Bagian Satu
Terkadang takdir memang dapat disandingkan dengan keberuntungan. Tak peduli awalnya menyenangkan atau tidak, mudah atau tidak, disadari atau tidak.
Begitu pula yang terjadi pada kita.
Sebenarnya kehadiranmu dalam hidupku bukan secara tiba-tiba. Tak ada perkenalan di antara kita. Tak kenal rasa sungkan apalagi segan. Itulah alasan mengapa kita selalu akrab. Melihat wajah jelitamu setiap hari adalah salah satu keberuntungan kecil yang amat sangat kusyukuri. Awalnya aku tidak menyadarinya, tapi kemudian aku tersadar bahwa kau lebih dari sekadar jelita. Senyummu, sikapmu, dan kesederhanaanmulah yang membentuk kejelitaan itu.
Tak peduli seberapa sering aku mengejekmu dulu, kali ini aku benar-benar mengagumimu. Aku ingat saat pertama kali kau mengepang rambutmu. Usiamu waktu itu sembilan tahun dan aku malah mengejek penampilanmu. Sebenarnya saat itu entah bagaimana aku begitu ingin membuatmu menangis, tapi kau hanya menjulurkan lidah dan berlalu berangkat sekolah. Aku juga ingat ketika pertama kali kau bermain sepeda. Dengan angkuhnya kau mengelilingi komplek dan tak lupa melintasi rumahku. Banyak kali. Dikuasai emosi anak dua belas tahun aku pun merengek pada ayahku untuk dibelikan sepeda. Beberapa minggu kemudian kita berlomba. Kau menang, aku iri.
Meski begitu kita selalu tetap bermain bersama. Ingatkah kau ketika ibumu membelikanku mobil-mobilan di hari ulang tahunku? Atau ketika ibuku membelikan baju piyama untukmu? Setidaknya hal-hal itu jugalah yang membuat kita bersahabat seperti mereka.
Keberuntungan-keberuntungan kecil. Kalau bukan berkat mereka kita mungkin tidak akan seakrab ini. Kalau bukan karena Hari Raya Idul Fitri, keluarga kita mungkin takkan pernah mempunyai waktu khusus untuk bersilaturahmi. Dan kalau jarak rumah kita tidak berdekatan, kita mungkin takkan pernah mengenal satu sama lain. Semua ini lebih dari cukup bagiku.
Bagiku, akulah yang merasa begitu beruntung. Bagaimanapun, keberuntungan yang kita rasakan tidaklah sama. Aku tahu itu. Caramu menyukaiku tidak seperti caraku menyukaimu. Caramu merindukanku tidaklah sama dengan caraku merindukanmu. Begitulah seterusnya. Kau juga tak tahu bagaimana perasaanku ketika kau menyentuhku meski sepersekian detik. Atau ketika kau menghiburku dengan gurauanmu. Atau saat kau berbagi rahasia denganku.
Cinta terpendam. Begitulah kata orang-orang. Lebih tepatnya cinta yang tumbuh mengingat kita sudah saling mengenal cukup lama. Entah sudah berapa lama aku memendam perasaan ini. Anehnya, aku masih merasa sulit untuk mengutarakannya.
Lebaran tahun lalu adalah kali pertama aku melihatmu berdandan. Mungkin dengan lesung pipi yang menonjol, rona merah alami pada pipi, dan lekuk bibirmu yang sempurna, kau cukup memakai bedak dan pelembap bibir saja. Nyatanya, aku malah terpana dengan kecantikanmu waktu itu. Polesan demi polesan make up pada wajahmu membuatmu benar-benar bercahaya. Berani sumpah. Berlebihan? Aku ingat persis, ibuku bahkan memujimu habis-habisan.
Tidak menutup kemungkinan bahwa semua ini terjadi gara-gara ibuku. Selain sering memujimu, ia juga tidak pernah segan-segan menggodaku. Mengatakan bahwa kau adalah cinta pertamaku. Atau aku terlalu pemalu untuk menyatakan perasaanku padamu. Bahkan kita terlalu muda untuk berkencan dan segala tetek-bengek yang hanya dilontarkannya sebagai sebuah gurauan. Memang, ibu mana pun akan merasa sangat senang jika seandainya bisa mendapatkan menantu perempuan sepertimu. Cantik, pintar, supel, juga tidak materialistis. Sempurna, bukan? Pasti.
Ternyata ibuku benar. Awalnya aku selalu menyangkal, tapi rupanya perasaan memang tak bisa berbohong. Fakta pun menyatakan hal yang sama. Seakan tidak terelakkan, serangkaian ingatan dan fakta pun tak bisa kutempis begitu saja. Lahir di bulan yang sama. Dibesarkan di lingkungan yang sama. Sekolah di SD yang sama. Peringkat yang sama di kelas selama tiga tahun berturut-turut, saa di SMP. Belum lagi, jabatan OSIS yang sama yang kita duduki di masa SMA kini. Dan masih banyak kesamaan kita yang lainnya.
Fakta lain yang menyangkut hubungan kita adalah betapa banyak orang yang mengetahui sekaligus bertanya kapan tepatnya kita resmi berpacaran. Awalnya, tanpa kita sepakati, kita menganggap hal itu sebagai lelucon. Bahkan pacar pertamamu yang bernama Gian itu pun bahkan sempat mencurigai hal tersebut. Berbeda dengan pacar keduamu yang justru seakan malah "mempersatukan" kita.
Kau menangis di bahuku. Aku ingat, saat itu kau bahkan menangis sampai tertidur sejenak sebelum akhirnya aku membangunkanmu. Itulah kali pertama aku melihatmu tertidur. Bukan cantik, tapi menawan. Bukan tenang, tapi damai.
Semenjak kau putus dengan pacar keduamu, aku mulai menyadari peluang dari keberuntungan kedua. Lupakan soal jarak lima belas meter yang memisahkan rumah kita. Bagiku, mendapatkanmu adalah hasrat terdalamku saat ini. Sekarang dan mungkin selamanya. Keberuntungan kedua. Mungkinkah itu?
-bersambung-
Sampai jumpa dalam bab berikutnya! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro