Sudah, sana." David mendorong bahuku untuk segera beranjak menemui bosnya. "Nania, ikut aku ya."

"Ke mana?" tanyaku.

"Dia pengin selfie, kan? Aku mau membawanya ke suatu tempat."

Nania terlihat kegirangan seolah tidak punya rasa khawatir akan dibawa laki-laki ke suatu tempat, sendirian.

"Awas ya kalo macam-macam!" peringatku.

"Siap, Bos, tenang aja."

Aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk David, sedangkan mereka keluar penthouse. Aku penasaran sebenarnya ada apa sih duda gila itu menyuruhku ke tempat ini? Aku masuk ke ruangan tersebut, pertama yang kulihat adalah bar mini yang penuh dengan botol-botol yang kurasa itu sampanye. Lalu mataku mengarah ke sisi kiri, seketika mulutku terbuka, takjub.

"Wah!" decakku kagum pada pemandangan luar biasa itu. Pemandangan super mewah Negara Singapura, terlihat gedung Marina Bay, Merlion, dan laut teluk Marina. Mataku membulat menikmati pemandangan itu sampai tak sadar ada seseorang berdiri tak jauh dari tempatku.

"Mrs. Shabiru?" tanyanya dan aku mengangguk, "Follow me, please!" Dia mempersilakan aku untuk mengikuti langkahnya.

Aku dibawa ke sebuah kamar, perasaanku sudah tidak enak. Ngapain juga duda gila itu menungguku di kamar? Jangan-jangan dia mau berbuat sesuatu? Aku mulai was-was. Sesampainya di depan kamar yang pintunya tertutup setengah, aku melihat sosok pria bersetelan jas hitam itu tengah duduk di samping tempat tidur, tangannya membelai lembut tangan seseorang. Meski terkejut, aku sangat penasaran. Wajah seseorang yang tangannya tengah diusap oleh tangan Pak Shaka tidak terlihat karena tertutup pintu.

Orang yang mengantarku tadi mempersilakan aku untuk masuk, namun aku masih enggan melangkah ke dalam sana. Aku penasaran, siapa yang bersama Pak Shaka saat ini? Sialnya, mereka tengah mengobrol dengan bahasa mandarin. Ah, aku jadi teringat Alisa, jangan-jangan ibu Alisa tidak meninggal tetapi dia sedang berada di sini? Pantas aja Alisa bisa bahasa Mandarin. Penasaranku memuncak, aku pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Pak Shaka menoleh dan mengodeku untuk masuk.

"Mā, tā shì wǒ de qīzi, Sabella."---terjemahan: Ma, dia istriku, Sabella.

Dugaanku salah, ternyata orang yang berada di tempat tidur itu adalah ibu Pak Shaka. Wajahnya oriental dengan mata sipit yang sendu. Kulitnya putih pucat, tampak guratan keriput di wajahnya.

"Tā hěn piàoliang, Shaka."--Dia sangat cantik, Shaka.

"Tā hěn xiōng, Ma."--Dia galak, Ma.

Entah apa yang mereka bicarakan, ibu Pak Shaka terkekeh. Aku hanya tersenyum canggung, sama sekali tidak paham satu kata pun, selain kata "Ma" yang sama artinya dengan panggilan ibu. Pak Shaka menyuruhku untuk mendekat, mengodeku untuk memperkenalkan diri pada ibunya. Aku pun paham maksudnya dan langsung tersenyum ramah kepada perempuan yang mungkin berumur setengah abad lebih itu.

"Halo, Tante, saya Sabella. Senang bertemu dengan Anda."

"Ibuku tidak bisa bahasa Indonesia."

"Oh," aku sedikit terkejut, kemudian meralat, "Hello, Pak Shaka's Mom, I am Sabella, nice to meet you."

"Ibuku tidak bisa bahasa inggris."

"Hah?" kali ini aku benar-benar terkejut, aneh. "Trus? Aku nyapanya gimana dong?"

"Ikuti aku," titahnya, aku mengangguk. "Nǐn hǎo, Ma."

"Nǐn hǎo, Ma," beoku.

"Wǒ shì Sabella. Wǒ xiàng lǎohǔ yīyàng xiōngměng."

Aku pun langsung menirukan, menundukkan kepala dan menyapanya, "Wǒ shì Sabella. Wǒ xiàng lǎo—hǔ yī—yàng xiōng—měng." Meski tidak terlalu lancar, aku bangga pada diriku sendiri.

Tiba-tiba Ibu Pak Shaka tertawa, aku mulai merasakan sesuatu yang tidak beres, apalagi saat melihat wajah Pak Shaka yang terlihat menahan tawa.

"I can speak English, Darling. Nice to meet you too."---aku bisa bicara bahasa inggris, Sayang. Senang bertemu denganmu juga.

Mendengar itu, aku langsung memicingkan mata kearah Pak Shaka, pria itu pasti mengerjaiku. Dasar!

***


Jadi orang kaya memang seenak itu ya hidupnya. Apa pun bisa didapetin dengan uang. Namun, hari ini aku mendapat sebuah pelajaran bahwa kalimat orang kaya selalu bahagia, itu salah.

Aku landing di Indonesia sekitar pukul 5 sore di hari yang sama. Gila, gila, gila, di Singapura hanya 2 jam. Pergi ke luar negeri seperti pergi ke Mal. Lagi, lagi, uang yang bisa mewujudkan hal gila tersebut. Entah aku harus bersyukur atau malah berprasangka bahwa ini bagian dari ujian hidup? Aku benar-benar tidak bisa mencerna kehidupan macam apa ini.

Aku dan Nania berpisah di pintu bandara. Nania diantar David ke rumahnya, sedangkan aku kembali ke mansion karena Alisa akan segera pulang dari sekolah. Pak Shaka tetap tinggal di sana karena ada keperluan lagi menyangkut pekerjaan.

"Dia bukan ibu kandungku." Kalimat itu kontan membuatku tersedak jus apel yang saat itu sedang kunikmati.

Aneh juga memang, Pak Shaka sama sekali tidak terlihat seperti punya gen chinesse, ternyata perempuan itu bukan ibu kandungnya. Aku benar-benar tak menyangka hal itu karena Pak Shaka begitu memperlakukan ibu tadi dengan sangat lembut. Si bengis yang otoriter bin sinting itu berubah menjadi sosok lain. Aku tidak melihat sorot mata piciknya, senyuman penuh intriknya, malahan aku selalu melihatnya tersenyum, tertawa dengan sorot mata yang teduh.

"Lalu, ibu tadi siapa?"

Pak Shaka meraih gelas yang kutebak itu sampanye, lalu berdiri dan berjalan mendekati kaca, tubuhnya menghadap ke pemandangan gedung-gedung Singapura. Sejenak dia meneguk minuman mahal itu, kemudian berkata, "Dia pengasuhku sejak kecil saat tinggal di Amerika. Waktu aku kuliah MBA di London, Ma dipecat ayah karena kesalahpahaman. Selama hampir tiga tahun aku tidak pernah tau itu, sampai akhirnya aku pulang dan mendapati kamar Ma ditempati orang lain. Aku memutuskan mencarinya, setelah pencarian hampir tiga bulan, aku menemukannya dalam kondisi yang miris, menjadi buruh cuci rumahan."

Dia membalikkan badannya, "Sejak itu aku memutuskan untuk membawa Ma ke Singapura. Aku membelikannya penthouse ini, segalanya aku berikan untuk menebus dosaku karena membiarkannya menjadi buruh cuci selama bertahun-tahun."

Waw, sisi lain duda gila yang membuatku takjub dan terenyuh. Di balik sikap menyebalkannya, dia memiliki hati yang besar. Pak Shaka juga bilang kalau Ma adalah pengganti ibu kandungnya yang sama sekali tidak peduli kepadanya. Bagi Pak Shaka, memiliki Ma adalah harta ke-dua setelah memiliki Alisa yang tidak bisa digantikan dengan uang. Ibu kandung Pak Shaka sendiri saat ini berada di Belanda bersama adiknya. Tidak pernah pulang ke Indonesia, bahkan mereka menolak hadir di pernikahan kami.

"Kenapa Ma tidak kau undang?"

Pak Shaka kembali duduk, meletakkan gelasnya terlebih dahulu kemudian menghela napas panjang sembari menunduk, "Tiga bulan yang lalu Ma di diagnosa kanker darah. Sekarang sedang menjalani kemoterapi. Hari ini tiba-tiba dia memintaku untuk membawamu menemuinya."

"Tau gitu, harusnya bilang dulu dong kalau mau ketemu sama orang spesial, aku kan bisa siap-siap. Ini tiba-tiba banget, lipstickan aja kagak. Jelek, tau."

"Bukankah aku sudah mengirimimu pesan?"

Ah, iya, aku lupa aku tidak membaca pesannya.

"Dia bilang kau cantik, kok."

Aku terkejut antusias, "Dia bilang gitu? Kapan?"

"Piàoliang itu artinya cantik. Dia mengatakan itu saat kau datang."

Entah kenapa, aku senang mendengar hal itu. "Ah, iya, aku penasaran waktu aku memperkenalkan diri kenapa tiba-tiba Ma tertawa? Artinya apa?"

Pak Shaka tersenyum tipis, kemudian dia meraih pulpen dan kertas, ditulisnya kalimat yang sama saat dia mengajariku memperkenalkan diri dalam bahasa Mandarin. Lantas, kertas itu diulurkan padaku.

"Cari tau sendiri," ucapnya.

Karena penasaran, waktu perjalanan pulang turun di lift, aku mencari arti itu di google translate. Yang artinya, "Halo, saya Sabella, saya galak seperti macan."

Nania dan David sampai terjingkat kaget mendengarku berteriak setelah membaca terjemahan tersebut. Duda gila itu benar-benar menyebalkan!

***

Aku melirik jam bekker di nakas, pukul 00.34 aku terbangun. Setelah memastikan Alisa tidur pukul 8 malam tadi, aku merebahkan tubuh karena kelelahan. Bayangkan saja, kurang lebih 4 jam pulang pergi Singapura-Indonesia, di sana aku tidak sempat beristirahat karena keasyikan mengobrol dengan Ma. Pukul 3 sore, aku buru-buru take off karena pukul 5 sore Alisa pulang. Ya, meski aku masih tidak dianggap sebagai mama barunya, aku harus selalu ada di rumah ketika dia pulang sekolah.

Aku lapar.

Aku keluar dari kamar berniat menuju dapur, jam segini pelayan pasti sudah tidur. Langkahku terhenti di depan kamar Pak Shaka, aku teringat sebuah rencana yang pernah kubahas dengan Nania, mungkin ini adalah waktunya. Duda itu sedang tidak ada di sini, tadi sebelum Alisa tidur mereka sempat video call dan Pak Shaka bilang masih berada di Singapura karena ada pekerjaan.

Aku tersenyum jail sembari menoleh ke kanan, kiri, samping, belakang memastikan tidak ada siapa-siapa. Aku juga mengecek sudut-sudut ruangan, fix tidak ada cctv. Ya, kali di ruangan pribadi ada cctv-nya. Dengan gerakan cepat aku masuk ke dalam kamar duda gila itu. Aku tidak lupa menutup pintu sebelum beraksi mencari sesuatu yang akan membantuku meluluhkan hati Alisa.

Hm...., untuk disebut kamar ini terbilang aneh. Semua serba abu-abu. Dinding, tempat tidur, sofa, meja, selimut, semuanya serba abu-abu. Konsepnya klasik, lampunya seperti lampu ublik yang dipasang di beberapa sudut kamar, tetapi ada lampu gantung kristal pas di tengah ruangan. Ada bunga mawar merah segar di vas di atas nakas, warnanya kontras sekali dengan warna serba abu. Lukisan bunga mawar merah besar juga terpasang menghadap ke tempat tidur. Hiii, serem gini sih kamarnya. Seserem muka yang punya.

Tak mau membuang waktu, aku langsung menggeledah laci nakas. Oke, ini perbuatan melanggar privasi, but I don't care. Ini adalah bentuk dari usaha. Tidak ada yang bisa aku temukan selain dokumen perusahaan. Kakiku bergerak menuju ke sebuah pintu, begitu membukanya aku takjub. Walk in closet-nya berkonsep modern dan berwarna dasar serba putih. Aku tidak mungkin, kan, menggeledah lemarinya yang super rapi. Aku bergerak menuju sebuah pintu lagi di dalam ruangan itu. Ternyata ruang kerjanya.

Benar-benar selera yang aneh, di ruangan kerja ini berwarna dasar cokelat tua hanya dindingnya saja yang putih. Di belakang mejanya, terjajar puluhan buku yang ditata di rak buku yang besar. Mirip perpustakaan mini.

Aku berjalan menuju meja, mataku membulat ketika melihat satu foto berukuran 3R berdiri di dalam bingkai di atas meja. Sebuah foto close up seorang perempuan berhijab merah. Perempuan itu begitu cantik, matanya bulat, hidungnya kecil minimalis tapi tidak pesek, kulitnya putih, dua gingsulnya menambah kesan imut.

"Wah, ini pasti mendiang istrinya,"gumamku, "cantik banget."

Kemudian mataku menyoroti meja yang penuh dengan tulisan, "Forgive me." Menggunakan spidol perak, satu meja penuh. Aneh. Apa ini salah satu bentuk art?

Tak mau pusing-pusing, aku langsung menggeledah lacinya. Ada sebuah buku bersampul hitam terdapat tulisan dengan tinta emas, 'Hidup hanya sekali, aku tak percaya reinkarnasi. Izinkan aku meninggalkan jejakku di buku ini, tertanda-Kim.'

"Kim?" mataku mengarah kembali ke foto perempuan berhijab itu. Kemudian otakku menyimpulkan, "Oh, ini pasti buku diary mendiang istri Pak Shaka. Pasti, pasti banget ada catatan tentang Alisa." Aku tersenyum senang, "Yes!"

Untuk misi kali ini aku akhiri sampai sini, membawa buku ini sehari tidak akan membuatku ketahuan. Oke, aku langsung menutup laci kemudian berjalan keluar dari ruangan ini. Keluar dari ruangan walk in closet, aku melihat knop pintu kamar diputar. Buru-buru aku berlari kearah kelambu raksasa dan bersembunyi di sana. Sial, kenapa duda gila itu sudah pulang!?

Pak Shaka masuk, dia memakai piyama abu-abu. Hah? Nggak mungkin, kan, dari luar negeri pakai piyama? Atau jangan-jangan sebenarnya dia sudah pulang dari tadi? Mati aku, bodoh, bodoh, bodoh! Aku merutuki diri sendiri.

Pria itu berjalan menuju pintu walk in closet, aku harus memikirkan cara untuk bisa kabur dengan aman. Mungkin dengan menunggunya sampai tertidur. Hm, ide bagus! Semoga saja aku tidak ketahuan.

Tidak lama kemudian, dia keluar. Bajunya berbeda, dia memakai kaos putih polos dan,... sarung? WHAT, pria itu mau salat? OH MY GOD! Aku menjerit dalam hati, ujung rambutnya terlihat basah, dia juga membawa sajadah dan menggelar kain itu di sebelah tempat tidurnya. Oh my my my GOD! Ini beneran? Nyata? Aku tidak sedang bermimpi, kan?

Pria yang kukenal bengis, otoriter, kufur, licik, congkak itu taat ibadah? Demi Tuhan, aku benar-benar terkejut dengan dua sisi lain Pak Shaka yang hari ini baru aku tau. Dan sisi lain yang ini sangat-sangat mengejutkanku. Aku terus memperhatikannya sampai dia selesai melakukan salatnya. Dia kembali masuk ke ruangan walk in closet, kemudian keluar lagi dengan baju yang sebelumnya. Di balik celah kelambu itu aku mematung tidak percaya apa yang baru saja aku lihat.

"Aku tau kau di situ, keluarlah!"

Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak, aku menahan napas sejenak. Sorot matanya perlahan mengarah ke tempat persembunyianku.

Sial, aku ketahuan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro