Siklus Matahari: Pemicu Aktivitas Vulkanik?
"Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah krisik batu dan habu seperti dituang lamanya tiga hari dua malam."
Kutipan tersebut diambil dari Bo' Sangaji Kai, naskah kuno dari Kerajaan Bima yang terdapat di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Naskah ini mencatat tragedi yang terjadi sekitar dua ratus enam tahun silam, tepatnya tanggal 10 April 1815. Peristiwa ini tak lain disebabkan oleh meletusnya Gunung Tambora, yakni gunung yang sekarang di antara Kabupaten Dompo dan Kabupaten Bima. Sedikitnya tujuh puluh dua ribu orang kehilangan nyawa dan tahun berikutnya terjadi perubahan cuaca drastis di Amerika Utara dan Eropa akibat debu yang dihasilkan oleh letusan. Tahun tersebut dikenal sebagai tahun tanpa musim panas.
Di saat yang bersamaan, sekitar seratus lima puluh juta kilometer dari bumi, matahari sedang memasuki sebuah periode ketika aktivitas bintik matahari mengalami penurunan secara signifikan. Hal ini merupakan hal yang wajar dalam siklus matahari, di mana setiap sebelas tahun, terjadi peningkatan aktivitas atau gejolak dalam matahari sekaligus perputaran medan magnetnya. Periode yang berlangsung dari tahun 1790 hingga 1830 ini dikenal dengan istilah Dalton Minimum.
Akhir-akhir, ini beberapa klaim telah mencuat perihal adanya keterkaitan antara aktivitas matahari di luar angkasa dengan aktivitas vulkanis di permukaan bumi. Dikatakan bahwa penurunan aktivitas matahari mampu mempengaruhi tingkat aktivitas vulkanisme di permukaan bumi dan mampu menyebabkan beberapa letusan gunung berapi yang dahsyat. Berbagai klaim tersebut membuat banyak orang yang khawatir dan bertanya-tanya tentang korelasi antara siklus matahari dan aktivitas vulkanis serta potensi bahayanya. Namun, apakah klaim ini terbukti benar?
Memasuki tahun 2021, matahari disinyalir sedang berada dalam sebuah periode minimum (solar minimum) yang disebut sebagai "lockdown matahari" oleh media-media asing. Periode minimum ini merupakan bagian dari siklus matahari ke-25 yang dimulai sejak Desember 2019 dan diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2030 mendatang dengan puncak pada bulan Juli 2025. Menurut pengamatan yang dilakukan seorang meteorologis, Derek Van Dam, terjadi peningkatan aktivitas suar matahari kelas C pada bulan Oktober hingga Desember tahun lalu. Para ilmuwan sendiri mengkategorikan suar matahari dalam tiga jenis, yakni C, M, dan X di mana C adalah terkuat dan X terlemah.
Pada saat yang bersamaan, muncul klaim bahwa periode minimum ini bisa menjadi Dalton Minimum yang kedua—menyebabkan temperatur bumi menurun, gagal panen, kelaparan, gempa bumi, dan letusan gunung berapi yang dahsyat. Dikatakan, saat matahari berada dalam periode minimum, medan magnet matahari melemah, mengakibatkan penetrasi sinar kosmik dengan mudahnya ke tata surya.
Klaim-klaim ini tentu saja bukan tanpa dasar. Dalam jurnal penelitiannya, Richard B. Stothers—salah satu pendukung klaim ini—mencatat bahwa suar matahari diyakini mampu mengubah pola sirkulasi atmosfer bumi yang pada akhirnya berdampak pada rotasi bumi. Sentakan yang dihasilkan memicu gempa-gempa kecil yang untuk sementara waktu dapat mengurangi beberapa tekanan di ruang magma vulkanik, sehingga melemahkan, menunda, atau bahkan menghentikan letusan besar yang akan terjadi. Alasan serupa juga dikemukakan oleh Willie Soon dan Steven H. Yaskell dalam jurnal Year Without A Summer, yang menghubungkan letusan Gunung Tambora tahun 1815 dengan periode Dalton Minimum, di mana aktivitas minimum matahari mampu menurunkan temperatur secara global.
Namun, pada kenyataannya, sejauh ini tidak ada korelasi antara aktivitas matahari dengan gejolak vulkanis yang ada di bumi. Bahkan pihak NASA telah mengonfirmasi bahwa aktivitas matahari—baik itu jangka panjang atau pendek—memiliki pengaruh yang amat kecil dalam perubahan iklim bumi dan bahkan sama sekali tidak berpengaruh pada kuantitas aktivitas seismik di permukaan bumi. Oleh para ilmuwan, penurunan temperatur karena aerosol vulkanik dan sirkulasi laut dinilai lebih memungkinkan daripada aktivitas matahari.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Indonesia, Kasbani, juga membantah klaim ini. Dia menjelaskan, penelitian terkait korelasi minimum matahari yang mempengaruhi aktivitas vulkanik seringkali ditunjukkan dengan data statistik. Yaitu saat kondisi matahari mengalami solar minimum, erupsi gunung berapi lebih banyak terjadi. Meskipun demikian, tidak semua gunung mengalami erupsi bersama-sama. Terlebih lagi, pada periode solar maksimum, erupsi berkekuatan besar juga pernah terjadi. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di lain sisi menyampaikan bahwa aktivitas matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem dibandingkan pada periode Maunder Minimum (1645-1715).
Semua bukti ini menunjukkan bahwa aktivitas matahari memiliki pengaruh yang sangat kecil untuk bisa memengaruhi letusan gunung berapi. Sehingga, meskipun terjadi penurunan jumlah sunspot atau bintik matahari seperti pada periode Dalton Minimum, permukaan bumi tidak akan terpengaruh secara global. Letusan gunung berapi seperti Gunung Tambora justru terjadi karena adanya aktivitas magma dari bagian astenosfer bumi yang mendesak keluar sehingga terjadi ledakan dahsyat.
Jadi, sudah semestinya masyarakat tak perlu khawatir dalam menghadapi siklus matahari yang ke-25 ini. Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Rhorom Priyatikanto telah menegaskan bahwa kita tidak akan mengalami krisis yang terjadi seperti pada periode Maunder Minimum. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kita punya, umat manusia setidaknya lebih siap menghadapi gejolak vulkanis maupun aktivitas matahari yang teramat minimum.
---------
Ilustrasi:
Woman before the Rising Sun, Caspar David Friedrich, 1820.
Cotopaxi, Frederic Edwin Church, 1862.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro