13. Panggilan
"Alisa Shabiru."
Aku mengetik nama itu di laman pencarian google di laptop, foto Alisa dan Pak Shaka mendominasi layar. Aku mencoba mencari artikel tentang Alisa, namun kebanyakan hanya menulis biodata dan foto-foto candid yang sengaja diambil oleh paparazzi.
Ujung mataku tertarik pada satu artikel berjudul "Fakta menarik tentang Alisa Shabiru, putri konglomerat Arshaka Shabiru. Hasil anak diluar nikah?"
Hah? Hasil anak diluar nikah? Aku langsung klik artikel tersebut, namun halaman yang muncul bertuliskan error 404 yang artinya artikel sudah lama dihapus atau diblokir. Aku mencoba mencari artikel lainnya, kebanyakan judul artikel yang menurutku kontroversional sudah dihapus. Mungkin, memang sengaja dihapus.
Tak mau menyerah, aku mengetik judul lain, "Mendiang Istri Arshaka Shabiru." Yang kudapat malah foto pernikahanku dengan Pak Shaka, tidak ada foto perempuan lain, atau setidaknya foto pernikahan Pak Shaka dengan istrinya yang pertama. Aku jadi penasaran, menurutku keluarga Shabiru seperti menyembunyikan rahasia besar di masa lalu. Dan itu semua tentang istri Pak Shaka dan Alisa.
"Apa yang kamu dapat?" Nania muncul dari ruang belakang kedai.
"Nggak ada." Aku menutup laptop dan menyenderkan punggung di kursi sembari menghela napas, lelah.
Saat ini aku berada di kedai karena Alisa masuk sekolah. Drama memalukan terjadi lagi tadi siang, saat aku berniat mengantar Alisa ke sekolah. Siang itu aku sudah bersiap di pintu depan menunggu Alisa keluar untuk berangkat sekolah. Dan saat dia keluar rumah dan masuk mobil, aku menyusulnya masuk juga.
Tiba-tiba dia kembali meneriakiku. "Idiota! Apa yang kau pikirkan bisa duduk semobil denganku?!"
"Aku mau mengantarkan Alisa ke sekolah." Aku masih memasang senyum lebar, berusaha untuk tetap sabar.
"Nggak mauuuuu!!! Pergi atau aku yang nggak mau sekolah?!"
Karena dia mengancam seperti itu, perlahan aku keluar dari mobil. Alisa memasang wajah jutek dan berkata,"Sei ridicolo cih!" dari nadanya meski aku tidak tahu arti kata tersebut, aku paham dia pasti mengumpatiku lagi.
Soal boneka Ken yang digunting-gunting itu, aku baru tau kalau dia benci boneka Ken, meski sama-sama dari kalangan Barbie Alisa tidak menyukai Boneka Ken. Boneka Ken baginya perusak karakter Barbie itu sendiri. Aku tidak menyangka jika Alisa yang kecil itu pemikirannya sudah melampaui usianya.
"Aku tidak mengerti, kenapa anak seumuran Alisa bisa bicara sekasar itu?"
Nania menyodoriku segelas iced coffe latte, kemudian dia duduk di seberangku. "Bicara kasar seperti apa, Bel?"
"Dia mengataiku bodoh, pengganggu dan terakhir dia mengataiku menggelikan," aku menjeda beberapa detik, memajukan tubuhku, "dalam bahasa Italia." Iseng aku mencari arti kata itu di google translate, anak itu benar-benar mirip dengan bapaknya.
"Waw, dia menunjukkan kelasnya dong! Mengumpat saja pakai bahasa asing. Hahaha." Tawa renyah Nania berhenti saat melihat sorot mataku yang memicing kearahnya. Aku seperti tidak ada harga dirinya di depan anak usia tujuh tahun.
"Trus gimana, Bel?"tanya Nania setelah tawanya mereda.
Aku bergeming sejenak, memikirkan sesuatu. Aku tidak bisa tinggal diam diinjak-injak seperti ini. Jika memang cara halus sudah tidak mempan, aku akan melakukan cara yang nekat, yakni menyelidiki secara sembunyi-sembunyi mengenai fakta tentang mendiang istri pak Shaka dan trauma yang dialami Alisa.
"Aku butuh mikir cara yang aman untuk mendapatkan informasi tentang trauma Alisa."
Nania langsung memajukan tubuhnya dengan mata membulat, "Kamu mau diam-diam mengorek info tentang Alisa? Dengan?"
"Emm..." Aku memutar bola mataku, "menyelinap ke kamar Pak Shaka dan Alisa."
"Serius?"
"Pasti di kamar duda gila itu ada sesuatu tentang mendiang istrinya, aku yakin banget. Kata Pak Shaka, dia sangat mencintai istrinya, so pasti dia masih menyimpan sesuatu di sana," kataku yakin sembari menyesap minuman yang disajikan Nania.
"Sabella yang kukenal tuh gini." Nania mengacungkan dua jempolnya, "pem-be-ra-ni. Aku dukung, Bel."
Iya, benar, jika cara halus sudah tidak membuahkan hasil. Aku harus nekat untuk mendapatkan informasi tentang Alisa. Kalau aku tahu apa yang menyebabkan Alisa menjadi sosok yang dingin, aku yakin pasti dengan mudah membuatnya menghangat lagi.
"Oh ya, katamu kan Alisa sering mengumpatimu dengan bahasa Italia, dia juga suka makanan Italia."
"Trus?"
"Kamu belajar aja bahasa Italia."
"Hah?" Bahasa Inggris aja masih ala kadarnya, boro-boro bahasa Italia.
"Buat dia terkesan, setelah terkesan dia akan tertarik, kalo dia tertarik lamban laun dia akan luluh."
"Ah, ribet!"
"Coba deh, Bel. Misalnya ucapan selamat pagi, selamat tidur, atau apa gitu kek."
Belum sempat membalas saran Nania, ponselku berbunyi. Tertulis Duda Gila sedang memanggil. Dengan malas aku mengusap panel hijau menjawab panggilannya.
"Ha-,"
"Kau di mana?"
"Di kedai."
Tut! Aku menarik ponsel dari daun telinga, seenak jidatnya dia memutuskan panggilan tanpa ba-bi-bu.
"Iiih, duda gila!"umpatku kesal.
"Kenapa sih, Bel?"
"Apa lagi kalo bukan duda gila itu, sama menyebalkan kayak Mak Lampir!"ocehku seraya beranjak dari kursi menuju belakang counter untuk mengecek persediaan kopi.
Sejak acara pernikahanku terekpos di media, kedai masih belum buka. Pak Shaka melarangku untuk membukanya takut jika ada wartawan yang datang meliput dan pernikahan kontrak kami terendus media. Setelah berunding dengan Nania, dia menyetujui ide Pak Shaka yang katanya akan membuat cerita fiktif tentang pertemuan kita di kedai ini. Menurut Nania, suatu saat jika aku bercerai dengan Pak Shaka kedai ini akan menjadi penunjang hidupku di masa depan.
Setelah kupikir-pikir, benar juga sih. Aku tak menampik kalo duda gila itu jiwa pengusahanya patut diacungi jempol.
•••
Demi apa! Setengah jam setelah menelepon, duda gila itu menyusulku ke kedai dan apa yang lebih gila? Dia membawa beberapa baju, make up, heels, hair styles, dan tetebengeknya dunia permake-up-an.
"Untuk apa?"
"Diam dan menurut saja."
"Aku bukan boneka yang bisa kau dandani seenaknya saja. Aku perlu penjelasan tujuan kenapa aku harus berdandan dan mengganti pakaianku?" protesku.
Pak Shaka yang duduk memangku satu kakinya itu berdiri mendekat, menatapku dengan irisan mata yang membuatku buru-buru mengalihkan pandangan sejenak. Kenapa sih matanya setajam itu!?
"Aku akan membawamu ke Shabiru Mode, memperkenalkanmu pada semua karyawanku. Kalo kau memakai celana jeans dan jaket bulukmu itu, aku yakin kau akan menjadi trending topik di media sosial."katanya, jeda beberapa detik, "dengan berbagai hujatan."
"Kenapa harus? Bukankah mereka juga hadir di resepsi?"
"Selain memperkenalkanmu sebagai istriku, aku juga akan memperkenalkanmu sebagai kepala bagian desainer Shabiru Mode yang baru," ucapnya yang kontan membuatku membelalakkan mata.
Terdengar gelas jatuh, itu berasal dari belakang counter. Mungkin Nania juga terkejut mendengarnya.
"Kau serius?"
"Kau lupa, waktu itu kau melamar pekerjaan, kan, ke Shabiru Mode?"
"Tapi aku cuma lulusan SMA, kuliah saja tidak lulus. Mustahil bisa di posisi itu."
"Kau lupa, siapa suamimu ini?"
"Tapi, kan--,"
Pak Shaka mengacungkan telunjuk tangan kanannya dan menggoyangkan beberapa kali sebagai isyarat tak ada kata 'tapi' dari pernyataannya, "Tugas utamamu menjadi ibu Alisa, menjadi Kepala Desainer hanya cangkang. Lebih baik lagi jika kau memang bisa menyumbang ide di divisi kami. Siapa pun, lulusan manapun, Shabiru Mode menampung semua aspirasi."
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan wewenangnya, duda gila ini menyulap hidupku.
Plok! Plok! Dua kali tepuk tangannya memberi isyarat orang-orang yang dia bawa untuk melaksanakan tugasnya, yakni mendandaniku.
Dengan rasa ketidakpercayaanku mimpi terbesarku tercapai sebagai desainer—, bukan, bukan, bukan hanya menjadi desainer biasa—tapi jadi kepala desainer, aku berpasrah diri untuk didandani.
***
Pria itu tersenyum puas setelah melihatku berpakaian blouse biru muda berkerut di bagian lengan, juga skinny pants panjang berwarna putih tulang. Rambutku dibiarkan terurai dengan style layer dan berombak keriting jatuh di ujungnya. Baluran make up tipis bernuansa natural namun kontras dengan lipstik merah cerah, dilengkapi satu buah kaca mata cokelat bermerk Lugano Diamonds Sunshades. Tak lupa heels berwarna putih dan tas quilted bag biru dongker bermerek Chanel.
Aku tak kaget dengan tampilan seperti ini karena sebelumnya aku pernah didandani saat pemotretan untuk cover majalah bersama Pak Shaka awal-awal menikah kemarin. Mungkin bagi Nania yang belum pernah melihatku secara langsung berpenampilan sosialita membuatnya tercenung menatapku dengan mata melebar.
"Semua sudah siap?" tanya Pak Shaka pada staffnya.
"Sudah, Tuan," jawab salah satu pelayan Mansion yang khusus mendadaniku.
Setelah mendapat jawaban itu, Pak Shaka mendekatiku. Satu tangannya mengisyaratkanku untuk melingkari lengannya.
"Buat apa? Kita masih di kedai, belum di kantor,"protesku.
"Jangan—banyak—tanya. Ikuti saja," ucapnya dengan rahang mengeras. Aku merasa curiga, pasti ada hal yang telah dia siapkan.
Setelah mendapat lirikan tajamnya sekilas, mau tidak mau aku melingkarkan tanganku di lengan kirinya. Kemudian kami berjalan menuju pintu. Canggung dan sedikit kaku, apalagi aku tidak nyaman dengan sepatu tinggi di kakiku.
"Kalau udah keluar dari pintu, tertawalah sesekali kearahku. Jangan terlihat kaku, anggaplah aku pacar yang baru kau kencani,"ucap Pak Shaka sebelum pintu dibuka.
"Maksudnya? Kenapa harus begitu?" tanyaku tak mengerti.
Jawaban atas pertanyaanku barusan terjawab saat mataku menangkap deretan orang-orang berjejer mengangkat kamera yang mengarah ke kami saat pintu dibuka. Kontan aku terkejut, namun Pak Shaka segera menyadarkanku saat lengan yang kulingkari berpindah ke pinggang. Kami berjalan beriringan menuju mobil.
"Tertawalah," bisiknya.
Aku langsung membuka mulut dan tertawa, "Hahaha..." fix aku sudah gila, sama gilanya dengan orang di sampingku ini.
Dia tersenyum, menatapku yang sedang berakting tertawa. Kupikir para wartawan itu akan mewancarai kami, ternyata tidak. Mereka hanya mengambil gambar kami dan membiarkan kami berjalan santai ke arah mobil. Setelah berada di dalam mobil, aku menghujami pria itu dengan tatapan sengit.
"Sebenarnya kau ini artis atau siapa sih? Segalanya pake disorot."
Pak Shaka tidak menggubris perkataanku, dia malah mengambil tablet dan berselancar di atas layar benda pipih itu.
"Pak?"
"Pak! Denger nggak sih aku ngomong?"
"Pak!"
"Pak, kalo ada yang ngomong itu dengerin dong!" ocehku kesal karena terus diacuhi.
"Pertanyaanmu nggak penting, aku harus jawab apa?" katanya tanpa mengalihkan dua bola matanya dari layar tablet.
"Haish, menyebalkan!"
"Oh, ya," dia menoleh kearahku, "jangan panggil aku bapak, tidak ada istri yang memanggil dengan sebutan itu kepada suaminya."
"Maksudnya aku harus panggil Darling gitu? Sayang? Beb? Honey? Eeeuww...,"tolakku mentah-mentah, "toh pada kenyataannya Anda kan udah jadi bapak-bapak, ya pantaslah dipanggil bapak."
"Baiklah, kalo kau mau pernikahan kontrak kita terbongkar. Silakan berbuat semaumu,"ucap Pak Shaka seraya mengalihkan matanya kembali ke layar tablet.
Aku mendengus kesal dengan ancamannya. Jika bukan karena kedai, aku tidak akan terjebak dan menjadi boneka hidup konglomerat gila ini. Mataku mengarah keluar kaca mobil, menatap gedung-gedung tinggi yang silih bergantian. Sambil memikirkan panggilan apa yang cocok namun tak terkesan menggelikan kepada Pak Shaka.
Kita saling diam sampai gedung tinggi Adhitama Jaya Group terlihat, semua manager dan karyawan perusahaan berjejer di pintu, menyambut kedatangan Presdir mereka. Setelah roda mobil berhenti, seseorang membukakan pintu. Kemudian aku keluar dari mobil yang langsung dihampiri Pak Shaka. Dia melingkarkan tangan kanannya di pinggangku, setelah itu kami berjalan beriringan.
Para manager menyambut kami dengan senyuman, tak segan aku juga membalas senyuman mereka. Namun, para karyawan biasa malah menundukkan kepala mereka. Seperti pelayan patuh yang takut kepada majikannya. Aku melihatnya miris, kenapa sesama manusia mereka takut? Jika bukan karena harta dan tahta yang dimiliki Pak Shaka, dia juga hanya manusia biasa, sama seperti mereka.
Aktivitas kantor yang ramai mendadak sepi, semua karyawan menundukkan kepala karena kedatangan Pak Shaka. Koridor kantor tampak lengang, tak ada satu pun karyawan yang melintas. Aku bergidik ngeri, seotoriter apa suami kontrakku ini. Kami masuk ke dalam lift dan berhenti di lantai tujuh, tepatnya di divisi desain Shabiru Mode. Aku masih ingat betul kejadian sebulan yang lalu, aku berlari sambil mengumpati duda gila ini karena hal menyebalkan yang terjadi di kedai sebelumnya.
Pintu terbuka otomatis, karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sejenak berhenti dan menyambut kedatangan kami. Seorang perempuan berkalung meteran kain berjalan kearah kami.
"Selamat datang, Nyonya Shabiru," sambutnya.
Nyonya Shabiru? Aku benci dipanggil seperti itu! Aku hanya membalas sambutannya dengan senyuman tipis.
"David ke mana?" tanya Pak Shaka pada perempuan itu.
"Dia sedang meeting online di ruangannya, Pak. Dengan Desainer Giano Marle untuk planning fashion show di Roma yang kemarin sempat tertunda."
Pak Shaka mengangguk. Kemudian melepas lingkaran lengannya di pinggangku dan berjalan tiga langkah di depan.
"Aku rasa kalian sudah tau, dia siapa," katanya seraya menoleh kearahku sebentar, "alasanku mengajaknya kesini bertujuan untuk memperkenalkan dia sebagai Kepala Desainer yang baru."
Semua karyawan mengangkat kepala, bertepuk tangan bentuk ucapan selamat.
"Sekaligus menjadi headplanner untuk acara fashion show di Roma dua bulan lagi," lanjut Pak Shaka. Kali ini, di balik kacamata cokelatku, aku terkejut membulatkan mata. Apa-apaan duda gila ini!
"Pak—,"
Ups, aku lupa. Semua mata tertuju padaku, termasuk mata tajam milik Pak Shaka. Aku keceplosan memanggilnya 'Pak'.
"Pak—pakai tema apa nanti fashion show nya, M-mas?" Beruntung otakku meroda cepat memelesetkan kata 'pak' menjadi 'pakai'. Sialnya, secara tak langsung aku menyetujui menjadi headplanner fashion show. Double sialnya lagi, kenapa aku manggil dia MAS!?
Pak Shaka tersenyum sembari berjalan dan memeluk pinggangku lagi, "Kamu udah nggak sabar ya untuk acaranya?" Hanya aku yang bisa melihat senyuman mengejeknya yang menyebalkan.
Aku berakting terkekeh, "Iya, aku tidak sabar."
"Nandini?" Panggil Pak Shaka pada salah satu staffnya. Perempuan berhijab itu berlari kecil menghampiri kami.
"Kenalkan dia Nandini, wakil kepala desainer. Kamu bisa diskusikan untuk acara fashion show dengannya," kata Pak Shaka, perempuan berhijab bernama Nandini itu tersenyum kearahku, aku pun membalas senyumannya.
"Nandini, kamu antar istriku ke ruangannya," titah Pak Shaka. "Kamu ikut Nandini ya, Sayang. Aku akan kembali sebentar lagi," lanjutnya sembari mengecup pipi kananku. Triple sial, kenapa pakai kecup segala!?
"I—iya, Mas." Semoga saja Nandini tidak melihat ekspresi terkejutku.
Pak Shaka dan ajudannya keluar dari ruangan Shabiru Mode, sementara aku mengikuti langkah Nandini. Ruanganku persis berhadapan dengan ruangan Pak Shaka. Ruanganku tidak begitu luas, hanya ada meja kerja, lemari, dan dua sofa. Di mejaku terdapat papan nama "Sabella Hasyim Shabiru. Kepala Desainer." Tidak ada dinding, ruangan ini dibatasi dengan kaca.
"Ini, Bu, ruangannya. Saya undur dulu, kalo butuh apa-apa, Bu Sabella tinggal memencet angka tiga panggilan cepat ke saluran saya."
"Iya, terima kasih," ucapku. Aku membalikan badan kearah Nandini, "Oh,ya."
"Iya, Bu?"
"Apa yang terjadi sama Kepala Desainer yang lama?"
"Oh, Nona Prita mengundurkan diri karena mengikuti suaminya ke Jerman, beberapa minggu yang lalu."
Aku mengangguk-angguk, paham. Lega, aku tidak merebut posisi siapa-siapa.
Setelah Nandini pergi, aku memandangi ruangan ini. Aku tidak menyangka jika mimpiku benar-benar jadi nyata. Meski kudapat dengan melalui hal gila, aku cukup bersyukur Tuhan telah memberiku porsi ini, porsi yang selama bertahun-tahun hanya menjadi angan-angan saja.
Mataku berkaca, mengingat sebuah kalimat dari film Cinderella,
"No matter how your heart is grieving, if you keep on believing, the dream that you wish will come true."
Tidak peduli hatimu berduka, jika tetap percaya. Mimpi yang kau inginkan akan menjadi nyata.
Aku tidak percaya ternyata omongan Nania benar. Bahwa kehidupan dongeng Cinderella beralur dalam roda kehidupanku. Bukan dengan sihir, namun dengan sebuah keyakinan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro