2. Dibebaskan
Paginya, Daffa datang membangunkan Elsa. Pria dengan rambut cepak itu pagi ini jauh lebih berantakan. Pakaiannya kusut.
Ini hari kedua Elsa disekap.
"Bangun," serunya. Elsa lantas membuka matanya, sekujur badannya kesakitan. Gadis itu mengerjap-ngerjap sebentar, mengira Daffa akan menyakitinya sama seperti kemarin-kemarin.
Tapi, nyatanya pria itu malah membuka borgol di pergelangan tangan Elsa. Gadis itu hanya mengerang sebentar, sebelum pada akhirnya dia merasakan tubuhnya digendong oleh Daffa hati-hati.
Pagi ini, rasa-rasanya ada yang aneh. Daffa tidak mencambuknya setiap melihatnya, Daffa tak lagi menggores pisau di leher Elsa atau bermain-main dengan bibirnya—entah mengapa tapi bibir Elsalah yang sering kali dibuat mainan olehnya.
Daffa berubah.
✏✏
"Kamu baik-baik saja?" Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan Daffa ketika melihat Elsa keluar dari kamar mandi dengan pakaian seadanya. Seragamnya sudah terganti dengan dress hijau cerah.
Setelahnya, Daffa menghampiri Elsa. Pria itu menarik pergelangan tangan Elsa, mendudukkan gadis itu di atas kursi sofa.
"Kemarikan wajahmu." Daffa terlihat membuka sebuah kotak, mengambil obat merah dan kapas. "Biar aku mengobatinya."
Elsa awalnya terbingung.
Tapi kemudian dia menggeleng. Badannya bergetar. Dia masih takut. Dia tidak pernah merasa terlalu ngeri seperti semalam.
Daffa adalah penyebab semuanya. Dan Elsa sekarang bahkan tak berani memandang matanya.
"Kemarikan wajahmu," ulangnya.
Elsa menggeleng.
Daffa terlihat gusar. Pria itu mendekat, duduk di depan Elsa sambil menarik belakang kepalanya. "Aku tak akan menyakitimu, Elsa."
Serak suaranya malah membuat Elsa bergidik getir.
Elsa hendak berbicara, tapi bibirnya masih terasa begitu sakit. Robekan di bibirnya membuat dia susah bernapas. Sering kali dia harus terpaksa menelan darah yang timbul dari sana susah payah.
"Aku tak pernah bermaksud menyakitimu," seruan Daffa kali ini membuat hati Elsa sedikit merasa tertohok.
Tak pernah merasa ingin menyakiti?
Lantas apa yang terjadi semalaman? Apa yang dia perbuat, apa yang dia lakukan padanya hari kemarin?
Sakit itu, kekejaman itu bahkan masih berbekas di hati Elsa. Semua peristiwa kemarin.
Mungkin, Elsa masih bisa bertahan. Gadis itu pernah ikut pelatihan daya tahan dan mentalnya kuat. Tapi dia tak bisa membayangkan gadis selain dia yang mengalaminya.
"Selesai," Daffa tersenyum hangat. Senyum yang entah mengapa, kali ini ada percikan ketulusan. Elsa bahkan baru menyadari, bahwa setidaknya di dalam hati pria itu menyimpan jejak nurani kebaikan. "Cobalah berbicara, Elsa."
Elsa awalnya hendak menolak. Dia marah terhadap Daffa. Dia masih membencinya. Dia masih ingin membuat pria itu kesal. Tapi karena sebenarnya Elsa memiliki rencana kabur dari sini, maka dia harus—setidaknya akrab dengan penculiknya sendiri. Setidaknya.
"Ya," Elsa berujar singkat. Dia memainkan bibirnya sejenak, menyentuh bibirnya yang telah ditempeli perban kecil.
"Maafkan aku."
Apa?
Apa dia bilang?
Maaf? Semudah itukah? Sejak kapan orang sepertinya bisa meminta maaf? Di mana sifat kejamnya? Ada apa dengannya?!
"Maaf untuk apa?" Seharusnya Daffa tahu, sekalipun pria itu meminta maaf, Elsa tak akan pernah memaafkan. Luka kemarin terlalu pedih untuk segampang kata 'maaf'. "Aku tahu kamu tak tulus mengatakannya."
"Elsa ...."
Elsa mendelik. Mencoba memberanikan diri untuk mengucap beberapa patah kata lagi, "Aku tanya." Elsa menarik napas. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu menculikku?!"
Daffa terlihat terdiam. Raut wajah kekejaman di kegelapan kemarin menghilang. Masker hitam yang dilihat Elsa ketika pertama kali bertemu dengannya sudah tidak ada lagi.
Elsa terlihat mengalihkan pandangan, kemudian menatap mata Daffa saksama. Dia sudah tak lagi takut. Di hatinya penuh dendam kesumat maka dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan, untuk tetap hidup, untuk membuat Daffa mengerti. "Apa salahku."
"Kamu sama sekali tak mengerti, Elsa."
"Maka jelaskan." Elsa mencoba menguak keterangan.
"Aku membenci bibir wanita," jedanya, "Ya, aku membencinya. Sangat."
Elsa sekilas bingung. Memperhatikan gerak-gerik Daffa. Pria itu memperlihatkan aura kecemasan. Tapi tak bisa dikesampingkan bahwa wajah putih bertato itu tak kejam lagi.
"Kenapa?"
"Aku pernah memiliki tunangan," Daffa menghela napas, memejamkan matanya, "Wajahnya hampir sama denganmu, dan keceriaanmu ketika aku pertama kali melihatmu mengingatkanku padanya."
Ini dia!
Ini alasannya! Astaga, hanya karena wajah?
"Tunanganku yang dulu, meninggalkanku. Dia pergi setelah tahu aku berkepribadian ganda, dan dia pergi sambil mengatakan ke orang-orang bahwa aku psikopat, aku adalah makhluk yang tak pantas hidup."
Elsa tertegun.
"Nama tunanganku adalah Helen—"
"Siapa?!"
"Helen."
Elsa membungkam mulutnya kaget.
Apa?
Helen?
Itu nama kakaknya!
"Sekarang memang benar aku psikopat. Dia tak salah," Daffa tertawa renyah, mengasihani dirinya yang pernah jatuh kepada wanita salah, "Dan itu semua karena dia."
"Apa kamu tak pernah mencari Helen?" Elsa membuat-buat suaranya menjadi tenang. "Harusnya kamu tak sepenuhnya menyalahkan Helen."
"Apa maksudmu?"
"Setiap sifat orang, mengenai psikopat, itu semua tak sepenuhnya salah Helen. Itu juga salah dirimu." Elsa memperbaiki posisi duduknya. Mendekat. Dia tak takut lagi. "Dengarkan aku."
Daffa menaikkan alisnya, melipat tangan di depan dada seolah telah siap untuk diceritakan sesuatu.
"Jika awal cerita kamu dapat mengontrol karaktermu, mungkin sekarang kamu akan baik-baik saja. Kamu boleh sedih! Boleh kecewa! Tapi kamu harus tahu bahwa orang yang menyakitimu akan jauh lebih bahagia melihatmu terpojok!"
"Semuanya sudah berlalu," balasnya. Sekilas dia tersenyum geli mengingat dia diceramahi anak kecil.
"Itulah gunanya perubahan."
Daffa mengagguk. "Tapi tak semudah itu," Daffa bangkit, menepuk-nepuk kepala Elsa kemudian mengamati bibir gadis itu yang masih melemas. Tapi sudah baikan. "Maaf karena kemarin aku mengiramu Helen. Kamu gadis yang baik."
Baik?
Elsa sendiri bahkan tak menyangka bahwa sekarang dia sedang terlihat seperti gadis baik.
"Baiklah kalau begitu bebaskan aku."
"Aku masih ragu," Daffa menopang dagu, "Aku baru mendapatkan teman yang cocok."
Daffa berdiri, mengambil sebuah mangkuk berisi bubur di dapur, kemudian kembali, menyerahkannya ke Elsa. "Makanlah. Aku tahu kamu lapar." Daffa menyunggingkan senyumnya.
Senyuman itu sekilas terlihat memabukkan. Ada siratan perhatian, yang seharusnya Helen tahu bahwa Daffa hanya butuh perhatian. Pria itu bisa balik menyayangi jika orang lain dengan senantiasa membaginya cinta tanpa pamrih.
Sebenarnya, Elsa tak pernah tahu apapun tentang kakaknya. Terutama berhubungan dengan Daffa. Kakaknya, Helen, wanita baik-baik.
Helen wanita yang ceria, suka bercerita. Atau mungkin perempuan itu pernah bercerita pada ayah ibunya tapi tak menceritakannya pada Elsa karena menganggap dia masih kecil. Elsa tak akan mengerti dan kisah ini terlalu sadis untuknya tahu.
Tapi untuk masalah bibir Helen yang penuh drama itu, sepertinya benar.
"Kamu tahu? Ketika semalam aku menyiksamu, hal yang paling ingin kusakiti darimu adalah bibirmu. Tapi untuk waktu singkat aku berhenti. Aku merasa kamu orang lain dan ternyata benar. Kamu bukan Helen."
Elsa tertawa garing. Gadis itu mengambil buburnya, memakannya. Suhu ruangan ber-ac milik Daffa membuat ruangan ini menjadi nyaman untuk ditempati. Rumah petak sederhana ini bersih.
"Aku akan membebaskanmu. Jujur sebenarnya aku ingin. Tapi aku merasa cocok denganmu." Entah bagaimana, tiba-tiba hawa menjadi dingin. Firasat Elsa menjadi tak nyaman. "Aku merasa senang ketika melihat kamu kesakitan. Aku masih ingin bermain-main."
Elsa mengernyit. Ludahnya terasa asam. Dia masih memakan buburnya berusaha tenang.
"Apa kamu tahu Helen di mana?"
"Aku tak perlu mencari Helen."
Elsa memperlambatkan kunyahannya, merasa tak enak.
"Di depan mataku sudah ada adiknya. Dan aku tahu ke mana aku harus mencari pelampiasan."
--
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro