10. Royal Wedding Day (2)
"JEPAANG!!!" pekik Nania ketika melihat daratan negara Jepang terlihat dari balik jendela jet pribadi Pak Shaka. Disusul dengan suara kehebohan Fastelin dan Amara. Sedangkan aku yang berada di samping Pak Shaka hanya menenggalamkan wajah, tidak saudari tiriku saja yang norak tapi Nania pun begitu. Ah, siapa yang tidak kegirangan terbang dengan jet pribadi ke negeri Sakura dengan cuma-cuma. Bagi mereka ini seperti memenangkan jackpot.
"Haish!" Aku menoleh ke arah Pak Shaka, menghujami pria itu dengan tatapan sinis, "resepsi doang kenapa harus ke Jepang sih? Buang-buang uang!" sergahku.
"Uangku memang banyak, makanya aku buang-buang," balas Pak Shaka tanpa mengalihkan pandangan dari tab-nya.
Alisku tambah berkerut, pria ini memang sudah gila! Kufur nikmat! Rutukku dalam hati. Aku kembali pada posisi, menyenderkan punggung pada kursi pesawat dan menyilangkan tangan di dada. Percuma melontarkan kalimat pada pria di sampingku itu, bikin hatiku dongkol sendiri.
Sehari setelah acara ijab qobul, kami terbang ke Jepang untuk melaksanakan resepsi. Sekali lagi, dengan kekuatan uang keluarga Adhitama Jaya acara besar ini benar-benar terlaksana tanpa kekurangan apa pun. Semua permintaan Pak Shaka terwujud, gaun Cinderella, kastil Cinderella, kereta kencana dan segala tetekbengeknya resepsi ala konsep Cinderella. Tidak ada maksud lain, Pak Shaka hanya ingin hidupku yang bak dongeng si anak tiri yang malang itu menjadi kenyataan.
Betapa lucunya.
Sesampainya disana, aku dibuat tercengang dengan gaun yang akan dikenakan, aku tidak menyangka jika fitting yang tak sampai seminggu yang lalu, membuat sebuah gaun yang fantastis. Memang berkonsep Cinderella tetapi jauh lebih modern lagi. Mewah, elegan dan tentunya mungkin sangat mahal. Hanya tiga kata itu yang mampu aku diskripsikan saat melihat langsung gaun itu. Belum lagi dengan sepatu kaca yang hiasanya dari intan putih yang berkilau jika terkena cahaya. Aku seakan sesak melihat semua kemewahan yang Pak Shaka berikan.
Acara resepsi dimulai dariku menaiki kereta kencana dari resort ke Kastil Cinderella. Sebuah kereta kencana yang entah terbuat dari apa sehingga membuat mataku berbinar ketika menaikinya. Ada enam kuda putih yang menarik rodanya, dengan satu orang berpakaian khas penjaga kerajaan sebagai kusir.
Seperti dugaanku, semua mata kamera menghujamiku lagi. Setiap gerak-gerikku tersoroti cahaya kilat dari ratusan wartawan yang meliput. Belum lagi para pengunjung dan undangan yang datang menambah kemeriahan acara.
Aku tidak pernah menyangka bisa berada di titik ini, beberapa kali aku yang mengenakan mahkota berlian ini mengembuskan napas dari bibir dengan kencang. Dadaku penuh dengan rasa yang tak keruan, ada senang, sedih, bingung, terharu, semua menumpuk dalam rongga dada.
Entah apa yang terjadi nanti, aku siap menghadapi apa pun. Karena ini menjadi pilihanku. Sudah menjadi jalanku keluar dari penderitaan menjadi anak tiri yang tersia-siakan. Tidak pernah ada lagi ketakutan dalam diriku mengkhawatirkan tentang sesuatu yang berharga akan hilang. Semua sudah di tangan. Sudah digenggamanku erat-erat. Selanjutnya, aku cukup meluaskan hati untuk bersabar bebas dari Pak Shaka.
Roda kereta berhenti tepat di red carpet, di atas tangga kastil berdiri pria tampan dengan senyuman khasnya menungguku datang. Pria itu juga mengenakan pakaian berdesain putra raja dan senada dengan konsep gaunku. Tak dipungkiri jika Pak Shaka benar-benar tampan. Ah, tetap saja, aku membenci pria itu.
Suara riuh terdengar tatkala Pak Shaka berjalan ke arahku dan mengulurkan tangannya. Kami berjalan beriringan di atas red carpet seperti sepasang raja dan ratu. Bunga sakura bertaburan dari bridemaids yang berdiri di sepanjang jalan kami.
"Gimana?" ucap Pak Shaka di tengah senyumnya.
"Ini gila," balasku.
Pak Shaka setengah tertawa, "Ini khusus untukmu. Melengkapi hidupmu yang bak dongeng Cinderella."
Kini giliranku yang setengah tertawa, "Nggak lucu," ucapku dengan nada tidak terlalu keras, namun dengan penekanan menyiratkan kekesalan.
Ruang utama kastil dirancang penuh dengan berbagai macam bunga, khususnya di singgasana yang terletak di panggung altar, Pak Shaka dan aku duduk di sana sembari menikmati jalanannya acara. David turut mengundang beberapa aktris barat sebagai pemeriah royal wedding bos-nya. Semua tampak gembira, semua tampak berbinar, pun kedua pengantin yang duduk di singgasana, meski dalam hati kami, khususnya aku, ingin segera cepat selesai. Capek terus bersandiwara.
Acara demi acara terlewati sampai pada acara pelemparan bunga sebagai penghujung acara melelahkan ini. Besok memang masih ada, tetapi hanya makan malam biasa yang dihadiri para keluarga besar dan beberapa pejabat tinggi.
"Dalam hitungan ketiga!" seru MC, aku dan Pak Shaka membelakangi undangan, siap melempar bunga secara bersamaan. Sedangkan di belakang kami berjejer para gadis, tak luput juga Nania, Fastelin dan Amara yang berdiri paling depan saling dorong.
"Satu! ... Dua! ... tiga!"
Kompak, aku dan Pak Shaka melempar ke arah belakang. Para gadis berebut, sampai akhirnya seorang gadis jepang, mungkin teman bisnis Pak Shaka, menangkap bunga itu.
"Ah, lo sih ngapain tadi dorong gue!" Fastelin menyalahkan Nania, kesal tidak mendapatkan buketnya.
"Etdah, badak lo yang dari tadi dorongin!" yang dimaksud Nania, Amara.
"Ih, kenapa gue sih!" sahut Amara tidak terima. Mereka saling berdebat sampai akhirnya, pembawa acara mengendalikan kerusuhan yang terjadi dengan berjalan ke arahku dan Pak Shaka.
Aku menundukkan kepala karena malu dengan tingkah mereka. Ah, padahal aku sudah bilang pada Pak Shaka kalau tidak usah mengundang Fastelin dan Amara. Mereka cuma bikin rusuh aja. Kata Pak Shaka, dia menghormati orang-orang terdekatku, sok banget padahal mah aku tau dia cuma tidak mau terimbas gossip aneh-aneh.
"Terakhir! Pemungkas acara, sebagai pengantin yang saling mencintai dan berbahagia hari ini. Kalian silakan saling menunjukkan rasa cinta satu sama lain."
"Maksudnya?" kontanku bereaksi, kalimat pembawa acara menurutku terlalu ambigu.
Pak Shaka yang mungkin paham langung tersenyum kemudian menghadapan ke arahku. Melihat ekspresinya, membuatku merasa was-was. Dengan seringai dan tatapan intens darinya, aku tanpa sadar melangkah mundur.
"Wah, ternyata pengantin kita malu-malu ya, ayolah! Ini hari yang besar harus ditutup dengan spesial." Kompor pembawa acara. "Kissing! Kissing! Kissing!" lanjutnya semakin mengompori undangan untuk turut mendesak Pak Shaka dan aku untuk berciuman.
Ciuman? What? Aku belum pernah melakukannya!
Dengan dia? Si sombong ini?
Nggak. Nggak.
Aku tertawa rikuh, aku mengalihkan pandangan berakting seolah malu-malu, namun demi apa pun dalam hatiku terlontar umpatan karena hal ini.
"Ini tidak ada di perjanjian," bisikku pada Pak Shaka.
"Aku lupa," balasnya dengan seringaian senyum.
Kontan aku melotot ke arahnya, bagaimana mungkin orang seperfeksionis Pak Shaka bisa melupakan hal itu? Dia memang psikopat gila! Detik kemudian aku menetralkan pandangan, aku tidak ingin para undangan curiga dengan sikapku.
"Aku janji, ini yang terakhir. Selanjutnya aku akan membuat pasal untuk ini," kata Pak Shaka.
Sejenak aku berdebat dalam hati, ada suara yang mengataiku bodoh, ada suara yang mengataiku aku telah terjun pada neraka yang lain. Namun, ada suara yang mengatakan demi apa yang selama ini telah dipertahankan mati-matian. Hatiku rancu, pikiranku pun meracau. Aku tidak bisa menolak, di hadapan ribuan undangan yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah. Tetapi, aku berjanji dalam hati setelah ini aku akan membuat perhitungan dengan pria yang saat ini malah menatapku seperti singa yang kelaparan.
"Aku ..." Aku mendekat ke arah Pak Shaka. Dan tentu dengan debaran di hati, "nggak tau caranya."
Mendengar itu tak pelak membuat Pak Shaka terkekeh. Sejenak aku melirik para undangan yang menunggu kami dengan mata yang berbinar, mereka terlihat heboh, kecuali Nania yang mungkin merasa kasihan pada sahabatnya ini. Nania tau betul, aku belum pernah berciuman. Tapi, jika dipikir-pikir, ini suatu keberuntungan, bukan? First kiss dengan suami tampan dan kaya raya. Buat mereka yang menggilai duda satu ini, tetapi buatku ini adalah sebuah kutukan.
Aku merasa kikuk, aku tidak tau harus bagaimana. Rasanya berciuman seperti apa pun aku juga tidak tau. Apalagi di depan banyak orang, bukankah itu memalukan? Pipiku terasa panas, degub jantungku terasa tidak keruan. Bukan karena Pak Shaka, tetapi karena ini adalah ciuman pertamaku, di depan banyak orang pula.
"Taruh dua tanganmu di pundakku, tautkan jemarimu di tengkukku dan pejamkanlah matamu. Setelah itu, biar menjadi urusanku," bisik Pak Shaka.
Dengan ragu-ragu, aku menurutinya. Mengangkat kedua tangan dan melingkarkannya di pundak Pak Shaka. Tak heran, semua orang terdengar bergemuruh.
Sebelum memejamkan, sejenak aku menatap bibir Pak Shaka yang bersemu kemerahan itu tersenyum. Di antara degub jantung yang terasa menggedor dada, di tengah gemuruh riuh orang bersorak, di tengah kilatan cahaya kamera menyoroti, perlahan aku memejamkan.
Satu detik, tiga detik, dunia seolah terdengar sunyi, menyisakan bunyi jantung yang seperti pacuan kuda. Hingga waktu itu telah datang saat sesuatu yang lembut menyentuh permukaan bibirku.
Hari ini, pada detik ini juga ...
...I lost my first kiss.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro