1. Di kala Hujan turun...
Kriiing!
Mataku terbuka dengan perlahan, tanganku meraba-raba jam bekker kemudian menekan tombol off untuk menghentikan bunyi yang memekakan telinga itu. Aku menggeliat sejenak, kemudian bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Hari ini hari minggu, aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum membuka kedai hingga malam.
Setelah mencuci muka, aku mendirikan salat subuh. Setelah itu aku keluar kamar menuju setiap jendela, membuka gorden-gorden. Tampak di luar sana masih pagi buta, mungkin matahari akan muncul dalam waktu satu jam lagi. Tak ingin membuang waktu, aku melangkah menuju dapur mengolah bahan-bahan dapur untuk dijadikan sarapan untuk Tante Celin dan dua saudari tiriku, Amara dan Fastelin.
Tatanan sarapan sudah rapi di meja makan, aku bergerak menuju ruang cuci baju, satu potong roti kulahap sembari memasukkan beberapa pakaian ke dalam mesin cuci. Sejenak aku duduk menatap baju-baju itu bergulung di dalam mesin, dalam hati aku bertanya untuk kesekian kali, sampai kapan harus begini?
"Hidup sudah ada porsinya, Sabella. Jangan khawatir."
Suara lembut nan penuh kasih sayang itu menarik benakku untuk berporos pada bumi. Kalimat terakhir yang diucapkan Bunda sepuluh tahun silam, menyiratkan sebuah pesan yang hingga saat ini tetap ku pegang teguh sebagai prinsip, bahwa hidup sudah ada porsinya, tidak perlu menyesali apa yang tidak didapat dan tetap berkeyakinan bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan apa yang terlewatkan. Semua sudah punya waktu dan tempatnya masing-masing.
Seperti sekarang, menerima apa yang aku dapat dengan tegar dan berkeyakinan bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan apa yang seharusnya aku dapat yakni sebuah kebahagiaan.
Selesai menjemur baju, aku menyambar kain pel, membersihkan seluruh ruangan tamu hingga teras depan. Setelah dirasa semua sudah aku kerjakan, aku pergi ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap pergi kerja. Pagi ini tampak mendung, sweater abu-abu dengan inner panjang berwarna kuning dengan celana jeans cocok untuk hari ini. Andalanku adalah menggulung rambut dan menyisipkan satu tusuk kecil beranting bunga di antara gulungan rambut itu. Ya, aku memang muslim, namun hatiku belum siap untuk menutup aurat dengan sempurna, mungkin suatu saat nanti saat aku sudah menikah.
Setelah siap, aku keluar dari kamar.
"Sabella! Kaos kaki gue di mana?" suara Fastelin menghentikan langkahku menuju anak tangga, kakiku berputar arah dan berjalan ke kamar gadis itu.
Aku masuk ke kamarnya, "Kaos kaki yang mana?"
"Yang panjang itu loh, pink," katanya sambil berkacak pinggang di depan lemarinya.
Aku langsung berjalan kearah lemari yang sudah berantakan. Membuka laci lemari paling bawah. Aku sudah menata rapi lemarinya, benar-benar gadis ini membuatku ingin melempar lemari ini padanya.
"Nih." Aku mengulurkan kaos kaki yang dia maksud, "inget inget lagi, kaos kaki di laci paling bawah, pakaian dalam di laci atasnya. Nggak ada di lemari atas, jangan mencarinya di situ. Ngerti?"
Dia mengambil kaos kaki itu, "Oke. Jangan lupa nanti beresin ini, ya."
Aku tidak merespons titahnya karena memang aku yang selalu membersihkan tempatnya. Aku memilih memutar tubuh lalu beranjak dari kamar Fastelin. Baru saja keluar, saudara tiriku yang lain sudah berteriak.
"Korset mana korset! Gue kan sudah bilang jangan ditaruh selain di dekat tempat tidur!"
Tanpa membantah ocehan gadis bertubuh dempal itu, aku berjalan kearah tempat tidurnya. Membuka laci nakas paling bawah, memungut benda yang banyak kancingnya itu.
"Gue nggak pernah mindahin. Lonya aja yang malas nyari."
"Apa lo bilang! Lo ngatain gue pemalas, ha!? Lo di sini cuma numpang, lalu kalau bukan tugas lo, tugas siapa lagi?"
Aku menumpang? Padahal ini adalah rumahku. Aku melempar korset itu ke atas tempat tidur, lalu beranjak tidak memperdulikan ocehan Amara yang tidak jelas. Mereka seperti bayi yang setiap hari minta diladeni. Bukannya tidak sadar bahwa saat ini mereka hanya memperalatku dan menganggapku pembantu. Hanya saja ada alasan lain yang membuatku bertahan di neraka ini.
Prank!
"Sabelaaaaa!!!" suara Tante Celin menggelegar dari arah dapur. Mendengar namaku dipanggil seperti toa masjid, aku mengembuskan napas berat. Drama apa lagi sih?
"Iya, Tante." Mataku membulat saat mendapati makanan yang kumasak pagi ini berserakan di lantai. "Loh, kok?"
"Apa-apaan kamu, ha! Kamu mau membunuhku?" pertanyaan Tante Celin membuat keningku berkerut. "Cepat masak lagi! Makanan racun, asin gini."
Aku menghela napas berat. Padahal hari ini sudah semaksimal mungkin untuk menyiapkan semua agar bisa datang lebih pagi ke kedai. Nyatanya, ibu tiri pemilik alis segaris itu membuat drama lagi hanya gara-gara makanan terlalu asin.
"Harusnya Tante itu bilang kalo makanannya terlalu asin. Nggak perlu numpahin makanan ke lantai. Lantainya udah aku bersihin," protesku tidak terima dengan perlakuan Tante Celin.
"Terserah dong! Kamu, kan tinggal bersihin lagi, beres!" ucapnya enteng.
Dadaku seolah penuh, ingin rasanya menumpahkan makanan itu ke muka Tante Celin. Tetapi, aku rasa tindakan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya aku mengalah dan membuat makanan lagi. Setelah selesai memasak, aku bergegas pergi sebelum drama terjadi lagi. Namun, harapanku pupus saat melihat sepatu putihku sengaja dikotori dengan lumpur, padahal sepatu itu baru saja aku cuci kemarin.
Aku menyambar sepatu itu, menentengnya ke ruang makan. Ini pasti kerjaanya dua saudari tiri itu.
"Ini pasti kerjaan kalian, kan?"
Amara langsung memasang wajah tak terima. "Apa-apaan lo nuduh kita!" dia bahkan berdiri dan mengangkat dagunya.
Fastelin, kakak Amara yang berbadan kurus itu juga berdiri. "Emang sepatu dah jelek, kalo kotor ya wajar. Ngapain lo nuduh-nuduh kita?"
"Siapa lagi kalo bukan kalian? Ini sepatu udah gue cuci kemarin."
"Iiih, Mamih, Sabella nuduh kita tuh. Padahal kita, kan, nggak ngelakuin," adu Amara kepada Tante Celin.
Tidak lama kemudian, Tante Celin berdiri menatap malas kearahku. "Berisik! Tinggal cuci lagi kan, beres! Ganggu orang sarapan aja!"
Rahangku mengeras, rasanya tak tahan lagi melihat tingkah tiga makhluk di rumahku ini semena-mena. Namun, aku mencoba sabar. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, kemudian mengembuskan pelan. Tak banyak omong, aku langsung pergi ke kamar mandi, mencuci sepatu.
Terpaksa, aku berangkat kerja dengan sepatu yang basah. Karena hanya itu satu-satunya sepatu yang aku miliki. Sebelum aku keluar dari gerbang rumah, aku mendengar teriakan Fastelin.
"Mamii!!! Sabela ngumpetin sepatuku!!"
Aku tersenyum puas, impas, bukan?
***
Mataku berbinar saat melihat cowok jangkung tengah berdiri di depan kedai. Cowok itu bernama Antoni, teman kampus saat aku masih kuliah. Meski aku memutuskan mengundurkan diri, cowok itu masih setia membantuku, dia berharap jika suatu saat nanti aku mau kembali ke kampus dan melanjutkan studiku sebagai mahasiswi Fashion Desain. Selain Antoni, ada lagi sahabatku yang menawarkan diri untuk menjadi pekerja paruh waktu di kedai, namanya Nania.
"Rajin amat, Bru."
Antoni melepas kupluk hoodie-nya, menyambutku dengan senyuman. "Telat banget, Sis," cibirnya.
Aku tertawa, "Sorry, mak lampir sama dangdedotnya drama lagi." Aku merogoh tas mengambil kunci pintu kedai.
"Jadi, udah berapa episode sekarang?"
Aku memasukkan kunci ke slot pintu, "Ngalahin sinetron Tersanjung dah."
"Tadi kehujanan, ya?"
"Nggak, cuma lagi mendung." Aku masuk ke dalam kedai, kemudian disusul langkah Antoni.
"Sepatu lo kok basah?"
"Ah, biasalah." Kami masuk ke kedai.
Kedai yang sudah berdiri sejak usiaku lima tahun ini berkonsep Garden, desain interiornya nyaris menyerupai sebuah taman bunga mini. Ada pelbagai macam bunga yang menjadi properti kedai ini. Meja, kursi, kecuali meja counter berwarna cokelat tua yang diplitur mengilap. Dindingnya berwarna putih yang tertempel beberapa vas kecil bunga anggrek hiasan, lantainya dari rumput sintetik berwarna hijau. Semua bunganya buatan, namun hanya satu bunga yang menjadi ciri khas kedai ini, yakni setiap sudut ruang terdapat bunga Sedap malam asli.
Biasanya pengunjung lebih ramai ketika menjelang malam karena aroma bunga Sedap malam yang menguar. Alih-alih menyebut kedai ini kedai Sedap Malam, mereka malah menyebut kedai ini Kedai Cinderella, karena aroma Sedap Malam yang hanya tercium ketika malam hari, sama seperti Cinderella yang berubah menjadi putri di malam hari lalu menjadi rakyat biasa ketika pagi menjelang. Begitu pula, Sedap Malam, dia akan menjadi bunga biasa ketika malam telah usai.
Setiap sudutnya tak pernah berubah sejak ditinggal bunda pergi. Aku hanya mengganti bunga-bunga hidup saja.
Aku dan Antoni memulai dengan tugas masing-masing. Aku menyambar celemek andalan, menghidupkan tape tua milik mendiang ayah di atas nakas kedai dan memutar lagu Hungry Heart- Bruce Springsteen dari kaset. Alunan lagu tahun '95an itu mulai memenuhi kedai yang berdesain klasik rancangan tangan Bunda. Sedangkan Antoni menata bangku dan membersihkan debu di meja.
"Ton, mau kopi apa?" seruku yang sedang membuka botol bening berisi biji kopi dengan berbagai jenis dan aroma.
"Biasanya," jawab Antoni di ambang pintu.
"Siap, Bru." Aku langsung meraih cangkir, berikut dengan mesin penggiling. Tak lupa menghidupkan mesin pemanas air terlebih dahulu. Deru mesin terdengar di tengah alunan lagu. Sudah menjadi kebiasaanku, bergelut lincah menyeduh kopi tersebut.
Everybody needs a place to rest, everybody wants to have a home.
Dont make no difference what nobody says. Ain't nobody like to be alone.
Everybody's got a hungry heart, lay down your money and you play your part
Everybody's got a hungry, hungry heart.
Lagu ini cukup membuatku bergairah untuk bersemangat setelah mood berantakan karena drama di rumah. Selain nada lagunya yang asyik, liriknya pun menarik. Semua orang butuh tempat istirahat, butuh sebuah rumah dan tidak seharusnya menjalani kehidupan sendirian, karena tidak ada orang yang suka hidup sendiri.
"Ton, kopimu sudah siap." Aku keluar dari balik counter membawa cangkir berisi kopi hitam dengan takaran satu sendok gula pesanan Antoni.
Namun, aku tidak menangkap bayangan Antoni di segala sudut Kedai. Mungkin saja ke kamar mandi, pikirku. Aku pun meletakkan cangkir itu di atas counter dan memutuskan melanjutkan pekerjaan di belakang counter menyiapkan beberapa biji kopi.
Selain menyediakan berbagai jenis kopi Nusantara, kedai ini juga menyediakan berbagai kudapan seperti Klapertat panggang, macaroni schotel, cake in jar, mozzarella cheese stick dan kentang goreng. Khusus kentang goreng aku goreng sendiri, untuk yang lain semua kiriman dari industri rumahan.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi, urusan kopi dan lain sebagainya sudah selesai. Kedai siap di buka. Bersamaan itu Antoni datang.
"Dari mana?"
"Gue beliin lo sepatu, nih," Antoni mengulurkan paperbag berisi sepatu.
"Apaan sih, kenapa beliin gue sepatu?"
Antoni berjalan kearah counter, duduk di kursi tinggi. "Daripada kaki lo bau nggak enak."
"Seharusnya nggak perlu kali, Ton. Tapi, thanks, gue hargai loh pemberian lo." Aku tak menolak pemberian Antoni, bahkan merasa bersyukur. Aku segera mengganti sepatu setengah basahku dengan sepatu baru yang dibelikan Antoni.
Kemudian menyusul Antoni duduk di depan counter.
Kita menyesap kopi bersama, kopi kesukaanku iced coffe dengan taburan toping granul cokelat di atasnya. Menyesap es kopi di pagi hari membuat tenggorokanku merasa segar. Cukup aneh, karena hari ini mendung aku masih tetap memilih es kopi.
"Gue ngerasa hidup lo kayak dongeng Cinderella ya? Ibu tiri dan dua saudari tiri lo yang jahat," cetus Antoni di tengah acara menikmati kopinya.
Aku tersenyum getir, "Hm. Begitulah."
"Sampai kapan lo bakal jadi babu di rumah lo sendiri?"
Aku menyesap kopinya sejenak, "Entahlah."
"Kenapa lo nggak pergi aja sih, Bel? Lo kan termasuk gadis yang mandiri. Buktinya lo bisa ngurus semua ini."
"Kalo bukan karena amanah Ayah, gue pengin banget pergi jauh dari sini. Rumah dan kedai kopi ini peninggalan satu-satunya. Gue nggak ikhlas kalo Tante Celin ngejual nih kedai, makanya gue bertahan di sini."
"Kenapa lo nggak usir aja mereka?"
Aku melirik Antoni, "Semua karena wasiat," jeda seperkian detik, "40% harta ayah milik Tante Celin, kalo gue ngusir mereka otomatis gue harus jual kedai untuk pembagian harta. Gue nggak mau, gue nggak rela kedai ini di jual."
"Sampai kapan? Sampai lo nikah, kan? Kapan lo nikah? Kalo lo udah nikah, gimana nasib kedai ini?" Antoni mencerca pertanyaan padaku.
"Gue nggak tahu kapan gue nikah, nikah bukan porsi gue saat ini." Aku menyuruput es kopiku dan melanjutkan jawaban, "Sebelum gue nikah, gue mau ngumpulin duit buat beli sepenuhnya kedai ini. Jadi, gue nggak perlu ngejual kedai buat bagi harta warisan."
Antoni mengangguk paham, tak lama dia menepuk bahuku dua kali, "Gue yakin, suatu saat nanti bakal ada pangeran yang buat lo bahagia."
Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigiku mengiyakan doanya, meski itu rasanya mustahil. Meskipun hidupku bak dongeng Cinderella, di jaman sekarang mana ada pangeran yang mau dengan gadis sepertiku.
***
Sejenak aku meregangkan tubuh, hujan menjebak beberapa pelanggan di kedai. Sesuai perkiraan, hari ini akan ramai. Aku sudah menyiapkan kopi cadangan dan nyaris habis. Untung ada Antoni dan Nania yang bersedia membantu malam ini.
Dari sekian pelanggan yang terjebak hujan, hanya satu pengunjung yang membuatku penasaran. Pria berjas hitam yang duduk di pojok kedai. Dia sudah duduk lebih dari tiga jam di sana dan hanya memesan jus jeruk tanpa tambahan gula.
"Liatin siapa, Bel?" Nania yang baru saja mengantar pesanan, menghampiriku yang berdiri memandang pria di pojok kedai itu.
Aku menunjuk pria itu dengan dagu.
"Siapa? Kamu kenal?"
Aku menggeleng.
"Wajahnya kusut banget, tapi ganteng juga sih. Samperin gih!"
Aku menarik wajahnya, "Samperin?"
"Sebagai owner kedai kamu tawarin kopi spesial kita. Kali aja doi butuh kopi lagi."
"Oke." Aku melepas celemek, membawa daftar kopi dan berjalan ke arah pria itu.
Pria itu tengah memandang hujan yang turun melalui jendela, tatapannya kosong. Seperti ada ribuan masalah menggelayut di benaknya. Jika dilihat, pria itu cukup rapih, dia memakai setelan jas dengan sepatu pantofel berwarna hitam. Satu buah ponsel menyala karena sebuah panggilan bernama kontak 'Rumah'. Ponsel itu dibiarkan bergetar di atas meja di samping gelas jus jeruk yang tiga-tiganya sudah tandas.
"Kopi adalah sumber inspirasi, banyak penulis-penulis terkenal yang berhasil membuat novel bagus karena bantuan kopi. Apa anda butuh inspirasi? Mau saya rekomendasikan kopi yang paling top di Kedai ini?" lontarku kepadanya.
Pria itu tak mengalihkan pandangan dari hujan. Merasa tak didengar, aku memutuskan untuk beranjak dan tak ingin menganggunya. Namun, sebuah tangan besar mencegah langkahku untuk beranjak.
Tangan itu terasa dingin, aku merasa bingung apa yang sedang dilakukan pria itu? Kami saling bertabrak pandang, cukup lama.
"Apa yang Anda butuhkan? Saya pemilik kedai ini," kataku memecah keheningan di antara kami.
"Apa kau bisa memberi apa yang aku butuhkan?" nada dingin nan datar itu terasa aneh di telingaku. Meskipun begitu, dia adalah seorang pengunjung di kedai. Aku mengangguk menghormatinnya.
"Aku butuh ibu untuk anakku. Maukah kau jadi ibu dari anakku?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro