4. Penyiksaan
Dari tadi, Daffa mengamati Elsa. Jujur, dia benar-benar mirip Helen. Meskipun Elsa hanya sebatas adik, tapi keinginan untuk menyakiti dia masih tertanam dalam hatinya.
Gadis itu tertidur begitu saja padahal film sedang asyik-asyiknya. Pria itu mengambil kesempatan.
Diambilnya jarum dari atas meja, kemudian mengarahkannya ke leher Elsa.
"Helen...," Daffa bergumam, kemudian meyakinkan dirinya, "Aku harus membawa adiknya ke neraka."
Maka, sekarang yang dilakukan Daffa adalah memasukkan obat kecil ke mulut Elsa yang terbuka saking lelapnya tertidur agar gadis itu tak sadarkan diri.
Diraihnya jarum kecil itu, kemudian ditusuk-tusukannya ke leher Elsa dengan sembarang arah.
Tidak ada rintihan.
Tidak lagi ada tangisan.
Gadis itu telah sepenuhnya tidak sadar.
Daffa melanjutkannya kegiatannya, meraih benang sulaman, menjahit zig zag leher Elsa secara asal-asalan hingga darah mengucur dari sana, lantas menyesapnya. Dia bahkan tak merasa ngilu membayangkannya.
Terik matahari masuk ke jendela. Pagi yang telah berubah menjadi siang itu, Daffa melihat pemandangan paling istimewa.
✏✏
Malamnya, Daffa melakukannya lagi.
Kali ini, Elsa telah tersadar. Kemampuannya kebal terhadap obat untuk sementara waktu kembali membuatnya membuka mata.
"Daffa?"
Elsa tersadar sepenuhnya. Lehernya linu. Dia dalam keadaan terikat lagi. Bukankah tadi dia sedang menonton kemudian ... tertidur?
Elsa menggeleng. Berusaha meyadarkan dirinya. Tapi tak bisa dimungkiri, badannya lagi-lagi melemas. Lehernya serasa mau patah.
"Daffa?" panggilnya takut-takut. Akankah Daffa yang melakukan ini padanya? Bagaimana kepribadiannya secepat ini berubah?
Elsa disekap seperti kemarin-kemarin. Ruangan ini sama. Sama-sama menjadi saksi di mana dia merasakan bagaimana itu penyiksaan yang mungkin tak akan pernah terlupa sepanjang hidupnya. Gadis itu melolong sedikit ketakutan ketika Daffa menipiskan jarak di antara mereka berdua.
Luka yang terasa membuatnya menggerung kesakitan.
"Kamu sudah bangun?" Daffa mendekat, dapat dilihat dia membawa sebuah pisau lipat yang diasah menjadi begitu runcing.
"Apa yang kaulakukan?" Elsa terbata-bata.
"Mencoba melakukan hal baru, mungkin," jawabnya sambil menunduk, menjambak rambut Elsa kemudian mendekatkan wajahnya. Embusan napas pria itu hangat, bahkan terlihat amat, sangat tenang. "Mari lihat apa yang bisa aku lakukan padamu."
Daffa nampak menampar Elsa sejenak, kemudian mengacungkan pisaunya.
Elsa menintikkan air matanya, terkejut kemudian memberanikan dirinya. Badannya yang terikat masih menggeliat berusaha membebaskan diri. "Apa yang kautunggu?" Elsa menantang. Suaranya lirih menyentak, "Bunuh aku!"
"Ada salam perpisahan?"
Apa?
Salam perpisahan?
Sepertinya tidak.
"Aku hanya akan memberi peringatan terhadapmu, Daffa. Sesuka-sukanya kamu menyakiti orang lain, kelak akan ada orang yang balik menyakitimu sama besarnya."
"Diam."
"Aku tak akan diam," Elsa mengambil energinya, menumpahkan semua kata dengan tersengal karena dia merasakan ada kain yang mengganjal di kulit lehernya. Darah belum juga berhenti keluar. Ngilu. "Biarkan aku tertawa sebentar."
Daffa terlihat kebingungan, kemudian membiarkan Elsa terlihat tertawa begitu keras.
Sangat keras.
Sekitar lima menit lamanya, Elsa berteriak dan sepenuhnya mencaci maki.
"Sudah cukup," Daffa men-stop jengah. Tawaan Elsa semakin sama semakin keras padahal tusukan yang diberikannya beberapa waktu lalu di lehernya cukup dalam sehingga kemungkinan besar mampu mengenai pita suaranya.
"Waktunya menyambut kematian. Mungkin di ujung pintu kamu akan melihat semua kebahagiaan nyata, hilangnya trauma," Daffa mengarahkan pisaunya untuk terakhir kali, "Tak akan ada lagi yang namanya sakit. Dunia menolak kehadiranmu."
Tepat ketika Daffa membidik pisau kecilnya searah dengan dahi lebar Elsa, pintu ruang penyekapan terbuka, didobrak, dan seseorang berlari dari sana.
Nyaris.
Sungguh nyaris.
Bersamaan, seseorang itu meraih pisau yang tersasar nyaris mengenai dahi Elsa. Seorang perempuan itu meringis sebentar, bukan meringis karena tangannya ikut terluka karena menahan pisau agar tak mengenai Elsa.
Dia meringis karena melihat bagaimana keadaan Elsa sekarang, bagaimana menderitanya Elsa karena dia terlalu lambat mencari keberadaannya.
"Terima kasih telah tertawa, Elsa. Dengan demikian aku tahu di mana kamu berada."
Elsa terlihat masih tegang, degup jantungnya berdebar. Pisau tadi hampir mengenainya. Dia akan mati. Ya, tadi. Sebentar saja. Jika saja seseorang itu terlambat barang sedetik saja, semuanya habis sudah. Tapi Elsa kemudian tersenyum dengan napas hampir habis.
"Aku mendengar jejak suaramu. Aku tahu kamu tak pernah terlambat."
Beberapa menit, keadaan ruangan itu sunyi.
Daffa, di tempatnya, menggeram sambil diam-diam menangis. Pisaunya tak mengenai sasaran. Dia mengepalkan tangannya. Pria itu menggeram sebelum akhirnya mengetahui siapa gadis itu di bawa lampu remang-remang. Gadis yang menggagalkan semua aksinya.
"Helen?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro